Setelah kepulangannya dari apartment Daren, Ellard memutuskan untuk menyewa kamar hotel. Dia butuh yang namanya pelampiasan sekarang juga. Dengan cepat, Ellard menelepon seseorang yang bisa membantunya.
Ellard masih teringat dengan tuduhan-tuduhan yang Daren layangkan padanya semalam. Dia benci jika tidak didengarkan seperti itu. Meskipun begitu, dia tetap memilih untuk mengalah. Ellard lebih tua 3 tahun dari Daren. Jadi, Daren sudah seperti adiknya sendiri. Ada rasa benci dan juga sayang sebagai seorang kakak yang bercampur menjadi satu.
Tangan si pria Walton mengepal kuat, hingga buku-buku putihnya terlihat jelas. Ellard sedang diliputi amarah yang luar biasa. Sebab dia sangat menahan diri di hadapan Daren. Sedangkan Ellard juga tau, kekuatan Daren jauh lebih gila dari yang semalam.
"ARRGGHHH!!"
Ellard berteriak sembari mengusap wajahnya kasar. Kemudian dia melepaskan jasnya dan dibiarkan jatuh ke lantai.
Tidak berapa lama, telponnya berdering. Ellard tentu langsung mengangkatnya.
"Sebentar,” sahutnya. Setelah menjawab telpon tersebut, Ellard nampak buru-buru membuka pintu kamarnya. Pria itu tersenyum miring, saat orang yang dia tunggu telah sampai.
"Maaf sudah membuatmu menunggu lama, Tuan..."
Ellard berlalu masuk lebih dulu dan mendudukkan diri di tepi ranjang. Dia memandangi wanita yang saat ini tengah berdiri di hadapannya.
"Kau tau apa yang harus kau lakukan sekarang, bukan?"
"Ya, Tuan. Tentu!" sahut wanita itu.
"Bagus, Jane! Ayo, puaskan aku sekarang!" titah Ellard, dan Jane tak dapat menolaknya sama sekali.
Wanita yang bernama Jane itu adalah wanita yang yang selama ini dibantu oleh Ellard. Berawal dari perekonomian keluarga wanita itu yang sulit. Awalnya, Ellard hanya membantu tanpa meminta imbalan apa pun.
Namun yang terjadi, Jane malah dengan lantang dan secara sadar menyerahkan dirinya pada Ellard. Dia bersedia mengabdi pada Ellard seumur hidup, katanya. Pun sampai sekarang Ellard masih suka membantu keluarganya.
Jane selalu menolak dicarikan pekerjaan yang layak oleh Ellard. Wanita itu mengatakan, jika ia bahagia meskipun hanya sebagai pemuas nafsu. Atau sebagai tempat pelampiasan amarah seorang Ellard Walton. Yang terpenting, ia tetap diberi bantuan oleh pria itu. Entah apa maksudnya sampai tak mau diberikan pekerjaan yang layak. Bahkan Ellard sempat berpikir bahwa Jane adalah wanita yang malas bekerja. Tapi wanita itu tidak seperti itu juga sebenarnya. Entahlah.
"Ahh... Bagus Jane, yaa begitu..." desah Ellard.
Jane memang pandai bagaimana caranya memberikan BJ yang super nikmat. Tangan Ellard pun juga bergerak memaju-mundurkan kepala Jane, hingga ujung miliknya menyentuh dinding tenggorokan puan itu.
Ellard semakin mempercepat gerakannya, hingga sang empu tersedak berkali-kali.
"Stop Jane!" pinta Ellard, lalu kemudian menarik miliknya keluar dari mulut wanita itu.
Jane tersenyum, sedangkan Ellard kembali memasang muka datar. Dia segera melepaskan seluruh pakaiannya, hingga terpampang tubuh polosnya. Dia menarik tubuh Jane dan langsung merobek dress yang gadis itu pakai tanpa berpikir panjang.
Jane tentu saja terkejut dengan aksi Ellard barusan, karena baru pertama kali Ellard langsung merobek dress-nya seperti ini. Bahkan dalamannya pun langsung ditarik secara paksa hingga robek tak berbentuk. Itu pun juga di lemparkannya ke sembarang arah. Sungguh, Jane agak dibuat ngeri saat ini.
“Tuan, ada apa denganmu? Apa kau baik-baik saja?”
Ellard tidak peduli dengan pertanyaan yang Jane layangkan padanya. Seolah kedua telinganya sudah tertutup rapat. Ellard tidak memperdulikannya.
Bahkan dia menghempaskan tubuh Jane ke atas ranjang dengan kasar. Seperti melemparkan sebuah barang saja. Walaupun pertanyaannya diabaikan, pun tubuhnya baru saja dibanting, Jane masih bisa tersenyum. Tapi yang terjadi selanjutnya, Jane memekik panjang.
Ellard memasuki liang puan itu tanpa melakukan for3play terlebih dahulu. Hingga bibir Jane terus menjerit-jerit karena rasa perih yang semakin menjalar.
Pinggul Ellard terus saja menghentak begitu kuat dan cepat. Kali ini Ellard melakukannya dengan sangat amat kasar. Jemarinya yang nampak berurat itu menarik surai panjang milik Jane. Hingga sang empu meringis sembari memegangi pergelangan tangan Ellard.
"Ahh Tuan, s—sakitt..."
Jane terus merintih kesakitan. Bukannya kenikmatan yang dia dapatkan, tapi malah perih yang teramat ia rasakan saat ini. Bahkan Ellard terlihat tak peduli dengan teriakan Jane yang sedang merintih kesakitan.
Bagi Ellard, suara kesakitan Jane membuat api gairah yang ada di dalam dirinya semakin memuncak. Dia terus menggerakkan pinggulnya dengan keras. Menghujam menusuk begitu dalam.
"ARGHHHH!!" teriak Ellard begitu geram. Dirinya meluapkan segala emosi dan amarahnya dengan memacu tubuh Jane dengan sangat amat kasar.
PLAAAKKK!!
PLAAAKKK!!
Ellard memukul p****t Jane dengan keras. Hingga bekas kemerahannya nampak di kulit puan itu. Kedua tangan Ellard sekarang mulai meremas-remas dua gunung milik Jane. Wanita itu bahkan tidak dapat merasakan rasa geli dan nikmat yang biasa ia rasakan tiap kali Ellard memainkannya.
Seluruh badannya terasa sakit dan pusat miliknya pun perih. Tapi apa daya, dia ingin menyenangkan sang tuan. Tubuhnya dibalik hingga sekarang posisinya berubah menjadi doggy style.
Ellard kembali menghujam begitu dalam. Dia kembali menarik rambut Jane hingga kepala gadis itu mendongak ke atas. Lalu setelah itu, tangannya mencengkram kuat leher Jane.
Wajah puan itu langsung berubah menjadi merah padam. Cengkeraman Ellard di lehernya benar-benar mencekik dan membuatnya hampir kehilangan nafas.
"T-tuan! T-tolong aku..." Jane susah hanya untuk mengatakan jika dia mulai kehabisan nafas. Jane hanya bisa memukul-mukul pergelangan tangan Ellard. Suaranya terdengar tersengal dan terbata-bata. Ia kesulitan untuk bicara.
Ellard bagaikan sudah terasuki iblis pun tak peduli jerit kesakitan Jane yang mulai kehabisan nafas. Yang ada pikirannya adalah menuntaskan nafsu birahinya dan meluapkan segala amarah dan emosi yang ia tahan sejak semalam.
Bulir-bulir bening mulai mengalir di kedua mata Jane. Puan itu mulai menangis saat ini. Tenggorokannya begitu tercekat. Lehernya terasa sakit pun dia sulit menghirup oksigen. Kepalanya sontak terasa pening. Pandangannya pun mulai mengabur. Belum lagi liangnya terasa perih dan sakit bukan main. Jane merasa jika miliknya di bawah sana sampai sobek. Karena melihat seberapa gilanya Ellard menyetubuhinya saat ini.
Kepala Jane terus terbentur ke kepala ranjang. Tangannya berusaha melepaskan cengkeraman Ellard dari lehernya. Lalu saat pria itu mulai menggeram kuat, cengkeraman itu terlepas.
Tapi gilanya lagi, belum sempat Jane menghirup oksigen dengan benar, tubuhnya sudah kembali ditarik dan mulutnya dijejali milik pria itu. Ellard mengeluarkan seluruh cairannya di dalam mulut Jane. Bahkan secara sengaja mendorongnya kuat ke dalam, hingga wanita itu melotot dan tersedak.
Puas dengan apa yang dilakukannya, Ellard buru-buru memakai pakaiannya dan melempar uang tunai tepat di tubuh Jane.
"Ini uang untukmu. Masalah baju, kau bisa menyuruh seseorang membawakannya kemari kan?"
Jane hanya bisa mengangguk lemah. Karena dirinya benar-benar tak sanggup mengeluarkan satu patah kata pun.
Setelah itu Ellard dengan santai pergi meninggalkan Jane yang masih terkapar tidak berdaya diatas ranjang, dengan keadaan yang sangat berantakan. Pun di sprei terlihat beberapa bercak darah.
Bukan bercak darah karena masih perawan. Tapi memang tebakan Jane benar, miliknya robek di bawah sana. Ellard benar-benar brutal sekali kali ini.
+++
Jeff memang sengaja tidak masuk ke kantor. Dia sudah berjanji pada Ellard dan Daren jika akan menjaga Iris. Dari pagi hingga hampir malam, Iris belum mau keluar.
Tapi untungnya, puan itu mau makan. Pun keadaannya juga lebih baik dari terakhir kalinya. Jeff terus bertanya pada sang pelayan apa Iris baik-baik saja, dan sang pelayan akan menjawab ya.
"Mike, memangnya kau tidak lelah berdiri sejak tadi?" tanya Jeff penasaran.
"Tidak, Tuan Jeff."
"Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Daren sudah mengabariku jika dia sebentar lagi akan sampai,"
"Tapi Tuan—"
"Ah, ternyata benar apa kata Daren. Kau suka sekali membantah perkataan orang.”
"Maaf Tuan, kalau begitu saya permisi." pamit Mike.
Jeff hanya mengangguk sebagai respon. Jeff tiba-tiba mendapat pesan dari salah satu orang suruhannya. Bibirnya melengkung sontak ke atas, menandakan jika dia merasa senang. Suruhannya itu pintar sekali dan cepat dalam memberi informasi.
"Emily Faith..." gumamnya tersenyum.
Daren datang dengan menenteng sebuah paperbag makanan.
"Oh, aku merasa tersanjung. Kau bahkan repot-repot membelikan aku makanan." seru Jeff, tangannya terulur ingin menggapai paper bag yang dibawa Daren.
"Ini bukan untukmu!" jawab Daren sambil menyentak tangan Jeff. "Ini puding coklat kesukaan Iris," sambungnya.
"Begitukah? Kau mulai perhatian pada Iris rupanya?"
"Ada masalah?" tanya balik Daren sembari mengangkat sebelah alisnya.
"Tentu, jangan bersikap terlalu manis seperti ini Daren. Kau seperti memberi harapan padanya. Ingat jika ada hati seseorang yang harus kau jaga. Tunangan—”
"Apa yang kau katakan? Apa kau tidak lihat jika Iris sedang tidak baik-baik saja, Jeff? Mana mungkin aku mengacuhkannya?" sela Daren.
"Terserah kau saja, aku sudah memperingatimu dari awal! Dan kau tahu senekat apa Iris,” sahut Jeff Levon.
Daren menghela nafas lelah. Rasanya dia capek jika harus terus berdebat. Pria itu memilih masuk ke kamar tempat Iris berada. Sang pelayan langsung membungkukkan badan dan berlalu keluar atas perintah Daren.
Iris yang tengah terduduk menatap Daren yang mendekat dan duduk di tepi ranjang tepat di sampingnya. Daren mengeluarkan puding coklat itu.
"Puding coklat untukmu, kau menyukainya kan?" tanya Daren dengan raut wajah teduh.
Iris memandang dalam manik mata Daren. Ia mencoba menyelami arti dari tatapan itu. Iris memang senang Daren memperhatikannya tapi, ini pasti murni hanya karena kasihan pikirnya.
"Mau aku suapi?" Daren menawarkan diri.
"Aku masih kenyang."
"Baiklah, aku taruh di atas meja ya."
"Daren..."
"Ya?"
"Di mana ponselku?" tanyanya.
"Ada, masih aku simpan."
Iris terdiam kembali. Daren memperhatikan gerak gerik Iris.
"Kenapa?" tanya Daren.
"Aku ingin pulang."
"Iris, tidak bi—”
"Ku mohon Daren, aku sudah merasa lebih baik sekarang. Aku ingin pulang ke rumahku,” sela Iris. Puan itu terlihat bersikeras untuk pulang.
"Jika kau sudah merasa lebih baik, sekarang katakan padaku siapa yang melakukan hal itu padamu?"
Iris terdiam. Pikirannya begitu kalut. Jika boleh jujur dirinya masih merasa takut, dan hatinya sangat gelisah. Iris menggigit bibirnya karena gugup.
"Ellard, dia—"
"Jadi benar? Ellard pelakunya?!" seru Daren dengan nada lebih naik, hingga suaranya sampai terdengar keluar.
Jeff dan Mike langsung masuk begitu mendengar suara Daren yang meninggi. Bahkan Jeff sampai melempar ponselnya di atas sofa saking terkejutnya.
"Jangan membentaknya seperti itu, Daren!” peringat Jeff yang tiba-tiba muncul.
"Dia sudah baik-baik saja," jawab Daren datar.
"Daren, bukan Ellard yang melakukannya!" seru Iris.
"Lalu kenapa dia menelponmu? Cepat katakan!"
Iris tersentak kaget karena suara Daren berganti menjadi sebuah bentakan. Tangannya mencengkram sprei berwarna putih bersih dengan kuat. Matanya menatap ke arah Mike dan juga Jeff seolah meminta pertolongan. Tapi percuma saja, tidak akan bisa membantunya.
"Katakan Iris Ovilette! Atau ini hanya rekayasamu saja? Kau berpura-pura? Kau menipu kami semua? Ya begitukah?!"
"Tidak Daren! aku sudah mengatakan bukan Ellard yang melakukannya!"
"Lalu siapa yang melakukannya?!" Daren kembali membentak.
"A-aku, tidak mau membahasnya."
"Gadis gila! Lalu kenapa Ellard menelponmu malam itu?"
"Dia hanya ingin mengajakku minum bersama tapi aku menolaknya."
"Aku tidak tau lagi sekarang," ujar Daren memijat pelipisnya.
Jeff berjalan mendekati Iris. Dia tau, pasti Iris punya alasan kenapa tidak mau mengatakan siapa pelakunya. Dia melihat sorot mata Iris begitu takut dan gelisah. Yang jelas dia mengerti, dia tau, Iris tidak menipu siapapun. Dia benar-benar mengalaminya dan masih kesakitan.
Jeff membawa tubuh Iris kedalam pelukannya. Dia menepuk-nepuk pelan punggung gadis itu. Iris membisikkan sesuatu dan Jeff mengangguk.
"Daren, lebih baik aku membawa Iris pulang bersamaku." ujar Jeff.
Daren menoleh dan berdecih.
"Bawa saja!” sahut Daren datar.
Daren melirik ke arah Iris yang masih menyembunyikan wajahnya di dadaa bidang Jeff.
"Mike, ambilkan ponsel Iris di kamarku!" perintah Daren.
Mike mengangguk dan segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuannya.
Saat Mike kembali, Daren langsung memerintahkan untuk memberikan ponsel itu pada Jeff. Setelah itu, Jeff membawa Iris pulang bersamanya. Daren bahkan tidak peduli saat Jeff berpamitan. Dia memilih untuk langsung melenggang masuk ke kamarnya dengan menahan emosi.