DELAPAN (Zanna's POV)

1557 Words
“Hei kak Dika! Tunggu!” Seruku lagi, tidak peduli orang-orang yang mendengar seruanku menoleh dan menatapku. Mendengar namanya dipanggil olehku, kak Dika pun menghentikan langkahnya ketika namanya dipanggil. Kak Dika menoleh ke belakang tepat di mana aku juga sedang menghentikan langkahku. Mata kak Dika sempat membulat kaget ketika menemukan siapa yang memanggilnya; yang mana itu aku. Tapi beberapa detik dia memasang wajah biasa saja. Terlihat sekali dia menutupi kekagetannya. Pasti dia tau siapa yang sedang berdiri dan memanggilnya ini. Saat melihat kak Dika, aku mendapatkan ide mendadak… Bahwa sepertinya lebih baik aku meminta tolong pada kak Dika untuk mengobati Rey dari pada aku harus turun tangan sendiri dan malah membuat Rey makin sebal; lagi pula Zanna akan tenang karena sudah tau luka Rey sudah diobati. “Kamu… Kak Dika, kan?” Tanyaku. “Iya nama gue Dika.” Jawabnya. “Gausah pake ‘kak’ tapi. Ralat lagi pertanyaan lo.” Lanjutnya. Aku yang mendengar jawaban itu pun bingung. Kenapa dia tidak mau dipanggil kak? Dia kan kakak kelasku. Lagi pula kalau aku tidak memanggilnya kakak, yang ada nanti aku disangka tidak sopan. Tapi yasudahlah. Aku pun menuruti permintaannya untuk meralat pertanyaanku agar perbicaraan ini tidak panjang. “Oke… Maksud aku, kamu Dika, kan?” Ralatku. “Eh.” Ucapnya membuatku menunggu apa lagi yang salah. “Nggak sopan lo ya sama kakak kelas cuma manggil nama.” Lanjutnya membuatku sedikit frustasi. Di tengah keadaan genting seperti ini dia malah mengulur waktu. Ggrr… Maunya dia apa, sih? “Iya maksudnya gitu deh pokoknya. Dika atau Kak Dika. Pokoknya antara itu.” Jawabku tidak mau memperpanjang lagi. “Kenapa?” Tanya Kak Dika seakan-akan tau aku memanggil namanya atas dasar kebutuhan yang urgent. Tapi aku merasakan sesuatu… Walaupun kak Dika bercanda tadi, tapi kenapa aku merasa bahwa atmosfir kak Dika ini dingin. Tidak sedingin Rey, sih. Tapi dingin… Seperti anak-anak populer yang angkuh pada orang-orang yang bukan satu standard dengan mereka. Ini kenapa, sih? Mereka semua dingin begini? Tapi kalau aku lihat, kak Anton dan kak Gege tidak. Mereka masih lebih mendingan daripada dua orang ini. Tunggu… kak Dika dan Rey bukan Vampir, kan? “Kenapa?” Tanya kak Dika lagi membuyarkan pikiran konyolku. Ah mana mungkin mereka berdua ini vampir. “Anu… Aku mau minta tolong. Kak Dika bisa kasih ini ke Rey, nggak?” Tanyaku lalu kemudian dengan cepat aku meralat permintaanku lagi. “Nggak. Nggak. Maksud aku, kak Dika bisa tolong obatin Rey pake ini nggak?” Ralatku. Bila aku hanya meminta Kak Dika memberikan kotak P3K ini ke Rey, aku tidak bisa menjamin Rey mau membersihkan lukanya sendiri atau tidak. Tapi kalau aku meminta Kak Dika untuk mengobati Rey, sudah pasti Rey akan diobati. Begitu kan logikanya? Aku masih menyodorkan kotak P3K dan Kak Dika masih menatap kotak P3K itu tanpa mengatakan apapun. Namun kemudian tatapan itu beralih dari kotak P3K kepadaku. Sebenarnya aku sangat sadar Kak Dika sedang menahan sebuah senyuman… Atau mungkin cengiran? Atau mungkin tawa? Yang pasti aku yakin sekali isi pikiran Kak Dika saat ini adalah bahwa ide yang aku ucapkan ini sangat konyol. “Ehm, denger ya anak kecil,” Ucap Kak Dika menyebutku dengan sebutan anak kecil. Seketika aku merasa aku ini seorang bocah berumur lima tahun dan Kak Dika adalah kakek-kakek berumur enam puluh tahun yang sedang berbicara dengan gadis kecil berumur 8 tahun. “Gue nggak bisa ngelakuin apa yang lo minta.” Lanjut Kak Dika kemudian. Aku pun tiba-tiba membeku dan terdiam. Kenapa tidak bisa? Rasanya aku ingin sekali menanyakan hal itu karena bila kak Dika tidak bisa, itu artinya aku harus mengobatinya sendiri kan? Tapi yang ada aku hanya terdiam dan menarik kembali kotak p3k itu. “Kok lo nggak nanyain alasan gue nggak bisa ngelakuin permintaan lo, sih?” Tanya Kak Dika kembali bertanya pertanyaan yang menyebalkan. Tapi walaupun begitu, aku tetap dengan reflek menanyakan kenapa dia tidak bisa membantuku untuk memberikan kotak p3k ini ke Rey. “Emangnya kenapa kok Kak Dika nggak bisa ngelakuin permintaan aku?” Tanyaku penasaran. “Kenapa ya? Ya… Karena nggak bisa aja. Kenapa nggak lo aja yang ngobatin?” Kak Dika balik tanya kepadaku yang masih tidak tau harus merespon apa. Hmmm… Ingin sekali aku menjawab bahwa aku ini yaa mau mau saja mengobati luka Rey dengan kedua tanganku sendiri, mungkin yaa ingin sekali. Karena kalau aku yang mengobati luka Rey, aku bisa memastikan bahwa Rey diobati dengan baik dan benar. Tapi seperti yang Rey katakan kemarin, ia ingin aku tidak menganggunya lagi. “Aduh…” Keluhku sambil menggaruk tengkuk leherku yang tidak gatal ini. Aku menggigit bibir bawahku, mencari jawaban yang masuk akal agar Dika tidak menilaiku sebagai orang aneh yang selalu ingin menganggu sajabatnya. “Begini kak Dika… A-aku nggak terlalu kenal Rey. Eh maksud aku, aku kenal Rey. Tapi ya gitu deh kak.” Ucapku terbata-bata, aku merasakan kesulitan untuk memberikan alasan. “Tenang aja, Zanna. Jangan dengerin ucapan apapun yang keluar dari mulut si Rey itu. Kadang omongannya emang tajem banget. Tapi percaua deh sama gue, dia nggak pernah benci kok sama lo. Dia cuma nggak tau apa yang dia omongin bisa berdampak apa, dan apapun omongan itu, dia nggak bener-bener bermaksud ngomong gitu sama lo. Dia emang suka ngambil kesimpulan singkat dan suka ngambil keputusan secara singkat.” Kata Kak Dika sambil memberikanku sebuah senyuman. Entah aku tidak tau apa maksud Kak Dika memberikan senyuman itu padaku karena semenit yang lalu Kak Dika terlihat dan terdengar sanat dingin saat berbicara denganku. Tapi itu tidak penting lagi. Yang penting adalah, kenapa kak Dika bisa tau namaku? Aku dari tidak memperkenalkan namaku. Kenapa dia tau namaku? Dia tau dari mana? Aku menoleh ke arah name tag yang biasanya terbordir di seragamku, tapi hari ini aku sedang tidak memakai seragam itu. Aku sedang memakai seragam cadangan yang belum sempat membordir namaku. Seketika aku berpikir apakah Rey bahkan pernah menceritakan semua yang sudah pernah aku lakukan padanya? Apa Rey menceritakan bahwa aku memaksa Rey untuk menerima nasi goreng buatanku? Apakah Kak Dika juga tau aku sering menyelipkan surat kecil di loker Rey untuk memberikan Rey semangat? Apa Kak Dika tau soal itu? Apa Kak Dika tau hal-hal lain yang sudah aku lakukan? Bisakah ini menjadi lebih buruk lagi? Kini, aku ingin sekali memiliki kemampuan menghilang. Astaga. Kak Dika akan menganggapku sebagai orang paling aneh dan mempunyai gangguan jiwa. “Eh?” Ucapku mengekpresikan kekagetanku ketika Kak Dika tau namaku. “Kok… kamu tau nama aku? Aku kan nggak ngenalin nama aku?” Tanyaku memastikan bahwa yang aku pikirkan ini tidak benar-benar terjadi. Aku berharap semoga Kak Dika tau namaku karena yaa memang dia tau karena aku itu cukup terkenal. Tapi tidak mungkin, ah. Itu mustahil dan sulit dipercaya. Aku tidak percaya itu mungkin. “Iya tau lah.” Jawab Kak Dika. “Lo yang bikin nasi goreng buat Rey, kan?” Tanya Dika lagi membuatku ingin melebur dengan tanah. Aku yakin sekarang pipiku memerah menahan malu. Tapi sepertinya Kak Dika tidak mempermasalahkan itu dan malah melanjutkan ucapannya. “Si Rey ada di lantai dua. Di kelas Matematika. Sono samperin. Nanti keburu balik, loh.” Ucap Kak Dika lalu berjalan bergitu saja meninggalkanku. Hah? Apa kata dia? Apa-apaan sih ini? Perasaan macam apa lagi ini? Rasanya malu sekali ya Tuhan. Seperti kepergok melakukan hal kriminal. Aku pun masih terdiam di tempat semula aku berdiri. Sedangkan Kak Dika sudah beranjak meninggalkanku dan kini aku hanya bisa menatap punggungnya yang makin menjauh. Saat aku tersadar, aku pun mengejarnya dan bertanya. "Lah terus kak Dika emang mau ke mana?" tanyaku bingung. Kalau memang Rey di sana, kenapa juga kak dika malah ke arah yang berlawanan? Mau ke mana memanngya dia? “Gue ada kelas tambahan.” Jawab Kak Dika. “Lo nunggu apa lagi, sih? Sono buruan samperin.” Ucap Kak Dika. “Inget ya, Zanna. Sekarang atau nggak sama sekali.” Lanjutnya yang terdengar lebih seperti ancaman dan itu berhasil membuatku ngeri. Sekarang atau tidak sama sekali. Betul. Ayo semangat! Kalahkan rasa takutmu, Zanna! Aku pun memejamkan mataku lalu menarik nafas yang dalam dan menghembuskan nya perlahan. Aku memberanikan diri untuk kembali melanjutkan langkahku untuk menaikki anak tangga yang menuju ke lantai dua. Aku berdoa dalam hati semoga apa yang aku lakukan ini tidak di tolak oleh Rey karena demi apa pun ini demi kebaikan Rey. Aku melakukan ini juga bukan karena ingin mencari perhatian pada Rey. Kalau bukan aku siapa lagi? Toh aku sudah minta tolong kak Dika pun dia malah menyuruh ku untuk aku saja sendiri yang mengobati luka Rey. Tunggu, kalau di pikir-pikir lucu juga ya. Aku memanggil Kak Dika dengan sebutan Kakak tapi pada Rey aku malah memanggil nama nya saja. Hehehe. Tapi terserah lah. Aku sudah terbiasa memanggil Rey dengan sebutan nama saja tanpa ada panggilan kak. Jadi itu seperti nya tidak masalah. Itu malah Kak Dika nya saja yang gila hormat sehingga mau nya dipanggil kakak oleh ku mentang-mentang kakak kelas. Dasar. Aku mash terus berjalan menuju kelas Rey walau pun jantung ku berdegub kencang . Aku memang pernah merasakan rasa ini; deg-degan saat akan bertemu Rey atau sedang mencuri pandang ke arahnya. Tapi ini beda. Pertama, Rey sudah membuat kesepakatan dan aku sendiri menyetujuinya tanpa berpikir lebih panjang dan negosiasi. Kedua, aku harus masuk ke kelasnya dan berhadapan secara langsung dengan Rey yang mana ketiga, aku yakin Rey sedang tidak sendiri. Pasti di sana juga ada kak Gege dan kak Anton.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD