Sabtu Minggu Libur

2070 Words
Dua pasien itu berbaring dalam brankar yang sama. Samran dan Samara memaksa Asmara untuk berbaring meskipun yang bersangkutan bersikeras mengatakan dirinya baik - baik saja.    "Mana ada orang baik - baik aja yang napasnya ngap? Mana tangan kamu gemetar terus." Begitu lah cara Samran melempar skakmat supaya Asmara menurut.    Asmara menatap Samara untuk meminta persetujuan. Setelah gadis itu mengangguk, barulah ia menurut.    Asmara belum bisa mengalihkan padangan dari Samara. Gadis itu sama sekali tak berbicara semenjak kedatangannya. Hanya tiba - tiba memeluknya dan menangis. Asmara hanya ingin memastikan gadis itu baik-baik saja.    "Sebenernya kamu sakit apa?"    Ah ... akhirnya Samara berbicara. Membuat Asmara lega. Gadis itu sama sekali tak menatapnya ketika bertanya. Tapi pastilah pertanyaan itu ditujukan padanya, kan?    Samara menunduk dalam. Namun Asmara bisa melihat rautnya yang sembab. Hidungnya masih merah karena menangis tadi. Matanya pun masih bengkak. Namun dengan penampilan seperti itu, justru membuat Samara terlihat semakin manis.     "Mau cerita sejarahnya, atau langsung ke inti?" tanya Asmara.    Samran dan Samara saling bertatapan. Penyakit pun ada sejarahnya, ya?    "Langsung ke inti aja, biar cepet!" Samran yang menjawab.    "Jangan kaget tapi, ya. Soalnya orang - orang biasanya kaget gitu," peringat Asmara.    "Eh, kaget!" pekik Samran sembari memegangi dadanya. Ia tertawa geli setelah melakukan hal itu. Disusul tawa kecil Samara dan juga Asmara.    "Belum juga ngomong, udah kaget aja kamu!" ucap Asmara di sela tawanya.    "Habisnya muka Ibuk tegang banget kayaknya. Khawatir banget gitu!" Samran melirik Samara yang kini tengah berusaha mati - matian menormalkan kembali mimiknya.    Samara bingung sebenarnya. Apa benar kekhawatirannya nampak jelas? Tapi bukan kah wajar jika ia khawatir dengan kondisi seseorang yang peduli pada keluarganya.    Ia ingin marah pada Samran karena menggodanya. Ia malu. Tapi di lain sisi, Samara juga tak mengerti kenapa ia harus malu?    Asmara tersenyum menatap reaksi Samara atas godaan adiknya sendiri. Tampang Samara tetap datar, namun salah tingkahnya tersirat jelas. Dan itu sangat imut menurut Asmara.    Hanya dengan Samara bersikap seperti itu, sudah cukup membuat Asmara bahagia. Sesederhana itu untuk merasa bahagia.    "Lanjutin ceritanya, Mara! Jangan dengerin Samran!" Samara nampak sudah tak sabar mendengar cerita Samara.    Kamuflase dari kesalahtingkahannya, yang segera diketahui oleh Asmara sekaligus Samran. Samran tertawa sekali lagi. Sementara Asmara menyikutnya, tak ingin Samara malu berkelanjutan yang akan membuat keakraban mereka menjadi canggung. Asmara tak mau itu.    Asmara buru - buru menjawab pertanyaan Samara. "Kanker ...." Asmara memberi jeda cukup panjang. Merasa tak yakin akan mengatakannya, sebab reaksi berlebihan dari orang - orang yang bertanya lebih dulu.    Asmara menatap Samara dan Asmara bergantian. Raut penasaran mereka memicunya untuk segera lanjut menjawab. "Kanker payudara."    Sesuai dugaan Asmara, ekspresi wajah Samara dan Samran langsung berubah. Mata mereka membulat saking terkejutnya.    "Jangankan kalian, aku sendiri juga kaget waktu penyakit itu pertama kali terdeteksi." Asmara terkikik, berusaha mencairkan suasana. Berusaha membuat Samran dan Asmara tetap merasa nyaman untuk menanyakan apa pun seperti sebelumnya — saat mereka belum tahu menahu tentang penyakitnya.    "K - kok bisa, sih?" Samran akhirnya sanggup berkata - kata kembali.    "Bisa. Karena laki - laki juga memiliki kelenjar p******a, sama seperti perempuan. Bedanya punya laki - laki nggak bisa berkembang." Asmara menjelaskan.    "Jadi karena itu juga kamu nggak boleh makan makanan manis?" Samran lanjut bertanya.    "Bukan. Kalau itu karena dari lahir aku punya riwayat diabetes."    Samran dan Samara saling berpandangan. Kanker p******a ... diabetes ....    Asmara tersenyum. "Makanya tadi aku tanya, kalian mau langsung pada intinya, atau sejarahnya dulu." Cowok itu lagi - lagi terkikik. "Dari lahir aku terjangkit diabetes. Meskipun begitu, aku masih bisa beraktivitas normal seperti anak - anak lain. Bedanya cuman nggak bisa bebas makan manis, suntik insulin, minum obat, dan lain - lain.    "Waktu aku kelas 12, ada benjolan gitu di d**a aku. Aku biarin aja, eh, lama - lama tambah gede. Akhirnya aku beraniin diri untuk bilang ke mami papi. Ternyata benjolan itu adalah tumor yang bisa bermetastasis. Awalnya hanya di salah satu sisi d**a, lama - lama menyebar dua - duanya. Aku udah melakukan banyak banget pembedahan. Kalian pernah denger tentang mastektomi?"    "Apa itu mastektomi?" Samran lagi - lagi yang bertanya.    Belum juga Asmara menjawab, ada suara lain yang menginterupsi.     "Mastektomi adalah pengangkatan p******a secara keseluruhan. Baik salah satu, ataupun keduanya," ucap Samara. "Pelajaran biologi tadi siang."    Asmara mengangguk. "That's right. Punyaku dua - duanya udah nggak ada."    Samran kembali terlihat sangat terkejut. "Oh, ya?" Tanpa sadar ia menatap piyama Asmara pada bagian dadanya.    Asmara menutup bagian dadanya dengan kedua tangan. Seakan - akan ia adalah wanita, dan Samran adalah laki - laki kurang ajar. "Jangan, Oom. Adek masih SMP, Oom."    Tawa Samran pecah seketika. Pun demikian Samara, meskipun tak sekeras Samran. Asmara tanpa sadar ikut tertawa bersama Samara. Tawa yang indah. Benar - benar indah. Asmara tak bohong.     Asmara kembali beralih pada Samran. "Kamu mau lihat?"    Tawa Samran seketika terhenti. Ia berubah gugup. "L - lihat apa?"    "Jangan pura - pura bego. Ntar bego beneran, lho!" ancam Asmara.    Samran masih nampak terguncang. Jujur ia sangat penasaran. Tapi apa iya ia benar - benar harus melihat? Samran menggeleng cepat. Membayangkannya saja Samran tak tega. Apalagi sampai melihat betulan.    "Kamu pakai oksigen ke mana - mana juga karena penyakit itu?" Samran menanyakan hal lain supaya Asmara melupakan topik tentang mastektomi.    Asmara menggeleng. "Udah masuk ke tahap sejarah lanjutan."    "Maksudnya?"    "Setelah mastektomi dilakukan, aku dinyatakan bebas dari kanker. Hanya saja pemulihanku makan waktu cukup lama, tentu aja karena diabetesku. Setelah penantian panjang untuk pulang, masa bersenang - senangku di rumah sama sekali nggak lama. Aku tadi udah bilang tumor itu bisa bermetastasis, kan? Meskipun mastektomi sudah dilakukan, nyatanya tumor itu masih bisa tumbuh kembali. Menyebar ke paru - paru aku. Dan beginilah aku sekarang."    "Tapi terakhir kali kamu ke sini, kamu nggak pakai oksigen ini, kan?"    Asmara mengangguk. "Ini akibat dari kebandelanku. Karena aku nggak nurut sama omongan dokter dan suster."    "Ish ... udah tahu sakit, masih berani bandel!" Samran malah memarahi Asmara.    Asmara tetaplah Asmara, yang tak akan pudar senyumnya meski dimarahi dengan model apa pun.    Samara menatap Asmara tak berkedip. Ia tahu apa pantangan yang dilanggar oleh Asmara sampai - sampai kondisinya bertambah parah seperti sekarang.    Takjub.    Itu yang Samara rasakan. Begitu banyak yang Asmara lalui — sakit bertubi - tubi. Tapi dengan ajaibnya ia tetap menjadi pribadi yang ceria. Menjalani tahap demi tahap pengobatan dengan semangat. Seakan tanpa beban. Bagaimana seseorang bisa menjadi sekuat itu?    "Kalau kamu ...." Asmara kembali bicara pada Samran. "Kamu sakit apa? Kenapa harus pakai kursi roda ke mana - mana?"    Samran berdeham, bersiap untuk menceritakan tentang dirinya. "Menurut cerita Ibuk — mengingat aku nggak inget kejadiannya — dulu aku sering demam tinggi. Sampai step. Tapi karena kondisi keluarga kami serba kekurangan, juga orang tua kami yang bermasalah, aku nggak dapet perawatan yang baik. Ibuk juga sama - sama masih kecil. Jadi belum ngerti juga harus berbuat apa.    "Karena sering step, lama - lama aku jadi nggak bisa jalan. Syaraf motorik aku udah kena. Gerak pun sulit. Duduk sebentar bisa, kalau terlalu lama punggung sakit. Aku dibawa ke pengobatan alternatif. Bukannya membaik, malah makin parah. Seiring berjalannya waktu, kaki aku jadi menyusut ukurannya."    Samran menaikkan celananya sebatas lutut, hingga Asmara bisa melihat kedua kaki jenjangnya yang berukuran kecil. Sekilas kedua kakinya terlihat normal. Hanya saja memang terlalu kecil jika dibandingkan dengan kedua kaki panjangnya.    Asmara penasaran ... kalau berdiri anak ini pasti cukup tinggi, kan?    "Pernah ngukur tinggi badan, nggak?" tanya Asmara, menyimpang dari topik pembicaraan. Ia hanya penasaran.    "Pernah, diukur sama suster waktu check up terakhir."    "Berapa tinggi kamu?"    "Seratus delapan puluh senti."    "Wuih ...." Kedua mata Asmara membulat. Ia lalu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Samran.    Samran sebenarnya tak mengerti kenapa Asmara tiba - tiba mau berjabat tangan dengannya. Tapi ia tetap saja menyambut uluran tangan itu.    "Tinggi kita hampir sama, Bro!" celetuk Asmara. "Aku 183 cm. Kamu masih 15 tahun, kan? Masa pertumbuhan kamu masih cukup panjang, tuh. Bisa - bisa nanti tinggi kita benar - benar sama. Atau justru kamu bakal lebih tinggi dari aku."    Oalah ... ternyata karena itu.    "Emang kalau jodoh, tuh, ada aja hal - hal mirip yang menghubungkan. Tinggi calon adek iparku hampir sama kayak aku. Satu lagi kode dari Tuhan bahwa aku sama Samara benar - benar ditakdirkan bersama." Asmara bicara panjang lebar, seperti orang ngelindur. Habisnya bicaranya terlalu ngelantur.    Samran menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Tentu saja karena sikap Asmara yang terlalu berlebihan menghubung - hubungkan sesuatu.    Samran hanya tak menyadari, kakaknya tengah tersenyum berkat kata - kata Asmara yang ia anggap ngelindur dan ngelantur.    "Terus ... kamu dirawat di sini juga berhubungan sama kondisi kaki kamu, atau ada hal lain?" Asmara melanjutkan fokus obrolan mereka.    "Ada hal lain. Udah cukup lama, aku masih kelas tujuh kalau nggak salah. Aku mulai sering mimisan, sering pingsan, sering muncul ruam - ruam di kulit aku. Pingsan yang terakhir aku nggak bangun selama 12 jam. Akhirnya Ibuk bawa aku ke rumah sakit. Ternyata kanker darah. Stadium dua waktu pertama didiagnosa.    "Aku sama Ibuk sama - sama bingung harus gimana. Kami sama - sama masih kecil, orang tua kami udah nggak ada semua. Ibu kami meninggal saat aku kelas 3 dan Ibuk kelas 4. Bapak meninggal saat aku kelas 6 dan Ibuk kelas 7. Untungnya dokter - dokter banyak membantu kami. Jelas mereka merasa iba dengan kondisi kami. Mereka menolong kami berurusan dengan asuransi untuk pengobatan aku.    "Sejak saat itu aku berhenti sekolah. Hanya Ibuk yang lanjut sekolah, juga sekaligus kerja keras untuk menyambung kehidupan kami. Makanya aku sering banget ngerasa bersalah karena nggak bisa bantu apa - apa. Aku cari tahu hal - hal yang sekiranya bisa aku lakukan tanpa repotin Ibuk ataupun orang lain. Ya belajar desain itu."    Asmara mengangguk mengerti. Sebegitu panjang dan beratnya perjuangan kakak beradik di hadapannya ini.    Asmara menatap Samara yang kini tengah menggenggam jemari Samran. Berusaha menguatkan sang adik, setelah dengan berani bercerita tentang kehidupan mereka yang pilu.    Kagum.    Itu lah yang dirasakan Asmara.    Bagaimana seseorang bisa begitu tangguh?    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    Samran akhirnya tertidur. Asmara masih berbaring di sampingnya. Dan Samara masih duduk dalam diam.    "Aku balik ke kamar, ya," ucap Asmara.    "O - oh ... i - iya." Samara tergagap, karena kaget sekaligus gugup. Kaget karena Asmara tiba - tiba memecah sunyi. Gugup karena ... entah lah, Samara pun tak tahu.    Asmara berusaha bangkit dari pembaringannya. Ia terlihat kesulitan. Samara bergegas beranjak untuk membantunya.    "Makasih," ucap Asmara tulus.    Samara masih fokus memegangi Asmara, seakan - akan takut ia akan jatuh jika dilepas. "Laptop kamu nggak dibawa?" tanya gadis itu karena Asmara tak mengambil laptopnya di atas nakas.    "Biar di sini aja. Biar gampang, nggak usah bawa naik turun lantai."    Samara mengangguk mengerti. "Aku anter kamu sampai ke lift, ya."    Asmara tersenyum. "Bukannya cuman turun satu lantai?"    Samara menunduk. Teringat tempo hari kala Asmara mengajaknya naik dengan lift, tapi ia malah memilih lewat tangga. "Maaf, waktu itu aku nggak tahu kondisi kamu."    Asmara mulai menyeret tiang infus khususnya. Dengan Samara yang berjalan di sampingnya. "Lho, kamu beneran ikut?"    Samara mengangguk. "Uhm ... sebenernya aku mau ngomong sesuatu."    "Tentang?"    Samara menarik napas dalam. Memberanikan dirinya mengungkapkan isi hati. "Kapan hari aku denger obrolan seorang suster dan pasien yang bandel. Setelah denger cerita kamu tadi, aku langsung tahu kalau ternyata pasien bandel itu adalah kamu."    Asmara terkikik. Tak menyangka jika kebandelannya ternyata sudah ketahuan lebih dulu oleh Samara.    "Jadi ternyata kamu nggak boleh keluar malem - malem, kan?" tanya Samara.    Asmara mengangguk. "Karena udara di malam hari mengandung kadar air yang tinggi. Dan itu nggak baik buat paru - paruku."    "Huum. Karena itu lah ... gimana kalau mulai besok kamu siang aja ngajarin Samran desain? Demi kesehatan kamu sendiri."    Asmara cemberut. "Nggak mau."    "Kenapa?"    "Kalau siang nggak ada kamu."    Wajah Samara memanas. Ada sensasi senang yang asing dalam hatinya. "T-tapi ... tetep nggak boleh korbanin kesehatan kamu."    "Terus gimana, dong?"    Samara buru - buru memutar otak. Mencari cara agar ia dan Asmara tetap bisa saling bertemu. Karena jujur Samara sendiri juga ingin sering - sering bertemu Asmara. "Kita masih bisa ketemu ... saat weekend. Kan aku libur sekolah."    "Yah ... weekend doang?"    "Sekolahku full day. Sabtu Minggu libur. Lumayan lah, seminggu dua kali. Dari pada enggak sama sekali."    Asmara berdecak kesal. "Enak ya sekolah zaman sekarang. Liburnya dua hari." Tampang Asmara masih nampak kesal. "Ya udah deh, dari pada enggak ketemu sama sekali."    Samara terkikik berkat reaksi lucu asmara. Keduanya berpisah di lift. Asmara melambai kecil seraya tersenyum dari dalam benda balok yang mengantarnya turun. Samara dengan canggung membalas lambaian itu. Juga senyum itu.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    -- T B C --   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD