"Kapan kita kembali ke istana, Mama?"
Itu adalah pertanyaan kesekian yang dari Crystal yang didengar Astrid hari ini. Entah sudah berapa kali putri kecilnya menanyakan hal itu. Katanya dia ingin cepat ke istana lagi agar bisa bertemu dan bermain bersama Alexant. Untuk hari ini, entah sudah berapa kali Crystal menanyakannya. Belum lagi hari-hari belakangan. Mungkin seandainya dihitung, dalam tiga bulan terakhir sejak mereka kembali dari istana sudah lebih dari jutaan kali dia bertanya, sampai rasanya dia bosan menjawabnya. Setiap hari pertanyaan Crystal selalu sama, seolah dia tidak memiliki pertanyaan yang lain.
Astrid mengembuskan napas pelan. "Mama tidak tahu, Sayang. Tidak ada undangan dari istana, kita tidak bisa ke sana." Dia tersenyum, tangannya membingkai pipi chubby putrinya yang kemerahan. "Kau pasti tahu, 'kan, tidak sembarang orang bisa memasuki istana. Jika tidak ada undangan atau izin, para penjaga tidak akan membiarkanmu masuk."
Wajah mungil Crystal tertunduk. "Tapi, aku ingin bertemu Alexant," katanya lirih. "Sudah lama kami tidak bertemu. Bagaimana jika dia melupakanku?" Mata birunya mengerjap beberapa kali, menatap Astrid dengan tatapan penuh harap.
"Kupikir tidak seperti itu." Astrid tersenyum, kepalanya menggeleng. Rambut pirangnya yang disanggul rapi, menyisakan anak rambut yang jatuh di atas bahu. Anak rambut itu bergerak ke kanan ke kiri, seirama gerakan kepalanya. "Pangeran Alexant tidak akan melupakanmu. Bukankah kalian berjanji akan menikah ketika dewasa kelak?"
Crystal menelengkan kepala, hidung mungilnya yang mancung berkerut. Dia tengah berpikir, berusaha mengingat-ingat apa saja yang dikatakan Alexant padanya sebelum mereka berpisah. Ingatan anak kecil memang lebih tajam dari orang dewasa, begitu juga dengan Crystal. Beberapa detik berpikir, bibir merah alaminya tersenyum. Dia mengingat semuanya. Mama benar, Alexant mengatakan mereka akan menikah kelak mereka dewasa. Entah bagaimana menikah itu, dia tidak mengetahuinya. Dia hanya ingin bersama Alexant dan terus bermain dengannya.
"Menikah itu apa, Mama?"
Astrid tertawa kecil. Bukan hanya karena ekspresi Crystal yang sangat lucu bertanya seperti itu, melainkan karena pertanyaannya. Dia sudah menduga jika putrinya tidak tahu menahu apa itu menikah dan lain sebagainya yang bersangkutan dengan pernikahan. Entah kenapa Crystal mengiakan ajakan menikah Alexant, pikiran anak kecil tidak ada yang tahu dan susah ditebak.
"Kenapa Mama tertawa?" Bibir mungil Crystal mengerucut. Dia tidak merasa ada sesuatu yang lucu, tapi mamanya malah tertawa.
"Tidak apa-apa." Astrid menggeleng. Dia mengusap kedua sudut matanya yang berair. Tawa kecilnya akan berubah menjadi tawa yang bebas seandainya dia tidak berusaha untuk menahannya tadi. "Mama hanya ingin tertawa."
"Benarkah?" Kepala dengan rambut dikuncir dua itu kembali miring. Hidungnya kembali berkerut. Rambut pirangnya terkumpul di satu sisi.
Gemas, Astrid mencubit pipi chubby putrinya. "Kau ingin tahu apa itu menikah?" tanyanya serius.
Crystal mengangguk dengan bersemangat. Aat di istana waktu itu, Alexant mengajaknya menikah. Dia langsung mengiyakannya karena ingin terus bersama Alexant. Bukankah menikah adalah nama sebuah permainan?
"Menikah itu artinya laki-laki dan perempuan yang mengucapkan janji suci di altar." Astrid memindahkan duduk Crystal menjadi di pangkuannya. Sejak tadi putrinya duduk di depannya. Mereka berada di balkon kamarnya, menikmati pemandangan matahari yang sebentar lagi akan terbenam.
Bagi bangsawan kecil yang hidup di pedesaan seperti mereka, kehidupan mereka tidak ada bedanya dengan para penduduk lainnya. Mereka hanya tinggal di sebuah kastil yang lebih besar, memiliki beberapa orang pelayan yang mengerjakan semua keperluan mereka, juga memiliki pekerja yang mengurus kebun dan ladang mereka. Selain itu tidak ada yang membedakan. Itulah yang diterapkan Astrid dalam kehidupan Crystal. Dia tak ingin putrinya tumbuh menjadi gadis yang angkuh hanya karena status mereka sebagai bangsawan. Meskipun kedudukanmu lebih tinggi dari yang lainnya, kau tidak akan dihormati jika kau seorang yang angkuh.
"Benarkah itu?" Crystal mengerjap. Apakah dia sudah salah mengartikan kata menikah?
Astrid mengangguk. Sesekali dia merapikan anak rambut Crystal yang tertiup angin.
"Bukankah menikah nama sebuah permainan?"
Tawa Astrid kembali pecah mendengar perkataan putrinya. Dia kembali benar, selain tidak tahu arti menikah Crystal juga beranggapan jika menikah adalah nama sebuah permainan. Pasti dia mengiakan perkataan Alexant karena berpikir mereka hanya akan bermain. Astaga, putrinya memang sangat polos. Astrid mengusap pucuk kepala pirang Crystal, memberikan sebuah kecupan sayang di keningnya.
"Menikah bukan sebuah permainan, Sayang, tapi sebuah komitmen di mana sepasang laki-laki dan perempuan berjanji akan selaku setia satu sama lain." Astrid menjelaskan dengan hati-hati. Dia berusaha mencari kosakata yang paling mudah dimengerti oleh anak kecil seusia Crystal. "Apakah kau ingat kita menghadiri pernikahan Bibi Margareth bulan lalu?" tanyanya.
Crystal kembali menelengkan kepalanya. Yang ketiga sesore ini. Kata-kata Mama membuatnya berpikir. Dia harus menggali ingatannya hingga bukan lalu. Rasanya sedikit sulit jika di dalam pikiranmu sudah terdapat seseorang yang mendominasi. Saat ini Crystal sedang memikirkan Alexant. Semuanya tentang anak laki-laki itu, sampai-sampai dia melupakan yang lainnya. Pesta di kediaman keluarga bangsawan De La Rossa pun dilupakannya.
Kedua orang tua Crystal memang selalu mengajaknya ke mana pun mereka pergi. Astrid ingin putrinya menjadi seorang yang pandai bergaul, tapi tidak hanya mementingkan bersenang-senang. Dia ingin Crystal mempelajari tata cara pergaulan secara langsung, tak hanya melalui teori. Pelajaran secara langsung akan lebih mudah diingat daripada hanya sebuah teori.
Senyum Crystal terbit dengan lebar, menampakkan satu gigi susunya yang tanggal. Dia sudah mengingat pesta yang dimaksud Mama. Pesta yang sangat indah. Banyak orang dewasa yang berdansa dengan pakaian mereka yang sangat cantik. Apakah nanti jika dia menikah juga akan seperti itu?
"Kau sudah mengingatnya?" tanya Astrid penasaran. Alis pirangnya berkerut.
Crystal mengangguk manis.
"Yang mana?" tanya Astrid lagi. Dia penasaran dengan semua ingatan putrinya. Dia tidak bisa selalu mendampingi Crystal dalam kegiatannya. Crystal bermain dengan anak-anak seusianya di desa ini, dia tidak pernah melarangnya. Dia sendiri juga terkadang ada hal lain yang dikerjakan. Bagaimanapun, mereka adalah bangsawan. Di mana pun mereka tinggal, mereka tetaplah bangsawan, dan setiap warga sellau menghormati yang namanya bangsawan.
"Pesta pernikahan yang Mama sebutkan tadi." Crystal tersenyum lagi, masih sama lebar seperti tadi. Pemandangan deretan gigi susunya yang putih dan rapi dirusak oleh sebuah sebuah gigi s**u yang tanggal. Namun, itu justru membuat senyumnya semakin manis dan menggemaskan. "Gaun pengantinnya sangat cantik. Aku ingin gaun pernikahanku juga nanti secantik itu." Mata biru Crystal berbinar saat menceritakan perihal gaun pengantin itu.
Astrid tersenyum. Tangannya mengusap pipi yang kemerahan. "Gaun pengantinnya akan jauh lebih cantik dari gaun pengantin Bibi Margareth. Mama yakin."
Keyakinan Astrid sangat beralasan. Nalurinya mengatakan jika putrinya pasti akan menikah dengan pangeran Alexant. Meskipun dia tidak menginginkannya, pernikahan itu tetap akan terjadi. Janji yang diucapkan Alexant merupakan sebuah janji yang sah, apalagi disaksikan oleh seseorang. Hukum kerajaan mereka, anak kecil pun bisa dijadikan saksi. Seandainya pun keluarga mereka menolaknya, tetap tidak bisa. Mereka harus mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku di kerajaan. Apalagi Alexant kembali mengatakan perihal pernikahan dengan putrinya di depan banyak prajurit, terlebih lagi jenderal besar Namira. Tak dak ada yang dapat menghalangi pernikahan itu terjadi. Putri kecilnya akan tetap menjadi ratu Namira.
Apakah dia senang? Apakah dia gembira dengan kenyataan itu? Jawabannya adalah tidak. Tidak ada seorang pun Ibu di dunia ini yang ingin menjerumuskan putrinya dalam masalah. Lingkungan istana penuh intrik, orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-orang yang berpikiran licik. Semua hanya mementingkan jabatan dan kekuasaan. Menjadi ratu bukanlah hal yang patut dibanggakan. Menjadi ratu di kerajaan yang penuh tipu muslihat sama saja dengan menceburkan diri dalam permasalahan yang tak kunjung usai. Seandainya saja bisa, dia ingin menghentikan hal itu. Sayangnya tidak. Bukannya pernikahan yang batal, malah dirinya yang akan kehilangan kepala. Entah siapa yang memutuskan demikian –perkataan keluarga kerajaan adalah ikrar dan harus terjadi– untuk pertama kali, dia tidak tahu. Yang pasti semua ini sangat merugikan semua pihak, kecuali mereka menginginkan kekuasaan.
Sudah menjadi rahasia umum jika mendiang Ratu Amora mangkat karena tidak sanggup lagi bertahan menghadapi keadaan istana yang semakin hari semakin kacau. Kesehatan ratu menurun drastis setelah melahirkan sampai akhirnya meninggal beberapa bulan usia putra mahkota. Astrid tak ingin putrinya mengalami nasib yang sama. Apalagi seorang raja diperbolehkan memiliki selir, tidak hanya seorang, melainkan beberapa orang. Tidak dapat dibayangkan betapa terluka hati putrinya kelak jika setelah menjadi ratu, Alexant mengkhianatinya dengan mengangkat beberapa orang selir. Sungguh, dia tak ingin apa yang terjadi pada mendiang Ratu Amora juga menimpa putrinya.
"Aku ingin gaun pengantinnya nanti memiliki ekor yang panjang sepanjang ekor burung merak." Crystal menelengkan kepala, mengetuk-ngetuk pelipisnya menggunakan jari telunjuk. Dia berusaha mencari apa lagi yang diinginkannya pada gaun pengantinnya jika dia menikah nanti. "Banyak renda dan pita di sekelilingnya. Pasti akan terlihat sangat cantik." Kembali senyum lebar menghiasi wajah cantiknya.
Sinar keemasan matahari sore jatuh tepat berada di sebelah kanan mereka. Astrid mengakui, Crystal sangat cantik dalam keadaan seperti ini. Saat sebagian wajahnya tertimpa cahaya matahari, sebagian yang lain tidak. Kecantikan gadis kecilnya terlihat memukau. Mungkin saat Crystal dewasa akan banyak para bangsawan dan pangeran yang datang melamarnya. Sayangnya itu hanya bisa terjadi jika Crystal tidak diperistri oleh Alexant. Haruskah dia membawa putrinya pergi jauh dari Namira? Kerajaan Alastore mungkin tidak buruk, hanya saja cuaca di kerajaan yang jauh lebih besar dari Namira itu sedikit tidak bersahabat. Kerajaan Alastore selalu diselimuti salju, sinar matahari sangat jarang muncul di kerajaan yang berada di belahan Utara itu. Dia tak yakin mereka akan bisa beradaptasi dengan cuacanya yang ekstrem.
Pergi ke kerajaan Rans sedikit tidak mungkin. Raja Jupiter tidak akan membiarkan rakyat kerajaan lain memasuki daerah kekuasaannya tanpa ada alasan yang jelas. Menghindar dari kerajaan mungkin merupakan alasan yang sangat jelas dan masuk akal. Namun, justru itu yang membuat mereka tidak diizinkan masuk wilayah mereka. Rans tak akan memancing peperangan dengan Namira. Kedamaian ketiga kerajaan besar selalu berada di atas segalanya.
Astrid menarik napas panjang, melepaskannya melalui mulut perlahan agar Crystal tidak menyadari apa yang dia lakukan. Astrid menyelipkan anak rambut Crystal yang terbang tertiup angin, ke telinganya. "Bukankah itu akan terlihat sedikit lebih menggelikan, Sayang? Maksud Mama, gaun yang cantik tidak perlu banyak hiasan renda dan pita. Gaun yang cantik adalah gaun yang pas di tubuhmu. Lagipula, Mama yakin, kau akan tetap terlihat cantik mengenakan gaun apa pun."
Bibir mungil Crystal mengerucut. Pipi bulatnya menggembung, menambah volume pipi itu. Astrid harus menutup mulutnya untuk menahan tawa. Wajah Crystal tampak semakin menggemaskan saat dia cemberut.
"Tapi, aku ingin gaunku dipasangi banyak pita dan renda, Mama." Crystal merajuk. Sebuah kebiasaan buruk yang sering dilakukan anak-anak terhadap orang tua mereka agar keinginan mereka dituruti. Aku ingin gaunku sangat cantik."
"Sayang, dengarkan Mama." Astrid meraih dagu putrinya, mengangkat wajah yang tertunduk. Ekspresi sedih Crystal memang selalu berhasil membuatnya luluh. Putrinya sangat mengetahui cara agar baik dia maupun Edmund –suaminya– menuruti semua keinginannya. "Kau akan mendapatkan gaun pengantin terbaik saat pernikahanmu nanti. Mama berjanji!"
"Benarkah? Mama sungguh-sungguh?" tanya Crystal kembali bersemangat. Dia yakin Mama pasti akan mengabulkan setiap permintaannya, tapi sebelumnya dia harus memastikan terlebih dahulu. "Mama tidak berbohong, 'kan?"
Astrid tertawa melihat binar ceria di kedua mata biru Crystal. Tidak salah dia dan suaminya menamakan putri mereka dengan nama Crystal. Mata birunya sangat bening, sebening kristal. Begitu juga dengan kulitnya yang seputih porselen. Crystal-nya bagai sebuah boneka hidup. "Mama sudah berjanji, bukan? Itu tandanya Mama tidak berbohong."
"Terima kasih, Mama." Crystal memeluk Astrid erat, menaikkan sepasang lengannya untuk memeluk leher ibunya, dan mencium pipi Sang Ibu. "Aku sayang Mama."
Dada Astrid menghangat mendengar kata-kata itu. Kedua lengannya melingkari punggung Crystal makin erat. "Mama juga sangat menyayangimu, Nak," bisiknya sambil menciumi seluruh permukaan kulit wajah putrinya.
Crystal tertawa bergelak. Persentuhan kulit wajahnya dan kulit bibir ibunya terasa menggelitik, sangat geli. "Hentikan, Mama!" pintanya disela tawa. Kedua tangannya yang tadi memeluk leher mamanya sekarang berusaha menjauhkan Sang Ibu dari dirinya dengan mendorongnya menjauh.
Astrid juga tertawa. Dia menghentikannya setelah puas menciumi putrinya yang menggemaskan. "Berjanjilah kau akan tetap menjadi dirimu sendiri selamanya, Sayang. Jangan pernah berubah menjadi orang lain. Tetaplah ceria seperti yang selama ini kau tunjukkan. Kau adalah gadis kecil Mama yang tangguh dan hebat!"
Crystal mengangguk setelah mengusap sudut matanya yang basah. Dia tertawa sampai mengeluarkan air mata, dan itu karena Mama. Mungkin perasaan anak kecil sepertinya tidak penting bagi orang dewasa di sekitarnya. Mama selalu mengalihkan topik pembicaraan setiap kali dia membicarakan Alexant. Baru kali ini Mama terlihat menanggapi, itu pun hanya sambil lalu. Mama lebih tertarik untuk membahas masalah pesta pernikahan Bibi Margareth. Pesta itu memang sangat meriah. Apakah pesta pernikahannya dan Alexant nanti akan semeriah itu? Meskipun pernikahan ternyata bukanlah sebuah permainan, dia tetap tidak menolak untuk menikah dengan Alexant. Dia justru tidak sabar menantikannya. Rasanya ingin dewasa secepatnya agar dia bisa ke istana dan bertemu Alexant.