SEMBILAN (Zanna's POV)

1063 Words
Aku pun memejamkan mataku, mencoba untuk menenangkan diriku sendiri dengan cara menarik nafas yang dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan, berharap cara ini bisa membuatku lebih tenang dan lebih berani. Tapi rasanya berat sekali karena aku masih takut Rey memarahiku. Kalau nanti aku dimarahi Rey, bagaimana? Aku malu bila di depan kak Gege dan kak Anton. Tapi kalau aku sudah di sini, aku rasa berbalik arah hanya membuatku merasa makin cemas. Kalau misalnya aku sekarang itu pergi saja tanpa melakukan apa-apa dan membalikkan kotak p3k ini ke ruang UKS. Yang ada nanti aku malah makin cemas dan menyayangkan kenapa aku tidak melakukan yang seharusnya aku lakukan. Jadi aku pun menarik nafas sekali lagi, menghitung mundur lalu aku memantapkan diri sendiri untuk lanjut naik. Aku memberanikan diri untuk kembali melanjutkan langkahku untuk menaikki anak tangga yang menuju ke lantai dua. Aku berdoa dalam hati semoga apa yang aku lakukan ini tidak di tolak oleh Rey karena demi apapun ini demi kebaikan Rey. Aku melakukan ini juga bukan karena ingin mencari perhatian pada Rey. Kalau bukan aku siapa lagi? Toh aku sudah minta tolong kak Dika pun dia malah menyuruhku untuk aku saja sendiri yang mengobati luka Rey. Tunggu, kalau dipikir-pikir lucu juga ya. Aku memanggil Kak Dika dengan sebutan Kakak tapi pada Rey aku malah memanggil namanya saja. Hehehe. Tapi terserahlah. Aku sudah terbiasa memanggil Rey dengan sebutan nama saja tanpa ada panggilan kak. Jadi itu sepertinya tidak masalah. Itu malah Kak Dika nya saja yang gila hormat sehingga mau nya dipanggil kakak olehku mentang-mentang kakak kelas. Dasar. Aku mash terus berjalan menuju kelas Rey walaupun jantungku berdegub kencang. Aku memang pernah merasakan rasa ini; deg-degan saat akan bertemu Rey atau sedang mencuri pandang ke arahnya. Tapi ini beda. Pertama, Rey sudah membuat kesepakatan dan aku sendiri menyetujuinya tanpa berpikir lebih panjang dan negosiasi. Kedua, aku harus masuk ke kelasnya dan berhadapan secara langsung dengan Rey yang mana ketiga, aku yakin Rey sedang tidak sendiri. Pasti di sana juga ada Gege dan Anton. Kini aku sudah berada di depan kelas Materimatika di mana Rey berada. Aku menyempatkan diriku sendiri untuk mengintip ke kaca kelas, benar saja… di kelas ada Anton dan Gege yang sedang mengobrol entah mengobrol apa. Dalam aku aku berdoa. Semoga saja Rey tidak menolakku dan aku tidak membuat diriku sendiri malu. Apalagi di depan teman-temannya. Sudah cukup ucapan Kak Dika membuatku malu. Aku terus berdoa dan meyakinkan diri sendiri bahwa aku hanya harus mengobati luka Rey dan setelah itu segera pergi dari sini. Hanya itu. Jangan bersikap bodoh, jangan berkata hal yang bodoh. Pokoknya lakukan saja niat awal yang ingin kamu lakukan, Zanna! Sebelum masuk, aku memantapkan diriku sendiri sekali lagi untuk melangkah masuk. Ketika aku sudah melangkah dan sudah berada di ambang pintu kelas Rey, tiba-tiba aku merasa bahwa aku ingin mundur saja mengurungkan niatku dan berlari menjauhi kelas ini. Tapi aku terlambat… Gege sudah menangkan kehadiran diriku yang mematung di ambang pintu kelas. Aku sudah tertangkap basah. Setelah tatapan Gege yang menuju ke arahku, Anton dan Rey pun ikut menatap ke mana arah Gege menatap; yang pastinya adalah aku. Sudah basah kuyup. Aku sudah tidak bisa lagi memutar balik haluan. Setelah menatap ke arahku, tatapan mereka turun ke arah kotak P3K yang sedang aku bawa. Mereka lalu menatapku lagi. AYO ZANNA, KAMU PASTI BISA! Dengan gemetar, aku pun melangkah masuk. Obati dan pulang. Itu saja. Aku tersenyum canggung ke arah Gege dan Anton dan menunjuk kotak P3K yang ku bawa sebagai bentuk ucapan ‘permisi, maaf menanggu kalian dengan tiba-tiba datang. Aku ke sini hanya untuk mengobati luka teman kalian yang wajahnya sudah sangat tidak baik-baik saja itu.’ Setelah memberikan senyuman canggung ke arah mereka berdua, aku pun mendekati meja Rey. Kebetulan sekali Gege dan Anton duduk di belakang meja Rey yang mana aku mempunyai space untuk duduk disamping Rey. Aku menempatkan bokongku di bangku sebelah Rey dan menaruh kotak P3K di meja. Setelah itu aku dengan cepat membuka kotak tersebut untuk menjadi kapas dan alkohol. Setelah kapas dan alkohol sudah keluar dari kotak, aku pun menuangkan cairan alkohol dari botol ke permukaan kapas, lalu aku menatap Rey dengan sangat serius. “Rey, gue cuma berniat buat ngobarin luka lo. Setelah itu gue bakal langsung pergi dan bener-bener nggak bakal ganggu lo lagi. Gue janji.” Ucapku dengan mantap. Padahal dalam hati, aku masih menyayangkan ucapanku tadi. Huhu. Berarti ini terakhir kalinya aku bisa menganggu Rey. Tanpa menunggu lama dan tanpa menunggu respon Rey yang aku tau dia tidak akan merespon, aku pun segera menempelkan kapas yang sudah ditetesi cairan alkohol tadi ke luka di wajah Rey. Kali ini ada luka di tulang pipi kanan Rey. “Ini dari kapan?” Tanyaku. Rey meringis, tapi tidak menjawab pertanyaanku. Dia menatatapku bingung. Dari ujung mataku, aku juga bisa melihat Gege dan Anton yang sedang menatapku dengan sama bingungnya. Tapi aku berusaha untuk tidak menghiraukan tatapan mereka dan fokus pada apa yang aku kerjakan yaitu membersihkan luka Rey. Setelah itu aku pun membalikkan kapas ter sebut dan kembali menetes kan cairan alkohol ke permukaan kapas, kini bagian ujung alis kiri Rey yang aku obati. Dan saat kapas alkohol tersebut menyentuh luka di alis Rey, ia kembali meringis. Setelah sudah bersih, aku pun membersihkan goresan luka yang ada di tulang hidung Rey. Sebenarnya rasanya aku ingin pingsan saat ini juga karena ini pertama kalinya aku berada di jarak sedekat ini dengan Rey. Jantungku berdegub sangat kencang dan tanganku gemetaran dan juga sangat dingin. Aku yakin Rey juga bisa merasakannya. Kalau Rey bisa merasakan bahwa aku ini sedang nervous. Dia pasti menertawakanku dalam hati. Atau malah justru marah karena aku tidak menepati kesepakatan kita? Tapi aku melakukan ini kan demi kebaikan dia juga. Aku tidak mau membiarkan lukanya terlalu lama seperti ini. Ini harus segera dibersihkan dan diobati. Setidaknya aku hanya bisa membantu ini. Kalau bisa juga awalnya aku meminta kak Dika yang membersihkan dan mengobati luka Rey. Tapi kak Dika tidak mau dan mau tidak mau aku yang harus maju, kan? Kata kak Dika juga sekarang atau tidak sama sekali. Jadi aku mengambil resiko ini karena kalau bukan sekarang, kapan lagi? Fakta bahwa dari tadi Rey juga menatapku membuatku ingin segera keluar dari kelas ini dan berlari ke arah kamar mandi untuk mencuci wajahku. Astaga. Selama ini yang Rey lakukan hanya lah menatapku dengan tatapan dingin. Tapi sekarang walaupun tatapan Rey di d******i oleh tatapan bingung, aku bisa merasakan bahwa tatapan Rey mulai menghangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD