“ Apa? Lo mau pindah sekolah.?”
Semua mata kini tertuju pada Diandra yang baru saja memberitahu Rafli kalau dirinya mengundurkan diri dari festival karena akan pindah sekolah, lantas semua orang merasa sangat menyayangkannya karena sejauh ini peran Diandra sudah sangat baik meskipun kemarin sempat mengalami masalah karena harus mencocokannya bersama Kayla.
“ Kamu kok mau pindah sekolah sih, disini emangnya kenapa.?”
“ Iya ndra, kelas ini buat kamu nggak nyaman ya? Atau ada yang bully kamu di sini.?”
Diandra hanya dapat menggelengkan kepala tanpa menjawab satu pun pertanyaan dari mereka, sementara itu Sofia terlihat tak ingin bergabung sebab dia juga sudah mulai kesal kemarin di abaikan sama Diandra.
“ Kamu nggak mau sampai festival ini selesai aja? Biar kaya perpisahan gitu, dan kamu juga ada kenangan di sekolah ini.”
“ Iya ndra, sampai festival selesai aja baru pindahnya.”
“ Sayang banget udah H-4 loh.”
Diandra kemudian melirik Sofia dan teman-temannya, Rafli yang merasa ada yang aneh pun meminta mereka berempat untuk ikut membujuk Diandra. Awalnya Kayla menolak sebab dia merasa tidak masalah jika pengganti Diandra segera di cari, namun semua mendesaknya sehingga gadis itu pun ikut meminta Diandra tinggal sampai festival selesai.
“ Ya udah, aku ikut festival sampai selesai baru aku pindah.” Ujar Diandra sontak membuat satu kelas di buat bertepuk tangan.
**
Bel tanda pelajaran telah usai pun berbunyi, dan di lanjut dengan latihan menari. Bagi yang tidak memiliki jadwal latihan di persilahkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Saat itu Kayla ingin mengajak teman-temannya nongkrong bareng namun sayang Naura dan Mayang tidak bisa karena harus latihan menari.
“ Sebenarnya gue malas banget ikut latihan, badan gue udah pegal-pegal dari kemarin.” Keluh Naura ketika hendak mengganti seragamnya di toilet
“ Ya udah kabur aja.” Usul Kayla.
“ Nggak enak sama anak-anak yang lain gue.” Balas Naura.
“ Ayolah, nggak usah serius juga latihannya. Lagi pula hadiahnya nggak begitu menarik.”
“ Ya udah yuk kabur aja.” Ajak Mayang yang juga tidak ingin ikut latihan.
Akhirnya mereka bertiga segera meninggalkan kelas secepatnya, di luar mereka bertemu dengan Sofia yang baru saja ingin masuk ke dalam mobil. Kayla dan yang lain menahannya, hingga membuat gadis itu menoleh kebingungan.
“ Kita nebeng di mobil lo ya.” Ucap Kayla terburu-buru.
“ Loh, bukannya Naura dan Mayang ada latihan.”
“ Nanti aja, yang penting kita masuk dulu.”
Mereka pun memaksa masuk ke dalam mobil itu dan Sofia di minta untuk mengecek grup chat untuk membahas rencana mereka berikutnya dan yang pasti tak ingin sampai supir barunya itu mengetahui percakapan mereka.
“ Kita mau nongkrong di kafe baru, lo ikut ya Sof.” Tulis Kayla mengawali pesan di grup.
“ Tapi aku lagi sama supir baru papaku? Dia bisa laporin aku nanti.” Balas Sofia.
“ Sekali-kali kabur aja, lo mau hidup lo terus dalam kekangan gini? Bentar lagi lo itu mau 17 tahun, masih mau di kekang kaya bocah.?” Kayla menambahkan.
“ Iya Sof, gue aja di umur sekarang di bolehin ngapain aja selagi di batas wajar.” Imbuh Naura.
“ Ya tapi gimana caranya? Aku takut ngomong ke supirnya langsung.”
“ Kita kerjain aja gimana? “ Usul Naura.
Dengan rencana yang di buat, Sofia di minta untuk berpura-pura kebelet kemudian mobil berhenti di sebuah toilet umum. Sambil menunggu Sofia pergi mereka diam-diam sengaja mengempeskan ban mobil belakang tanpa sepengetahuan supir.
Selang beberapa saat Sofia kembali dan perjalanan pun di lanjut, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh barulah supir merasakan ada yang aneh dengan ban mobilnya. Dan ia pun mulai menepih untuk mengeceknya, mereka yang berada di dalam mobil saling memberi kode.
“ Selanjutnya apa.?” Tanya Sofia kebingungan.
“ Awwww, perutku sakit banget.” Keluh Mayang tiba-tiba.
Dan aksi mereka pun berlanjut, dengan Mayang yang berpura-pura kesakitan membuat mereka berbohong kepada sang supir bahwa Mayang ingin segera di bawa ke rumah sakit. Saat itu kebetulan ada taksi yang lewat sehingga mereka berpindah mobil, Sofia memohon pada supirnya untuk ikut bersama mereka dan tak ada pilihan lain selain mengizinkannya.
“ Non Sofia nanti telpon saya kalau sudah mau pulang ya, jangan sampai pulang sendiri ya non.” Sahut sang supir dan di balas anggukan cepat olehnya.
Dan begitulah mereka melarikan diri dari sang supir, mereka semua kecuali Sofia tertawa terbahak-bahak bisa mengelabuinya dengan mudah. Ini pertama kalinya Sofia melakukan hal ini, dan dia merasa sedikit bebas karenanya.
“ Ingat Sof, kita ini remaja bebas bukan remaja yang bisa di kekang.” Sahut Kayla di sambut anggukan setuju oleh Naura dan Mayang.
**
Sekitar pukul 5:00 sore Sofia baru saja kembali dari hang out bersama temannya, dia pulang dengan taksi karena sebelumnya sudah menghubungi supirnya kalau dia sudah di rumah duluan sehingga tidak perlu di jemput lagi.
Sofia berjalan memasuki rumah dengan santai, dia tidak menyadari bahwa mobil papanya berada di garasi sehingga dia tak tahu kalau ternyata papa Bian sudah menunggunya di ruang tamu.
“ Kamu dari mana, kenapa baru pulang jam begini.?” Tanya papa Bian sukses membuat Sofia terkejut bukan kepalang.
“ Pa.., papa? Kok ada di rumah, ini kan masih jam 5:00.?”
“ Kamu duduk sini, papa mau ngobrol serius sama kamu.” Lontar papa Bian masih bersikap lembut di depan Sofia.
Sofia pun menurut dan mengambil tempat di hadapan papanya, saat ini dia tidak berani menatap papanya yang terlihat sudah sangat marah.
“ Andi lapor ke papa kalau mobilnya tiba-tiba bocor dan salah satu teman kamu sakit dan kamu ikut antar dia ke rumah sakit, terus kamu hubungin Andi kalau kamu sudah pulang ke rumah duluan. Tapi buktinya kamu baru pulang jam 5:00 sore, ini udah dua jam loh kamu bilang gini ke dia.”
“ Dua jam itu kamu kemana? Ngapain? Sama siapa.?” Tanya Papa Bian penuh selidik.
“ Sofia pergi jalan sama teman-teman Sofia pah.” Tak ada jalan lain selain berkata jujur kepada papanya.
“ Kenapa nggak bilang ke papa? Dan kenapa kamu harus bohong kaya gini sih.?”
“ Karena papa pasti nggak bakal ngizinin aku pergi.”
“ Kamu udah nggak butuh papa lagi ya? Kamu mau hidup sendirian.?”
“ Nggak mau pah.”
“ Terus kenapa kaya gini sih? Papa khawatir sama kamu.”
“ Pah, bisa nggak sih kasih kebebasan buat aku? Aku udah gede loh, bukan anak kecil lagi.”
“ Kamu ini putri satu-satunya papa, papa sayang banget sama kamu sampai nggak mau kalau kamu itu kenapa-napa di luar sana. Tapi semenjak kamu bergaul sama anak-anak itu sikap kamu ke papa udah berubah, kamu suka bohongin papa dan sekarang sudah mulai melawan.”
“ Papa itu egois, selalu aja kemauannya yang di ikutin. Papa pernah mikir nggak sih jadi aku rasanya gimana?”
“ Teman-teman kamu itu memang pembawa keburukan untuk kamu, papa ingin kamu jauhin mereka.”
“ Nggak mau.”
“ Mereka nggak cocok berteman sama kamu.”
“ Papa yang pikirannya dangkal, terlalu kuno dan nggak modern.”
“ Sofia.!!”
Untuk pertama kalinya Sofia mendengar suara papanya yang tinggi dan membuatnya sampai bergetar, tak tahan dengan gertakan itu membuatnya berlari meninggalkan ruang tamu. Sesaat kemudian papa Bian merasa menyesal telah menggertak Sofia, namun baginya saat ini Sofia terlihat seperti orang lain yang tidak bisa dikendalikan.
**
Pria itu tampak merenung di dalam kamarnya, perasaannya gelisah dan dia tidak bisa berdiam diri seperti itu terus. Waktu sudah menunjukan pukul 23:00 malam, dan dirinya belum di landa rasa mengantuk.
Ia pun bangkit dan berdiri menghadap sebuah foto seorang wanita cantik tengah tersenyum indah, dia menatapnya dengan tulus dan penuh rasa cinta. Setiap merasa sedih atau gelisah hanya dengan menatap foto mendiang istrinya mampu membuatnya merasa sedikit lebih baik.
“ Coba aja kamu masih hidup, mungkin aku nggak akan seperti ini. Sofia pasti bebas dengan keinginannya, menurut kamu aku salah nggak menerapkan hidup yang seperti ini ke anak kita? “
“ Aku takut kalau dia juga akan pergi meninggalkan ku, bagaimana jika nanti aku hidup seorang diri? Aku sangat takut.” Ucapnya dengan nada yang sendu.
Tanpa sadar papa Bian menangis di depan foto itu, ia menangisi semua yang telah terjadi kepadanya selama ini. Kehilangan April istrinya adalah kenangan yang paling menyakitkan dalam hidupnya, dan sejak saat Sofia lahir dia berjanji akan melindungi dan menjaga anak itu dengan sepenuh hati.
Namun setelah hampir 17 tahun berjalan semua tidak berjalan sesuai rencananya, dia dan putrinya bertengkar untuk pertama kalinya dan dia tidak tahu harus berbuat apa untuk meluruskan masalah ini.
Setelah beberapa saat akhirnya papa Bian keluar dari kamarnya dan segera menuju kamar Sofia, dia ingin menemui putrinya dan mengucapkan maaf karena telah menggertaknya tadi sore.
Ketika papa Bian masuk ke dalam kamar tersebut, terlihat Sofia yang sudah tertidur pulas sambil memegang sebuah bingkai foto. Papa Bian meraih bingkai foto itu dengan sangat hati-hati, kemudian dia melihat di bingkai tersebut ternyata adalah foto dirinya dan Sofia.
Tangis papa Bian kembali pecah setelah melihatnya, ia tak menyangka sebelum tidur putrinya itu memandang foto mereka sambil memeluknya. Papa Bian kemudian menatap wajah putrinya yang tampak sembab seperti sudah menangis.
“ Maafin papa ya, papa nggak maksud bentak kamu. Papa sayang banget sama kamu, Sofia harus sehat terus dan tumbuh jadi anak yang baik ya sayang.” Kata papa Bian mengakhirinya sambil mengecup kening putrinya itu.
Setelah selesai meminta maaf barulah ia pergi dari kamar tersebut, dia meletakkan bingkai foto itu di atas nakas agar Sofia dapat tidur dengan nyaman.
**
Keesokan paginya Sofia bangun dalam keadaan mata yang bengkak, dia baru saja ingat kalau semalam dia menangis karena gertakan papanya dan berakhir seperti ini. Sofia melirik nakas dan melihat bingkai foto yang ia peluk semalam, dia bahkan tidak ingat kalau bingkai itu dia letakkan disana.
Dan Sofia pun bergegas untuk ke sekolah, tak membutuhkan waktu lama baginya bersiap-siap. Kini gadis itu terlihat berjalan menuju ruang makan, ia melihat tak ada siapapun di ruang makan yang membuatnya bingung dan melirik ke arah kamar papanya.
“ Selamat pagi non, cari papa Bian ya.” Sahut Mbok Tati yang menyadari gerak-gerik Sofia.
“ Emang papa mana mbok.?”
“ Bapak berangkat ke luar kota tadi subuh, kalau nggak salah sih ke Surabaya ada urusan kerjaan.”
“ Kok nggak bilang ke aku dulu kalau mau pergi.?”
“ Katanya nggak mau bangunin non Sofia, bapak Cuma pesan kalau Non Sofia jangan suka pergi-pergi selama bapak nggak ada.”
Sofia kemudian terdiam, ini pertama kalinya papa Bian pergi keluar kota. Biasanya jika ada dinas keluar kata dia selalu merubah lokasinya tetap di Jakarta, namun kenapa baru sekarang hal itu di lakukan.
“ Sarapan dulu non, nanti pak Andi datang jemput non Sofia belum selesai makan.” Sahut Mbok Tati sambil menyiapkan menu sarapan untuk Sofia.