Merasa Bisa Percaya

1355 Words
Dokter dengan tinggi rata - rata, dan juga tubuh kurus itu melenggang memasuki Merkurius 9. Dokter Ahkam namanya. Dokter yang menangani Samran sejauh ini.    Sebelum Samara menyadari kedatangan dokter itu, Samran segera melancarkan sebuah aksi.    "Aduh ..., Buk. Aku pusing." Samran memegangi kepalanya.    "Lhah ... barusan nggak apa - apa kok tiba - tiba pusing?" Samara bingung tentu saja. Gadis itu langsung sibuk menyentuh kening, leher, dan juga jemari adiknya. Suhunya masih sama kurang lebih. Tidak naik, tidak turun, ataupun perubahan signifikan yang lain.    "Aku tidur, ya, Buk," pamit Samran.    "Iya ... iya .... Tidur aja, deh." Samara menepukb- nepuk kecil lengan adiknya agar Samran bisa tertidur segera.    Asmara mencebik. Entah terlalu dini atau tidak untuk berpikir seperti ini. Tapi ia juga ingin di - puk - puk oleh Samara. Serius!    "Selamat malam ...," sapa dokter Ahkam.    Samara menoleh, segera mengangguk hormat pada dokter Ahkam. Asmara pun melakukan hal sama. Bedanya ia tetap dalam posisi duduk di pinggiran brankar Samran.    "Lho ... Mara .... Ngapain di sini?" Dokter Ahkam terheran - heran mengetahui Asmara ada di sini.    Asmara hanya cengengesan sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Sosialisasi, Dok!" jawabnya asal namun benar.    Dokter Ahkam tergelak. "Ya bagus lah .... Dari pada kamu ngelamun melulu di kamar. Bisa kesurupan jin kakek, nenek, emak, bapak, se - cucu - cucunya." Dokter Ahkam terpingkal sampai memegangi perut.    Disambut hangat oleh Asmara dengan tawa yang tak kalah menggelegar.    Disambut tatapan tajam dari pasien - pasien dan para penunggu di brankar - brankar sebelah yang merasa terganggu.    Disambut tatapan heran dari Samara. Pertama, heran dengan selera humor sepasang dokter dan pasien itu. Kedua, heran karena lagi - lagi ada tenaga medis yang mengenal Asmara.    "Selamat malam, Samara!" sapa dokter Ahkam setelah sadar dari kekhilafan — terpingkal - pingkal seperti tak ada hari esok.     Dokter Ahkam berdeham mengakhiri sapaannya. Lalu tak lupa memasang tampang cool.    "Malam, Dok!" balas Samara segera. "Gimana keadaan adik saya, Dok?"    "Dari pemeriksaan yang kami lakukan, kondisi Samran sebetulnya baik - baik saja. Penyakitnya tidak menunjukkan perkembangan berarti."    "Lalu kenapa tadi dia pingsan?"    "Itu dia masalahnya. Samran pingsan karena ia melewatkan minum obat. Seandainya tidak kelewatan, pasti tidak akan sampai kesakitan, apalagi pingsan."    Samara hanya mengangguk tanda mengerti. Sesekali Samara melirik Samran di sebelahnya. Sebuah lirikan tajam. Kini ia paham kenapa Samran tiba - tiba merasa pusing dan pamit tidur. Anak itu pasti sudah melihat kedatangan dokter Ahkam. Ia takut ketahuan tidak minum obat!    "Kondisi Samran saat ini sudah cukup stabil. Jika tidak ada keluhan lain, mungkin dua sampai tiga hari ke depan sudah boleh pulang," lanjut dokter Ahkam.    "Iya, Dok. Terima kasih," jawab Samara singkat.    "Ya sudah, Samara ... Asmara ...." Dokter Ahkam menaikkan sebelah alis. Seperti baru menyadari sesuatu. "Eh ... nama kalian mirip, ya! Hihi ... jangan - jangan ...." Dokter Ahkam menatap nakal pada Samara dan Asmara secara bergantian.    Duh ... Samara sampai bosan. Kali ketiga dalam satu malam, ia mendapat komentar bahwa namanya mirip dengan Asmara. Pertama dari Asmara sendiri, kedua dari Samran, dan ketiga dari dokter Ahkam. Semoga tidak ada yang keempat, kelima, dan seterusnya.    "Aku aminin, ya, Dok!" sahut Asmara. "Aamiin, Ya Allah!" ucapnya sembari menengadahkan kedua tangan.    "Ecieee ... si Mara mau. Sayangnya Samara nggak ada tanggepan!" Tawa dokter Ahkam kembali menggelegar memecah malam.    Andai ia bukan dokter, pastilah pasien - pasien di sebelah sudah memencet tombol emergency, minta dipanggilkan security.    "Dia bukannya nggak ada tanggepan, Dok!" Asmara tidak terima. "Cuman belum. Bentar lagi!"    Dokter Ahkam mengangguk - angguk. "Yah ... semoga, deh!"    Dokter Ahkam menelisik Samara dari ujung kaki sampai kepala. Terakhir memperhatikan wajah datar gadis itu yang kini tengah menatapnya aneh.    "Kamu harus pantang menyerah dalam berjuang, Mara. Karena dia sepertinya sangat sulit didapetin," gumamnya.    "Huum ...." Asmara tak mengelak. "Justru itu letak tantangannya, Dok."    Dokter Ahkam terkikik. "Saya ucapkan selamat berjuang, ya, Mara! Fighting!" Dokter Ahkam sampai mengepalkan tangan ala fangirl Korea yang memberi semangat bias - bias mereka, alias para Oppa.    "Ya udah, saya pamit duluan!" Dokter Ahkam menepuk bahu Asmara pelan. Lalu beralih pada Samara. "Saya pamit, ya, Samara!"    "Iya, Dok. Terima kasih."    Dokter Ahkam melenggang pergi dengan tenang. Asmara masih sibuk menatap Samara sembari tersenyum. Berharap gadis itu akan me - notice - nya, lalu balik tersenyum padanya. Sayang, Samara tetaplah Samara.    Ia tak menanggapi apa - apa. Tampangnya tetap datar. Lalu kembali fokus menatap Samran. Samara tak ragu memukul bahu adiknya dengan cukup keras. Di mana hal itu membuat Asmara terkejut setengah mati.    "Buka mata kamu, Dek! Aku tahu kamu nggak tidur!"    Samran belum memberi tanggapan.    "Dek ... bangun! Atau aku bakal jual laptop sama HP kamu sekarang juga!"    "Ha? Jangan, Buk!" Samran langsung membuka mata dan histeris.    Samran mendapati muka marah Samara. Sebuah pemandangan yang sebenarnya tetap indah. Sayang, aura Samara saat sedang seperti ini selalu menyeramkan. Bahkan hantu sadako bernama Samara dalam film 'The Rings' kalah seram dalam level telak.    "Buk ... jangan marah, ya! Please ...." Samran menyatukan kedua telapak tangannya tanda minta maaf dari hati yang terdalam. Ia memasang kitty eyes terbaiknya, salah satu usaha agar Samara tidak marah lagi. Sayangnya tidak berhasil.    Asmara masih setia menjadi pengamat sekaligus penonton dari interaksi dua kakak beradik yang kini mulai terlihat serius.    "Kenapa kamu sampai telat minum obat?" Nada tanya Samara terdengar dingin.    "A-aku ...."    "Kenapa, sih, Dek? Kenapa kamu balik kayak dulu lagi? Nggak apa - apa kamu nggak hargain usaha aku. Namun seenggaknya kamu harus bertanggung jawab demi kesehatan kamu sendiri! Kamu harusnya jauh lebih dewasa sekarang."    "B - Buk ... aku minta maaf banget." Samran merasa amat bersalah. Hatinya sakit melihat Samara menangis.    Kakaknya itu jarang sekali menangis meskipun banyak tempaan hidup yang terlalu berat untuk dipikul dua lengan kecilnya. Jika ia sampai menangis, pastilah kesakitan yang ia rasakan sudah jauh melampaui ambang batas yang bisa ia tanggung.    "Maaf karena nggak jujur sama Ibuk," lanjut Samran. "Sebenernya obat aku habis dari kemarin, Buk. Makanya aku nggak minum."    Samara terhenyak. Ia masih menatap Samran, namun pandangannya telah melunak. Airmatanya masih menetes tak terkontrol. "Harusnya kamu bilang sama aku, Dek," ucap Samara di tengah isakannya.    "Aku pengin banget bilang, Buk. Tapi rasanya sangat sulit. Obat aku harganya cukup mahal kalau langsung beli di apotek. Kecuali kalau aku masuk UGD dulu baru ntar kita dapet gratis. Atau kita harus antre seharian di klinik buat dapet gratis juga. Aku pergi sendirian nggak bisa, harus sama Ibuk. Padahal Ibuk harus kerja siang malem. Harus sekolah. Ibuk capek sendirian ngerjain segala hal. Tapi aku? Aku cuman bisa diem. Nggak bisa bantu apa - apa, kecuali ngabisin hasil jerih payah Ibuk."    "Dek ...." Samara menggenggam jemari Samran. "Aku kerja demi kamu. Pagi aku sekolah, buru-buru ngerjain tugas sekolah dan tugas rumah, habis itu kerja sampai malem, bahkan sampai pagi. Semuanya demi kamu. Aku ngelakuin itu semua tanpa beban. Tanpa merasa keberatan. Kamu bukannya nggak ngelakuin apa - apa. Cukup kamu tetap sehat dan bahagia. Sudah cukup. Karena aku ngelakuinnya demi adek aku, satu - satunya orang yang bikin aku semangat hidup ... sampai detik ini. Jadi aku rasa semuanya sudah setimpal."    "Sekali lagi maafin aku, ya, Buk!"    Jemari Samara tergerak untuk menghapus likuid bening yang baru saja jatuh menuruni pelipis Samran. "Jangan nangis, ya, Dek. Udah ... nggak apa - apa, asal jangan diulangi lagi."    "Pokoknya maafin aku."    Samara tersenyum mendengar ucapan maaf tulus dari sang adik. Meski di dalam sana hatinya sangat sakit. Samran memikirkan segala hal sampai sejauh itu. Ia pun merasa bersalah. Sangat sangat merasa bersalah.    Seketika ia teringat saat ia dan Samran sarapan tadi pagi. Saat itu Samran terlihat memikirkan sesuatu. Pasti anak itu memikirkan bagaimana caranya mengatakan pada Samara tentang obatnya yang habis. Harusnya Samara lebih peka.    Sebuah sentuhan jemari di pipi membuat Samara menoleh. Seseorang baru saja menghapus air matanya.    Tak hanya Samara, namun Samran pun turut menoleh. Menatap cowok asing bernama Asmara, yang kini dengan telaten menghapus sisa - sisa airmata kakaknya.    Asmara yang sedari tadi menampakkan sisi cerianya, kini terlihat begitu murung. Sorot matanya sendu, menatap lurus pada dua manik hitam Samara yang masih berkaca - kaca.    Samran belum banyak mengenal cowok asing itu. Namun entah mengapa, Samran merasa bisa mempercainya.    ~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~    -- T B C --   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD