Sungguh sakit

1319 Words
Suasana malam yang dingin membuat semua merasa ingin menghabiskan malam dengan berbaring dan sedikit memberikan khayalan dalam pembaringannya. Dirinya merasa begitu sepi. Di malam pengantin yang seharusnya hangat penuh kebahagiaan dan canda tawa, dirinya justru merasa asing. Ada kegalauan yang tiba-tiba saja datang menyelimuti pikiran Rere. Sebuah hubungan yang dibangun hanya karena kebetulan. Dan hubungan itu saat ini sedang dilalui oleh Rere bersama Bryan. Dalam kegundahan hatinya Rere segera bangkit dari ranjang. Gadis itu pun bergerak menuju balkon kamar. Kemudian berdiri di balkon kamar hotel. Tatapan Rere hanya fokus ke arah langit yang tampak indah dipenuhi bintang. Terang rembulan yang penuh seolah tersenyum pada dirinya. Berusaha memberikan kebahagiaan dan menemaninya di malam yang sepi. Entah berapa lama Rere menunggu kedatangan Bryan. Rasa nya Rere sudah tak sanggup menghitung waktu yang telah dia lalui sendirian. Kesendirian ini selalu saja mengantarnya untuk mengingat perkataan Bryan tentang pernikahan mereka. Hanya bagian dari cara pria itu untuk menyelamatkan nama baik keluarga. "Ya Allah..." Gumam Rere menundukkan kepalanya. Gadis itu pun kembali meneteskan air matanya. Kemudian dia pun segera mengusap nya dengan lembut. Dan tersenyum. "Banyak hal yang perlu kau syukuri Rere. Semua yang terjadi dalam kehidupan mu adalah kehendak Allah. Karena daun yang jatuh dari sebuah ranting pun terjadi hanya karena kehendak Allah. Kau kuat. Allah memilih mu karena kau mampu," gumam Rere dalam hatinya. Gadis itu kembali mengulas senyum manis untuk dirinya. Tiba-tiba Bryan memeluk dari belakang. Membuat Rere cukup tersentak. Dia benar-benar terkejut karena saat mengenal aroma parfum yang memeluk dirinya. Ini adalah aroma parfum Bryan yang lembut. Bryan ingin sekali menumpahkan perasaan cintanya kepada Rere namun ternyata hal itu bukanlah sesuatu yang mudah. Karena nyatanya dirinya belum mampu mencintai Rere. Tapi sungguh Bryan akan berusaha untuk mencintai istrinya. "Apa yang sedang kamu lihat dengan berdiri di sini?" tanya Brian mencoba untuk menepis kesepian yang sedang terjadi dan menggerogoti isi hati gadis itu. Rere tersenyum tipis dia memberikan jawaban kepada laki-laki yang kini berada di belakangnya itu. "Aku hanya sedang memperhatikan langit dengan bintang-bintang yang menggantung di sana. Mereka tampak luar biasa indah. Meskipun bintang-bintang itu tidak memiliki sanggahan dia tetap percaya bahwa langit akan memberikannya perlindungan." Glek! Ada rasa tidak nyaman yang tiba-tiba berkecamuk di dalam hati Bryan mendengar apa yang dikatakan oleh Rere. Perempuan itu seolah-olah mengerti debar hatinya. Sebuah debar hati yang tidak bisa diterjemahkan. "Bukankah kita akan menjadi seperti langit dan juga bintang yang akan saling mempercayai dan memberikan perlindungan satu dengan yang lain?" Rere kembali bertanya. Meskipun suaranya sangat lirih tapi Bryan tahu kalimat itu ditujukan untuk dirinya. Bryan tersenyum meskipun senyumnya tidak nampak oleh Rere karena dia sekarang berada di belakang Rere dengan posisi masih memeluk tubuh istrinya itu. Dagu Bryan dibiarkan bersandar pada hijab panjang Rere. Aroma wangi tiba-tiba bertebaran begitu saja dari tubuh Rere yang sedang berada di dalam pelukannya. "Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?" tanya Rere kepada Bryan. "Aku akan menjawab semua pertanyaanmu dengan perlakuan dan bukan dengan kata-kata!" Bryan mengucapkan kalimat tersebut dengan hati berdebar. Kalimat yang sengaja dipilih oleh Bryan untuk menyembunyikan isi hatinya yang gundah. Bryan sengaja berlindung dari kalimat itu demi menenangkan Rere dan menutupi dosanya. Hati Bryan berkecamuk karena Bryan belum mencintai Rere. "Sial!!! Di malam pengantinku aku justru membayangkan wajah Cantika sedang apa perempuan itu di sana?" Batin Bryan menggumam. "Mestinya saat ini aku berbahagia bersama dengan Rere bukan justru bersedih seperti hari ini?" Bryan menambahkan kalimatnya lagi. "Saat ini Cantika pasti sedang bersenang-senang sementara aku masih terus menanggung rindu dan perasaan penuh duka lara seperti ini! Ya Tuhan. . Mengapa aku begitu bodoh?" Di malam pengantin nya dia malah sakit hati membayangkan malam pertama Cantika wanita yang dicintainya dengan suaminya. Bryan masih juga berbicara dengan hatinya sendiri dan menyembunyikan semua perasaannya terhadap Rere. Bryan hanya bisa diam sambil memeluk Rere dari belakang sambil menatap lampu jalanan yang berkelap-kelip di malam yang gelap. "Hari sudah malam sebaiknya kita segera tidur!" Bryan berbicara sambil berbisik di telinga Rere mendengar apa yang diucapkan oleh Bryan, Rere mendadak merasa sangat bahagia. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi seorang istri di malam pertama mereka selain mendengar bahwa suaminya mengajaknya untuk tidur bersama. Rasa bahagia itu kini sedang dirasakan oleh Rere dia bergegas menuju ke atas ranjang tempat di mana Bryan sudah merebahkan tubuhnya terlebih dahulu. Mereka berdua tampak sangat canggung karena selama ini mereka tidak pernah melakukan hal itu, pasalnya dulu Rere dokter pribadi keluarga Bryan. "Apa yang harus aku lakukan saat ini ya Allah?" Tanya Rere masih dari dalam hatinya. "Aku merasa luar biasa canggung kami sama sekali tidak pernah bersama dalam satu kamar dan sekarang kami benar-benar berada dalam satu kamar dengan jarak yang sangat dekat!" Hati Rere berdegup kencang, jantungnya seolah berhenti berdetak. Rere sama sekali tidak menyangka bahwa Bryan akan menjadi suaminya begitu juga dengan Bryan yang sama sekali tidak menyangka bahwa Rere akan menjadi istrinya. Di ranjang tersebut Rere berbaring menghadap Bryan. "Aku harus menghadap Brian karena seorang istri tidak boleh memunggungi suaminya. Satu, dua, tiga..." Setelah menghitung sebanyak 3 kali Rere kemudian menghadap ke arah Bryan dan mereka saling bertatapan. Dia tahu persis bahwa seorang istri tidak boleh memunggungi suaminya. Mereka berdua hanya diam tatapan mereka segera bertemu. Tapi Bryan merasa sangat canggung. Pria itu pun segera menelentangkan tubuhnya kemudian menatap langit-langit kamar yang indah. Berhias lampu kristal yang mahal. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuh Rere dia membayangkan malam pertamanya akan berlalu dengan indah tetapi sayang sampai pada menit kesekian Bryan masih tetap melihat ke arah langit-langit kamar dan tidak memandang kepadanya. Suasana sangat hening saat itu, tidak ada canda tawa, tidak ada perbincangan, hanya suara angin yang sedikit berhembus dari Air conditioner yang menempel di dinding kamar hotel yang mereka tempati saat ini. Merasakan kesunyian yang luar biasa Bryan akhirnya berkata kepada Rere. "Kalau kamu mau kamu boleh melepas jilbabmu. Aku tahu kamu pasti tidak nyaman jika tidur menggunakan hijab kan?" Ucap Bryan. "A...Apa...kah begitu?" Rere mendadak sangat gugup mendengar bahwa Brian memerintahkan dirinya untuk melepaskan jilbabnya. Selama ini hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rere. Rere kemudian berusaha untuk melepas jilbabnya tetapi sayang saat Rere sudah ingin melakukan hal tersebut Bryan justru menahan lengan Rere. Rere sangat terkejut dia tidak tahu apa maksud Bryan menahan lengannya. Mungkin kah Bryan yang akan melepaskan hijabnya. Sungguh jantung Rere sangat berdebar. "Jika kamu masih merasa malu sebaiknya kamu tidak usah melakukannya. Aku tidak akan memaksa," ucap Bryan. Bryan menoleh ke arah Rere sejenak lalu kemudian dia mengarahkan pandangannya kembali pada langit-langit kamar. Alhasil Rere pun membatalkan niatnya untuk membuka jilbab tersebut. "Untuk sementara kita berusaha saling mencintai dulu ya, kita berusaha untuk belajar saling mencintai. Aku yakin kamu akan memaklumiku karena aku tahu kamu perempuan yang baik." Bryan mengucapkan kalimat itu, satu lengannya berada di bawah kepalanya, pandangannya masih tetap sama dan tidak berubah, kalimat itu mengalir begitu saja dan seolah tanpa perasaan Bryan bahkan tidak melihat ke arah Rere yang saat ini sedang menahan air matanya yang hampir saja keluar. "Kita anggap saja saat ini kita masih belajar untuk memahami sifat dan sikap masing-masing. Tidak perlu melakukan apapun. Kamu tetap saja bersikap tenang seperti ini. Yang pasti sekarang kita telah menjadi suami istri tentang penyatuan itu aku yakin semua akan bisa terjadi seiring dengan waktu," ucap Bryan menghancurkan hari Rere dengan kalimatnya yang lembut. Rere menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan. Rere berusaha menahan perasaan marahnya. Hati perempuan mana yang tidak sakit mendengar kalimat yang diucapkan oleh laki-laki yang dia cintai dan bahkan telah menjadi suaminya, mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan oleh Bryan saat ini. Andai bisa Rere ingin sekali berteriak dengan keras agar Bryan tahu bagaimana perasaannya. Rere ingin sekali meneriakkan semua rasa kesal di dalam hatinya. Kesal yang tidak bisa diterjemahkan. Tapi sayang hal itu tidak bisa Rere lakukan dia hanya bisa menangis terisak-isak di dalam hatinya saja. Sementara Bryan seolah tidak mengerti perasaan Rere saat ini. Bryan masih juga memintal rindunya terhadap Cantika dan membayangkan di langit-langit kamar itu ada wajah Cantika sedang tersenyum kepadanya. Sungguh sakit perasaan Rere.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD