Chapt 6. Quietness, Even Closer

3104 Words
*** Royal Lamond Corporation, New York, USA., Ruangan kerja., Pagi hari.,             Jarum jam menunjukkan pukul 10 pagi menjelang siang.  Dia baru saja selesai membereskan semua berkas-berkasnya.             Kancing jas hitam pekatnya terbuka. Tangan kanannya masih memegang pena hitam. Dengan begitu teliti dia mengecek semua berkas-berkas penting yang akan menjadi bahan rapatnya hari ini. Tokk… Tokk… Tokk…             Suara ketukan pintu tidak mengalihkan kedua matanya. Namun suara baritonnya keluar. “Masuk.” Jawabnya dari dalam ruangan. Namun dia masih berfokus pada kegiatannya disana. Ceklek…             Pintu ruangan terbuka. Masuklah seorang pria bersetelan formal. Dia mendekati Tuannya, Enardo. “Tuan, rapat akan dimulai 30 menit lagi. Masih ada waktu untuk menyiapkan apapun yang menurut Anda ada yang tidak lengkap.” Jelas pria itu, Jack. Dia berdiri di depan meja kerja Tuannya, Enardo.             Enardo tidak membalasnya dan hanya diam saja. Dia menutup semua berkas-berkasnya. Dan menyodorkannya ke depan. “Sudah lengkap.” Jawabnya singkat.             Jack menganggukkan kepalanya. Dia membereskan semua berkas-berkas yang ada disana.             Enardo kembali membuka suaranya. “Dimana dia ?”  Tanya Enardo.             Jack tahu siapa yang dimaksud oleh Tuannya. Dia langsung menjawabnya. “Di mansion, Tuan …” “Setelah kembali dari Green-Wood Cemetery, saya mengantar Nona Aishe kembali ke mansion. Setelah itu saya menuju kesini.” Jawabnya menjelaskan.             Dia tidak paham dengan jalan pikiran Tuannya sejak wanita berambut emas itu tinggal di mansion. Tentu saja dia membawa Aishe kembali ke mansion. Tidak mungkin dia membawanya ke kantor atau meninggalkannya sendirian di jalanan.             Oh, sungguh. Dia melihat Tuannya mulai tidak beres. Sebab sikapnya justru membuatnya ingin melepas tawa. Namun tidak mungkin, sebab dia tidak mau terkena resiko apapun.             Enardo hanya diam tanpa ekspresi mendengar jawaban dari sekretaris pribadinya, Jack. Dia mengambil ponselnya, dan menggerakan kedua jemarinya bermain disana. “Jangan beri dia pekerjaan apapun.” Ucapnya lagi seraya memberitahu Jack.             Jack menganggukkan kepalanya. “Baik, Tuan.” Jawabnya cepat. Takk… Tokk… Takk… Tokk… “Dia siapa ? Dan pekerjaan siapa ?” Tanya seseorang yang mulai berjalan menuju meja kerjanya.             Enardo langsung mendongakkan kepalanya, menoleh ke sumber suara. … Pintu utama.,             Mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan gedung mewah bernuansa berlian. Dan dua petugas yang ada disana segera mendekati mobil itu, dan membuka pintu mobil dari kedua sisi. “Selamat pagi, Tuan …” “Selamat pagi, Nyonya …”             Seorang pria dengan jas dingin berwarna hitam. Dia turun dari mobil, dan langsung mendekati wanita yang memakai jas dingin berwarna coklat muda. Dia merangkul wanita cantik berambut emas itu untuk berjalan memasuki gedung mewah yang mereka kunjungi.             Para pekerja pria dan wanita menyapa ramah dan menunduk hormat kepada dua orang yang baru saja turun dari mobil. Dua orang itu langsung masuk ke dalam gedung.             Dan tentu saja jalan mereka dipimpin oleh dua orang pegawai cantik, pekerja Royal Lamond Corporation. Mereka menuntun dua orang penting itu untuk masuk ke dalam lift pribadi. Ting! … Ruangan kerja., “Dia siapa ? Dan pekerjaan siapa ?”             Enardo langsung mendongakkan kepalanya, menoleh ke sumber suara. Dia langsung beranjak dari duduknya.             Jack, dia segera membereskan semua berkas-berkas itu. Dan langsung menundukkan kepalanya untuk menghormati dua orang yang masuk ke dalam ruangan Tuannya melalui lift khusus yang ada di ujung sana. “Selamat pagi, Tuan … Nyonya …”             Mereka berdua menganggukkan kepalanya. “Selamat pagi, Jack.” Jawab wanita berusia 55 tahun itu tersenyum padanya. Lalu beralih menatap pria bersetelan formal, yang kini berjalan ke arahnya. “Selamat pagi, Jack. Bagaimana dengan keadaan disini ?” Tanya pria itu melontarkan pertanyan kembali untuk Jack. Dia berjalan menuju kursi yang berada di depan meja kerja sang putra.             Yah! Mereka, Ardocio Ottar Palguna dan Enaly Samantha Ottar Palguna. Kunjungan mereka ke perusahaan yang sekarang sudah menjadi milik putra semata wayang mereka, Enardo Ottar Palguna, merupakan kunjungan kedua setelah sang putra mengambil alih perusahaan ini.             Ardo dan Enaly memang tidak sering berjumpa dengan putra mereka. Mengenal sifat putra semata wayang mereka yang memang keras kepala dan tidak bisa diatur membuat mereka hanya bisa diam dan menasehatinya tanpa memaksa sang putra untuk melakukan apa yang mereka pinta. Sebab masalah beberapa tahun yang lalu juga belum menemukan titik terang. Sehingga putra mereka menjadi seperti ini.             Enardo mendekati sang Mommy. Merangkul kedua pinggangnya. Dia merundukkan kepalanya, mengecup pipi kanan dan kirinya, lalu mengecup keningnya. “Kenapa tidak memberi kabar jika mau datang kesini ?” Tanya Enardo dengan senyuman hangatnya. Dia sedikit melirik ke arah sekretaris pribadinya, Jack.             Karena dia tahu, kedatangan orang tuanya ke New York pasti memiliki alasan yang kuat. Sebab biasanya, dirinya akan singgah ke Los Angeles apabila ada perjalanan bisnis. Jika tidak, maka dia tidak akan bertemu dengan keluarganya yang memang bertempat tinggal di Los Angeles, California.             Ardo hanya diam melihat interaksi antara Ibu dan anak yang masih melepas rindu setelah 1 tahun tidak bertemu. Karena putranya yang terus menerus menghindar dari mereka.             Sedangkan Jack, tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain diam. Tidak mungkin baginya untuk keluar dari ruangan, mengingat dua orang ini sangatlah penting.             Pria berusia 55 tahun itu sedikit mencubit pinggang sang putra. “Kenapa ?” “Apa Mommy tidak boleh datang kesini ?” “Apa harus izin lebih dulu ?” Tanya wanita yang akrab disapa Enaly.             Enardo mengulas senyuman tipisnya. “Tentu tidak, Mom. Hanya saja beberapa menit lagi aku harus menghadiri rapat. Dan aku tidak bisa menundanya.” Ucapnya lugas.             Enaly menatap lekat sang putra. “Mommy baru saja sampai di New York dan langsung kesini. Tunda dulu rapat kalian. Ada yang ingin kami bicarakan padamu.” Ucapnya sedikit melirik Jack seakan membuatnya paham jika mereka ingin membahas perihal penting. Dia membelai rahang sang putra yang terasa kasar. Dan sedikit merapikan rambut sang putra             Jack menganggukkan kepalanya seraya paham.             Ardo menghela panjang nafasnya. Dia beranjak dari duduknya. “Kau mau melanjutkan rapatmu ?” Tanya Ardo yang paham jika sang putra mencoba menghindari mereka. Dia menatap Enardo.             Enardo diam dan tidak berniat membalas kalimat sang Daddy. Dia membalas tatapan sang Mommy, Enaly. “Mom. Istirahatlah di penthouse. Aku akan kesana setelah rapatku selesai.” Ucapnya kembali mengecup kening sang putra.             Enaly tersenyum. Dia tahu jika putranya pasti akan bersikap seperti ini lagi pada mereka. “Baiklah. Kami akan pulang saja. Dan kau harus janji, kau harus menemui kami setelah ini.” Ucapnya. Tapi dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Oh iya, Sayang. Tadi kau bilang jangan beri dia pekerjaan apapun. Siapa ?” Tanya Enaly sedikit melirik Jack.             Enardo tersenyum. “Pekerja, Mom. Mommy tidak perlu memikirkan hal itu. Aku harus ke ruangan rapat sekarang.” Ucapnya lagi mengalihkan pertanyaan sang Mommy. Dia sedikit melirik Jack. Menyuruhnya untuk segera membawa berkas, menghindari keadaan yang tidak dia sukai ini.             Jack menganggukkan kepalanya. Dia langsung mengambil beberapa berkas yang masih tergeletak di meja kerja. “Rapat akan dimulai 5 menit lagi, Tuan.” Ucapnya seraya memberitahu, mengerti bahasa isyarat pria berwajah tampan itu.             Ardocio, dia kembali membuka suaranya. “Kami akan istirahat di mansion saja. Sudah lama sekali kami tidak kesana.” Ucapnya mendekati sang istri.             Enardo langsung menjawabnya. “Mansion sedang direnovasi. Kalian tidak akan nyaman disana.” Ucapnya. Dia kembali memeluk sang Mommy. “Aku akan menyuruh mereka untuk menyiapkan kamar di penthouse. Disana lebih nyaman.” Ucapnya meyakinkan wanita paruh baya berusia 55 tahun itu.             Ardo diam, menatap lekat sang putra.             Enaly tersenyum manis dan kembali membelai rahang kasarnya. “Ya sudah. Pergilah. Kami juga akan ke penthouse sekarang.” Ucapnya melirik sang suami.             Enardo mengangguk pelan. “Aku duluan, Mom. Mereka akan mengurus kalian.” Ucapnya lagi. Dia berjalan menuju lift yang ada di ujung sana.             Jack mengikutinya dari belakang. “Antarkan Tuan dan Nyonya Palguna ke penthouse Ottar Palguna.” Ucapnya seraya memerintah dua pegawai wanita yang berdiri disana. Dia sedikit melangkah cepat untuk menjangkau tombol lift.             Mereka menganggukkan paham, dan mendekati dua orang yang merupakan orang penting di perusahaan ini. Ting!             Mereka berdua masuk ke dalam lift.             Enardo sedikit mengendurkan ikatan dasi yang terasa mencekik lehernya saat ini. Tubuhnya mulai terasa panas. …             Ardocio dan Enaly hanya bisa menatap putranya yang sudah menghilang dibalik pintu lift yang tertutup rapat. “Putramu masih sama. Dan ini semua sudah salah sejak awal.” Ucap Enaly lalu melangkahkan kakinya menuju lift yang sama, yang ada di ujung sana.             Ardocio menghela panjang nafasnya. Dia mengikuti langkah kaki istrinya. Menyeimbangi langkahnya, merangkul pinggangnya.             Dia tidak bisa membalas kalimat istrinya. Karena dia sendiri juga bingung harus membalasnya dengan kalimat apa. …             Mereka sudah sampai di lantai tempat dimana ruangan rapat utama diadakan. Enardo kembali mengencangkan dasinya. Dia membuka suaranya. “Jaga ketat mansion …” “Jangan biarkan mereka datang ke mansion.” Ucapnya seraya memberitahu Jack. “Baik, Tuan.” Balas Jack mengangguk paham.             Dan Jack, dia segera mengotak-atik ponselnya. Mengirim pesan, menyampaikan apa yang diperintahkan oleh Tuannya, Enardo kepada para penjaga mansion. Pintu ruangan rapat sudah terbuka. Dia langsung masuk ke dalam. Semua orang berdiri menyambut kehadiran Boss besar mereka. “Selamat pagi, semuanya …” Sapa Enardo kepada semua petinggi di perusahaan utamanya. “Selamat pagi, Tuan.” Jawab mereka semua dengan kompak. “Silahkan duduk.” Ucap Enardo lagi.             Semua peserta rapat kembali duduk dan fokus pada materi rapat mereka. ..**..             Dia memulai rapat seperti biasanya. Dengan caranya sendiri, yang bahkan belum bisa diadaptasi oleh para pegawai kantornya. Karena sikapnya yang dingin dan tidak pandai berbasa-basi.             Walau dia tengah rapat, tapi pikirannya masih tertuju pada mansionnya. Sejak awal dia membangun mansionnya yang berada di New York, dia tidak pernah memperbolehkan satu anggota keluarganya untuk berkunjung ke wilayah mansionnya.             Selain memiliki banyak rahasia, dia juga tidak mau banyak pertanyaan dari sang Mommy karena ada kamar wanita di mansionnya. Apalagi ada Aishe sekarang.             Tentu saja keluarganya tahu jika mansionnya hanya untuk huniannya saja. Sementara tempat tinggal untuk para maid dan para bodyguard, dia sudah menyiapkan rumah kecil khusus di sekitar mansion. Dan masih berada di wilayahnya dengan luas tanah sampai 10 hektar.             Itulah sebabnya dia tidak mau 1 anggota keluarganya tahu mengenai dirinya. Termasuk sepupunya sekalipun. Hubungannya dengan para sepupunya pun tidak dekat seperti keluarga pada umumnya.             Di usianya menginjak 26 tahun ini, dia masih sama. Tidak menerima orang asing yang tidak bekerja sama dengannya. Atau yang bisa dia manfaatkan untuk suatu hal, apapun itu termasuk urusan pribadinya. *** Mansion Mr. Bandit, New York, USA., Balkon., Malam hari.,             Mereka berbincang sejak 1 jam yang lalu. Duduk di sofa kayu, saling berhadapan. Dengan beberapa dokumen berada diatas meja kayu berwarna coklat tua.             Minuman berwarna kuning dan bening, sudah tersedia di gelas kristal milik mereka masing-masing. Salah satu dari mereka mengambilnya, dan meminumnya. “Kau tahu, Dyrga tidak pernah berhenti untuk memantau urusanku. Dan itu membuatku sangat muak sekali.” Ucapnya sedikit tertawa sinis.             Yah! Dia Adyrta Abraham Althaf. Setelah menyesap minumannya, dia kembali memutar haluan bicara mereka ke arah lain. “Dia hanya ingin menjadikanmu pria baik-baik. Seharusnya kau mengikuti sarannya.” Ucap pria yang duduk berhadapan dengannya. Dia juga menyesap minumannya.             Enardo, dia sedikit memundurkan tubuhnya, bersandar pada sofa kayu itu. Kedua kakinya saling menyilang. Tangan kirinya masih memegang gelas kristal pendek.             Dyrta kembali menyeringai. “Hahh …” Dia menghela panjang nafasnya.             Kepalanya menengadah ke atas. Menatap langit yang ternyata sangat indah, sebab taburan bintang terlalu ramai diatas sana. Dia kembali melanjutkan bicaranya. “Dia beruntung, karena dia adalah Abangku.” Ucapnya kembali menyesap minumannya.             Enardo menyeringai, dan juga menatap lurus ke depan. Tanpa melihat Dyrta, dia tahu apa yang dimaksud oleh pria berpakaian hitam dengan celana pendek sebatas lutut. “Kalau tidak ?” Tanyanya lagi, melirik Dyrta sekilas Dyrta.             Dyrta melirik pria yang saat ini hanya memakai kaus berwarna abu-abu, dengan celana pendek berwarna senada, sebatas lutut. “Kau tahu aku tidak akan segan-segan menghabisi siapa saja yang mencoba mengalangi hobiku.” Ucapnya berwajah datar.             Enardo kembali tertawa mengejek. “Itu bukan jalan keluar. Dasar bodoh!” Ucapnya.             Dyrta melirik Enardo sekilas. “Itu justru jalan keluar terbaik. Jika saja aku tidak memiliki hati.” Ucapnya lagi seraya berkilah.             Enardo tertawa. “Tapi kenyataan mengatakan, kalau pria seperti kita memang tidak memiliki hati.” Ucapnya sedikit merenungi sesuatu.             Dyrta terdiam, dengan senyuman tipisnya. Mengerti dengan bahas Enardo barusan.             Mereka berdua saling menghela panjang nafasnya. “Kau pikir, cinta itu ada ?” Tanya Dyrta padanya.             Enardo mengendikkan kedua bahunya ke atas. “Entahlah. Mungkin ada. Tapi memiliki tanggal kadaluwarsa yang pasti.” Jawabnya lagi meneguk habis minumannya.             Dyrta menganggukkan kepalanya. “Aku pikir juga begitu …” “Mungkin hati hanya menerima cinta yang masih bisa dipakai.” Ucapnya disahut cepat oleh Enardo. “Dan semua cinta pasti memiliki tanggal kadaluwarsa.” Sahut Enardo.             Dyrta melirik Enardo sekilas. Dia menganggukkan kepalanya. “Sayangnya aku tidak pernah mempercayai cinta lain, selain cinta Ibuku.” Ucapnya lalu menegakkan tubuhnya. Menjangkau satu botol kristal berisi cairan kuning bening.             Enardo terdiam. Selang beberapa menit, dia kembali membuka suaranya. “Sejujurnya aku hanya mempercayai hati. Tapi tidak untuk cinta.” Ucapnya lagi.             Dyrta mengendikkan kedua bahunya. Dia kembali meneguk habis minuman yang ada di botol yang tengah dia pegang.             Mereka berdua masih duduk bersama setelah kesepakatan baru mengenai kerja sama bisnis illegal yang sudah mereka jalani selama beberapa tahun. *** Mansion Mr. Palguna, New York, USA., Ruangan kerja., Kamar mandi., Malam dini hari.,             Dia sungguh lelah sekali. Stress mulai menerjang dirinya saat ini. Tubuhnya sudah direndam oleh busa dengan aroma favoritnya, Hugo Boss. Tangan kirinya masih terus memegang gelas kristal. Dengan isi di dalamnya, minuman favoritnya sebagai pelepas penat.             Dia masih terus mengatur nafasnya. Sesekali melirik wanita dengan sweater putih dan celana panjang berwarna abu-abu. Rambutnya tergerai panjang, sebab dia yang meminta wanita itu untuk melepas ikatan rambutnya.             Yah! Wanita itu, Aishe Iglika. Dia sudah malu sejak tadi. Sebab tengah malam hingga dini hari begini, Tuannya masih betah berada di dalam bathup. Bahkan dirinya yang tadinya sangat mengantuk, kini kedua matanya segar kembali.             Bagaimana tidak, dia dibangunkan oleh Mehra karena Tuannya mencari dirinya. Dan mau tidak mau dia harus melayani segala keperluan Tuannya, Enardo.             Awalnya dia terkejut sebab dia tidak tahu apapun mengenai Tuannya. Bahkan dia belum hapal apa yang menjadi kebiasaan Tuannya. Meski Mehra sudah memberi catatan itu tadi siang, tapi dia tidak bisa secepat itu untuk menghapal semuanya.             Dengan saran dari Mehra kalau dia harus menuruti apa yang diinginkan oleh Tuannya. Dia sempat takut sebab Tuannya mengajaknya untuk masuk ke dalam kamar mandi.             Dia melakukan yang diminta Tuannya, Enardo. Mengisi bak mandi dan menuangkan sabun cair dengan aroma maskulin.             Dan dia juga terkejut saat Tuannya membuka pakaian tepat di hadapannya. Yang bisa dia lakukan hanya memalingkan wajahnya. Dan sedikit menutup rapat kedua matanya. … “Kau takut padaku ?” Tanya Enardo melirik Aishe yang masih duduk tenang disana. Tepat 5 langkah dari bathup miliknya.             Aishe, dia tidak berani menatapnya. Kepalanya menggeleng pelan. “Tidak, Tuan.” Jawabnya malu-malu.             Enardo menghela panjang nafasnya. Entah apa yang ada di kepalanya saat ini. Sungguh, dia tidak menyukai wanita yang belum berpengalaman.             Tapi seketika dirinya berpikir kembali. Dia mempekerjakan wanita berambut emas itu untuk membayar hutangnya. Karena dia sudah membantunya keluar dari kubangan nista itu. “Haahhh …” Dia menghela panjang nafasnya. ‘Dia lebih cocok melayani keperluanku saja.’ Bathinnya seraya berbicara sendiri.             Dia kembali meneguk minumannya. Dan menyandarkan kepalanya disana. Sembari merentangkan kedua tangannya, menjuntai ke lantai. Memejamkan kedua matanya. Tringg… Tringg… Tringg…             Ponselnya berdering. Dan dia mendengarnya.             Aishe yang mendengarnya, dia langsung berdiri dan mengambil ponsel bermerk yang terletak diatas wastaple berkeramik putih di dekatnya. “Tuan, ponsel Anda berdering.” Ucapnya menyodorkan ponsel milik Tuannya, tanpa melihat ke layar ponsel.             Enardo meletakkan gelas kristal itu di lantai. Dia mencekal pergelangan tangan Aishe. Deg!             Degup jantungnya mulai tidak karuan. Dia hanya diam saja. Melihat Tuannya mulai membuka pejaman matanya.             Enardo menegakkan tubuhnya, tangan kanannya terulur mengambil ponsel yang disodorkan oleh Aishe. Dia langsung melihat layar ponselnya. Helaian nafas panjang kembali dia lakukan. Taakk!!             Dia mencampakkan ponselnya ke lantai. Apalagi yang harus dia hadapi. Masalah tidak pernah pergi jauh dari hidupnya.             Tadi siang dia sudah sangat pusing dengan permintaan kedua orang tuanya. Apa itu semua tidak pernah cukup, pikirnya lagi. Kepalanya terdongak ke atas, melihat Aishe. “Masuk bersamaku.” Ucapnya seraya memberi perintah.             Aishe melongo. “Hah ?”             Enardo semakin menarik pergelangan tangannya. “Buka pakaianmu. Dan masuk.” Ucapnya memberi isyarat, menatap tajam manik mata indah disana.             Aishe semakin takut. Tubuhnya mulai berkeringat dingin.             Enardo sudah mengeraskan rahangnya. “Temani aku.” Ucapnya masih menatap lekat Aishe.             Meski ragu, tapi Aishe menganggukkan kepalanya. Seketika cekalan telapak tangan itu terlepas dari pergelangan tangannya.             Dia sedikit bernafas lega. Tapi sepersekian detik, dia kembali ragu. Dan malu untuk membuka pakaiannya di hadapan Tuannya.             Tanpa berkata apa-apa, dia langsung berjalan menuju kamar mandi yang dilapisi kaca. “Maaf, Tuan. Saya akan membuka pakaian saya disini.” Ucapnya lalu menutup tirai kaca.             Enardo diam melihat gerakan Aishe. Dia menggelengkan pelan kepalanya. Apa salahnya jika dia membuka pakaian di hadapannya. Dia juga tidak mungkin berselera, pikirnya.             Dia melihat minumannya sudah habis. “Tambahkan minumanku lagi.” Ucapnya kembali memerintah. “Baik, Tuan.” Jawab Aishe yang masih berada di kamar mandi kaca, disana. … 10 menit kemudian.,             Aishe menutupi tubuhnya yang hanya memakai pakaian dalam, dengan busa-busa yang ada disana. Dia tidak berani menatap Tuannya. Kepalanya masih tertunduk ke bawah sejak tadi.             Kedua kakinya tertekuk. Kedua tangannya memeluk kakinya sendiri. Membiarkan kaki jenjang Tuannya terus menggoda kedua sisi pahanya.             Dia sedikit geli, dan sesekali kaget. Sebab sentuhan itu sedikit menghantarkan panas di tubuhnya. Dia juga tidak paham kenapa bisa begitu.             Enardo, dia masih bersandar nyaman disana. Kedua matanya masih menatap Aishe yang belum berani berhadapan dengannya.             Dia bingung, apa wajahnya terlalu jelek untuk dipandang ? Atau dirinya seperti perampok ?             Sungguh dia tidak habis pikir. Jika seperti ini terus menerus, dia tidak betah jika harus mempekerjakan Aishe melayani dirinya.             Dia menghela panjang nafasnya. “Kakiku lelah sekali.” Gumam Enardo mulai memejamkan kedua matanya. Kaki kanannya terangkat dan dia mulai menyelipkannya diantara kedua paha Aishe. Glek!             Aishe sedikit gugup. Dan sedikit membuka katupan pahanya. Dia paham, dan mulai memijit kaki Tuannya.             Dia ingin sekali mundur ke belakang, namun dia sudah pada batasannya. Kaki jenjang Tuannya membuat telapak kaki itu menekan gundukannya yang masih terbungkus bra berenda berwarna peach.             Entah kenapa pijitan Aishe membuatnya sedikit tenang. Tangan kirinya meraba lantai, menjangkau gelas kristal berisi minumnnya. Dia meneguknya kembali. Melirik Aishe yang dia tahu, jika Aishe mencuri-curi pandang. “Sedikit ditekan. Pijitanmu kurang terasa.” Ucapnya seraya memberitahu.             Aishe menekan jarinya. Walau tidak terbiasa, tapi dia membiarkan telapak kaki itu terus menekan dua gunung kembarnya. Sreekkk…             Pintu kamar mandi bergeser. Hentakan heels terdengar di telinga mereka. Takk… Tokk… Takk… Tokk…             Mereka berdua melihat ke arah pintu. “Enar ?” Deg!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD