Chapt 3. Fate, or Nothing

3119 Words
*** The Levent Coltar Discotic, New York, USA., Ruangan VVIP., Malam hari.,             Musik saling beradu kecepatan. Dentuman DJ seakan tidak pernah berhenti menemani ratusan manusia yang tengah berjoget ria di bawah sana.             Kepulan asap memenuhi segala ruangan dari sudut ke sudut. Dan tidak ketinggalan penampakan berbagai botol dengan segala jenis merk juga ada disana.             Wanita cantik bergaun putih, dia berdiri di hadapan para pria yang tengah menatapnya buas. Dan ada Egon di sisi kanannya. Sungguh dia sangat takut sekali. Telinganya seakan tuli. Bahkan hidungnya seraya susah menghirup oksigen. Dadanya merasa sesak sejak awal dia memasuki ruangan ini.             Egon, dia yang tengah menghisap batang panjang di mulutnya. Asap keluar dari sana. Dia membuka suaranya. “Jadi, wanita ini jatuh di tangan kau, Tuan.” Ucapnya menunjuk pria yang sudah menawar denngan harga paling tinggi.             Yah! Aishe mulai menangis. Dia meremas-remas kedua jemarinya. ‘Tuhan, tolong aku…’ Bathinnya mulai terisak.             Pria itu langsung berdiri dan mendekati Aishe. Seraya tidak sabar, dia langsung menyentuh b****g dan lengan telanjang Aishe.             Aishe menghindar tiba-tiba. “Tuan, tolong jangan sentuh aku.” Gumamnya pelan menggelengkan pelan kepalanya.             Egon bergumam pelan, dan mengatakan padanya untuk tidak menghindar dari pria itu. “Dengar, Aishe. Jangan menghindar!” Ketusnya geram.             Aishe tidak peduli. Dia terus berada di belakang Egon. Hingga pria itu kembali menariknya kasar. “Kemari, Nona Cantik! Jangan malu-malu padaku! Pada kami!” Ucapnya sambil terawa.             Bahkan mereka semua yang ada disana juga ikut tertawa.             Aishe meronta. Refleks, dia menendang jagoan pria itu. Buughhh!! “Aawwkkk, Shitt!!” Pria itu mulai jengkel.             Semua yang ada disana saling melirik satu sama lain. Dan tiba-tiba saja Egon menamparnya. Plaakk!! Plaakkk!! “Aahhkk!!” Teriak Aishe terjatuh di lantai, hingga roknya tersibak ke atas. “Wwoooww!” “Uuuhh!!” “Ssshhhh mulus sekali dia!”             Para pria itu saling memuji kemolekan tubuh Aishe. Namun Aishe langsung menurunkan roknya, dia kembali berdiri.             Pria yang membelinya, yang tadi dia tunjang. Pria itu membalasnya, dia menampar kedua pipi Aishe berulang kali. Tidak peduli jika wajah cantik itu mulai memerah, bahkan terdapat bercak darah di kedua sudut bibir Aishe karena pukulan kasar itu.             Egon hanya diam saja karena dia pikir, Aishe pantas mendapatkannya. Dan yang lainnya, yang ada disana. Mereka ikut tertawa, namun tidak sedikit dari mereka yang mengatakan cukup untuk pukulan kasar itu.             Pria itu menunjang tubuh mungilnya, hingga tepak sepatunya terdapat di lengannya. Dia tidak peduli meski sudah membayar mahal.             Aishe terus menangis. Riasan wajahnya sudah rusak. Rambutnya sudah berantakan. Dia masih fokus menahan bajunya yang mulai turun, hingga kedua payudaranya sedikit terintip keluar.             Tubuhnya ditarik kasar. Kedua lengannya dicengkeram kuat oleh pria yang sudah membelinya untuk 1 malam.             Dengan kasar, pria itu menariknya menuju anak tangga. “Ampun, Tuan!” Teriak Aishe mulai lemah.             Semua orang melihat ke sumber kekacauan. Terdapat perasaan iba di hati mereka sebab wanita itu benar-benar tidak berdaya dan sudah sangat kacau.             Tidak peduli dengan kalimat permohonan Aishe, pria itu langsung mendorongnya kuat dari atas tangga. “Aaahhkkk!!!” Buugghhh!!             Tubuhnya menubruk tubuh tegap, beraroma maskulin. Kedua matanya yang masih berkedip sempurna melihat pemilik kemeja abu-abu itu menangkap tubuhnya yang sudah tidak berdaya.             Kepalanya terdongak ke atas. Deg!             Kedua netra sendunya seakan meminta bantuan dari pria yang saat ini tengah memeluknya. Dia bergumam pelan. “Tolong aku, Tuan. Aku berjanji akan membayar hutangku. Tolong jangan jual aku.” Gumamnya menitihkan air mata dari kedua sudut matanya. Deg!             Pria itu menatapnya lekat. Kedua tangan kekarnya masih menopang tubuh kotor dengan punggung terbuka, seksi.             Wajah penuh luka itu membuatnya mengalihkan pandangan matanya ke depan. Dia melirik ke arah mereka yang sejak tadi dia tahu, bahwa mereka tertawa melihat wanita ini terus disiksa.             Satu fokusnya, dia menatap dua pria itu bergantian. Hingga dua pria itu tersenyum kecut. Tampak kekhawatiran mulai tercetak di wajah mereka.             Dan kedua matanya beralih menatap satu pria yang dia tahu, kalau pria mulai pengecut di hadapannya. “Apa kabar, Egon ?” Dia menarik salah satu sudut bibirnya. Glek!             Egon Wouter, dia terkesiap dan menunduk hormat pada pria yang menyapanya barusan. “Ah, i … iya, Tuan. Say … saya baik, Tuan. Tu … Tuan apakabar ?” Ucapnya gagap dengan nada getir. Dia masih melanjutkan kalimatnya. “Su … sudah lama tidak datang ke tempat ini. Dan…” Ucapnya langsung disela cepat oleh pria itu. “Siapa pemilik wanita ini ?” Tanyanya dengan nada lugas, tanpa basa-basi. Glek! Glek!             Egon langsung diam. Mereka semua terdiam. Para wanita yang bergelayut manja dengan para pria disana, mereka juga ikut diam dan tidak berani memandang pria yang sangat mereka kenali itu. Bahkan para pria yang termasuk para pengusaha kelas kakap pun, mereka ikut diam seakan tidak mau berurusan lama dengan pria yang saat ini ada di hadapan mereka. Rahangnya mengeras, sebab pertanyaannya tidak mendapat jawaban salah satu dari mereka. Dia menatap tubuh pria dengan setelan hitam, rokok berasap masih berada di tangannya. Gertakan giginya semakin menjadi, mendengar rintihan dari wanita yang saat ini tengah dia dekap. Terasa kulitnya dingin. Bahkan serpihan pasir terasa di kedua telapak tangannya. Ingatan pukulan kasar dan tunjangan itu juga masih terngiang di benaknya. Aishe, dia kembali bergumam pelan. “Tolong aku, Tuan. Tolong jangan jual aku.” Gumamnya sepelan mungkin, menggelengkan pelan kepalanya. Tubuhnya bergemetar. Kedua tangannya menangkup di dadanya. Jemarinya meremas kemeja abu-abu pria yang saat ini masih membiarkan dirinya bersembunyi di d**a bidang berbulu halus.             Entah kenapa, rasa ingin melindungi itu semakin besar. Sihir apa yang wanita ini gunakan, sampai spontan kedua lengannya memeluk hangat wanita itu, pikirnya seraya bertanya-tanya.             Mereka yang ada disana hanya diam saja melihat pria itu yang seakan melindungi Aishe. Terutama Egon yang sesekali merundukkan pandangannya, sebab dia tahu ekspresi pria itu saat ini sedang tidak bersahabat.             Lama Egon terdiam bak membeku, dia membuka suaranya. “Tu … Tuan Enar. Wanita ini…” Ucapnya ragu, melirik wanita yang masih berlindung di dalam dekapan pria yang sangat dia takuti itu.             Yah! Dia Enardo Ottar Palguna. Pria berusia 28 tahun itu sangat akrab dikenali dengan nama Enardo Palguna. Pria matang dan mapan tak kenal basa-basi.             Namanya sudah diakui oleh para pebisnis kelas menengah ke atas sebagai pria penguasa daerah dan mampu mendamaikan lahan tempat para pengusaha ingin membangun gedung-gedung bertingkat mereka. Itu sebabnya tidak ada satupun yang dia takuti.             Bahkan saat ini, dia tidak peduli jika wanita yang tengah dia dekap sudah dibeli oleh salah satu dari mereka. Hanya saja, dia tidak habis pikir bagaimana mungkin wanita yang dia akui kepolosan dan kecantikannya ini bisa dijual oleh Mucikari dan Gigolo terkenal, Egon Wouter.             Egon, dia masih melanjutkan kalimatnya. “Dia adalah wanita penghibur yang sudah dibeli oleh Tuan ini.” Ucapnya sedikit mengulas senyuman di wajahnya. Dia tampak ragu-ragu melirik pria yang benar sudah membeli Aishe.             Pria itu langsung menggelengkan pelan kepalanya. “Ti … tidak, Tuan Enar. Itu tidak benar. Sa … saya batal membeli w************n ini.” Jawabnya segera menghindar dari sana. Dia melangkahkan kakinya kembali untuk duduk di kursinya semula, dan mengambil satu botol vodka. Dia menenggaknya habis.             Enardo, dia hanya diam melihat mereka satu-persatu. Terutama pandangannya beralih pada Egon. Egon hanya tersenyum tipis mendengar kalimat pria yang mencoba membuang badan. Sejujurnya dia tidak tahu harus berbuat apa dengan keadaan yang tidak dia pahami ini. Apakah pria penguasa yang dikenal sebagai Mafia itu mengenal wanita ini, pikirnya seraya bertanya-tanya. Dengan ragu, dia kembali membuka suaranya. “Ah, Tuan. Maksud saya…” Ucapnya hendak menjelaskan, namun disela dengan tatapan tajam pria bernama Enardo itu. Glek!             Dia susah menegukkan salivanya sendiri. ‘Habislah aku!’ Bathinnya mengumpat diri sendiri.             Enardo, dia menghela panjang nafasnya. Wajah datarnya sungguh tidak ingin bersahabat dengan mereka yang dengan tega menyiksa wanita ini. Dia pikir, dia ingin penjelasan sedikit dari wanita ini.             Aishe semakin meremas kuat kemeja pria itu. Memberi isyarat bahwa dia tidak mau berada di dekat mereka lagi.             Seakan paham dengan sikap wanita itu. Enardo bergerak cepat mengambil sikap, dia membuka suaranya. “Kalau tidak ada yang memiliki dia. Kalau begitu aku ingin dia menemaniku malam ini.” Ucapnya menatap Egon. Deg!             Aishe, dadanya naik turun. Dia sungguh tidak paham, apakah ini adalah jalan yang salah, pikirnya.             Tanpa berpikir lama, Egon langsung menganggukkan kepalanya seraya setuju. Dia pikir, tidak ada hal lain selain menghindar dari ekpresi garang pria berbahaya itu, pikirnya. “Ba … baik, Tuan. Baik, saya akan memesan 1 ruangan VVIP untuk kalian.” Ucapnya memutuskan, merundukkan kepalanya seraya hormat.             Mendengar kalimat Egon, dia menyelanya cepat. “Saya mau 1 kamar VVIP.” Ucapnya lagi tanpa basa-basi dan kembali diangguki iya oleh Egon. “Ah … Baik, Tuan Enardo. Saya akan pesankan. Mari ikut dengan saya.” Ucapnya lalu berjalan menuruni anak tangga dari ujung sana. ‘Tuan Enardo ? Jadi namanya Enardo ?’ Bathin Aishe dengan kening berkernyit.             Enardo, dia diam melihat mereka semua yang berpura-pura tidak melihat mereka. Dan d**a bidangnya bisa merasakan betapa deru nafas wanita yang tengah dia dekap, berisi hembusan ketakutan teramat dalam. Haruskah dia menolong wanita, pikirnya.             Aishe, walau saat ini tubuhnya masih bergemetar akibat kekerasan fisik yang tidak pernah dia terima selama hidupnya. Namun kedua telinganya masih sanggup mendengar pembicaraan mereka.             Dan hidungnya, entah kenapa dia merasa aman mencium aroma tubuh pria satu ini, menenangkan hatinya. Tidak berpikiran jahat, tapi dia merasa bahwa pria ini mampu melindungi dirinya, setidaknya untuk saat ini. ..**..             Enardo masih terus mendekap wanita yang sedikit terisak itu. Walau nafasnya sudah naik turun menghirup wangi tubuh wanita yang sungguh menggiurkan dirinya.             Dia masih mengikuti langkah kaki Egon menuju hotel The Levent Coltar yang terletak di sebelah Diskotik yang sama. Lengan kirinya tentu masih mendekap tubuh mungil sebatas d**a bidangnya.             Sangat tahu kalau wanita ini sangat ketakutan dan butuh tempat berlindung. Sekuat mungkin dia mengendalikan libidonya agar tidak melewati batas kesabarannya.             Kedua matanya masih mengawasi gerak-gerik Egon yang dia tahu menginginkan wanita ini sebagai mangsa barunya. Sungguh dia sangat tahu bagaimana seorang Egon Wouter. Seorang Mucikari dan Gigolo yang tidak segan melepas mangsa empuknya sebagai peraup keuntungan untuk dirinya. Tidak peduli apakah mangsanya akan bertahan hidup atau mati setelahnya. …             Egon meninggalkan mereka berdua tepat di depan pintu kamar VVIP itu. Dia kembali berjalan menuju lift pribadi yang terhubung dengan lantai VVIP itu. Sesekali dia melirik ke belakang, melihat bayangan sepasang layaknya kekasih yang hendak menghabiskan malam berdua.             Dia mengeraskan rahangnya. “Sialan! Seharusnya aku mendapatkan keuntungan besar!” “Dasar w************n!” Gumamnya mengumpat wanita yang dia tahu bernama Aishe.             Dia geram sebab semua rencananya untuk menjual Aishe telah hancur. Tapi ketika dia berpikir kembali, tidak mungkin pria berstatus Mafia itu tidak mau memberikannya uang setelah dia memberikan berlian mahal padanya. Ting!             Pintu lift terbuka. Dia segera masuk ke dalam dan hendak kembali ke tempat hiburan tadi. … The Levent Coltar Hotel, New York, USA., Kamar VVIP.,             Dia menutup pintu kamar. Dan membiarkan wanita itu berdiri di tempatnya. Tubuhnya beralih menatap jendela luas disana, seraya mengalihkan pikirannya saat ini. Walau ruangan masih remang-remang, sebab hanya cahaya lampu gantung yang menghiasi ruangan mewah dan luas itu.             Jakunnya naik turun, berusaha menetralkan perasaannya saat ini. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana panjangnya. Dia membuka suaranya. “Aku akan membantumu keluar dari sarang ini.” Ucapnya to the point.             Aishe, dia mendongakkan wajahnya. Menatap pria yang saat ini tengah membelakangi dirinya. Kedua jemarinya masih saling meremas-remas, mengatur perasaan takutnya. Bibirnya yang bergetar terbuka. “Terima kasih banyak, Tuan. Terima kasih.” Jawabnya dengan air mata kembali menetes di kedua sudut matanya.             Enardo, dia menghela panjang nafasnya. Dan kembali membuka suaranya. “Siapa namamu ?”             Aishe mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Ternyata benar, pria ini belum mengenal dirinya. Apakah pria ini akan menolongnya, pikirnya kembali bertanya-tanya. “Aishe, Tuan. Aishe Iglika.” Jawabnya pelan tanpa ragu. Dia masih diam berdiri di tempatnya.             Saat dia mendengar nama itu, spontan tubuhnya berbalik badan. Dia melihat wanita itu sudah berwajah memohon padanya. ‘Shitt!’ Bathinnya seraya mengumpat kesal. Sebab wajah itu seolah membuat hatinya terenyuh.             Bagaimana mungkin pria seperti dirinya bisa terhanyut dengan wajah sendu itu. Sialnya dia justru menikmati dua netra yang sudah basah dengan air mata disana. Bahkan suara getir itu mengoyak perasaannya untuk bersikap iba saat ini.             Enardo kembali membuka suaranya. “Bagaimana kau bisa menjadi tawanan Egon ?” Tanya Enardo lagi seraya ingin tahu dari bibir Aishe secara langsung. Karena dia tidak bodoh untuk terlambat mengetahui masalah Aishe. Tentu saja dia sudah mencari tahunya melalui sekretaris pribadinya.             Aishe diam sesaat mendengar pertanyaan pria yang dia tahu bernama Enar. Perlahan, kepalanya tertunduk ke bawah. Air mata masih mengalir deras dari kedua sudut matanya. Kedua jemarinya masih saling meremas satu sama lain, merasakan sesak di dadanya. Dia sudah tidak peduli lagi dengan penampilannya yang sudah berantakan.             Enardo menghela panjang nafasnya. Dia tahu, mungkin ini bukan saat yang tepat untuk bertanya pada wanita ini. Atau mungkin dia harus menunggu informasi dari sekretaris pribadinya sendiri tentang alasan itu, pikirnya lagi. “Duduklah disana. Aku akan mengurus segala yang tersisa.” Ucapnya seraya membuat janji pada wanita yang dia tahu bernama Aishe.             Aishe sedikit melirik ke arah pria yang mulai berjalan menuju pintu lift yang ada disana. Punggung tegap pria itu seakan memberikan janji manis untuk menolongnya.             Dengan kegugupannya, perlahan dia berjalan menuju sofa panjang berwarna merah. Dia mendaratkan bokongnya disana.             Tidak berniat meniti ruangan mewah itu. Dalam pencahayaan sempit, dia masih diam tidak bergeming sedikit pun. Sungguh dirinya hanya berharap pada pria itu. ..**..             Enardo kembali menemui Egon Wouter di The Levent Coltar Dicotic. Dia menegosiasi hal yang menjadi fokus utamanya saat ini. Sebab dirinya harus menyelesaikan perintah otak yang tidak mungkin menjadi beban atau penyesalannya di kemudian hari. Walau dia tidak paham itu.             Awalnya Egon menolak lembut, sebab dirinya tidak ingin Aishe terlepas dari genaggamannya begitu saja. Apalagi secara fisik, Aishe sangat mampu menarik mata para pelanggan setianya.             Tapi karena semua rencananya buyar akibat seorang pria yang tidak bisa dia lawan dengan cara apapun, mau tidak mau dia harus mengiyakan keinginan pria itu, Enardo Palguna. Tidak bisa mengelak, dia semakin bergidik ngeri saat Enardo mulai menjebaknya dengan pertanyaan yang membuatnya ragu untuk menjawab. Dia lebih memilih untuk mengalihkannya dan menyerahkan Aishe pada Mafia kelas kakap itu.             Layaknya sebuah transaksi, dia tentu sudah tahu dengan cepat mengenai perjanjian antara Aishe dengan Egon. Dan dia membayar hutang Aishe padanya. Dan saat itu juga Enardo menegaskan bahwa hubungan antara Aishe dengannya sudah putus.             Bukan Enardo jika dia tidak mengancam Egon dengan berbagai ancaman. Jika Egon berani mendekati Aishe dengan segala cara. …             Setelah perjanjian itu putus, dia menyuruh sekretaris pribadinya untuk menjemput Aishe. Sedangkan dirinya, dia memilih untuk menemui seseorang yang memiliki hubungan kerja sama dengannya.             Dalam langkah kakinya menuju parkiran mobil di halaman depan Diskotik, dia memainkan ponselnya dan menghubungi seseorang. “Pastikan dia tidak ketakutan lagi. Dan beri dia kamar istimewa.” Ucapnya pada sekretaris pribadinya. “Baik, Tuan Enar. Dan, apa Anda yakin akan pergi seorang diri ?” “Tentu…” “Baiklah, Tuan. Apa ada yang lain, yang harus saya siapkan, Tuan ?”             Enardo sedikit berpikir sejenak. “Bawakan selimut untuk tubuhnya…” “Baik. Ada yang lain, Tuan ?” “Tidak. Segera jemput dia…” “Baiklah, Tuan…” Tutt… Tutt… Tutt…             Dia memutuskan sambungan secara sepihak. Dan masuk ke dalam mobil pribadinya. Menginjak gasnya, dan mobilnya melaju ke arah jalan yang dia tuju. … The Levent Coltar Hotel, New York, USA., Kamar VVIP.,             Dia masih diam dalam duduknya disana. Kedua telinganya menangkap suara dentingan lift terbuka. Ting!!             Kepalanya menoleh ke sumber suara. Kedua matanya menangkap seorang pria berseragam formal keluar dari dalam lift.             Seketika dirinya ketakutan. Dia langsung beranjak dari posisi duduknya. Tubuhnya mulai bergemetar. Dia berjalan mundur ke belakang, seraya berjaga-jaga.             Pria itu mulai berjalan lambat. Satu tangannya menapak di depan, sedikit berjarak dengan d**a bidangnya. “Tenang, Nona Aishe. Saya Jack, sekretaris pribadi Tuan Enardo.” Ucapnya seraya memberitahu. Sebab dia tahu bahwa wanita bernama Aishe itu mungkin masih trauma dengan kejadian yang dia alami beberapa waktu lalu. Deg!             Seakan habis lari marathon, Aishe mengatur nafas tersengalnya. Dia sedikit memberanikan diri untuk membuka suaranya. “Dan … dan dimana Tuan Enar, Tuan ?” Tanya Aishe ragu-ragu.             Jack masih membuat jarak dari Aishe. Dia tidak mau membuat wanita itu semakin takut padanya. “Tuan Enar sedang ada urusan penting. Dan Beliau mengutus saya untuk membawa Anda pergi dari sini. Mari ikut dengan saya, Nona Aishe.” Ucapnya memberi jalan padanya, menuju lift disana.             Aishe masih sedikit ragu dan takut. Kepalanya masih tertunduk ke bawah. Dia masih ragu untuk percaya dengan pria ini.             Jack yang paham, dia mendekati sofa dan meletakkan satu kantung berisi selimut tebal disana. “Jangan takut, Nona. Saya bukan penjahat. Dan pakai ini … Tuan Enardo menyuruh saya untuk memberikan ini pada Anda.” Jelasnya agar membuat Aishe percaya padanya, jika dia bukan penjahat.             Seketika Aishe melirik kantung berisi selimut itu. ‘Apa benar dia sekretaris pribadi, Tuan Enar ?’ Bathinnya seraya bertanya-tanya.             Meski ragu, dia berjalan mendekati sofa itu. Mengambil selimut yang ada di dalam sana. Dia segera menutupi tubuhnya yang setengah telanjang.             Jack yang paham, dia berjalan dulu menuju lift. “Mari, Nona Aishe. Saya harus memastikan Anda sudah sampai di mansion kami. Karena itu perintah dari Tuan Enardo” Ucapnya kembali memberitahu.             Aishe, dia berjalan sedikit lambat. Walau perintah otaknya masih tidak percaya. Dia menutup rapat selimut itu, di tubuhnya.             Dan mereka berdua masuk ke dalam lift. Namun Jack tidak mau melihat ke belakang. Dia membiarkan Aishe menyudut, membuat jarak darinya.             Dengan hati-hati dia menuntun Aishe untuk masuk ke dalam mobil. Dia duduk tepat di samping supir, membiarkan Aishe beristirahat dengan segala pikirannya yang berkecamuk. Tentu saja dia tahu itu. *** Mansion Mr. Palguna, New York, USA., Kamar Aishe., Malam dini hari.,             Dia masih meringis kesakitan saat lukanya disentuh oleh kain hangat. “Aahhkk… Ssshhh…” Ringis Aishe memegang lengannya yang banyak luka ringan.             Seketika wanita itu mulai pelan melakukan gerakannya. “Maaf, maaf.” Ucap wanita itu sedikit melirik Aishe.             Aishe menganggukkan lemah kepalanya. “Iya, tidak apa-apa. Terima kasih sudah mau mengobati luka saya.” Ucapnya lembut.             Seketika wanita itu semakin iba padanya. Entah kenapa dia merasa jika nasib wanita ini sungguh malang. Sejak awal wanita ini datang ke mansion, dia terus saja diam. Bahkan terlihat jelas ketakutan di wajah cantiknya. Yah! Dia mengakui jika wanita yang belum dia ketahui namanya itu, cantik alami bak putri dari bangsa Eropa Timur. Karena sejak beberapa menit yang lalu mereka saling diam. Dia pikir, tidak ada salahnya jika mereka berkenalan sembari membuat wanita ini merasa bahwa dia memiliki teman di mansion ini. Walau dia masih penasaran, kenapa Tuan mereka mau membawa wanita cantik berambut emas ini, tinggal di mansion tempat dia bekerja sebagai maid. Apakah wanita ini spesial bagi Tuannya atau memang mau dipekerjakan sebagai maid juga, pikirnya. Tapi kenapa kamar istimewa justru menjadi kamarnya, pikirnya lagi bertanya-tanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD