ENAM (Zanna's POV)

1507 Words
Aku terus mengetuk-ngetukkan jari telunjukku ke meja. Ini adalah apa yang selalu aku lakukan ketika aku sedang bosan. Iya, aku tidak sabar menunggu kelas berakhir. Aku bahkan tidak fokus dengan apapun yang sedang diajarkan guru di depan kelas. Anak-anak sepertiku memang tidak diberikan anugerah menikmati pelajaran seperti anak-anak yang terlahir dengan otak jenius, yang suka belajar. Aku sendiri tidak suka belajar karena belajar membuatku pusing. Tapi pada hari-hari tertentu seperti misalnya bila besok ada ujian, aku akan belajar di malam hari. Sangat tidak bagus untuk dicontoh. Jangan contoh aku. Aku mencoba untuk fokus. Tapi pikiranku tetap tidak di sini. Mataku sih dengan antengnya menatap lurus ke depan di mana pak Hendri sedang berdiri dan menceritakan sejarah tentang perang dunia ke II, tapi walaupun sepasang mataku menatap pak Hendri, pikiranku malah melayang pada kejadian kemarin di mana aku menangis di depan Rey. Aku malu sekali sekaligus meratapi diri yang sangat menyedihkan itu. Bisa-bisanya aku menangis. Menangisnya sih sebentar. Tapi tetap saja itu akan menjadi hal yang paling memalukan. Tanpa aku sadari, aku menutup wajahku karena malu. Syukur saja karena aku ini bukan anak jenius, jadi guru juga tidak terlalu memperhatikan aku. Tidak semua guru di sini begitu sih, tapi setidaknya pak Hendri begitu. Jadi walaupun mungkin aku melakukan gerakan tiba-tiba seperti menutup wajahku, pak Hendri tidak akan merasa terganggu kecuali jika aku tiba-tiba teriak dan membuat semua perhatian tertuju padaku. Oke, kembali pada kejadian kemarin pada saat aku membuat malu diriku sendiri, selain itu juga dia membuat kesepakatan denganku, bahwa bila dia menerima nasi goreng yang aku buat kan untuknya, aku harus menjauhinya dan tidak menganggunya lagi. Dan dengan entengnya aku malah menyetujui permintaan itu tanpa berpikir apa kah Rey benar-benar memakan nasi goreng darinya. Atau malah dia membuangnya? Atau mungkin Rey memberikannya pada orang lain? Aku membenamkan wajahku ke kedua tanganku yang terlipat di atas meja. Kenapa aku tidak membuat kesepakatan juga bahwa aku tidak akan menganggunya lagi dengan syarat Rey harus benar-benar memakan nasi goreng buatanku? Karena aku baru menyadari ada yang janggal kemarin setelah dia menerima kesepakatan itu. Rey hanya bilang bahwa ia akan menerima kotak bekal yang aku berikan, Rey tidak bilang dia akan memakannya. Dan seketika aku mulai overthinking lagi. Hmm… begitulah, aku seharusnya memikrikan hal yang penting, misalnya seperti memikirkan pelajaran atau masa depanku mau bagaimana. Tapi aku malah memikirkan seorang Rey yang aku tau untuk memikirkanku saja pasti tidak terlintas di benaknya. Ya sudah pasti lah dia tidak mau memikrikan aku. Rey kesal padaku. Terlihat jelas dari tatapan dan dari sikapnya padaku. Dia sudah berani terang-terangan mengatakan bahwa aku ini mengganggunya. Mungkin dia tidak akan sudi memakan nasi goreng itu. Jadi aku tidak punya harapan bahwa nasi goreng buatanku akan dimakan olehnya. Itu tidak akan terjadi. Dan salahku sendiri karena aku tidak meminta kesepakatan bahwa dia tidak hanya menerima nasi goreng buatanku, tapi aku juga harusnya meminta untuk dia memakan nasi goreng buatanku. Huaaa. Aku bangkit lagi dan menatap ke depan, di mana pak Hendri masih mengoceh perihal perang dunia ke II. Seharusnya aku sebagai generasi baru harus menyimak agar aku tau apa yang sudah dunia tua ini lalui. Tapi aku tidak bisa fokus dan diajak kerja sama untuk menyimak. Rasanya perang dunia II tidak tertarik bagiku. Aku lebih tertarik merenungi kebodohanku sendiri. Seketika rasa malu menyelimuti diriku lagi ketika mengingat ia menangis sesegukan di depan Rey kemarin. Rasa malu itu bertambah 5 kali lipat ketika mengingat fakta bahwa Rey bahkan tidak peduli padaku dan tidak ada niat untuk menenangkanku. Dengan pipi yang memerah, aku memejamkan wajahku ke kedua tanganku lagi yang masih terlipat rapih di atas meja. Aku yakin sekali beberapa murid di kelas ini menyadari gerakanku dan sedang bingung dengan apa yang sedang aku lakukan. Tapi masa bodoh lah. Aku tidak peduli. Biarkan saja mereka berpikir apa tentangku. Yang aku pikirkan saat ini adalah… Aku malu sekali. Kalau saja aku tidak mengejar Rey kemarin. Kalau saja juga aku tidak menangis. Kalau saja aku tidak mengatakan hal-hal bodoh yang membuat Rey tambah muak padaku. Mungkin kesepakatan kemarin tidak akan ada dan aku masih bisa menghampiri Rey sepulang sekolah seperti biasanya atau membuat sesuatu lagi untuk Rey. Kini aku juga berpikir pasti Rey berpikir yang tidak tidak mengenai nasi goreng buatanku itu, pasalnya aku terkesan memaksa Rey untuk menerima nasi goreng itu. Sampai pada akhirnya ia menerima nasi gorengku dengan suatu syarat. Kalau saja aku tidak suka pada Rey, aku tidak akan sampai segininya. Tapi itu semua sudah terlambat! Kalau pun aku meminta adegan ulang, pasti hatiku akan tetap memilih Rey. Tepat saat aku mendongakkan kepalaku untuk kembali menatap Pak Hendri ke depan, bel tanda kelas berakhir pun berbunyi. Yes! Akhirnya aku tidak perlu lagi pura-pura mendengarkan ocehan pak Hendri. Dengan begitu Pak Hendri pun mengakhiri kelasnya hari ini dan bergegas keluar kelas, diikuti oleh teman-teman kelasku yang berbondon-bondong membuntuti pak Hendri dari belakang. Aku menghela nafas dengan berat berharap semua overthinkingku juga ikut terhembus pergi dari dalam kepalaku. Aku melirik jam tanganku. Bagus. Aku masih memiliki jeda waktu dua puluh menit sebelum kembali masuk ke kelas Matematika. Ugh, saat mengingat setelah ini akan ada kelas Matematika, rasanya moodku kembali anjlok. Susah sekali, sih, ceria pada saat-saat di mana banyak sekali pemikiran di kepala. Apalagi pemikiran itu tentang kebodohan yang seharusnya tidak aku lakukan. Saat teman-temanku berbondong keluar kelas, aku malah malas-malasan di tempat dudukku. Aku memang ingin kelas berakhir, tapi bukan untuk keluar kelas atau ke kantin atau ke mana pun. Aku hanya berharap kelas berakhir agar aku bisa dengan cepat bersantai di tempat duduk sambil memainkan ponselku. Tapi sudah kurang lebih lima menit, aku tidak menemukan sesuatu yang menarik dari ponselku; aku sudah scroll sosial media pun tidak ada yang membuatku tertarik. Aku sudah mencoba untuk mencari username Rey di aplikasi ** untuk mengecek apakah permintaanku sudah dia accept atau belum. Dan ternyata belum. Aku bahkan penasaran apakah Rey benar-benar bermain **? Apakah ini Rey yang aku maksud? Dari nama panjangnya sih ini sama dengan Rey yang aku maksud. Tapi bio saja tidak ada. Display Picture pun ia memakai foto karakter Captain Levi dari film Attack On Titan. Wow, aku sendri takjub aku bisa tau siapa karakter yang ada di display picture ** Rey. Padahal aku saja tidak menonton anime. Sebenarnya aku tidak tau bila Rey sudah accept permintaanku pun, aku tidak tau apa yang akan aku stalk karena terlihat postingannya hanya 0. Mungkin kalau aku sudah di accept, aku bisa melihat siapa saja yang mengtag dia di akunnya. Hehe. Apapun yang menyangkut soal Rey, selalu saja membuatku bingung sekaligus penasaran. Contohnya, aku bahkan tidak pernah melihat Rey akrab dengan siapa pun kecuali tiga ajudan yang selalu bersamanya itu; Gege, Anton, dan Dika. Apa sebenarnya yang tiga orang itu lakukan sehingga Rey mau berteman baik bersama mereka? Kok bisa yaa tiga orang itu tahan dengan sikap dingin temannya itu. Diingat-ingat, sudah enam bulan lamanya aku berusaha untuk dekat dengan Rey, tapi tidak ada satu pun dari usahaku yang berhasil. Malah sekarang Rey memintaku untuk menjauhinya. Sudah pasti kalau Rey muak padaku. Wow... Apa ini bisa lebih buruk lagi? Aku sadar aku terlalu keras kepala dan tidak mau mengerti posisinya. Aku sendiri masih belum mengerti cara yang baik dan benar seperti apa. Aku selalu merasa cara yang aku pakai ini benar, aku itu penasaran dan peduli pada Rey. Tapi sepertinya tidak baik sama sekali seperti ini. Oleh karena itu aku harus mengikuti kemauan dan kesepakatan yang sudah kita buat kemarin. Rey menginginkan aku menjauhinya. Oke kalau begitu. Setidaknya aku sudah bisa membuatkannya nasi goreng. Aku pun keluar dari aplikasi ** dan kembali mengunci layar ponselku. Terlalu lama memikirkan seorang Rey, aku jadi lupa bahwa aku juga perlu memikirkan diriku sendiri. Aku kini merasakan perutku lapar. Mungkin satu atau dua buah roti isi bisa membantu perutku yang mulai minta diisi ini. Ayo lah Zanna. Rey bisa saja menyakitimu. Tapi makanan tidak akan menyakitimu, kan? Aahhh… Satu hal yang lucu dan fakta; orang-orang bisa menyakiti hatimu dan mengkhianatimu, tapi makanan tidak bisa. Ini cukup menghiburku. Setidaknya walaupun aku tidak bisa lagi dekat dengan Rey, aku masih bisa menikmati makanan. Tuhan baik sekali, dia memberikan kita, manusia, makanan yang berlimpah dengan berbeda-beda rasa sehingga kita bisa menikmati semuanya. Maka nikmat mana yang kau dustakan, hm? Ketika aku sedang merapihkan barang-barangku, suara ribut dari luar kelas terdengar. Wah, biasanya bila ada suara ribut seperti ini, artinya ada yang berkelahi. Jadi aku pun segera memasukkan buku-buku dan tempat pensilku ke dalam tas agar bisa cepat-cepat keluar kelas untuk melihat siapa yang berkelahi kali ini. Aku melirik ikut menyempil di kerumunan murid-murid dan berusaha untuk melihat siapa yang mereka ributkan. Dari sela-sela sini, aku tidak melihat ada yang berkelahi, melainkan aku hanya melihat orang-orang yang berdiri di sepanjang koridor. Tidak ada yang berkerubung. Karena bila ada yang berkelahi, seharusnya berkerubung, kan? Lalu tidak lama kemduain aku melihat Rey, Gege, Anton, dan Dika sedang berjalan di koridor sekolah. Rey dan gengnya sekarang seperti seorang artis yang sedang berjalan di atas karpet merah dan sedang disambut disambut oleh paparazzi. Bedanya tidak ada kamera. Hanya banyak pasang mata yang menyaksikan Rey, Gege, Anton dan Dika yang berjalan di koridor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD