TUJUH (Zanna's POV)

1618 Words
“Kak Rey, muka kakak kenapa?” Tanya seorang cewek yang berdiri di dekat Rey. Tapi Rey tidak menggubris pertanyaan cewek itu. Dia hanya terdiam dan tidak mengatakan apa apa sambil terus berjalan meninggalkan cewek itu. Sedangkan kak Anton yang berjalan di sebelah Rey, menggelengkan kepalanya dan mengangkat jari telunjuknya untuk ia tempelkan di bibirnya, sebagai tanda bahwa cewek itu lebih baik diam dan tidak bertanya apa-apa. Karena percuma saja bertanya, tidak akan ada jawaban apapun dari mulut Rey. Rey itu anak yang sangat tidak banyak bicara, setidaknya itu yang aku tau bila dia berada selain pada tiga teman dekatnya itu. Karena kak Anton, sontak tidak ada lagi yang bertanya perihal kenapa wajah Rey babak belur. Aku sendiri pun kaget, mataku terbelalak. Kedua tanganku menutupi mulutku yang ternganga lebar, seakan-akan bila kaget, hal yang wajib dan harus aku lakukan adalah menutup mulutnya. Seakan-akan hal yang aku lakukan ini hal yang wajib untuk aku lakukan ketika aku kaget karena takut mulutku terjatuh. Oke, kembali lagi soal Rey. Apa yang terjadi? Apa Rey berkelahi? Tapi kenapa? Aku masih belum mengerti dengan apa yang sedang aku lihat. Apakah ini hanya sekedar prank belaka? Atau ini sungguhan? Kalau memang sungguhan, apa yang membuatnya babak belur seperti itu? Apa dia ikut tawuran dan dikeroyok oleh anak sekolah lain? Ya ampun, kenapa juga Rey ikut tawuran? Rey tidak cocok ikut tawuran. Bukan, bukan karena dia memiliki wajah kutu buku atau apa, tapi ya aku tidak rela saja orang seperti Rey mengikuti tawuran. Lagi pula Rey bukan anak-anak berandal yang seperti itu. Walaupun sikapnya dingin, Rey tidak terlihat seperti anak-anak yang suka ikut tawuran. Terlalu banyak kemungkinan bila aku memikirkannya sendiri. Aku tidak tau pasti apa yang menimpa Rey sehingga wajah Rey babak belur seperti itu dan membuat seisi sekolah geger. Aku pun menatap Rey yang masih berjalan santai tanpa menghiraukan orang-orang yang berkumpul untuk melihat wajahnya yang babak belur. Pada akhirnya Rey, kak Gege, kak Anton, dan kak Dika pun melewati kelasku. Aku berdiri tepat di ambang pintu kelas. Aku berada di belakang barisan murid-murid yang lebih dulu berkumpul. Tapi aku berjinjit agar bisa melihat wajah Rey lebih jelas. Saat dia lewat, aku bisa melihat wajahnya yang babak belur. Terlihat bukan baru saja terjadi sih, seperti sudah agak lama. Mungkin kejadiannya semalam? Entah lah. Aku masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi pada Rey. Rey tidak mungkin melakukan tindakan kriminal seperti mencuri dan mencopet, kan? Ah astaga. TIdak mungkin lah. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk mengenyahkan pikiran yang tidak benar itu. Aku tidak percaya dengan isi kepalaku sendiri yang malah berpikiran yang tidak-tidak. Seandainya aku bisa bertanya langsung ke arah Rey. Atau seandainya aku tau kejadian yang sebenarnya, aku tidak akan menebak-nebak seperti ini yang membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku sih berharap sangat amat bahwa Rey tidak melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Aku yakin Rey bukan tipe orang yang seperti itu. Dia anak yang baik dan aku sangat yakin Rey benar-benar anak yang baik. Walaupun mungkin dia bukan anak-anak kutu buku, tapi aku yakin Rey bukan juga anak yang selalu bikin onar. Malah Rey selalu menghindari hal itu karena walaupun sudah terlanjur menjadi populer karena ketampanannya, Rey tidak ingin menjadi sorotan. Tapi mau bagaimana lagi? Salahkan wajahnya yang tampan itu. Aku menatap lagi wajah Rey. Dari posisiku sekarang, aku bisa melihat tulang pipi kanan Rey terlihat bengkak dan membiru. Ada goresan luka di tulang hidung Rey, dan ujung alis kirinya luka. Aku meringis. Pasti itu sakit sekali. Aku tidak tega melihat Rey seperti itu. Tapi kenapa Rey terlihat biasa-biasa saja? Apa dia juga bisa menahan rasa sakit? Malang sekali. Kalau benar ini karena ulah orang lain, aku akan sangat marah pada orang itu. Bisa-bisanya dia melakukan ini pada Rey! Saat aku sedang melihat wajah Rey, rasanya adegan itu di slow motion. Dan pada saat aku masih menatapnya, Rey melirikku. Seakan-akan dia tau di mana tempatku berdiri. Aku yakin sekali dia melirik ke arahku. Walaupun lirikkan itu bukan berarti apa-apa, tapi aku kaget. Selama dia berjalan tadi tatapannya lurus ke depan. Tapi saat ia melewati kelasku, ia melirik dan tepat sekali melirik di mana aku berdiri. Apa ini tandanya aku dan Rey memiliki ikatan batin? Atau aku dan Rey memiliki radar yang bila kami saling berdekatan, radar itu menunjukan sinyal atau bunyi tertentu dalam kepala kita untuk memberitahu. Apapun itu, terserah. Rasanya sekarang aku ingin sekali berlari ke arah Rey dan memeluk Rey sambil menangis. Aku tidak tega melihat Rey seperti itu. Rasanya sesak sekali dan kepalaku juga rasanya pusing. Aku memang pernah melihat orang yang babak belur. Tapi itu hanya di film saja. Sekarang, aku malah melihatnya langsung dengan mata dan kepalaku sendiri. Dan parahnya, orang yang babak belur itu adalah orang yang spesial di hatiku. Tidak pernah terlitas sedikit pun di benakku bahwa aku akan melihat kejadian ini pagi ini. * * * Dari tadi, yang aku terus pikirkan adalah keadaan Rey. Kenapa sih di otakku itu penuh dengan pemikiranku untuk Rey? Padahal boro-boro Rey memikirkanku. Dia pasti ogah sekali memikirkanku. Sekalinya memikirkan tentangku, pasti memikirkan cara bagaimana aku bisa hilang saja agar tidak bisa bertemu dengannya lagi. Tapi bagaimana ini? Rey terlihat tidak baik-baik saja dan aku tidak bisa tidak memikirkannya. Kenapa sih dia? Apa yang terjadi? Bila dia bertengkar, apa penyebabnya? Aku masih saja memikirkan hal ini dan tidak mau berhenti berpikir. Padahal aku jelas-jelas tau apa yang aku lakukan. Bila aku terus begini, aku malah akan pusing. Untuk apa juga, kan, memikirkan hal yang belum tentu terjadi? Lalu hal baru muncul di benakku… Kalau sudah tau wajahnya seperti itu, Rey malah tetap masuk dan tidak mempedulikan banyaknya pasang mata yang sudah pasti akan menatapnya dengan tatapan penasaran. Lagi pula siapa juga yang tidak penasaran? Kalau pun bukan Rey, bila ada anak yang datang ke sekolah dengan tampang seperti itu, itu akan mengundang orang lain untuk berkerumun dan menyaksikan. Tapi di balik itu semua, berarti Rey memiliki mental sekuat baja. Kalau aku ada di posisi Rey, sih, aku tidak akan mau masuk dan memilih bolos saja dibanding harus menjadi tontonan orang lain seperti itu. Mengingat luka di wajah Rey, pasti rasanya sakit sekali. Aku saja yang penah terjeduk di tembok, rasanya sakit sekali. Apalagi bila babak belur seperti itu. Pasti benar-benar sakit, kan? Huh bodoh sekali. Ya pasti sakit lah. Pertanyaanku kok terdengar bodoh sekali, ya? Aku pun memukul pelan kepalaku sebagai bentuk punishment karena aku merasa sudah mengajukan pertanyaan bodoh bahkan walaupun pada diriku sendiri. Karena jawabannya sudah pasti sakit lah. Huh. Tidak mungkin tidak sakit kan dengan wajah yang babak belur seperti itu? Aku pun mengatur nafasku, rasanya aku terkena serangan panik dan aku berusaha menenangkan diriku terlebih dahulu sebelum memikrikan hal-hal terburuk yang mungkin terjadi pada Rey. Aku harus menenangkan diri sendiri bahwa hal buruk yang sedari tadi aku pikirkan. Aku berkali-kali memejamkan mataku sambil terus membayangkan luka memar di wajah Rey. Dan seketika aku meringis lagi. Aku tidak pernah bisa tahan melihat hal-hal seperti ini, yaa kalau di film sih aku masih bisa tahan karena itu tidak sungguhan, kan? Itu hanya sebagian dari sandiwara. Tapi kalau aku melihatnya dengan mata dan kepalaku sendiri? Ohh tentu saja aku tidak bisa tahan. Aku tidak tega melihat orang atau hewan terlihat kesakitan. Aku sendiri tidak bisa menahan luka di tubuhku sendiri. Dan aku paling takut dengan obat luka. Aku hampir menendang ayahku ketika ayahku hendak membersihkan luka di lututku yang berdarah akibat jatuh dari bersepeda saat aku masih kecil. Tapi walaupun begitu, aku tidak merasa keberatan bila aku harus merawat orang yang luka atau hewan yang luka. Selama bukan aku yang dirawat, tidak ada masalah. Dulu, saat Zanna masih berusia lima tahun, aku menemukan seekor anjing di pinggir jalan yang kakinya yang pincang karena terlindas mobil. Aku pun lalu membawa anjing itu pulang ke rumahku untuk mengurusi anjing jalan itu. Tapi rasanya itu tidak cukup. Walaupun aku sudah mengamankannya dan membawanya ke rumahku, aku masih merasa tidak tenang. Aku merasa sedih dan menangis sepanjang malam. Hal itu membuat ayah dan ibuku bingung. Tapi keesokan harinya, aku pun kembali riang karena ayah dan ibuku bilang padaku bahwa mereka akan membawa anjing itu ke dokter dan anjing itu akan segera sembuh dan tidak merasakan sakit lagi. Pelajaran Matematika telah usai dan kemudian bel berdering menandakan kelas ini berakhir. Aku pun mengemasi barang-barangku dan bergegas keluar kelas. Setelah berpikir begitu lama tadi, akhirnya aku membuat sebuah keputusan. Yaitu aku bertekad bulat untuk mengobati luka di wajah Rey. Walaupun ini penuh resiko tinggi yang mana Rey akan menolakku mentah-mentah, tidak apa-apa. Aku tidak akan tau bila aku tidak mencoba. Aku tidak mau merasa gelisah terus menerus tanpa melakukan sesuatu. Aku pun berjalan menuju ruang UKS dan meminjam kotak P3K kepada guru yang sedang piket dan menjaga ruang UKS. Aku benar-benar sudah memantapkan diri untuk mengobati luka memar Rey. Aku harus tahan mental bila nanti Rey memakiku. Karena pasalnya aku sudah menyetujui kesepakatan yang Rey buat. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa membiarkan Rey seperti itu. Setelah mendapatkan apa yang aku butuhkan, aku pun berjalan cepat menaikki tangga menuju ke ruang kelas Rey. Tapi sepertinya aku harus mengurangi kecepatan langkahku ketika ada pak Hendri, guru sejarahku tadi, yang sedang berjalan menaiki tangga tepat di depanku. Aku tidak mau dianggap tidak sopan bila menerobosnya. Jadi aku pun harus menahan diriku sendiri untuk tidak menyerobot dan tetap berjalan santai di belakang Pak Hendri. Saat aku baru saja memijakkan kakiku di anak tangga terakhir, aku berpas-pasan dengan Dika yang sedang menuruni tangga. Dengan begitu, aku pun memutar balik haluanku untuk mengejar Dika. “Tunggu! Tunggu!” Teriak ku sambil menyeimbangi langkah Dika. Saat aku baru saja memijakkan kakiku di anak tangga terakhir, aku berpas-pasan dengan Dika yang sedang menuruni tangga. Dengan begitu, aku pun memutar balik haluanku untuk mengejar Dika. “Tunggu! Tunggu!” Teriakku sambil menyeimbangi langkah Dika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD