bc

The Crown

book_age18+
779
FOLLOW
3.4K
READ
love-triangle
possessive
dominant
king
queen
drama
sweet
bxg
royal
war
like
intro-logo
Blurb

WARNING 18+

TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR

BIJAKLAH MEMILIH BACAAN

Crystal Mars dan Alexant Vrent ketika kecil pernah berjanji, kalau mereka akan menikah saat mereka dewasa nanti.

Dapatkah janji mereka terwujud sementara Alexant juga membuat janji yang sama kepada Beatrice, putri dari pengasuhnya?

Cover by Me

Pict

https://pin.it/3oeXA0T

Font by PicsArt

chap-preview
Free preview
Bab 1. Promise
Gadis kecil berusia tujuh tahun itu berlari riang, mengejar kupu-kupu yang banyak terdapat di taman itu. Gadis kecil berambut pirang dan mata biru cemerlang itu bernama Crystal Mars. Ia dan keluarganya menjadi salah satu tamu pada pesta yang diadakan oleh kerajaan Namira, salah satu dari tiga kerajaan besar yang ada. Pesta ulang tahun raja Namira yang ke empat puluh lima memang lebih meriah daripada pesta-pesta sebelumnya. Seluruh rakyat Namira diundang, pintu gerbang istana di buka selama seminggu. Rakyat boleh menginjakkan kaki di istana dan bertatap muka langsung dengan raja dan putra mahkota. Sungguh kesempatan yang sangat langka. Keluarga Mars bukanlah keluarga biasa. Mereka adalah keluarga bangsawan, walaupun hanya bangsawan yang tinggal di desa. Bersama para bangsawan lainnya mereka menghadiri dan menginap di istana selama pesta berlangsung. Oleh karena itu Crystal Mars, putri tunggal keluarga Mars, bisa mengenal dan berteman dengan pangeran Alexant Vrent. Para bangsawan yang datang sangat jarang membawa anak-anak mereka sehingga Crystal dan Alexant menjadi dekat hanya dalam waktu beberapa hari. "Berhentilah terus berlarian, Crystal, aku tidak mau kau terjatuh!" seru Alexant dari bawah pohon. Anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu duduk bersandar di bawah pohon. Tangannya terlihat sibuk sejak tadi. Sementara George Bryne, sahabat sekaligus pengawalnya, berada di atas pohon. Ia meminta George untuk mengawasi Crystal yang tidak pernah bisa diam. "Hei, George, apa menurutmu Crystal akan mau duduk di sampingku kalau aku memberikan mahkota ini padanya?" tanya Alexant dengan kepala menengadah menatap George. "Aku tidak suka ia terus berlari seperti itu, aku takut ia terjatuh." George melompat turun dari atas pohon sebelum menjawab. Rasanya sangat tidak enak saat melihat majikanmu mengangkat kepala hanya untuk berbicara denganmu. "Saya tidak tahu, Yang Mulia," jawab George hormat. Mereka memang berteman sejak balita dan bersahabat sampai usia mereka sepuluh tahun ini, tetapi George masih sadar diri. Meskipun mereka bersahabat, Alexant tetaplah seorang pangeran yang harus ia jaga keselamatannya. "Anda coba berikan saja padanya." Alexant mengangguk, ia mempertimbangkan usul George. Tatapannya fokus pada mahkota bunga yang tadi dibuatnya sambil duduk. "Bagaimana menurutmu? Apakah mahkota ini cantik?" Alexant bertanya sambil mengangkat mahkota bunga itu, menunjukkannya pada George. "Jawab aku dengan jujur, George! Sebagai sahabat bukan sebagai pengawalku!" George berdehem. Alexant menatapnya tajam. Mata abu-abu anak itu bersinar mengancam. Kalau sudah seperti itu ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengatakan yang sebenarnya. "Menurutku mahkota ini cukup cantik," ucap George sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dengan jari telunjuk mengusap dagu. Lagaknya sudah seperti orang dewasa saja. Memang George menirukan gaya sang Ayah. Jenderal besar Namira, Wallace Bryne, suka seperti ini kalau ia sedang mencoba menilai sesuatu. "Aku yakin Crystal akan senang menerimanya." "Benarkah?" tanya Alexant dengan mata berbinar. George mengangguk. "Menurutmu begitu?" tanya Alexant lagi, kali ini ia memastikan kalau pendengarannya tidak salah. Sekali lagi George mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya yakin. "Kalau Anda tidak percaya Anda bisa memanggil Crystal, kemudian berikan mahkota bunga ini padanya. Aku yakin kalau Crystal pasti akan senang menerimanya." Alexant mengangguk. Bocah sepuluh tahun berambut pirang dengan mata abu-abu itu berseru memanggil Crystal yang sedang mencoba menangkap seekor kupu-kupu yang hinggap pada setangkai bunga liar. "Crystal, bisakah kau ke sini sebentar?" Gadis kecil itu menoleh. Hanya sekilas, setelah itu ia kembali fokus pada kupu-kupu yang ingin ditangkapnya sejak tadi. Alexant berdecak kesal. Crystal mengacuhkannya. Ia paling tidak suka diacuhkan, apalagi oleh orang yang disukainya. Ia memang masih kecil, tetapi ia juga menyukai Crystal. Gadis kecil itu selalu menebarkan aroma ceria dimana pun ia berada. Ia membutuhkan keceriaan itu. Sejak Ibunya meninggal karena sakit dua tahun yang lalu, ia sudah tidak tahu lagi bagaiman rasanya tersenyum. Alexant bukan anak yang dingin. Ia selalu ramah kepada siapa pun, termasuk kepada semua bawahannya. Sehingga mereka semua menyayanginya. Di luar, Alexant memang tidak tampak kalau ia kesepian. Namun di dalam hatinya ia selalu menangis. Alexant merindukan sosok Ibunya yang selalu hangat dan penyayang. Ayahnya juga seperti itu, tetapi Ayahnya tetap tidak bisa menggantikan posisi sang Ibu. Ayah juga terlalu sibuk mengurus kerajaan dan rakyat mereka. Alexant bertemu Crystal dua hari yang lalu pada malam pesta pertama. Mereka dikenalkan oleh orang tua mereka saat Crystal dan keluarganya memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Raja Henry, Ayah Alexant, dan Alexant merasa sudah menyukai gadis kecil itu sejak pertama melihatnya. Pipi bulat Crystal yang kemerahan membuatnya gemas ingin mencubitnya. "Crystal ke sinilah!" seru Alexant sekali lagi. "Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu." Crystal berhenti berlari. Gadis kecil itu menatap Alexant dengan tatapan bertanya. Hanya sekejap kemudian Crystal kembali berlari. Kali ini ia menghampiri Alexant dan George yang masih berdiri di bawah sebuah pohon besar. Alexant tersenyum melihat Crystal menghampiri mereka. Saat gadis itu berlari tadi, kunciran rambut pirangnya yang bergelombang ikut bergoyang. Terlihat sangat cantik dan menggemaskan. "Ada apa?" tanya Crystal setelah berada di depan kedua anak laki-laki itu. Ia masih mengatur napasnya yang tersengal. "Benarkah kau ingin memberikanku sesuatu? Apa itu? Apakah kupu-kupu?" Crystal memiringkan kepala. Alexant menggeleng. Anak itu maju dan memasangkan mahkota bunga di kepala Crystal. Gadis kecil itu meraba-raba bagian atas kepalanya kemudian memekik senang. "Apakah ini untukku?" tanya Crystal dengan mata berbinar. Alexant tersenyum, ia mengangguk. "Untuk saat ini aku hanya dapat memberikan mahkota ini padamu," ucap Alexant dengan mimik wajah yang serius. Meski begitu ia tetap mempertahankan senyumnya. "Kelak kita dewasa aku akan memasangkan mahkota sungguhan di kepalamu." Crystal mengerjap. Tangan mungilnya kembali meraba mahkota bunga yang diberikan Alexant. Senyum manis terkembang di wajah bak boneka itu. Crystal mengangguk. "Crystal Mars, hanya kau yang akan menjadi ratuku kelak!" Mata George melebar mendengarnya. Mereka memang masih anak-anak, tetapi mereka sudah diajarkan tata krama juga adat dan kebiasaan. Kata-kata yang diucapkan Alexant adalah sebuah janji. Ikrar yang secara tak langsung sudah mengikat mereka sampai raga meninggalkan tubuh mereka kelak. Aturan dalam setiap kerajaan memang tidak selalu sama. Di Namira, para anggota kerajaan terutama raja dan pangeran dilarang untuk berkata sembarangan. Perkataan mereka adalah ikrar dan janji yang harus ditepati. Crystal mengangguk cepat. Tentu saja ia ingin menjadi ratu. Ia ingin memiliki mahkota sungguhan seperti yang dikatakan Alexant tadi. "Kalau begitu kau harus duduk di sampingku dan berhenti mengejar kupu-kupu terus." Alexant menarik tangan Crystal, membawa gadis kecil itu duduk di bawah pohon besar yang sejak tadi didudukinya. "Aku tidak mau kau terjatuh dan terluka nantinya." Crystal mengangguk. Gadis itu tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi susunya yang putih. Karena gemas, Alexant mencubit pipi putih itu sekali sebelum memberikan kecupan pada pipi yang tadi dicubitnya. "Dewasa nanti kau harus menikah denganku. Benarkan, George?" Alexant menolehkan kepalanya pada George yang sejak tadi terlihat masih berpikir. "Tidak boleh menikah dengan pemuda lain, hanya boleh denganku saja!" Crystal lagi-lagi mengangguk. "Janji!" Gadis itu menjulurkan jari kelingking kanannya. Alexant tersenyum. Menyambut uluran jadi kelingking Crystal dengan jari kelingking miliknya. "Berjanji!" balas Alexant. "Aku tidak akan terima kalau kau menikahi orang lain," sambungnya. "Kau itu milikku!" Crystal tak menjawab. Gadis kecil itu hanya mengangguk lagi. Tangan mungilnya kembali meraba mahkota bunga yang menghiasi kepalanya. "Alex, aku cantik tidak?" tanya Crystal. Gadis kecil itu berdiri dan berputar di depan Alexant dan George. Alexant mengangguk. "Tentu saja kau sangat cantik, dan aku menyukaimu," jawab Alexant. "Aku juga menyukaimu," balas Crystal. Serta-merta gadis itu menerjang Alexant dan memeluknya erat. Semilir angin menjadi saksi janji mereka berdua selain George. Alam seakan merestui ikrar yang diucapkan kedua anak kecil itu. Bunga-bunga bergoyang dengan indahnya. Daun-daun juga berguguran di atas mereka. Alexant tidak tahu bahwa ikrar masa kecil jua lah yang menyebabkan kehancuran kerajaannya. . . . . . . . . . . Waktu seminggu ternyata berjalan sangat cepat saat seseorang merasa bahagia. Hal itu juga yang dirasakan Alexant. Tidak terasa pesta yang dilangsungkan di istana akan berakhir malam ini. Setelah ini, istana akan kembali sepi seperti biasanya. Tidak ada lagi suara musik dan suara ramai para tamu. Yang ada hanya para dayang dan pembantu serta prajurit. Alexant menatap bosan pada para dayang yang berseliweran di depannya. Ia ingin meninggalkan pesta sejak tadi, ingin bermain bersama Crystal. Malam ini adalah malam terakhir mereka bertemu. Entah kapan mereka akan bertemu lagi. Semoga sebelum mereka dewasa mereka masih bisa bertemu. Alexant celingukan mencari Crystal. Gadis kecil itu tidak tampak sejak pesta dimulai. Hanya terlihat kedua orang tuanya saja di sudut sana. Selain Crystal, George juga tak terlihat. Sahabatnya itu tadi pulang ke kediaman keluarga Bryne lebih dulu, setelah itu baru kembali ke sini lagi. Itu yang dikatakan George sebelum pergi tadi. Namun sampai sekarang George masih belum datang juga. Setelah mendapatkan izin dari Ayahnya untuk meninggalkan pesta lebih dulu, Alexant segera berlari ke arah taman yang berada di samping ruang pesta. Ia tidak suka berada di pesta yang tidak ada Crystal-nya. Lagipula pesta itu adalah pesta ulang tahun Ayahnya, bukan pesta untuk anak kecil sepertinya. Alexant memperlambat larinya, ia sudah hampir sampai. Ia ingat kalau Crystal sangat menyukai taman samping itu. Beberapa kali mereka berdua menghabiskan waktu bermain di taman itu. Dugaan Alexant benar, Crystal berada di taman tetapi gadis itu tidak sendiri. Ia bersama seseorang, dan yang pasti orang itu bukan George. Orang itu adalah tamu pesta, putra mahkota dari Alastaria, kerajaan tetangga mereka. Ia benar, orang yang sedang berbicara dengan Crystal adalah Lance Loire. Pemuda dengan tatapan dingin dan menakutkan. Alexant tidak terlalu mengenal Lance, tetapi sedikit banyak ia sudah tahu tentang pemuda itu. Lance sangat jarang tersenyum, mungkin karena ia tinggal di negeri yang dingin seperti Alastaria sehingga senyumnya ikut beku. Selain itu sikap Lance juga kurang ramah. Ia sangat dingin, tatapan mata ambernya juga sangat tajam dan menusuk. Alexant berdehem agar Crystal dan Lance menyadari kehadirannya. Kedua orang yang sedang duduk di sebuah bangku baru itu sama-sama menoleh. Crystal lebih dulu menghampirinya, memeluk lengannya erat. Lance Loire juga ikut berdiri. Namun dilihat dari caranya sangat terlihat kalau pemuda itu terpaksa. "Pangeran Alexant." Lance Loire mengangguk hormat. Alexant membalas anggukan itu. Ia memang masih sangat muda, bisa dikatakan ia masih anak kecil, tingginya juga tidak sampai batas d**a Lance. Sehingga saat mengangguk ia terlihat seperti membungkuk. "Selamat malam, pangeran Lance. Kalau boleh aku tahu, kenapa Anda berada si sini? Pesta berada di dalam sana." Alexant menunjuk ruangan tempat pesta berlangsung dengan sedikit memiringkan kepalanya. "Aku hanya bosan dan ingin suasana yang baru," jawab Lance. "Suasana seperti apa?" Alexant tahu bahwa sangat tidak sopan ingin tahu apa yang menjadi masalah orang lain, kesannya seolah kita ingin ikut campur. Namun ia tidak suka dengan Lance yang menatap tajam ke arah Crystal. Sementara ia tidak tahu arti tatapan itu. Terlalu misterius. "Maaf, Yang Mulia. Bukankah sangat tidak sopan bertanya seperti itu pada tamu Anda?" tanya Lance dingin. "Aku tidak terlalu suka pesta dan saya harap jawaban saya cukup membuat Anda puas. Permisi!" Alexant memerah mendengar kata-kata itu. Ia memang tidak sopan dan sepertinya harus meminta maaf kepada salah satu tamu penting Ayahnya. Pangeran Lance datang mewakili Ayahnya, raja Alastaria, yang tidak bisa menghadiri undangan Ayahnya. Anak itu menunduk. Ia menyesal, sikapnya barusan sudah mempermalukan dirinya dan Namira. "Maafkan aku." Lance menghentikan niatnya untuk melangkah. Kaki kanannya yang tadi terangkat kembali ke posisi semula. Pemuda itu memutar tubuh menghadap anak kecil di depannya. Menatap Alexant dengan sebelah alis terangkat. "Maafkan ketidaksopananku." Alexant membungkukkan badan sedikit. "Atas nama diriku pribadi aku meminta maaf pada Anda, pangeran Lance," ucapnya. "Tidak perlu sampai seperti ini," sahut Lance dingin. Pemuda itu mengangkat bahu acuh. "Aku memaklumi tindakan Anda, Yang Mulia. Anda masih anak kecil." Berkata anak kecil, Lance melirik gadis kecil yang berdiri di samping Alexant. Gadis kecil yang tadi menemaninya dan selalu mengajaknya bicara. Sungguh gadis yang berisik. "Sekarang aku permisi. Selamat malam." "Terima kasih, pangeran Lance." Alexant mengangguk. "Selamat malam." "Selamat malam, Nona Kecil." Lance menatap Crystal dengan tatapan sulit diartikan. "Senang berbicara denganmu. Kuharap lain kali kita bisa bertemu lagi." Lance membungkuk, kemudian berlaku dari tempat itu tanpa menunggu Crystal membalas salamnya. "Selamat malam, Tuan Yang Aku Tidak Tahu Siapa Namamu!" seru Crystal. Gadis kecil itu melambai ke arah Lance yang sudah berada di luar taman. "Senang berbicara dengan Anda!" Alexant mengembuskan napas lega. Rasanya sangat menyesakkan saat berbicara dengan Lance. Seolah semua udara diraup oleh pemuda itu. Alexant tidak tahu kenapa aura yang terpancar dari Lance sangat menyeramkan, seperti Lance itu seorang monster saja. "Kenapa kau berada di sini?" tanya Alexant. "Taman ini kurang menyenangkan di malam hari." Crystal menoleh. Gadis itu memutar tubuh agar bisa melihat wajah Alexant. "Aku bosan di dalam," jawabnya dengan bibir mengerucut. "Tidak ada teman. Orang-orang dewasa itu selalu melarangku untuk meminum minuman yang sama dengan yang mereka minum. Ibuku hanya memberiku susu." Alexant tersenyum. Tangan kanannya terulur mengusap pipi yang menunduk itu. "Aku juga bosan," ucap Alexant. "Itu memang pesta orang dewasa, bukan pesta untuk anak kecil seperti kita." Crystal mengangguk. Gadis itu melangkah ke arah kursi panjang taman. Duduk di kursi itu dengan diikuti Alexant yang juga duduk di sampingnya. "Kata Ibuku, pesta sudah selesai. Malam ini adalah malam terakhir kami di sini, besok pagi kami akan pulang ke rumah." Crystal menatap Alexant. "Apa kita bisa bertemu lagi setelah ini, Alexant?" tanyanya. Alexant mengangguk. "Kita pasti bisa bertemu lagi," jawabnya. "Harus! Karena kau adalah calon istri masa depanku." "Tapi rumahku sangat jauh dari istanamu, bagaimana kita bisa bertemu?" tanya Crystal dengan sepasang alis pirangnya yang mengerut ragu. Alexant mengangkat bahu. "Entahlah," sahutnya. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri pelan. "Tapi kita harus bertemu. Kau harus mendampingiku memerintah Namira. Aku tidak mau memerintah bersama yang lain." Crystal mengangguk. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang seperti boneka. Sangat cantik dan menggemaskan. Alexant memajukan wajahnya untuk mencuri sebuah ciuman di pipi yang selalu kemerahan itu. "Kalau aku lupa, kau harus mengingatkanku nanti," bisik Alexant di telinga Crystal. Gadis kecil itu mengangguk. "Tapi aku tidak akan lupa, Crystal." Crystal mengangguk lagi. Ingatan anak kecil selalu tajam dan itu berlaku pada Crystal hingga ia dewasa. . . . . . . . . . . "Kau sudah siap, Sayang?" Seorang perempuan muda di kisaran dua puluh tahun menghampiri Crystal. Perempuan yang memiliki rambut sewarna Crystal itu mengusap pucuk kepala si gadis kecil. Crystal mendongak kemudian mengangguk. "Iya, Mama," jawabnya tersenyum. Astrid Mars tersenyum manis membalas senyuman sang putri. Tangannya berpindah ke arah pipi Crystal, mencubit pipi itu pelan sebelum mengusapnya hangat. "Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang." Senyum di bibir mungil Crystal langsung surut. Gadis kecil itu mengangguk sedih. Mereka akan kembali ke kediaman mereka di desa pagi ini. Para tamu yang lain juga pulang hari ini. Tadi ia sempat melihat ratusan kereta kuda berjejer di halaman istana. Kepala Crystal tertunduk luruh. Ia masih belum ingin pulang, masih ingin bermain bersama Alexant, juga George. Di desanya ia tidak banyak memiliki teman, orang tuanya selalu memintanya untuk belajar etika kesopanan dan tata krama. Sebagai seorang gadis bangsawan, walaupun mereka hanya bangsawan kelas rendah, ia tetap harus mempelajari semua itu. Etika kesopanan sangat diperlukan seorang gadis dalam pergaulan. Astrid mengerti perasaan putri kecilnya. Perempuan itu menekuk lutut, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan tinggi tubuh Crystal. Tangan lembutnya membingkai wajah sedih sang putri "Mama tahu kau masih ingin bermain bersama pangeran Alexant, tetapi kita harus pulang, Sayang. Tempat kita bukan di sini," ucap Astrid lembut, berusaha menjelaskan sebaik mungkin agar kata-katanya bisa dimengerti oleh gadis kecil seumur Crystal. Mata bulat itu menatap Astrid. Tatapannya bertanya. "Tetapi kata Alexant nanti kalau kami dewasa kami akan menjadi pasangan dan Alexant akan memakaikan mahkota sungguhan di kepalaku," ucapnya polos. Bola mata Astrid melebar. Benarkah apa yang dikatakan putrinya? "Kau sungguh-sungguh, Sayang?" tanya Astrid tak percaya. Mungkin saja kan Crystal hanya bercanda. Meskipun kalau dilihat dari wajahnya Crystal serius. Ia Ibu Crystal, perempuan yang melahirkannya, dan ia sangat mengenal putrinya. Ia tahu kapan putrinya bercanda, kapan serius, dan sekarang ia tidak melihat kalau Crystal sedang bercanda. "Benarkah pangeran Alexant mengatakan hal itu?" Crystal mengangguk. "Kapan?" tanya Astrid lagi. Dadanya berdebar menanti jawaban putrinya. Perkataan seorang pangeran merupakan ikrar atau janji yang harus dipenuhi. Itu berarti Crystal-nya akan menjadi ratu Namira. Senanglah ia dengan hal itu? Jawabannya adalah tidak. Ia sangat tidak mengharapkan putrinya kenapa-kenapa. Menjadi ratu bukanlah perkara gampang. Banyak hal di dunia politik yang bisa merusak kepribadian seseorang. Itulah sebabnya ia melarang suaminya untuk memasuki kancah politik istana. Ia tidak ingin keluarga kecilnya ternoda. Kehidupan istana bukanlah sesuatu yang baik. Terlalu banyak kebohongan. Ia tidak mau putrinya teracuni kemudian berubah. "Kapan pangeran Alexant mengatakan hal itu?" "Beberapa hari yang lalu saat kami bermain di taman," jawab Crystal. "George juga ada bersama kami." Jawaban Crystal makin meresahkan hati Astrid. Kalau memang George juga berada bersama Crystal dan Alexant saat anak itu mengatakan ikrar itu, berarti ikrar itu sah. "George juga mendengar perkataan pangeran Alexant?" Crystal lagi-lagi mengangguk. Gadis kecil itu menatap Ibunya bingung. Ia tidak mengerti kenapa sang Ibu justru menggeleng. "Dengar, Sayang, kau harus melupakan kata-kata pangeran Alexant. Kau mau kan?" pinta Astrid sungguh-sungguh. Ia tidak bermaksud apa-apa. Tidak bermaksud menentang hukum dan tradisi kerajaan mereka. Ia hanya seorang Ibu yang ingin melindungi putrinya. "Kenapa, Mama?" Crystal bertanya sambil memiringkan kepalanya. Astrid berusaha tersenyum. Pikirannya kemana-mana, mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Crystal. "Kata Alexant, aku tidak boleh menikah dengan orang lain selain dengannya. Kami akan memimpin Namira." Hati Astrid tercubit melihat senyum manis di wajah cantik putrinya. Bahkan Crystal sudah sangat senang meskipun ia tidak tahu apa dan bagaimana itu memimpin. "Kau ingin bersama Alexant?" tanya Astrid lirih. Ia harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Kalau ada yang mendengar perkataan mereka, nyawa Crystal bisa saja terancam. Semua yang menginginkan kedudukan sebagai ratu tentu menginginkan kematian Crystal. Itulah sebabnya ia lebih memilih hidup di desa daripada di kota. Apalagi di istana yang terlalu banyak aturan. Crystal mengangguk, lagi. Ia ingin terus bermain bersama Alexant. Ia tidak pernah bosan bermain dengan anak itu. Alexant selalu memperhatikan, juga menjaganya. Selain itu Alexant juga tampan. "Apa aku tidak boleh bermain bersama Alexant lagi, Mama?" tanya Crystal sedih. Astrid menghela napas panjang kemudian menggeleng. "Boleh, "jawabnya. Perempuan itu berusaha menyunggingkan senyum agar wajah murung putrinya kembali ceria. "Tapi tidak sekarang. Karena sekarang kita harus kembali ke desa." Crystal menatap Astrid. Tatapannya masih sedih, membuat Astrid kembali menghela napas panjang. "Sayang, kau tahu kan rumah kita tidak di sini?" Crystal tidak menjawab, tidak juga bereaksi. Ia hanya diam menunggu Astrid melanjutkan perkataan. "Apa kau tidak merindukan Bibi Autumn?" Astrid berusaha mengalihkan pikiran Crystal. Bibi Autumn adalah pengasuh Crystal dan mereka sangat dekat. Crystal sangat menyayangi pengasuhnya itu. "Bibi Autumn akan sangat sedih kalau kau tidak pulang." Astrid berdiri begitu Edmund Mars, suaminya, memasuki kamar mereka. "Kalian sudah siap?" tanya pria tampan itu. Astrid mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum. "Baiklah, ayo!" Astrid meraih tangan Crystal. Membiarkan para pelayan yang ditugaskan untuk melayani mereka selama di sini membawakan barang-barang mereka menuju keluar. Mereka akan pulang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bercumbu dengan Bayangan

read
22.0K
bc

Delivery Love (Indonesia)

read
950.9K
bc

Selir Ahli Racun

read
9.1K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
10.7K
bc

The King's Slave (Indonesia)

read
190.1K
bc

WANITA UNTUK MANUSIA BUAS

read
7.1K
bc

WHEN CUPID MEET KING OF DEVIL

read
8.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook