Chapt 4. New Attention

3581 Words
Walau dia masih penasaran, kenapa Tuan mereka mau membawa wanita cantik berambut emas ini, tinggal di mansion tempat dia bekerja sebagai maid. Apakah wanita ini spesial bagi Tuannya atau memang mau dipekerjakan sebagai maid juga, pikirnya. Tapi kenapa kamar istimewa justru menjadi kamarnya, pikirnya lagi bertanya-tanya. Dia mulai membuka suaranya. “Nama saya Mehra. Siapa nama kamu, Nona ?” Tanya wanita bernama Mehra itu padanya.             Aishe melirik Mehra yang duduk tepat di sisi kanannya. Dia sedikit mencetak senyuman di wajahnya. “Nama saya Aishe Iglika. Panggil saja saya Aishe.” Jawabnya dan dia diam kembali.             Mehra, dia tersenyum mendengar jawaban dari Aishe. “Wah, nama kamu cantik sekali. Cantik seperti wajah dan rambutmu.” Ucapnya seraya berbasa-basi, menghilangkan ketegangan diantara mereka.             Aishe hanya menganggukkan kepalanya saja. Dan terus memperhatikan lukanya yang tengah diobati oleh Mehra.             Karena dia tahu jika Aishe tidak mungkin bersuara, dia berinisiatif untuk memperkenalkan dirinya. “Saya bekerja sebagai maid di mansion ini, sudah 3 tahun. Dan Tuan Enardo adalah pria yang sangat baik. Dia bahkan memberikan fasilitas untuk keluarga kami.” Ucapnya seraya memberitahu. Dia terus mengobati luka di wajah Aishe.             Aishe melirik Mehra yang mengajaknya berbicara. Dia tertegun mendengarnya.             Mehra, wanita berusia 20 tahun itu tahu kalau Aishe tengah menatapnya. Namun dia bersikap biasa saja. Dan sesekali melirik Aishe sambil tersenyum manis.             Dan entah kenapa, dia merasa ingin tahu banyak tentang pria yang sudah menolongnya. “Apa dia benar-benar pria yang baik ?” Tanya Aishe pada Mehra.             Seketika gerakan tangan Mehra melambat, dia sedikit mengernyitkan keningnya. “Tentu, Nona Aishe. Tuan Enardo sangat baik pada kami semua.” Jawabnya meyakinkan Aishe, dia tersenyum.             Aishe membalas senyuman Mehra. “Jangan panggil saya Nona. Panggil Aishe saja.” Ucapnya seraya ingin lebih akrab dengan Mehra.             Mehra menganggukkan kepalanya. “Luka kamu sudah bersih semua. Dan lebih baik kamu mandi dulu. Setelah kamu mandi, kita akan beri salep di luka-luka kamu.” Ucapnya sembari membereskan semua peralatan luka yang dia bawa.             Aishe menganggukkan kepalanya. Kedua matanya mulai menyusuri kamar yang akan dia tempati selama tinggal di mansion ini. Dia mencari keberadaan kamar mandi disana.             Mehra kembali membuka suaranya. “Kamar mandinya ada di sebelah sana, Aishe. Dan aku akan menyiapkan baju tidur untuk kamu.” Ucapnya lagi dan dibalas senyuman oleh Aishe. “Terima kasih, Mehra.” Ucapnya dengan senyuman tipisnya. “Apa kau bisa menggunakan shower dan mengaturnya ?” Tanya Mehra sekedar ingin tahu.             Aishe menganggukkan kepalanya. “Bisa. Aku akan mengaturnya sesuai suhu yang aku mau, Mehra.” Jawab Aishe meyakinkan. “Baguslah kalau begitu.” Mehra tersenyum ke arahnya.             Aishe, dia melanjutkan kalimatnya. “Dan aku berharap kita bisa menjadi teman baik.” Ucapnya dan kembali diangguki iya oleh Mehra. “Iya, Aishe. Oh iya, handuknya sudah ada di kamar mandi ya.” Ucapnya lagi dan diangguki iya oleh Aishe yang sudah berjalan menuju kamar mandi. “Iya, Mehra. Terima kasih.” Jawabnya singkat.             Aishe sudah menghilang dibalik kamar mandi. Dan Mehra, dia membereskan semua peralatan yang dia bawa dan meletakkannya kembali di stroller makanan. Dia melihat ke arah pintu kamar mandi.             Apakah benar Aishe adalah wanita istimewa Tuannya, Enardo. Atau justru memang sebaliknya jika Aishe hanya menjadi pelampiasan hasrat Tuannya semata. Seperti wanita yang sering dibawa oleh Tuannya ke mansion ini.             Apapun itu, dia pikir Aishe adalah wanita yang beruntung bisa menarik perhatian Tuannya. Dia sedikit tertawa miris, dan kembali melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu. Karena dia harus menyiapkan pakaian tidur dan makan malam untuk Aishe. Walau tubuhnya terasa lelah sekali, bahkan masih mengantuk. Namun dia harus sadar posisinya sebagai seorang maid. ..**..             Walau sudah malam, dan mungkin bisa dikatakan waktu dini hari. Tapi ini adalah malam pertamanya menginap setelah 1 bulan lebih dia tidur di Rumah Sakit.             Entah kenapa, dia merasa aneh berada di mansion ini. Tentu saja dia merasa sangat asing. Sebab dirinya tidak pernah menginap dimanapun jika tidak bersama kedua orang tuanya.             Apalagi dia mengingat almarhum kedua orang tuanya. Sungguh dia sangat ingin sekali pergi ke makam mereka.             Tapi apalah daya, setidaknya malam ini dia harus mengistirahatkan tubuhnya yang sudah sangat lelah sekali. Sisanya akan dia pikirkan besok pagi, pikirnya. ---**--- Mansion Mr. Palguna, New York, USA., Kamar Aishe., Pagi hari.,             Hari sudah pagi, bahkan cahaya matahari sudah menyinari kamar bernuansa emas itu. Ruangan luas yang dihiasi banyak tirai panjang disana, sedikit terang karena cahaya masuk melalui sela-sela tirai. Pencahayaan yang terbantu melalui ukiran-ukiran mewah dari dinding kamar.             Seorang wanita menggeliat dari tidur nyenyaknya. Dia merenggangkan tubuhnya di ranjang empuknya. Sungguh tidurnya nyaman sekali malam ini.             Walau kedua matanya belum terbuka, namun kedua telinganya menangkap suara seorang wanita. “Selamat pagi, Aishe. Sepertinya tidurmu sangat nyenyak sekali.” Sapanya sembari menyibak beberapa tirai yang masih tertutup.             Aishe, dia mengerjap-ngerjapkan pelan kedua matanya. Menoleh ke sumber suara, juga tirai yang mulai menyongsong cahaya matahari. Dia segera memalingkan wajahnya.             Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Mehra ? Ah iya, selamat pagi.” Sapanya balik lalu segera beranjak turun dari ranjangnya.             Dia berdiri dan memakai sandal rumahnya dibawah ranjang. Dia melihat Mehra sudah rapi dengan seragam maid hitam putih.             Sedangkan dirinya ? Dia bahkan baru saja bangun. Dan dia melirik ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari keberadaan jam dinding. “Jam berapa sekarang, Mehra ? Maaf kalau aku bangun kesiangan.” Ucapnya masih melihat Mehra yang tersenyum dan berjalan ke arahnya.             Mehra menggelengkan pelan kepalanya. “Tidak masalah, Aishe. Kau pasti sangat lelah sekali.” Jawabnya lalu menarik gantungan pakaian maid yang berwarna dan bermodel sangat khusus.             Aishe mengernyitkan keningnya melihat pakaian itu. Dia langsung mendekati Mehra, dan membuka suaranya lagi. “Ini milikku ?” Tanya Aishe padanya. Dia memegang pakaian maid yang sangat berbeda bentuk dan warna dengan Mehra.             Mehra menganggukkan kepalanya, dia tersenyum. “Iya, Aishe. Ini seragam milikmu. Seragammu berbeda dengan kami.” Ucapnya menepuk lengan Aishe. Dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Lebih baik kau bersihkan dirimu. Dan pakai ini. Pakaian dalammu ada di lemari itu. Lemari itu milikmu juga.” Ucapnya menunjuk lemari berwarna coklat emas, seraya memberitahu. Karena dia sendiri juga tidak tahu, kenapa Aishe harus memakai seragam itu.             Aishe menganggukkan pelan kepalanya seraya memahami. Dia kembali membuka suaranya. “Itu artinya aku akan menjadi maid di mansion ini, Mehra ?” Tanya Aishe peda Mehra.             Mehra terdiam sesaat, dia sedikit berpikir. Dan dia membalas kalimat Aishe. “Sepertinya iya, Aishe. Tapi aku tidak tahu kau akan menjadi maid di bagian apa. Karena Tuan Jack hanya menyuruhku untuk memberikan pakaian ini padamu.” Jawabnya dengan sepengetahuannya. Tapi dia pikir, tidak ada salahnya jika dia mengatakan yang dia tahu. “Mungkin nanti akan dijelaskan kembali saat di dapur.” Ucapnya lagi.             Aishe terdiam. Dia bingung karena tidak tahu mengenai pekerjaan rumah tangga.             Mehra kembali membuka suaranya. “Biasanya saat Tuan Enardo tengah sarapan, Pak Karan akan menjelaskan pekerjaan-pekerjaan baru maid, jika ada perubahan jadwal dan pekerjaan.” Ucapnya seraya memberitahu. Dia hendak melangkahkan kakinya menuju pintu kamar, hendak keluar dari kamar Aishe.             Aishe mengernyitkan keningnya. “Pak Karan ?” Gumamnya pelan. Mehra, dia berbalik badan sebab dia mendengar gumaman Aishe. Selama beberapa detik dia menatap lekat Aishe, hingga dia tersadar jika Aishe merasa bahwa dirinya tengah mengintimidasi. “Oh, iya. Pak Karan Harken. Kami biasa memanggilnya Pak Karan. Dia Kepala Pelayan di mansion ini, Aishe. Dia sangat baik.” Ucapnya tersenyum. Dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku akan turun ke bawah, ke dapur, membantu yang lain. Karena 15 menit lagi Tuan Enardo akan segera sampai di meja makan…” “Dan segera bersihkan dirimu, Aishe. Aku sudah menyiapkan ikatan rambut meja riasmu juga segala yang kau butuhkan saat berdandan. Dan jika kau kurang paham mengikat rambutmu, kau bisa menghubungi dapur. Dan disana…” Ucapnya menunjuk nakas yang terdapat sambungan telepon juga buku telepon khusus mansion. “Ada buku telepon. Kau bisa mencari nomor telepon dapur. Aku akan ke kamarmu jika kau membutuhkan bantuanku.” Jelas Mehra panjang lebar dan direspon anggukan kepala oleh Aishe.             Aishe menangkap semua yang dijelaskan oleh Mehra. “Terima kasih, Mehra. Aku usahakan sudah sampai di dapur sebelum Tuan Enardo sampai di dapur.” Ucapnya dengan senyuman.             Mehra mengangguk iya. “Baiklah. Kalau begitu aku permisi dulu, Aishe. Sampai jumpa di dapur.” Ucapnya lagi. “Iya, Mehra. Terima kasih sekali lagi.” Jawab Aishe yang masih melihat Mehra. Hingga bayangan wanita cantik berambut hitam itu lenyap dari balik pintu.             Seketika dirinya menghela panjang nafasnya. Dia kembali melihat seragam maid berwarna putih merah jambu. Berbeda dengan seragam Mehra yang berwarna hitam putih. “Jadi aku akan menjadi pelayan disini ?” Gumamnya pelan melepas gantungan baju dari baju yang akan mereka kenakan.             Dia masih mematung di tempatnya. Sesaat dirinya hampir melepas air mata yang secara tiba-tiba penuh di kedua matanya. Sungguh dadanya merasa sesak saat ini. Dia sangat rindu pada kedua orang tuanya. Ingin sekali dia berkunjung kesana. “Sampai kapan aku akan menjadi pelayan ?” “Jika sampai semua hutangku lunas, apakah itu akan sangat lama ?”             Dia meremas baju yang saat ini tengah dia pegang. Pandangannya meredup. Dia memejamkan kuat kedua matanya. “Kenapa keluargaku tidak ada yang menghubungiku ?”             Dia sedikit terisak. “Apa mereka benar-benar tidak menyayangiku ?” Gumamnya lagi.             Air mata luruh dari kedua sudut matanya. Namun sesaat dia menyadari bahwa pagi ini bukan saat yang tepat untuk menangis. “Ah aku lupa. Aku harus segera bersiap-siap. Jangan sampai Tuan baik hati itu lebih dulu sampai di dapur dari pada aku.” Gumamnya menghapus air matanya.             Dia meletakkan baju maidnya di atas ranjang. Dan kakinya segera melangkah menuju kamar mandi. … Ruangan tamu.,             Dia berjalan pelan menuju dapur. Kepalanya menoleh kesana kemari, melihat banyaknya pelayan yang mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.             Sejujurnya dia sangat risih dan ragu untuk keluar kamar dengan pakaian maid seperti yang dia kenakan saat ini. Mungkin tidak hanya dirinya yang memakai seragam ini, pikirnya meyakinkan dirinya sendiri.             Tapi dia juga sedikit kurang nyaman, sebab para maid dan bodyguard terlihat memperhatikan gerak-geriknya. Dia pikir, apakah cara berdandannya salah ? Atau mungkin dia terlihat lucu memakai seragam maid berbeda bentuk dan warna dengan mereka ?             Sesekali dia tersenyum pada pelayan yang menatap ke arahnya. Namun mereka terlihat cuek, bahkan berwajah tidak sahabat padanya. ‘Apa ada yang salah dengan diriku ?’ ‘Apa aku terlihat lucu ?’ Bathinnya seraya bertanya-tanya.             Dia melewati dinding dengan cermin besar disana. Kakinya berhenti tepat di depannya. Dia meniti tubuhnya dari atas sampai bawah.             Tubuhnya berbalut seragam maid putih merah jambu, dengan warna merah jambu lebih mendominasi. Seragam sebatas atas lutut. Dengan renda transparan pada bagian lengannya. Dan ikatan pita di bagian lehernya. Rambutnya digulung rapi ke belakang, dengan model sederhana dan hanya bermodalkan penjepit rambut kecil berwarna hitam. Sepatu kaca berwarna putih, dengan tumit setinggi 3 cm ikut menghiasi kaki jenjang telanjangnya.             Dia bergumam dalam hati. ‘Sepertinya aku sangat lucu dengan seragam seperti ini. Tapi … tapi kenapa mereka menyuruhku memakai ini jika aku hanya jadi bahan tontonan mereka ?’ Bathinnya bingung.             Dia kembali berbalik badan, dan tersenyum mengangguk ramah pada dua maid wanita yang lewat di hadapannya. Namun mereka hanya diam dengan wajah datar. Glek!             Canggung, dirinya semakin gugup untuk pergi ke dapur. Langkah kakinya terus berjalan mengikuti para maid ke arah kiri, ujung sana.             Dia ragu, apakah benar arah itu menuju dapur, pikirnya. Tapi ya begitulah. Dia tidak paham, apakah jalan yang dia ikuti itu benar atau tidak.             Inisiatifnya, dia menegur salah satu pelayan yang melewatinya. Dia bertanya dimanakah letak dapur. Namun pelayan itu hanya diam saja, bahkan seakan tidak mendengar pertanyaannya.             Karena dia melihat para maid berseragam hitam putih itu berjalan ke arah kiri. Dia pikir, lebih baik jika dia mengikuti mereka.             Dia menarik nafasnya dalam-dalam. Dan mulai melangkahkan kakinya ke arah kiri. Dan tiba-tiba. Bugghh!! “Aaww!” Tubuhnya ditahan seketika. Aishe terpekik, dan kesakitan di bagian keningnya karena dia menubruk seseorang yang sangat wangi sekali. Saat dia hendak melihat siapa orang yang menubruk dan menahan tubuhnya, orang itu lebih dulu berjalan mendahuluinya dan membuka suara baritonnya. “Dapur ke arah sana.” Ucapnya tanpa melihat ke belakang. Dia terus berjalan menatap lurus ke depan.             Aishe menatap punggung pria bersetelan hitam pekat itu. Rambutnya tampak gondrong jika dilihat dari belakang. Tubuhnya tampak tegap. Tidak hanya itu, caranya berjalannya yang cepat seakan mengisyaratkan bahwa dia bukan tipikal pria yang pandai berbasa-basi. Oh, otaknya mulai berkeliaran kemana-mana. ‘Mungkinkah itu Tuan Enardo ?’ Bathinnya seraya bertanya-tanya dan masih menatap punggung pria yang mulai berbelok ke arah kanan, di ujung sana.             Saat dia lebih fokus pada pikiran selintasnya, tiba-tiba dia terkesiap. “Ah, aku harus ikuti dia.” Gumamnya langsung melangkah cepat mengikuti langkah kaki pria yang belum dia ketahui dengan pasti. “Dia bilang ke arah sana, tapi ke arah mana ?” Gumamnya lagi semakin melangkah cepat, sebab pria itu sudah hilang dari pandangannya. “Aduh, Tuhan. Benarkah dia Tuan Enardo ?” “Jika bukan, lalu apa aku salah berjalan ?” “Dan ini sudah jam berapa ? Aku pasti akan terlambat.” Gumamnya menggerutu, mulai khawatir.             Dia berjalan cepat mengikuti langkah pria yang menghilang tadi. Dan saat dia berbelok, dan melihat dari kejauhan. Para maid berjajar rapi disana. Namun dia tidak nampak, mereka sedang berhadapan dengan siapa. Glek!             Seketika dia melambatkan gerakan kakinya. Jantungnya berdegup kencang. ‘Benar, aku terlambat. Dan…”             Dia melihat penampilannya saat ini. “Dan pakaianku berbeda … warna dan bentuknya juga berbeda.” Gumamnya pelan dengan perasaan sangat gugup. Sungguh, dia tidak berani mendekati mereka disana.             Dan dia sedikit paham, mungkin hanya sebagian maid saja yang berkumpul disana. Selebihnya mereka melakukan pekerjaan mereka. Seperti kata Mehra tadi malam, jika para maid memiliki bagian pekerjaan masing-masing.             Saat dia masih melihat mereka dari kejauhan. Seseorang memanggilnya. “Nona Aishe ?” Panggil orang itu dari ujung sana.             Spontan semua orang berbalik badan dan melihat ke arah belakang. Semua mata tertuju padanya, sebab penampilannya berbeda sendiri. “Eehhmm…” Seorang pria yang sudah lanjut usia tampak berdehem pelan dan membuat para maid dan bodyguard yang juga berkumpul disana membenarkan posisi mereka kembali, dan menghadap ke depan.             Pria itu, dia kembali membuka suara besarnya. “Nona Aishe, mari. Jangan sungkan.” Ucapnya ramah.             Dia melihat pria yang dia kenali itu. Pria berusia 25 tahun yang mengantarkannya ke mansion ini. yah! Pria itu adalah Jack, seketraris pribadi pria yang sudah menolongnya dari jeratan Mucikari dan Gigolo tadi malam.             Walau ragu, namun dia harus berjalan mendekati mereka yang ada disana. Sebab dia sadar posisinya saat ini. ‘Aduh bagaimana ini ?’ ‘Aku malu sekali. Pakaianku terlalu seksi.’ Bathinnya menggerutu sembari menahan roknya agar tidak bergoyang dan terbuka. … Dapur.,             Kepalanya sedikit tertunduk ke bawah. Dia berjalan semakin mendekati mereka. Dan menghampiri Jack yang seakan menyambutnya, menyuruhnya untuk mendekati meja makan berbentuk oval itu.             Dia melirik ke sudut sana. Deg! ‘Ter … ternyata dia … dia …’ Bathin Aishe seraya tidak percaya. Jika pria yang menubruknya tadi adalah Tuan Enardo, pemilik mansion ini.             Semua mata tertuju padanya yang diarahkan untuk berdiri tepat di sisi kanan Kepala Pelayan yang bernama Pak Karan Harken. Dia bingung, selain kostumnya yang berbeda. Dia juga diarahkan untuk berdiri tepat disamping pria yang dia tebak adalah Kepala Pelayan yang dimaksud Mehra.             Sepintas dia memandang Mehra yang berdiri di bagian depan. Dia sedikit mengumbar senyuman kecutnya. Dan Mehra ikut membalas senyumannya dengan tarikan bibir tipis.             Pria itu, Jack membuka suaranya. “Semua sudah lengkap, Tuan.” Ucapnya seraya memberitahu.             Aishe, dia melirik ke arah kiri. Melihat pria bernama Enardo itu masih menikmati sarapannya.             Dan Pak Karan, dia yang paham isyarat dari Jack. Dia mulai berbicara. “Selamat pagi, semuanya. Saya akan memperkenalkan anggota baru di mansion kita.” Ucapnya bernada wibawa, tanpa basa-basi. “Tapi sebelumnya Nona Aishe, perkenalkan nama saya Karan Harken. Dan saya biasa dipanggil Pak Karan.” Ucapnya memperkenalkan diri dengan sopan pada Aishe.             Aishe menganggukkan pelan kepalanya sembari tersenyum manis padanya. Dia masih sedikit merundukkan pandangannya ke bawah. Dia sedikit malu, sebab pakaiannya terlalu seksi.             Telinganya masih bagus mendengar dentingan adu garpu dan pisau pada piring kristal yang dipakai pria itu. ‘Dia tidak sopan. Kenapa dia tidak memperhatikan Pak Karan berbicara.’ Bathinnya seraya berbicara.             Pak Karan, dia masih melanjutkan kalimatnya. “Kalian semua, perkenalkan ini adalah Nona Aishe Iglika. Dan panggil dia Nona Aishe.” Ucapnya penuh penekanan.             Semua mata menatapnya tajam. Dan tentu saja dia menjadi fokus utamanya pagi ini.             Aishe masih terus merundukkan kepalanya ke bawah. Dia tidak berani mendongakkan wajahnya, sebab dia sedikit bergidik ngeri dipandang dengan banyak pasang mata seakan dirinya adalah mangsa empuk.             Pak Karan menatap Aishe. “Nona Aishe, semua maid yang berkumpul disini adalah maid bagian dapur dengan tugasnya masing-masing…” “Dan tugas Nona Aishe disini adalah sebagai maid juga…” “Saya akan…” Ucapnya hendak melanjutkan kalimatnya, namun segera disela oleh Enardo. “Biar saya saja yang menjelaskannya.” Selanya bernada dingin. Namun dia masih terlihat santai menikmati sarapan paginya tanpa melihat ke arah mereka.             Pak Karan mengangguk paham. “Baik, Tuan Enar.” Ucapnya. Dia melihat semua maid yang ada disana. Dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Dan kalian sudah mengenal Nona Aishe. Jadi, apa yang dia tanyakan pada kalian, kalian harus sopan padanya.” Ucapnya. “Baik, Pak Karan.” Jawab seluruh maid dan semua bodyguard yang berkumpul disana. “Kalian boleh melanjutkan pekerjaan kalian.” Ucapnya lagi dan diangguki iya oleh mereka.             Mereka semua bubar dan kembali bekerja. Berbeda dengan Aishe yang masih bingung dengan apa yang harus dia lakukan saat ini.             Saat semua pelayan sudah bubar, Enardo membuka suaranya. “Tunggu aku di ruang kerja.” Ucapnya lalu meminum jus manga favoritnya. Dia sama sekali tidak melihat Aishe.             Jack yang paham, dia langsung melangkahkan kakinya. “Mari, Nona Aishe. Ikut dengan saya.” Ucapnya seraya menyuruh Aishe untuk mengikutinya. “Hah ?” Gumam Aishe seperti orang bodoh.             Pak Karan membuka suaranya. “Nona Aishe ikutlah dengan Tuan Jack.” Ucapnya seraya menegaskan.             Aishe terkesiap. “Iya, iya.” Jawabnya mengangguk dan bersuara pelan. Dan dia berjalan mengikuti langkah kaki Jack.             Saat hentakan sepatu tumit itu mulai terdengar jauh. Walau kepalanya sedikit tertunduk ke bawah, namun kedua mata elangnya sedikit melirik pada bayangan wanita yang berada di ujung sana. Dia menatapnya tajam, walau kedua tangannya masih memegang tissue.             Pak Karan berdehem pelan. “Ehhm… Ada yang bisa saya bantu, Tuan Enar ?” Tanya Pak Karan yang tahu kalau Tuannya mungkin sedikit menganggap istimewa wanita berambut emas bernama Aishe Iglika.             Enardo diam mendengar pertanyaan Kepala Pelayannya. Setelah selesai sarapan, kedua jemarinya saling bersemat dan bertumpu pada dagunya. “Apa menurutmu pakaiannya sudah berbeda ?” Tanyanya bernada cuek.             Pak Karan senyam-senyum mendengar pertanyaan pria yang sudah dia anggap sebagai cucunya sendiri. “Bukan lagi berbeda, Tuan. Tapi seksi.” Jawabnya dan langsung ditatap tajam oleh Enardo.             Pak Karan hanya senyam-senyum saja. Dia kembali membuka suaranya. “Apa ada pekerjaan lain yang harus dilakukan Nona Aishe, Tuan ?” Tanya Pak Karan padanya.             Enardo langsung menggelengkan pelan kepalanya. “Tidak ada.” Jawabnya singkat. Dia beranjak dari duduknya, dan melangkahkan kakinya meninggalkan dapur.             Pak Karan hanya diam dalam senyuman, menatap punggung pria yang dia anggap memiliki banyak kelemahan. Dan dia berjanji pada sahabatnya untuk menjaga Enardo selama dia masih hidup. … Lantai 2., Ruangan kerja Mr. Palguna.,             Aishe masih mengikuti langkah kaki Jack menuju ruangan yang dia pikir sangat estetik sekali. Terlihat sederhana, namun dipandang begitu mewah.             Saat mereka mulai memasuki ruangan utama, Aishe terpanah melihat ruangan kerja Tuannya yang tertata begitu rapi. Tidak terlihat glamour, tapi justru terlihat klasik.             Jack, dia membuka suaranya. “Silahkan duduk disana, Nona Aishe. Selesai sarapan, Tuan Enardo akan segera datang kesini.” Ucapnya seraya memberitahu. Dia mempersilahkan Aishe untuk duduk di sofa panjang berwarna hitam, tepat di hadapan meja kerja utama Tuannya.             Aishe menganggukkan pelan kepalanya. “Terima kasih, Tuan Jack.” Jawabnya dan berjalan pelan menuju sofa panjang itu.             Jack tersenyum, dan dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Panggil saja saya Jack, Nona Aishe.” Ucapnya lagi seraya mengingatkan.             Aishe kembali mengangguk paham. “Eumh baik, Jack. Terima kasih.” Balasnya lagi. Dia duduk disana. “Saya permisi dulu, Nona Aishe.” Ucapnya lagi dan dibalas anggukan serta senyuman dari wanita berambut emas itu. …             Aishe, dia meniti ruangan kerja yang terlihat sederhana dan menenangkan. Perpaduan warna di ruangan ini sungguh cocok sekali.             Dan dia pikir, wangi ruangan ini mulai dari pintu utama menuju ruang kerja, sampai masuk di ruangan utama. Wanginya menggambarkan jika sang pemilik ruangan mungkin memiliki sifat yang malas ribet dan tidak suka berbasa-basi.             Ah ya, dia lupa. Melihat penampilan Tuannya saja, dia sudah paham karakteristiknya. ‘Sepertinya dia tidak suka pergi ke salon. Atau tidak suka berpenampilan rapi.’ Bathinnya seraya berbicara sendiri.             Dia sedikit merapikan penampilannya, dan membenarkan roknya yang sedikit tersibak. Risih, sebab lehernya harus memakai pita yang berwarna dan berbentuk senada dengan kostum maidnya. …             Dan hampir 15 menit dia menunggu Tuannya, Enardo. Dia berulang kali menghela panjang nafasnya. Dia tidak sabar untuk mengetahui semua pekerjaan-pekerjaan yang akan dia lakukan sampai hutangnya lunas.             Saat dia tengah memainkan kuku jemarinya, dia mendengar suara hentakan sepatu yang terlihat gagah. Dapp! Dapp! Dapp! Dapp!             Degup jantungnya mulai berdetak tidak stabil. Dia langsung berdiri, dan membenarkan posisi roknya. Aroma yang saat ini tertawar di hidungnya, dia pernah menciumnya.             Aroma yang sepersekian detik membuatnya terpanah. Dan aroma itu semakin dekat dengannya.             Kedua netranya menangkap sosok tinggi dan tegap. Bersetelan hitam putih, sungguh gagah sekali dan lagi-lagi dia terdiam menatapnya.             Namun tidak peduli, pria itu terus berjalan menuju meja kerjanya. Dan dia duduk di kursi kebesarannya, tanpa melihat Aishe ada disana memperhatikannya dalam diam. Glek!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD