Chapt 7. Sweet Touch, Different Feelings

3427 Words
“Enar ?” Deg!             Aishe membelalakkan kedua matanya melihat siapa yang datang. Dia langsung memalingkan wajahnya, dan menundukkan pandangannya.             Berbeda dengan Enardo yang memandang orang itu dengan wajah datar. Dia menghela panjang nafasnya. “Kau tidak mengangkat panggilan dariku hanya demi jalang sialan itu ?” Tanya wanita bertubuh semampai itu. Dia memandang sinis Aishe yang berada di dalam bathup yang sama dengan Enardo. Deg!             Hati Aishe sedikit nyeri mendengar kalimat wanita itu. Namun dia hanya bisa diam, dan tidak berani mendongakkan kepalanya.             Enardo menatap Aishe dalam diamnya. Dia langsung beranjak dari sana dan keluar dari bathup.             Aishe sedikit melirik Tuannya. Tanpa niat dihatinya, kedua matanya tertuju pada batang tegak itu. Dia langsung membuang wajahnya ke arah kiri.             Tubuh perfeksionisnya masih dipenuhi oleh sisa-sisa busa. Tidak peduli dengan tubuh polosnya, dia mendekati wanita itu. “Lancang sekali kau masuk tanpa izin.” Ucapnya menarik handuk yang masih tergantung rapi diatas sana. Dia melilitkan handuk putih itu sampai batas pinggangnya.             Wanita itu sudah bersidekap d**a menatap tajam Enardo. Dia meniti tubuh pria yang sangat dia damba sebagai pelampiasannya. “Apa kau tidak membutuhkanku lagi ?  Sampai kau menyewa wanita sialan itu ?” “Apa goyangannya lebih menggoda dari goyanganku ?” Tanyanya dengan mata terpicing.             Enardo menghela panjang nafasnya. Dia menyugar rambutnya ke belakang. “Hentikan. Ayo keluar.” Enardo menyentuh lengan kanan wanita itu, hendak membawanya keluar dari kamar mandi.             Dia menahan tubuhnya, dan menepis kasar tangan Enardo. Dia melirik ke arah belakang. “Aku tanya, siapa dia!” Wanita itu meninggikan nada suaranya.             Aishe melirik ke arah mereka. Dan dia semakin takut saat ini.             Enardo mengeraskan rahangnya. Dia mendekati wanita seksi itu, mengangkat tangan kanannya. Menangkup wajah wanita itu, dia melumat kasar bibirnya. “Hhmmpphhtt …”             Wanita itu mulai memejamkan kedua matanya. Kedua tangannya tertahan dengan cekalan dua tangan kekar pria yang saat ini menguasai bibirnya.             Dia terlena dengan hisapan kasar menggoda di bibirnya.             Mereka saling mengulum dan melumat. Desahan-desahan kecil keluar dari bibir wanita seksi itu. “Hhmmppphhh … Enar … ssshhhmmpphhttt …”             Aishe terdiam melihat apa yang terjadi di hadapannya saat ini. Seakan terhipnotis, dia justru tidak mampu berkata apapun.             Dia terengah dan mendorong kuat d**a bidang pria tampan itu.             Enardo menatapnya lekat. Dan merangkul pinggangnya. “Disini bukan tempat kita, Shallom.” Bisiknya lembut lalu membawa keluar wanita itu dari sana. ‘Shallom ?’ Bathin Aishe bergumam dengan kening berkenyit.             Dia tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya. “Baiklah, Sayang.” Dia mengecup singkat bibir pria yang sangat seksi itu.             Mereka berdua keluar dari sana. “Tetaplah disini. Aku akan kembali.” Enardo berbahasa Indonesia. Dia meninggalkan Aishe sendirian disana. Srreekkk…             Enardo menutup kembali pintu kamar mandi.             Aishe menolehkan wajahnya ke arah mereka yang mulai menghilang dari pandangan. ‘Dia paham Bahasa Indonesia ?’ Bathinnya kembali bergumam.             Keningnya berkernyit. Kedua tangannya memainkan busa-busa itu untuk menutupi bagian dadanya. ‘Dia asli Amerika, bukan ?’ Dia kembali bertanya-tanya dalam hati.             Dia mulai bingung. Dan entah kenapa, hatinya sedikit lega. Seperti ada harapan dirinya bisa kembali ke Negara asalnya dengan bantuan Tuannya.             Tapi dia kembali berpikir keras, apakah karena Tuannya sudah tahu sejak awal kalau dia berasal dari Negara Indonesia. Apakah karena alasan itu yang membuat Tuannya memutuskan untuk mempekerjakan dirinya di mansion ini sampai hutangnya lunas. Sungguh, dirinya semakin bertanya-tanya. Tapi dia tidak mau berpikir sampai sejauh itu. Dia tidak mau kecewa dengan semua harapan-harapan yang dia inginkan dari Tuannya, Enardo. …             Enardo membawanya menuju ruangan kerja utamanya. Dia sedikit mundur ke belakang, dan mulai bersidekap d**a. “Apa maksudmu masuk dan mengganggu privasiku ?” Tanya Enardo menatapnya lekat. Glek!             Shallom Christina, seketika nyalinya ciut. Wanita berusia 22 tahun itu mendekati Enardo. Senyuman manis kembali terukir di wajah cantiknya.             Kedua jemarinya mulai meraba d**a bidang yang memiliki banyak bulu halus disana. “Sayang, jangan marah begitu … aku sama sekali tidak bermaksud mengganggu privasimu …” wajahnya terdongak ke atas menatap lekat pria tampan itu.             Enardo menghela panjang nafasnya. Wajahnya berpaling memandang yang lain. Kedua tangannya terlepas, dan membiarkan Shallom menggenggam kedua tangannya. “Aku hanya tidak suka para penjagamu melarangku untuk bertemu denganmu …” “Aku sangat merindukanmu …” Bisiknya sensual.             Dia mendekati wajahnya, hendak menggapai ceruk leher yang sangat menggoda itu.             Enardo menggertakan giginya. Dan sedikit mundur ke belakang. “Apa yang kau butuhkan ?” “Katakan, sebelum aku berubah pikiran.” Dia melepas genggaman tangan Shallom.             Tiba-tiba Shallom terdiam. Wajahnya berubah tidak suka. “Aku tidak suka kau mendekati wanita manapun kecuali aku!” Ketusnya menatap tajam Enardo. Dia hendak memeluk tubuh seksi yang hanya berbalut handuk putih.             Enardo memundurkan tubuhnya ke belakang. Menghindar dari wanita yang dia tahu hanya memanfaatkan kedudukannya saja.             Dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Dan aku …” “Aku butuh mansion di Dubai …” Dia mulai bersuara rendah. Bibirnya mengerucut. Dia memainkan kuku jemarinya.             Enardo sedikit meliriknya. Dia menggelengkan pelan kepalanya.             Shallom kembali melirik Enardo. Dan langsung memeluk erat tubuh yang masih sedikit basa dan berbusa. “Sayang … aku mohon …” “Aku mau mansion juga isinya … aku mau bodyguard khusus agar ada yang menjagaku kalau kau tidak disisiku …” Gumamnya sembari mencium wangi tubuh pria itu.             Kedua matanya terpejam erat. Enardo mengeraskan rahangnya menahan libido yang mulai berakar di tubuhnya. Kedua tangannya menarik Shallom dari tubuhnya. “Pulanglah. Besok kau akan mendapatkannya.” Gumamnya lalu berjalan menuju meja kerjanya. Dia menjangkau telepon berwarna hitam yang ada di meja kerjanya. Dan menekan tombol disana, hendak menghubungi seseorang. Kedua matanya masih melirik Shallom yang mendekatinya kembali.             Shallom tersenyum manis. Dia memeluk Enardo dari belakang. Karena tinggi mereka yang hampir seimbang sebab dirinya memakai heels setinggi 14 cm. Dagunya membahu disana. “…” “Siapkan mansion beserta isinya di Dubai. Besok siang akan langsung ditempati …” “…” “Siapkan Jet pribadi. Shallom akan kesana …” “…” Tutt… Tutt… Tutt…             Dia memutuskan sambungan secara sepihak. Dan meletakkan kasar telepon itu ke tempat semula. “Terima kasih, Sayang …” Gumam Shallom mengecupi bahu telanjang Enardo.             Enardo menyeringai. “Apa para pria yang menyewamu tidak punya banyak uang, sampai kau meminta padaku, huh ?” Tanyanya dengan nada mengejek.             Dia melepaskan kedua tangan Shallom yang tengah memeluknya. Dia berbalik menghadapnya. Menatap tajam Shallom.             Shallom tersenyum manis, hendak memeluknya lagi. “Cukup. Sekarang keluar dari sini, sebelum mereka mengusirmu.” Ucapnya dengan wajah datar. Glek!             Dia sedikit bergidik ngeri melihat ekspresi Enardo saat ini. Mungkinkah dia hendak bercinta dengan wanita itu, dan dia menjadi pengganggu moody pria itu malam ini, pikirnya bertanya-tanya. “Sayang … kenapa kau mengusirku ?” Tanyanya mulai berwajah melas.             Enardo masih diam saja. Dia berbalik badan, dan berjalan menjauhi Shallom. “Pergilah.” Ucapnya lagi. Karena dia tahu, Shallom datang disaat dia membutuhkan sesuatu. Atau dirinya sendiri yang memanggil Shallom ke mansionnya.             Shallom tidak terima dengan perlakuan Enardo saat ini. “Sayang … aku merindukanmu. Kita bisa bermain sepuasnya malam ini.” Ucapnya berjalan cepat mendekati Enardo.             Enardo hanya diam saat Shallom kembali memeluknya. “Ssssshhhhh …” Dia menggeram saat Shallom merapat di tubuhnya, dan sengaja menggesek miliknya yang memang sudah menegang sejak tadi. “Aaahhhh … dia ingin dipuaskan, Sayang …” “Biarkan aku menguasaimu malam ini.” Gumam Shallom menangkup wajah Enardo. “Hhhmmpphhttt…” “Eungghhhhh … hhmmmpphhhttt …”             Enardo meluruh. Kedua matanya terpejam menikmati lumatan lembut itu. cecapan demi cecapan yang dilakukan Shallom membuatnya hilang kendali.             Shallom hendak membuka handuk putih di tubuh pria yang selalu mampu membuatnya klimaks berulang kali. “Tetaplah disini. Aku akan kembali.” Deg!             Kalimat yang dia ucapkan, terngiang di kepalanya. Dia lupa bahwa Aishe pasti masih menunggunya di bathup.             Seketika dia membuka pejaman kedua matanya. Dia menahan tubuh Shallom, dan sedikit mundur satu langkah. “Keluar dari sini. Aku sedang tidak membutuhkanmu.”  Suaranya terdengar kaku.             Shallom terdiam mendengar kalimat Enardo barusan. ‘Kau pasti memikirkan jalang sialan itu!’ Bathinnya seraya tidak terima. “Sayang … aku …” Dia hendak mendekati Enardo, dengan wajah melasnya. “Cukup! Aku sedang tidak ingin!” Ketus Enardo memperhatikan tubuh Shallom dari atas sampai bawah.             Shallom kembali terdiam. Tapi selang beberapa detik, dia kembali membuka suaranya. “Jika kau kurang puas padaku, kau bisa mengatakannya, Sayang … jangan diam saja …” Dia bernada rendah.             Enardo menyeringai. “Keluar sekarang. Atau permintaanmu akan aku batalkan.” Ucapnya lagi, lalu berjalan menuju meja kerjanya hendak menjangkau kembali telepon yang ada disana.             Shallom menggeram. Kedua tangannya tergepal kuat. “Baiklah, Enar! Aku keluar sekarang! Permisi!” Ketusnya langsung keluar dari sana. Dia tidak mau Enardo benar-benar membatalkannya.             Enardo hanya diam melihat punggung wanita berpakiaan seksi sebatas paha itu mulai lepas dari pandangannya. Dia tetap mengambil telepon itu, dan menekan tombol yang ada disana. “…” “Jangan biarkan siapapun masuk ke wilayahku!” “…” “Apapun alasannya! Karena aku tidak pernah membuat janji temu di wilayahku! Kalian paham!” “…” “Ya! Termasuk jalang itu!” “…” Tutt… Tutt… Tutt…             Dia mematikan telepon secara sepihak. Braakkk!!             Dia meletakkan telepon itu di tempat semula. Mengusap kasar wajahnya. Dan dia teringat sesuatu.             Kakinya langsung berjalan menuju kamar mandi. … Kamar mandi., Srreekkk…             Dia menggeser pintu kamar mandi. Dan melihat wanita berambut emas itu bersandar nyaman disana.             Dia kembali menutup rapat pintu kamar mandi.             Kakinya mendekati bathup. Busa disana mulai habis. Hingga tampak bayangan tubuh mungil dan indahnya. Glek!             Dia membuka lilitan handuknya. Dan masuk ke dalam sana, dengan hati-hati. Kedua matanya masih fokus menatap wajah damai wanita yang rambutnya tergerai ke belakang.             Air bathup terasa bergoyang. Aishe sedikit membuka kedua matanya. “Aah, Tuan …” Gumamnya lalu menekuk kedua kakinya, dan menegakkan tubuhnya.             Dia malu, dan menyilang kedua tangannya menutupi bagian gunung kembarnya.             Enardo hanya diam saja, dan mulai bersandar disana. Kedua kakinya lurus ke depan, menyelinap diantara kaki Aishe. Kedua kakinya menyilang disana.             Aishe sedikit mundur ke belakang. Dan paham, dia kembali memijit kaki Tuannya.             Enardo menjuntaikan kedua tangannya ke lantai. Kepalanya bersandar nyaman disana. “Haahhh …” “Kalau kau mengantuk, kau boleh membersihkan dirimu dan pergi tidur.” Gumamnya dengan kedua mata sudah terpejam.             Aishe terdiam melihat sikap Tuannya yang ternyata hanya ingin ditemani olehnya. “Tidak, Tuan. Saya akan disini sampai Anda selesai.” Jawab Aishe masih memijit kakinya. Kedua matanya tidak berani lagi menatap Tuannya yang seperti menikmati waktunya sekarang.             Walau dirinya masih penasaran, siapa wanita yang datang tadi. Dan dia sungguh malu, seperti tengah tertangkap basah.             Enardo diam mendengar jawaban Aishe. Tapi dia pikir, tidak ada salahnya jika dia mengajak Aishe berbicara. “Wanita tadi hanya teman. Tidak lebih dari itu.” Gumamnya asal bicara.             Aishe mengernyitkan keningnya. Untuk apa Tuannya menjelaskan hal itu, seakan ingin mengatakan kejujuran untuknya. Padahal itu semua juga bukan urusannya. “Eumh … iya, Tuan.” Jawab Aishe.             Enardo membuka pejaman kedua matanya. ‘Apa yang aku katakan barusan ?’ Bathinnya dengan kening berkernyit. Dia lupa tadi dia mengatakan apa pada Aishe.             Dia memandang Aishe. Dan wajah cantik itu cepat-cepat berpaling dari tatapannya. Dan dia sedikit mengulum senyumannya tertahannya.             Entahlah, dia merasa bahwa Aishe sangat unik. Kepolosannya membuat dirinya nyaman. Bukan dia tidak tahu wanita seperti Aishe. Hanya saja dirinya tidak menyangka bahwa Aishe berwajah bak Timur Tengah ternyata berwarga Negara Indonesia. Aishe yang merasa ditatap tajam oleh Tuannya, dia merasa gugup. Dan degup jantungnya semakin tidak karuan saat kedua tangan kekar itu menuntunnya untuk bergerak maju ke depan. “Mari.” Enardo menatap lekat.             Dia hanya diam saja. Dan mengikuti gerakan itu, hingga dia duduk diatas pangkuan pria bertubuh seksi. “Tu …  Tuan …” Ucapnya gugup. Pandangannya masih tertunduk ke bawah. Kedua tangannya menangkup di dadanya.             Enardo menuntun kedua tangannya untuk merangkul di lehernya. “Aku lelah sekali.” Gumamnya pelan. Menyusupkan wajahnya di ceruk leher yang masih berbusa itu. Dia memeluk tubuh mungil yang sangat nyaman saat ini. Tidak peduli miliknya sudah sangat menegang.             Aishe bingung. Dia hanya diam saja. “Lemaskan tubuhmu. Jangan kaku.” Gumamnya lagi, dan direspon anggukan kepala oleh Aishe.             Dia mencoba relaks. Walau sejujurnya dia merasa tidak nyaman, sebab miliknya bersentuhan langsung dengan benda yang mengeras di bawah sana. “Jangan pikirkan apapun. Aku hanya ingin seperti ini.” Gumamnya lagi. Deg!             Seketika dirinya merasa aneh. Pelukan Tuannya seperti pelukan yang tidak biasa. Walau ini adalah yang pertama untuknya, dipeluk oleh orang asing. Tapi, dia merasa kalau pelukan ini bukan pelukan nafsu.             Dia masih melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping itu. Sesekali mengelusnya pelan.             Dia menyibak rambut panjang yang sudah basah disana. Mencium lama aroma Hugo Boss yang menempel di kulit mulus, di ceruk leher itu.             Aishe menahan suara yang hendak keluar dari mulutnya. Berulang kali dia menegukkan salivanya. Dia berusaha relaks.             Kamar mandi mereka menawarkan kesejukan dan ketenangan. Ruangan serba putih yang membuat suasana di kamar mandi ini terasa begitu damai.             Dia terbuai. Yah, terbuai dengan gerakan lembut Tuannya. Memeluk tubuhnya, seakan meminta kehangatan darinya.             Entah kenapa dia merasa ada sisi berbeda dari Tuannya yang baru saja dia kenal. Pikirannya tertuju pada orang tuanya. Tiba-tiba rindu itu datang.             Dia melepas kedua tangannya. Dan mengalung, mendekap rambut basah yang sedikit ikal. ‘Ayah, Ibu … aku rindu kalian …’ Kedua matanya terpejam kuat.             Enardo membuka pejaman kedua matanya. Dia mengerjap pelan. Merasakan Aishe membalas pelukannya.             Telinganya tidak tuli mendengar sedikit isakan tangis Aishe. Tapi dia memilih untuk membisu. ‘Apa kau merindukan mereka ?’             Kedua tangannya semakin memeluknya hangat. Matanya tidak bisa terpejam lagi. Entahlah, sesekali dia mengecup hangat bahu telanjangnya.             Selama beberapa menit dia menanti isakan tangis itu semakin menjadi. Namun kenyataannya justru tidak.             Isakan tangis itu justru menghilang, perlahan. Pelukannya juga terasa mengendur. Keningnya berkernyit.             Dia melepas pelukan mereka. “Sudah malam. Sebaiknya kita membersihkan diri.” Gumamnya pelan, lalu beranjak dari sana.             Aishe mengernyitkan keningnya. ‘Sudah malam ?’ ‘Ini bahkan sudah jam dini hari ?’ Bathinnya lagi. Tidak percaya jika Tuannya sungguh aneh. Dia ikut berdiri, dan membiarkan Tuannya merangkul pinggangnya. Malu, sebab dia belum pernah bertubuh polos seperti ini di hadapan siapapun. “Tidak perlu malu. Kau akan terbiasa.” Gumam Enardo lalu membawa Aishe menuju shower yang ada disana.             Aishe hanya pasrah mengikuti langkah kaki Tuannya.             Sesuai permintaan Tuannya, Enardo. Dia membantunya membersihkan diri. Menyabuni tubuh seksi berotot itu.             Berulang kali Aishe menegukkan salivanya karena gugup. Apalagi saat dirinya hendak membersihkan bagian d**a bidang yang dipenuhi dengan bulu-bulu seksi.             Enardo mendongakkan kepalanya ke atas. Kedua tangannya masih bertumpu pada dinding berlapis marmer putih. Membiarkan Aishe menyentuhnya, menyabuni tubuhnya.             Air hangat dari atas sana hanya meluncur ringan, dan tidak deras. Tubuh mereka berdua basah karenanya.             Dengan gerakan lembut Aishe terus membersihkan tubuh itu dengan spons mandi. Sesekali dia berjinjit untuk menjangkau bagian leher.             Enardo yang paham, dia sedikit merundukkan tubuhnya. Deg!             Aishe sedikit ragu. Namun kedua tangannya terus bergerak disana. Membiarkan wajah berahang kasar itu kembali berhendus di lehernya. Dan itu membuatnya sangat tidak nyaman sekali. Lagi-lagi dia harus pasrah.             Berulang kali Enardo mengecupi leher mulus dan putih itu. ‘Tubuhmu indah sekali, Aishe. Mungkinkah aku akan menjadi yang pertama untukmu.’             Tangan kanannya mulai bergerak turun. Dan melepas ikatan bra berenda disana, hanya sekali tarikan cepat. “Eehhh!” Pekik Aishe sedikit mundur ke belakang. Kedua tangannya langsung memegang bra yang mulai turun dari dua gunung kembarnya. “Apa kau tidak berniat membersihkan tubuhmu ?” Gumamnya seraya bertanya.             Aishe hanya diam. Bahkan dirinya tidak berani menolak saat Tuannya mencampakkan bra miliknya. “Cepatlah, Aishe. Aku sudah mengantuk.” Bisiknya di telinga Aishe. Tangan kirinya masih bertopang pada dinding, sedangkan  tangan kanannya mulai merangkul pinggang ramping itu.             Dia terkesiap dan mengangguk lemah. Risih, tapi dia terus membersihkan tubuh berotot itu.             Enardo menderaskan air yang meluncur dari shower. Membiarkan tubuh mereka semakin basah.             Dia bahkan melihat bagaimana Aishe membersihkan tubuhnya sendiri. Wajahnya tampak memerah, bahkan dia membelakangi dirinya.             Paham, dia tidak mau memaksa Aishe untuk cepat terbiasa dengan sikapnya. Karena ini juga pertama kalinya dia dengan cepat menerima wanita untuk mengurusnya secara pribadi.             Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia merasa nyaman sekali saat melihat wajah teduh Aishe. Dia masih memperhatikan Aishe membersihkan dirinya.             Dia juga tidak mau meninggalkan Aishe sendirian disini. Menunggunya sampai selesai. … Kamar Aishe.,             Dia tidak paham harus berbuat apa. Tuannya bahkan dengan sabar menunggu dirinya selesai mengeringkan rambut.             Sampai dia hendak tidur, dan pria itu justru memeluknya dari belakang. Hembusan nafasnya yang berbau mint, tidak bisa dia tolak.             Tidak nyaman dan tidak bebas, sebab dia tidak terbiasa tidur dipeluk seperti ini. Berbagi bantal dan selimut. “Tidurlah. Aku sudah mengantuk.” Gumamnya serak tanpa memindahkan wajahnya dari ceruk leher yang masih beraroma sabun favoritnya.             Aishe menganggukkan kepalanya. Dia diam saat melihat gerakan tangan kanan Tuannya mulai menekan tombol peredup lampu ruangan. Hingga kamarnya gelap, dan cahaya terang hanya berasal dari lampu sudut ruangan.             Enardo kembali memeluk Aishe. Membiarkan lengan kirinya menyusup di bantal mereka. Tangan kanannya menyusup ke dalam piyama sutra merah di dalam sana. “Selamat tidur.” Gumamnya lagi.             Aishe mengernyitkan keningnya. Pria ini seperti anak kecil yang meminta sapaan selamat malam.             Dirinya terus terjaga dan tetap tidak bisa tidur. Tapi setelah beberapa menit. Kamarnya yang gelap justru membuatnya semakin tidak berdaya.             Perlahan dia memejamkan kedua matanya. Dan mulai terlelap. … Beberapa menit kemudian.,             Nafas teratur mulai dia rasakan. Senyuman tipis tercetak di kedua sudut bibir seksinya. Dia semakin mengeratkan pelukannya disana.             Dia juga tidak tahu kenapa. Dirinya merasa nyaman memeluk tubuh mungil ini. Meski dia tahu ini semua pasti tidak akan bertahan lama. Tapi setidaknya, untuk saat ini dia merasa damai.             Mungkin besok akan berubah. Dan yang pasti, perasaannya berbeda. Menyentuh Aishe membuatnya merasakan sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang dia tidak tahu apa itu.             Wajahnya semakin menyusup disana. Melupakan semuanya adalah pilihan terbaik saat ini. Sekali lagi, dia mengecup lehernya. Dan mulai mengajak tubuhnya untuk terlelap bersama Aishe malam ini. ---**--- Mansion Mr. Palguna, New York, USA., Kamar Aishe., Pagi hari.,             Cahaya matahari masuk dari sela-sela tirai berbahan tebal, berwarna emas. Dan itu membuat kedua matanya mulai mengerjap perlahan.             Dia merenggangkan tubuhnya. Entah kenapa dia merasa tidurnya sangat nyenyak sekali. “Eeunnghhh!!” Kedua tangannya merenggang ke atas.             Dia menghela panjang nafasnya. Seketika dia mengingat sesuatu. Dia langsung menegakkan tubuhnya. Dan sedikit merapikan rambut panjangnya dengan kedua jemarinya.             Ingatannya masih bagus. “Tuan Enar sudah pergi ya ?” Gumamnya seraya bertanya-tanya.             Dia meniti isi kamarnya. Tidak ada apapun. Tapi, dia melihat troli dengan tudung saji berwarna perak di depan ranjangnya.             Perlahan dia bergerak dari posisinya, dan maju ke depan. Dia duduk di kursi panjang yang ada disana. Dan mulai membuka tudung saji itu. “Uuuhhh … wangi sekali …” Indera penciumannya menangkap wangi makanan yang sangat menggoda seleranya.             Terlihat masih hangat. Dan perutnya juga sudah berbunyi. Dia mendongakkan kepalanya, melihat jam dinding.             Jarum jam menunjukkan pukul 10 pagi. Dan dia baru saja bangun. “Aku melalaikan tugasku …” “Lalu siapa yang melayani dia tadi ?” Gumamnya lagi.             Dia mengambil pisau dan garpu yang ada disana. Saat dia hendak sarapan. “Selamat pagi, Aishe. Sepertinya tidurmu sangat nyenyak sekali.” Ucap wanita itu masuk ke dalam kamarnya.             Aishe menoleh ke sumber suara. Dia tersenyum melihat Mehra yang mendekatinya. “Selamat pagi, Mehra. Kau sudah sarapan ?” Tanya Aishe melihat Mehra yang membawa sesuatu.             Mehra menganggukkan kepalanya. “Sudah.” Jawabnya lalu meletakkan dua kantung plastik di ranjang Aishe. “Ini pakaianmu. Dan nanti akan ada beberapa orang yang datang kesini. Kau bisa memilih pakaian yang kau suka.” Dia menjelaskan pada Aishe.             Aishe terdiam dan melihat dua kantung plastik disana. “Untukku ?” Tanyanya lagi.             Mehra tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. “Iya …” “Lebih baik kau sarapan saja dulu. Aku mau ke dapur. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Ucapnya tanpa basa-basi dan hendak berbalik badan. “Mehra, aku akan membantumu nanti.” Ucapnya sembari beranjak dari duduknya. Dia merasa tidak enak hati pada Mehra.             Awalnya dia diam. Tapi senyuman kembali tercetak di wajahnya. “Tidak perlu, Aishe. Kau hanya perlu melakukan apa yang menjadi kewajibanmu. Sarapanlah. Aku akan turun ke bawah.” Ucapnya lagi sambil tersenyum.             Aishe menganggukkan kepalanya. Dan kembali duduk. Dia tersenyum melihat Mehra yang berjalan keluar dan mulai menutup pintu kamarnya. “Terima kasih, Mehra.”             Mehra tersenyum dari kejauhan, dan menarik knop pintu. Aishe kembali menghadap hidangannya. Dan mulai menyantapnya. “Euumhhh … lezat sekali …”             Pintu kamar mulai ditutup rapat, tapi Mehra sedikit melihat Aishe yang menyantap makanannya. Beberapa detik dia diam melihat wanita berambut emas disana. Dia menghela panjang nafasnya, lalu mulai menutup rapat pintu kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD