"Buk, nanti jangan lupa bawain HP sama laptopku, ya!" pinta Samran. Kitty eyes - nya tak ketinggalan. Sebagai senjata ampuh supaya Samara menanggapinya dengan manis.
"Nggak janji," jawab Samara singkat, seraya merapikan rambutnya yang mencuat ke mana - mana. Efek semalam ia tertidur dengan samping Samran. Padahal brankarnya sangat sempit. Jadilah mereka uyel - uyelan.
Samara akan segera pulang, naik bus. Setidaknya jika penampilannya sedikit rapi, orang - orang di dalam bus tak akan menganggapnya gila. Ah ... minimal bus akan mau berhenti untuknya agar bisa naik.
"Elah ... si Ibuk mah. Apa, sih, susahnya bawain? Aku bosen di sini cuman diem aja. Mana kalau mau nonton TV harus keluar dulu. Nonton bareng - bareng pasien lain. Dan itu nggak asyik. Habisnya nggak bisa nonton apa yang aku pengin."
"Kamu, tuh, lagi sakit. Istirahat! Kalau ada HP sama laptop, kamu pasti sibuk terus. Kapan istirahatnya?"
Samran cemberut maksimal. "Ibuk, kan, ngerti sendiri. Aku sibuk sama HP dan laptop bukan buat main atau ngelakuin hal - hal nggak jelas. Aku, tuh, belajar desain. Ntar aku bisa kerja freelance. Lumayan, lho, duitnya."
"Iya, aku ngerti. Tapi sekarang waktunya kamu istirahat. Besok - besok kalau udah pulang, baru belajar lagi."
"Elah ... si Ibuk ... nggak asyik!" Samran melipat kedua tangan di d**a, membuang muka ke arah lain.
Bermaksud agar Samara luluh dan berubah pikiran. Masih belum berpihak pada Samran rupanya. Samara tetap cuek. Bahkan tanpa pamit ia melenggang pergi, meninggalkan Samran sendirian di tengah - tengah para pasien dan penunggu di kanan kiri.
"Lho, Buk ... Ibuk ...." Samran berusaha meraih tangan Samara untuk mencegahnya pergi. Sayang sekali, tak sampai. Tentu saja karena Samara telanjur jauh.
"Buk ... IBUK ...." Suara Samran meninggi.
Samara sama sekali tak menoleh.
Justru Samran mendapat hadiah death glare dari orang - orang di Merkurius 9 ini, karena berisik. Samran mencebik. Rasanya mau menangis sambil guling - guling di lantai saja.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Dinginnya udara pagi lebih dari cukup untuk membuat Samara menggigil. Ia memasukkan kedua tangan mungilnya dalam saku jaket. Berharap dapat sedikit mengurangi sensasi dingin yang menerpa.
Langkahnya cepat menelusuri lorong demi lorong. Pikirannya mengelana, menyusun agenda hari ini. Sekolah, mengerjakan tugas kelompok, kerja, lalu kembali ke rumah sakit menunggui Samran.
"Dibilangin jangan suka kelayaban malem - malem! Jadi ngap gini, kan? Oksigen lagi ... oksigen lagi .... Katanya mau sembuh. Mau kamu pakai kanula ke mana - mana macem Hazel di film 'The Fault in Our Stars'?"
"Orang lagi menderita, nggak bisa napas, malah diomelin. Sungguh teganya teganya teganya ...." Orang itu menyanyikan lagu Dangdut sebagai pelampiasan kesal.
"Napas aja Senin Kamis, pakai sombong nyanyi lagu Dangdut segala!"
"Lho ... Dangdut is the music of my country. Aku bukannya sombong, cuman bangga!"
"Heleh ... napas yang bener dulu, baru deh bangga - bangga! Dasar pasien gemblung!"
"Dasar suster raja tega!"
Samara celingukan mencari sumber suara percakapan itu. Percakapan seorang laki - laki dan perempuan. Suara si perempuan intonasinya cukup tinggi. Namun tersirat kekhawatiran serta kepedulian di dalamnya. Suara suster yang sayang pasiennya.
Suara si laki - laki terdengar berat dan putus - putus. Seperti kesulitan bernapas. Suara pasien yang bandel.
Samara tak kunjung menemukan sumber suara. Ia pun lanjut melangkah untuk memulai hari.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Samara konsentrasi menulis jawaban demi jawaban. Sementara anggota kelompoknya malah asyik ngobrol sembari melihat - lihat foto artis Korea di laptop. Samara tak mau buang - buang waktu memperingatkan mereka. Toh ia mampu mengerjakan sendiri. Lebih cepat selesai lebih baik.
"Selesai!" serunya.
Disambut tatapan heran dari anggota kelompok.
"Cepet amat!"
"Wah kilat!"
Salah satu dari mereka mengambil kertas folio berisi jawaban dari tangan Samara, lalu membaca jawaban - jawaban yang ditulis Samara satu per satu.
"Daebak ... jawabannya keren - keren, macem gaya bahasa petit di buku paket!"
"Udah selesai, ya. Aku pamit!" Samara menyangklong tasnya.
"Buru - buru amat! Itu dimakan dulu kue - nya!" kata Indri sang tuan rumah.
Samara menatap berbagai macam kue yang disuguhkan di meja. Orang kaya memang beda. Bahkan ini hanya kerja kelompok, tapi suguhannya semewah ini.
"Kamu ada kotak kue, nggak?" tanya Samara.
"Kotak kue? Buat apaan?"
"Ada apa nggak?"
"Eh ... iya ... iya .... Tunggu bentar!" Indri berlari cepat ke dapur. Tak menunggu lama, Indri sudah kembali. "Adanya ini ... kotak bekas salah satu kue itu." Tampang Indri penuh penyesalan.
"Nggak apa - apa." Samara mengambil kotak itu dari tangan Indri.
Gadis itu mulai mengambil jejeran kue - kue di meja. Masing - masing jenis kue, Samara mengambil dua buah.
Indri, Meisya, dan Zahra hanya menatap aksi Samara, bergeming, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Samara menyabet kantung kresek yang tergeletak kasihan di lantai. Lalu memasukkan kotak penuh kuenya ke sana.
"Samara ... ini boleh dibawa semua, lho. Itung - itung bayaran atas kerja keras kamu ngerjain tugas kita sendirian," ucap Indri malu - malu.
"Ini udah cukup kok. Makasih, ya. Aku pamit." Samara menenteng kuenya dengan hati - hati, tak mau makanan itu rusak.
"Makasih, ya, Samara. Hati - hati di jalan!"
Samara hanya mengangguk. Ia harus bergegas pergi karena pekerjaannya sudah menunggu. Ia tak mau gajinya dipotong karena terlambat. Mengingat janda tua pemilik warung tempat ia bekerja, adalah orang yang cukup kejam.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
"Kue!" Samran kegirangan macam balita yang dihadiahi sepaket lolipop, permen kapas, dan marshmello.
Matanya berbinar - binar menatap jajaran kue - kue cantik yang dibawa Samara. Samran sudah tidak sabar ingin memakan semuanya.
"Kamu kok belum tidur?" Pertanyaan Samara menyimpang dari reaksi Samran.
"Aku, tuh, penasaran aja. Ibuk bakal bawa laptop sama HP aku atau nggak. Makanya belum tidur."
Samara melepas tas ranselnya,mengambil laptop dan juga ponsel Samran. Dua benda yang ia beli secara kredit, dan belum lunas sampai sekarang. Tak apa, sekali - kali memanjakan Samran. Toh anak itu tak menggunakannya untuk hal sia - sia.
"Sudah kuduga ... Ibuk emang the best!" Samran makin girang. "Makasih Ibukkkk!" Samran memeluk Samara dengan erat.
Karena Samara berdiri, dan Samran duduk bersandar dengan kaki berselonjor di ranjang, cowok itu hanya bisa memeluk kakaknya sebatas d**a dan pundak.
"Lebay!" Reaksi tanpa ekspresi khas ala Samara.
"Ayo makan kue dulu, Buk!"
Samara mengangguk, mengambil salah satu kue yang paling ingin ia makan. Samran pun melakukan hal yang sama.
"Ibuk dapet kue ini dari mana? Ini pasti mahal, kan?" Samran bertanya di sela - sela aktivitas mengunyah. "Ibuk nggak nyolong, kan?"
PLAK!
"Aduh ...." Samran mengelus kepala malangnya yang barusaja dikeplak oleh kakaknya sendiri. "Sakit, Buk!"
"Makanya jangan suka asal ngomong."
"Terus Ibuk dapet dari mana? Ya kali beli ... duit kerja berapa hari,tuh?"
Samara menggeleng. "Kerja keras!" katanya sembari menunjukkan otot lengan.
Samran tertawa seketika. Karena ukuran lengan Samara yang terlampau kecil. Geli rasanya melihat orang kurus pamer otot.
"Lho ... kok ditutup? Nggak makan lagi?" Samara terheran - heran melihat adiknya menutup kotak kue.
"Nanti lagi, Buk. Sekarang aku mau temu kangen sama laptop dan HP dulu," katanya sembari nyengir lebar dan meletakkan kotak kuenya di atas nakas.
"Cih ... dasar!"
Karena Samran sudah asyik dengan dua gadget - nya, Samara pun melakukan hal yang sama. Ia menonton video tutorial memasak di Youtube. Samara bercita - cita memiliki warung sendiri suatu hari nanti. Supaya tidak terus menerus menggantungkan hidup di warung si Janda Tua.
Sementara Samran melanjutkan desain logo kecap yang coba ia tiru bentuknya. Ia sudah melakukannya semenjak beberapa hari yang lalu. Sampai sekarang belum selesai.
"Manusia zaman sekarang ... padahal lagi ngumpul ... tapi sibuk sama gadget masing - masing ...."
Samara dan Samran segera menoleh ke sumber suara. Ternyata si Asmara. Sontak Asmara disambut tatapan tajam dua kakak beradik yang tengah sibuk belajar itu.
"Tanda kebodohan manusia ... menghakimi dan menuduh tanpa alasan. Hanya berdasarkan menilai dari sudut pandangnya sendiri. Tanpa mau tahu cerita sebenarnya dari sudut pandang lain." Samran yang menjawab.
Asmara mengernyit. Ia dengan percaya diri naik ke brankar, duduk bersandar pada mahkota brankar, lalu menyelonjorkan kaki seperti Samran. Seakan tak peduli dengan tatapan sengit dari dua kakak beradik yang ia datangi.
"Maksud kamu apa?" tanya Asmara setelah merasa nyaman dengan posisi duduknya.
"Ya ... seperti yang kamu lakukan barusan. Orang pegang HP langsung dihakimi, dikatai, dihina. Padahal kamu nggak tahu apa yang sebenarnya kita lakukan dengan HP ini. Mana tahu lagi kerja, belajar, atau bahkan menyelamatkan dunia. Mikir, dong!"
Asmara mencebik. "Coba lihat!" Ia mengintip layar ponsel Samran. Mengernyit melihat desain yang ia kerjakan. "Apaan, tuh?"
"Seni!"
"Seni apaan?"
"Bego, deh. Seni desain! Duh ... jadi mikir ulang buat nyetujuin kamu pacaran sama Ibukku."
"Eh, jangan, dong!"
"Bego, sih!"
"Ampun, Adek Ipar ... ampun ...." Asmara menyatukan kedua tangan tanda sungguh - sungguh minta ampun."
"Orang - orang kayak kamu, tuh, perlu diberantas. Suka menghakimi seenak jidat. Saat yang dihakimi udah sukses, baru deh kejang - kejang! Dasar kotoran dunia!"
"Ampun, Adek Ipar ... udah minta maaf masih diomelin juga!" Asmara memasang kitty eyes terbaiknya sembari merangkul Samran.
"Iyuh ... jijik ... cuih ...." Samran berusaha melepaskan diri dari rangkulan Asmara.
"Sam ... adek kamu, nih ...." Ia malah laporan pada Samara.
Samara masih merasa aneh dengan panggilan nyeleneh dari Asmara. Seumur - umur baru satu orang ini yang memanggilnya seperti itu.
"Lagi sibuk." Samara cuek, lanjut melihat video masak.
"Aish ...." Asmara mencebik pasrah. Namun tak menyerah agar ia mendapat ampunan dari sang calon adik ipar.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
-- T B C --