11. Cell

1298 Words
Case 11  Chihaya terperanjat di dalam mobil jib mendengar suara tembakan, sementara tawanan lain berdiri bisu melihat pada satu arah yang sama. Beruntungnya bagian tubuh pria Eropa yang terkena tembakan hanya kaki. Tapi karena kejadian itu petugas lain yang berjaga atau pun berada di dalam bangunan berhamburan lari ke luar gedung, mencari asal suara tembakan dan melihat apa yang telah terjadi. Dalam aksen Korut mereka saling berteriak satu sama lain, menuntut kejelasan situasi tersebut mengapa sampai melepas tembakan pada tawanan. “Kau sudah tidak waras ya! Siapa yang mengizinkan menggunakan senjata sungguhan! Cukup kalian takut-takuti mereka!” Teguran keras kapten pada tentara paling muda di antara mereka. “T-Tapi dia berusaha kabur.” Ucap tergagap tentara yang melepas tembakan, ia sendiri kaget dengan tindakan spontanitasnya karena dorongan keadaan dan dikuasai panik. “Kalian hanya diperintahkan untuk membawa mereka ke sini. Bukan menghilangkan nyawa!” Protes tentara lain yang datang dari dalam gedung. “Cepat bawa pria itu dan yang lain ke dalam. Jangan lakukan apa pun pada mereka sebelum mendapat perintah!” Sampai dengan saat ini arahan yang mereka dapat adalah menahan penyintas kapal ke dalam sel. Mereka dilarang keras melakukan tindakan lebih jauh karena belum diketahui identitas masing-masing tawanan. Butuh proses penyelidikan latar belakang yang harus dilakukan untuk mendapat informasi dari masing-masing individu. Hal ini dilakukan sebagai langkah keamanan guna menghindari konflik pada negara atau badan dan pihak asing tertentu yang mungkin bisa membawa kerugian bagi pemerintah Korut nanti kedepannya. “Siap!” Pria Eropa yang meringis kesakitan dibopong petugas ke dalam bangunan tua itu, diikuti para tawanan lainnya. Sesuai perkiraan Chihaya di dalam mereka digeledah dan pakaian dilucuti, berganti dengan baju seragam serupa baju tahanan, barang pribadi apa pun disita. Baik yang ada dalam bawaan atau pun yang melekat pada diri, tanpa ada yang luput tersisa. Lalu mereka di masukan dalam jeruji besi satu sel yang sama. Sejak dari tepi pantai hingga masuk ke dalam sel, hak suara mereka dirampas paksa. Bila mereka berani buka suara maka para tentara Korut tidak segan bermain kasar, menghujani mereka dengan pukulan serius pada bagian tubuh yang tertutup. Begitulah yang terjadi pada beberapa orang asal Tiongkok yang memberontak dan protes dalam perjalanan mereka diseret ke tempat itu. Lalu serupa juga dengan apa yang terjadi pada pria Eropa, mereka tidak memiliki kesempatan atau pun pilihan berbuat hal lain kecuali mengikuti semua perintah tanpa perlawanan demi keselamatan sendiri. Wanita paruh baya bicara pada Chihaya dalam bahasa Mandarin. “Nak, bisa bantu saya?” Suaranya lemah. Chihaya 4 tahun berkuliah di Tiongkok, tentu saja dia bisa dan mengerti berbahasa Mandarin meski belum fasih. “Ya?” “Bisa ikatkan rambut saya? Cukup ikat saja agar lebih rapih.” Pintanya. Bukan karena alasan apa-apa, wanita itu tidak bisa mengikat rambutnya sendiri karena satu tangannya luka cidera akibat terjatuh tadi dan sekarang bengkak tidak bisa digerakkan. Saat digeledah dan dilucuti petugas, tatanan rambut wanita itu sebelumnya tersanggul rapih bak wanita bangsawan tapi kini tergerai acak. Hingga rambut sekali pun tidak luput dari pemeriksaan karena menurut mereka bisa saja sesuatu disembunyikan dalam volume rambut di kepala. Chihaya merasa miris dengan keadaan wanita yang sudah cukup tua untuk melewati situasi ini,  meski ia pikir bukan saatnya merasa iba pada keadaan orang lain sementara dirinya juga berada di posisi sulit. Tapi untuk melakukan permintaan wanita itu bukanlah hal sulit, tanpa kata-kata Chihaya datang bergerak mendekati wanita yang terlihat payah dalam duduknya. Sementara pria Eropa yang tertembak kakinya tadi juga berada dalam sel yang sama, memang ia mendapat perawatan tapi hanya sekedarnya saja. Darah masih terlihat banyak keluar membuat lepek perban yang membalut luka kakinya dan keadaannya kritis dalam pembaringan, suhu tubuhnya deman tinggi bermandikan keringat. Penghuni satu sel lainnya menyaksikan hal itu tapi tidak bisa berbuat banyak. Terkena tembakan di kaki memang tidak mematikan atau membahayakan nyawa. Tapi bisa saja nyawa pria itu terancam bila lukanya tidak kunjung mengering dan kehilangan banyak darah. *** Chung Ryeol bergegas kembali ke basis militer tempat di mana resimennya berada. Setelah meninggalkan batalyon cukup lama karena alasan menjalankan misi selama hampir tiga bulan terakhir. Operasi pelenyapan para pembelot Korut yang melarikan diri dan bersembunyi di negara asing mengapa bisa memakan waktu selama itu karena suatu alasan. Terkadang tantangan terbesar dalam misi ini adalah bagian pengejaran yang seperti bermain kucing-kucingan. Selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, lebih sulit lagi bila pembelot itu adalah mantan personil angkatan bersenjata. Sepert misi terakhir yang Chung Ryeol jalankan sekarang. Biasanya pembelot angkatan militer berkhianatan demi mengejar materi. “Pembelot terakhir berhasil dibereskan. Bersamaan dengannya ditemukan uang tunai dalam ransel. Saya curigai sebagai dana yang akan digunakannya di Korsel untuk membeli identitas baru dan hidup di sana.” Laporan Chung Ryeol tentang pembelot saat menghadap langsung komandannya. Begitu sampai tempat pertama yang menjadi tujuan adalah ruang kerja Kolonel. “Jalur perairan sengaja dipilih untuk melakukan transaksi di atas kapal, transaksi memang berhasil digagalkan tetapi...” “Tetapi salinan dokumen tetap tidak bisa kau temukan?” Sambung atasannya itu. Saat Chung Ryeol menjalankan operasi, orang yang selalu terhubung dengannya lewat sambungan komunikasi adalah Kolonel tersebut. “Maaf! Namun saya telah memastikan pihak musuh tidak memiliki salinan dokumen tersebut.” Beralasan atau mencari pembelaan diri bukanlah gaya angkatan bersenjata Korut. “Sungguh? Kau yakin itu!” Tatapan intens atasan Chung Ryeol padanya, menuntut komitmen dan tanggung jawab Chung Ryeol sebagai personil andalan yang paling dipercaya olehnya. “Sangat yakin Pak!” “Baiklah aku mengerti. Lantas apa rencanamu? Kenapa kau membawa penumpang kapal itu. Apa alasannya?” Chung Ryeol sama sekali belum menjelaskan tindakannya menawan penumpang kapal. Kolonel baru mendengar perihal itu dari laporan personil di lapangan, rekan Chung Ryeol yang bertindak sebagai tim bala bantuan. “Siap Pak! Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan dengan seorang di antara mereka. Percayakan pada saya, saya akan selesaikan semua secepatnya tanpa menimbulkan masalah.” Sikap berdiri tegap Chung Ryeol memancarkan kepercayaan dirinya. Memang Chung Ryeol sama sekali tidak melaporkan bahwa muncul seorang saksi mata saat melakukan operasi pelenyapan pembelot di atas kapal tersebut karena ia berpikir bisa langsung mengatasinya sendiri dengan mudah. Begitu juga dengan kenyataan bahwa Chung Ryeol sempat beradu kekuatan dengan pihak lawan, pria yang melarikan diri melompat dari kapal. “Aku rasa kau terlambat untuk itu.” “Ya?” Tanya Chung Ryeol tidak mengerti dengan perkataan atasannya. “Sudah terjadi sesuatu.” Ucapan Kolonel mengacu pada insiden penembakan pria Eropa penumpang kapal di penjara tua yang mereka gunakan secara rahasia. “Begitu juga dari pihak luar ada desakan dan permintaan pada kita untuk membuat pernyataan secara terbuka.” “Pernyataan? Maaf Pak saya belum bisa mengerti.” Sebenarnya apa yang telah terjadi dalam kurun waktu begitu singkat, apa Chung Ryeol melewatkan kejadian atau informasi penting. “Orang yang kau maksudkan itu apakah dia wanita muda?” Tanya Kolonel dengan wajah serius dan tatapan dingin. “Benar.” “Pihak interpol Jepang telah merilis secara resmi, meminta kita untuk memulangkan dia sesepatnya bila memang benar wanita itu ada pada kita. Dan kecurigaan mereka sudah sangat yakin bahwa dia ada bersama kita saat ini.” “Apa? Tapi bagaimana bisa?” Chung Ryeol sepenuhnya bingung dengan perubahan drastis yang lagi-lagi terjadi. Rencana untuk langsung bertolak ke tempat penjara tua begitu selesai dengan laporannya untuk bertemu dengan buronan saksi mata, harus tertunda sementara waktu. Dari suasana yang terasa saat ini di dalam ruangan itu. Perkataan Kolonel dan caranya menatap Chung Ryeol, ia bisa tahu sesuatu yang besar telah terjadi. “Kamerad Chung Ryeol.” “Siap Pak!” Chung Ryeol memperbaiki postur berdirinya dengan sikap tegak. “Aku rasa kau perlu bersiap menjelaskan sendiri situasi dan alasanmu di hadapan pimpinan. Permasalahan ini sudah terlanjur bergulir lepas dari genggaman tanganku, meski aku ingin mencegahnya menjadi luas seperti ini.” Pernyataan dari lisan Kolonel itu membuat Chung Ryeol seakan dilempar ke dalam kuali air mendidih dan siap untuk dikuliti. ***unsolved
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD