Chapt 5. Black and White

2044 Words
Glek!             Aishe susah menegukkan salivanya. Sebab suasana saat ini sangat mencekam sekali untuknya. Tidak mengerti kenapa dirinya bisa segugup ini.             Dia berusaha menetralkan perasaannya, dan berdiri menghadap Tuannya.             Siapa lagi kalau bukan Enardo Ottar Palguna. Namun meja kerjanya hanya tersisip nama Enardo Palguna disana. Tentu saja Enardo masih tidak menginginkan nama Ottar ada dihidupnya lagi.             Tidak mau berlama-lama, Enardo membuka map hitam yang ada disana. Dia memeriksa dua lembar surat disana. Dan dia tahu, jika Aishe tengah memperhatikannya saat ini.             Hah, entahlah. Dia tidak tahu harus memberikan tugas apa untuk wanita berambut emas ini. Wanita yang dia tahu masih polos dan ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya.             Saat dia telah selesai membaca sekali lagi dua surat itu, kedua tangannya belum terlepas dari sana. Kepalanya terdongak, dia menatap lekat Aishe. Deg!             Aishe terdiam dan dia langsung merundukkan pandangannya ke bawah. Kedua tangannya saling bersemat. Tatapan tajam itu sungguh membuatnya takut.             Enardo, dia membuka suaranya. “Duduklah. Dan baca surat perjanjian ini.” Ucapnya lalu menyodorkan dua surat perjanjian itu di pinggir meja kerjanya. Pandangannya beralih pada dokumen di sisi kirinya, dia mulai membukanya. Mengalihkan pikiran kotornya saat ini. ‘Shitt!’ Bathinnya mengumpat. Sebab keputusannya memberi kostum itu justru membuat wanita berambut emas, bertubuh mulus itu terlihat semakin menggemaskan.             Aishe mengernyitkan keningnya. Dengan gerakan ragu, dia mendekati meja kerja itu dan mengambil map hitam yang berisi dua surat disana.             Enardo yang paham, dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Duduk disitu. Baca dengan teliti.” Ucapnya lagi seraya menyuruh Aishe untuk duduk di kursi tepat di depan meja kerjanya.             Aishe menganggukkan pelan kepalanya. Dia duduk disana. Dan mulai membaca isi surat itu satu persatu.             Sesekali dia mencuri pandang, melirik Aishe yang tampak teliti membaca isi surat itu. ‘Ada apa dengan dirinya ?’ Bathinnya seraya heran. Sebab tidak satu pun point disana yang membuatnya kaget atau bertanya pada dirinya.             Setelah selesai membaca dua surat itu, Aishe merapikan surat itu kembali di map hitam. Dan dia meletakkan dengan hati-hati map itu di meja kerja Tuannya.             Dan sekarang dia bingung, dia harus kembali berdiri atau tetap duduk disini. Dia sedikit melihat Tuannya yang sibuk.             Enardo melirik ke arah amplop yang sudah ada di hadapannya. Seketika dia menghentikan gerakan kedua jemarinya dari dokumen yang dia pegang. “Sudah selesai ?” Tanyanya.             Aishe menganggukkan kepalanya. “Su … sudah, Tuan.” Jawab Aishe gugup.             Enardo menarik map itu kembali. Dengan pena hitam miliknya, dia mencoretkan tanda tangannya di dalam 2 surat perjanjian itu, berisi namanya disana.             Setelah itu dia kembali memberikan map itu pada Aishe. Dia memperhatikan bagaimana Aishe bisa dengan santai ikut menandatangani 2 surat itu tanpa banyak bicara dan pertanyaan.             Dia menyodorkan map itu lagi padanya. Dia membuka suaranya. “Ini surat perjanjian kita.” Ucapnya lalu melihat bahwa benar tanda tangan Aishe ada disana. “Surat perjaniian apa, Tuan ?” Tanya Aishe sedikit bingung, dengan tubuhnya sedikit menghadap Enardo.             Enardo menatap tajam Aishe. Dia menghela panjang nafasnya. “Apa kau tidak membacanya bahwa yang kau tanda tangani barusan adalah surat perjanjian kita berdua.” Ucapnya lagi dan membuat Aishe tampak tertegun.             Aishe mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Surat perjanjian kita berdua, Tuan ?” Tanyanya dengan kening berkenyit.             Enardo masih mengatur sikapnya, walau ini bukan hal yang biasa baginya. “Kau pikir, bagaimana caramu membayar semua yang sudah aku lakukan padamu ? Apa kau pikir semua itu gratis ?” Ucapnya dengan wajah datar. Dia masih menatap lekat Aishe. Deg!             Perlahan Aishe sedikit merundukkan pandangannya, tidak berani lagi memandang pria yang tampak beringas itu. “Surat yang baru saja kau baca, itu adalah pekerjaanmu…” “Kau bekerja sebagai pelayan pribadiku sampai semua hutangmu lunas.” Ucapnya lugas. Salivanya terteguk susah beberapa kali. Deg!             Perlahan Aishe kembali mendongakkan wajahnya, membalas tatapan Enardo. … Kamar Aishe.,             Dia meremas-remas kostum maidnya. Pikirannya kacau saat ini. pekerjaan sebagai pelayan pribadi, apakah termasuk melayani nafsu birahi Tuannya atau tidak. Sungguh dia gelisah sekali dengan isi perjanjian itu setelah Tuannya menjelaskan.             Wajahnya masih dihujani dengan banyak air mata. Sungguh hatinya merasa nyeri sekali.             Dia masih mengingat jelas semua jawaban dari Tuannya, Enardo. … “Kau diam sejak tadi, aku pikir kau sudah paham isi dari surat perjanjian itu…” “Tidak, Tuan. Saya pikir eumhh … itu adalah pekerjaan saya selama jadi maid…” “Tentu saja itu benar. Karena kau menjadi pelayan pribadiku, mulai hari ini … sampai hutangmu lunas…” “Eumh … Tuan, apa saya boleh bertanya lagi ?” “Silahkan…” “Eumh … di surat kedua, melayani apapun yang Tuan butuhkan, Itu maksudnya apa, Tuan ? Bukankah semua pekerjaan saya sudah tertulis di surat yang pertama ?” “Tentu saja melayani disaat aku membutuhkanmu…” Deg! … ‘Ayah, Ibu … setidaknya aku aman disini.’ Bathinnya seraya berbicara sendiri.             Dia masih menangis tersedu-sedu. Dia tidak sanggup jika harus dihadapkan dengan masalah yang sama seperti tadi malam.             Dan saat dirinya tengah menangis, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Tokk… Tokk… Tokk…             Seketika dirinya mendongakkan kepalanya. “Siapa ?” Ucapnya serak, bernada sedikit tinggi. “Saya Jack, Nona. Ada yang mau saya sampaikan pada Anda.” Balas Jack dari balik pintu kamarnya.             Mendengar kalimat sekretaris pribadi Tuannya, Enardo. Dia terkesiap dan langsung menghapus sisa air mata di wajahnya. Dia mengambil tissue yang ada di meja riasnya, dan langsung menyapu wajahnya yang sedikit kusut karena air mata.             Setelah dia merasa sudah beres, dia melangkahkan kakinya ke arah sana dan langsung membuka pintu kamarnya. Ceklek…             Dia melihat Jack berdiri di hadapannya dengan 4 maid dibelakangnya. Mereka berempat tengah membawa banyak kantung berbahan plastik. “Nona, ini pakaian Anda. Silahkan pilih. Dan saya akan mengajak Anda ke suatu tempat.” Ucapnya memberi isyarat pada 4 maid itu agar meletakkan barang yang dia beli di kamar Aishe.             Aishe sedikit bingung, dia melihat maid itu meletakkan banyak kantung plastik dengan merk ternama. “Eumh, Jack. Apa itu semua untukku ?” Tanya Aishe kembali beralih menatap Jack.             Jack tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Iya, Nona Aishe. Dan aku akan menunggumu di bawah, Nona. Kumohon jangan lama.” Ucapnya lagi.             Para maid kembali keluar dari kamar Aishe. Dan Jack juga pergi dari sana. Membiarkan Aishe terdiam di tempatnya. Ceklek…             Dia kembali menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Kakinya melangkah mendekati ranjangnya. Dia melihat isi dari kantung-kantung plastik itu.             Kedua matanya terbelalak saat melihat banyak barang disana mulai dari pakaian dalam dan luar, sepatu serta tas, juga jaket dan perhiasan tubuh. Sesaat dia berpikir, kemana Jack akan membawa dirinya. “Banyak sekali …” “Apa dia tahu model pakaian yang kusuka ?” Dia bertanya-tanya.             Namun saat dirinya tengah melihat-lihat barang miliknya. Seketika dirinya mengingat sesuatu. “Sebaiknya aku harus cepat bersiap-siap.” Gumamnya pelan lalu mulai membuka kostumnya dan memilih pakaian yang nyaman untuk dia pakai. … Lantai 2., Ruangan kerja Mr. Palguna.,             Dia masih memfokuskan pandangannya pada layar laptop bermerk di hadapannya. Punggungnya masih bersandar pada kursi kebesarannya. Tangan kirinya bertumpang dagu, sedangkan tangan kanannya berada di meja kerja. Sesekali jemarinya bermain di kursor laptopnya.             Sesekali dia menarik nafas dalam-dalam melihat apa yang ada di balik layar laptopnya. ‘Cantik sekali dia …’  Bathinnya tidak sadar memuji apa yang tengah dia lihat saat ini. Tokkk… Tokk… Tokk… Tokkk… Tokk… Tokk…             Berulang kali dia mengetuk pintu namun tidak ada sahutan sama sekali. Dia terpaksa menggeser pintu itu, dan masuk ke dalam tanpa balasan dari Tuannya, Enardo.             Dia melihat Tuannya tengah menatap fokus layar laptop. Tapi dia memang harus membuyarkan fokusnya saat ini. “Permisi, Tuan Enar.” Sapa sekretaris pribadinya. Dia sedikit mengernyitkan keningnya melihat ekspresi Tuan Besarnya yang mungkin tidak sadar dengan keberadaan dirinya sekarang. “Tuan ?” Sapanya lagi sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Namun pria berwajah sedikit berandal itu masih tampak asyik pada layar laptopnya. Dia menghela panjang nafasnya. Tangan kanannnya melambai ke atas. “Ehhmm, Tuan Enar ?” Sapanya lagi sambil berdehem kasar.             Dia langsung mendongakkan kepalanya ke atas. “Apa tidak bisa ketuk pintu sebelu masuk ?” Tanya Enardo berwajah sebal. Dia sedikit menutup laptopnya. Dan membenarkan posisi duduknya. “Ada apa ?” Tanyanya lagi. Dia mengambil pena di sebelah kanannya, serta dokumen yang ada di hadapannya, membukanya.             Jack, dia menahan kuluman senyumannya. “Tuan, saat ini Nona Aishe tengah bersiap-siap. Apa ada yang lain, yang harus saya lakukan setelah kami kembali ke mansion ?” Tanya Jack menatap Tuannya yang seakan berpura-pura sibuk disana.             Seketika Enar menghentikan gerakan tangannya dari sana. Fokusnya tidak sesuai dengan pandangan kedua matanya.             Apa yang harus dia lakukan selanjutnya, dia sendiri tidak tahu. Untuk saat ini, dia tidak berminat memberi perintah apapun. “Tidak ada.” Jawabnya singkat.             Jack mengangguk paham. Dia kembali membuka suaranya. “Tuan, Beliau sudah menyetujui pertemuan ini. Dan kita akan jumpa di tempat biasa malam ini pukul 10.” Ucap Jack seraya memberitahu.             Enar menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Siapkan semua berkasnya, juga surat perjanjian itu.” Balasnya lagi sembari mengambil ponsel yang ada di balik laci meja kerjanya.             Jack menganggukkan kepalanya.             Enardo kembali melanjutkan kalimatnya. “Ada yang lain ?” Tanyanya lagi, dia beranjak dari duduknya. Sembari mengancing jas hitam pekatnya.             Jack kembali bersuara. “Ada 2 pertemuan penting hari ini, Tuan. Setelah ini, saya akan langsung berangkat ke kantor. Dan semua berkas-berkas sudah saya sediakan di meja kerja.” Ucapnya menjelaskan secara rinci.             Enardo menganggukkan kepalanya. Dia menggenggam ponselnya, dan berjalan “Jaga dia baik-baik.” Ucapnya meninggalkan Jack di ruangan kerja itu. “Baik, Tuan.” Jawab Jack sedikit menundukkan kepalanya. Dia melihat bayangan tegap Tuannya sudah berbelok ke arah ruang depan, ruangan kerja ini.             Dia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Dan menelepon pihak supir agar bersiap-siap mengantar Tuan Besar mereka ke kantor. *** Green-Wood Cemetery, New York, USA., Pagi menjelang Siang hari., Dia masih berjongkok disana. Di hadapan dua makam yang bersebelahan. Sangat cantik dan ukiran batunya sungguh indah sekali. Sangat tidak menyangka kalau Tuannya, Enardo akan memberikan makam sebagus ini untuk kedua orang tuanya. Betapa baiknya Tuannya yang mau mengambil jenazah kedua orang tuanya dari tanah yang dia tidak tahu lokasinya. Tentu saja dia tahu ini semua dari Jack. Karena dia yang menceritakan semuanya. Mungkin juga perintah dari Tuannya, pikirnya. Dia masih terus menitihkan air matanya. ‘Ayah … Ibu …’ ‘Aku berjanji akan menjaga diriku dengan baik. Aku berjanji akan selalu mengingat kalian dimana pun aku berada…’ Bathinnya dengan kepala masih tertunduk ke bawah. Kedua matanya terpejam kuat.             Jack, dia masih berdiri dari jarak sedikit jauh. Dia tahu kalau Aishe membutuhkan waktunya bersama makam kedua orang tuanya.             Dan tanpa mereka sadari, seseorang melihat mereka dari jarak kejauhan. Dari dalam mobil, dia melihat mereka tanpa membuka kacamatanya. “Jalan.” Perintahnya pada sang supir. Setelah cukup lama mengamati mereka dari kejauhan, mobil berlogo mewah itu kembali melaju meninggalkan taman makam itu. … Dalam perjalanan.,             Setelah kembali dari Green-Wood Cemetery, dia termenung. Pandangannya masih melihat ke arah luar mobil. Melihat apapun yang terlintas di pandangan matanya.             Dia masih memainkan kedua jemarinya, melampiaskan perasaan sedih mendalam di hatinya. Kenapa kedua orang tuanya pergi secepat ini.             Saat ini dia tidak tahu harus kemana dia mengadu. Hatinya sangat terpukul. Setelah kehilangan sosok yang berharga dalam hidupnya, dia harus menghadapi takdir yang mengerikan.             Apakah dia akan seperti ini sampai seterusnya. Atau justru semua ini akan berakhir saat pria yang memperkerjakan dirinya memberikannya waktu untuk melunasi semua hutangnya, tanpa dirinya harus menjadi seorang maid pribadi.             Dia menghela panjang nafasnya. ‘Kumohon, Tuhan …’ ‘Apakah harus begini jalan hidupku ?’ ‘Apa salahku ?’ ‘Kenapa kau tidak memberiku pilihan lain selain ini ?’             Wajahnya masih memandang ke arah luar mobil. Kedua matanya sudah memerah. Bibirnya tak sedikitpun bergerak.             Hanya amarah dan kekesalan yang terpendam di hatinya, yang tidak bisa dia ungkapkan. Dan hanya air mata yang mampu melegakan dirinya saat ini.             Jack, dia tahu kalau Aishe sulit untuk menerima semua keadaan ini. Namun dia juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu wanita cantik ini. Mengingat Tuannya bukanlah tipikal pemaaf dengan lembut.             Dia hanya bisa diam melihat Aishe yang duduk termenung di kursi bagian belakang. Dia berharap, ada jalan lain untuknya selain menjadi maid pribadi Tuannya. Karena jika mengandalkan Tuannya, hanya Tuhan yang bisa membolak balik hati Tuannya, agar bisa melunak dan membebaskan Aishe dari genggamannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD