Bryan benar-benar khawatir jika Rere mendengar pembicaraan nya dengan ayahnya. Sungguh dia tidak ingin melukai hati Rere di hari pertama nya menjadi seorang suami. Bryan terus mencari keberadaan Rere di kamar hotel tersebut.
Sementara di balkon. Seorang wanita tampak berdiri menatap keindahan malam. Kepalanya menengadah menatap langit yang bertabur bintang. Seperti kegelapan yang disinari oleh pantulan cahaya berlian. Begitu cantik di matanya.
"Bunda ... Ayah ... Rere rindu sama Bunda ... Sama Ayah... Hiks..."
Bulir benin mulai tercipta di sudut matanya. Kemudian mengalir deras di pipi wanita itu. Berkali-kali Rere mengusap air mata nya. Namun, berkali-kali pula air mata itu mengalir di pipinya. Sungguh saat ini rasa sedih benar-benar menggulung perasaan nya. Perih nya hingga dia tak mampu menghentikan kelenjar air mata.
Rere rindu berkeluh kesah dengan ibu yang telah melahirkan nya. Pernikahan yang dia pikir sebagai anugerah yang Allah berikan sebagai hadiah kesabaran, nyatanya masih menguji kesabaran nya.
Ini lah yang dia takutkan. Rere takut kecewa. Dan nyatanya hari ini dia benar-benar kecewa. Kan lebih lagi setiap kali kalimat itu terngiang di telinganya. Kalimat yang diucapkan Bryan sebagai alasan kepada orang tuanya.
"Aku terpaksa. Semua ini demi menjaga nama baik keluarga."
Sungguh kalimat itu seperti mata pisau yang tajam mengiris kalbu.
"Ya Allah...."
Tak ada lagi kalimat yang mampu mewakili hancurnya perasaan Rere. Dia tak mampu menggambarkan hati yang terlanjur hancur berkeping-keping. Hanya air mata yang mampu mewakilinya.
"Ya Allah... Aku ikhlas menikah karena Engkau. Aku mencintai suami ku karena Engkau. Aku ikhlas apa pun yang Engkau kehendaki dalam kehidupan ku," ucap Rere lirih.
Mengikhlaskan apa pun yang akan terjadi dalam misteri kehidupan. Rere benar-benar pasrah dengan takdir-Nya. Tentu semua ini tak akan mungkin terjadi tanpa kehendak-Nya.
Bryan pun menatap punggung Rere yang bergetar. Bryan akhirnya mampu bernapas lega saat mengetahui rupanya Rere ada di balkon kamar. Namun, mengingat suasana malam hari yang dingin membuatnya khawatir. Bryan pun kembali ke kamar. Berjalan menuju lemari pakaian dan mengambil Hoodie miliknya.
Dengan cepat Bryan bergerak mendekat ke arah Rere. Hatinya teriris pilu mendengar Isak tangis istri nya. Saat ini memang belum ada cinta untuk Rere. Tapi rasa khawatir jika ternyata Rere mendengar pembicaraan nya membuat Bryan merasa sangat bersalah.
Tap...
Rere yang awalnya sibuk dengan perasaan nya pun terdiam menghentikan tangisnya. Ada kehangatan yang menyelimuti punggung nya. Rere pun menoleh ke belakang.
Seketika senyum Bryan menjadi pelipur laranya. Rupanya Bryan membalut punggung nya dengan sebuah Hoodie.
"Pakai jaket biar enggak masuk angin," ucap Bryan berpura-pura tak menyadari air mata Rere.
Rere pun tersenyum. Kemudian mengusap wajahnya yang dia yakin banjir air mata. Rere berharap Bryant tidak bertanya tentang apa yang membuatnya menangis. Karena Rere tak ingin berbohong.
"Terima kasih," ucap Rere meraih lengan Hoodie dan mendekapnya ke depan tubuh.
"Aku pikir kamu sudah tidur. Maaf ya menunggu lama," ucap Bryan ikut menyandarkan diri ke pagar pembatas. Kemudian menengadahkan kepalanya menatap langit penuh bintang. Malam yang benar-benar indah.
"Aku nunggu kamu," ucap Rere singkat. Masih ada senyum yang menghias wajah gadis itu.
Bryan pun terdiam. Dia benar-benar bingung harus menanggapi apa pada kalimat yang baru saja Rere ucapkan. Sungguh dia canggung karena selama ini dirinya dan Rere tak pernah menjalani obrolan panjang dan asik. Hubungan mereka hanya sebatas dokter dan pasiennya saja.
Rere memang menjadi dokter pribadi di keluarga Wilson. Bahkan wanita itu di berikan kamar khusus di mansion orang tuanya. Tapi mereka benar-benar seperti orang asing yang hanya bertegur sapa saat berpapasan.
Bryan sendiri tak menyangka kalau takdir justru mengantar dirinya untuk menjadi suami dari gadis yang berdiri di sampingnya ini.
Sekilas Bryan menoleh ke arah Rere. Namun Rere masih tampak asik menatap jalanan ibu kota yang berbaris dan bertingkat. Saling memotong dan memutar. Dipenuhi dengan kelap-kelip lampu kendaraan yang melintas. Sangat indah.
Cukup lama mereka saling terdiam. Hingga akhirnya Bryan mengambil inisiatif untuk memulai pembicaraan.
"Sekarang aku sudah kembali. Mau langsung tidur apa mau bagaimana?" Tanya Bryan membuat wajah Rere merona. Pertanyaan Bryan seolah mengandung arti. Terlebih lagi saat ini adalah malam pertama bagi mereka.
"Kalo aku sih terserah kamu aja," ucap Rere menundukkan kepalanya.
Kini Bryan tersenyum menatap Rere yang tersipu malu. Jelas terlihat bahwa Rere adalah gadis yang tak sembarang berinteraksi dengan lawan jenis. Dan hal itu tentu saja membuat Bryan meras bangga memiliki nya. Hatinya bergetar karena menyadari bahwa dia adalah pria yang menjadi pemenang calon bidadari surga.
Bryan pun mengalihkan pandangannya ke arah lain karena Rere tak kunjung menatap wajahnya. Dan merasa canggung, Bryan pun menoleh ke arah jemari Rere yang menggenggam pagar pembatas.
Pria itu pun tersenyum sebelum akhirnya mengulurkan tangannya untuk menyentuh jemari Rere. Hal itu membuat Rere terkejut dan refleks hendak menarik tangannya. Namun, Bryan menahan dan menggenggam nya. Membuat hati Rere segera berdesir.
"Angin malam dingin. Kalau begini kan jadi hangat," ucap Bryan begitu lembut. Dan saat ini Rere hanya bisa tersenyum. Namun, wanita itu belum mampu menatap wajah Bryan. Sungguh kesedihan nya segera menjauh. Pergi begitu saja digantikan dengan perasaan yang begitu bahagia dan hangat.
Ungkapan jujur Bryan pada keluarga nya memang menyakitkan hati Rere. Tapi merasakan sikap Bryan yang hangat membuat nya merasa yakin. Bryan pasti berusaha untuk mencintai nya.
Dan rasa bahagia itu semakin membuncah saat Bryan bergerak ke belakang tubuh Rere tanpa melepaskan genggaman tangannya. Hingga akhirnya tubuh pria itu benar-benar menempel di punggung Rere. Memeluk dengan hangat dari belakang.
Berdesir...
Itulah yang dirasakan Rere saat ini. Sedangkan Bryan tak tahu. Dia tak mampu memahami perasaannya saat ini. Entah harus bahagia atau bersedih. Dia kehilangan cinta yang begitu dia damba. Dan mendapatkan pengganti tanpa ada rasa. Hatinya sangat kacau. Namun, Bryan berusaha untuk menjaga perasaan Rere yang telah resmi menjadi istrinya. Karena baginya istri adalah kehormatan baginya. Di mana kebahagiaan istri adalah pencapaian terbaik dalam hidupnya.
"Ya Allah... Aku menikahinya karena Engkau. Bantu hamba untuk bisa mencintai nya dengan tulus," ucap Bryan dalam hatinya dengan pengharapan yang begitu tulus. Pria itu pun memejamkan mata merasakan perihnya malam pertama. Di mana dia bisa membayangkan kebahagiaan Cantika dengan pria lain. Bukan dirinya.
Bryan mengecup lembut puncak kepala istrinya yang berbalut Khimar panjang. Menghirup aroma sejuk vanila. Parfum pertama yang digunakan oleh Rere seumur hidupnya. Untuk suaminya.
"Ya Allah... Jadikan pernikahan ini menjadi takdir terbaik untuk kami. Aamiin ya Allah." Rere memejamkan mata. Menikmati kecupan lembut Bryan yang telah menjadi suaminya. Rere berharap kecupan ini adalah bentuk kasih sayang yang akan diperjuangkan oleh Bryan untuk bisa mencintai nya.
Rere sadar Bryan belum mencintainya. Dan air mata pun kembali mengalir di pipi wanita itu. Rasa sakit dan bahagia yang melebur menjadi rasa yang sulit untuk dimengerti. Sungguh sulit untuk dipahami.