Nurani Bertemu Aron

1000 Words
"Serius kamu kuliah di sini?" Enelis terbahak bahak. "Ini enggak mungkin. Ayahmu dan ibu hanya seorang petani padi. itu juga kalian kerja untuk orang lain. Mana ada kamu memiliki uang untuk kuliah. Atau kalian menjual rumah kalian kan?" Satria menggeleng, namun laki laki itu keluar karena menerima telpon dari seseorang. Aku pun mengangguk pelan memberikan gekstur pada Satria. Aku hanya terdiam dan duduk di bangku ku, sesuai dengan apa yang di intruksikan oleh Satria. kebetulan aku bagian kelas pagi sehingga aku tidak perlu lagi repot repot menunggu di luar. "Aku sungguh kasihan pada Om dan Tante. seharusnya kamu tidak perlu kuliah di tempat yang semahal ini nurani. Kamu bisa kerja dulu ke luar negri dan menabung. kemudian barulah kamu kuliah di sini." cerocosnya. Gadis itu duduk di sampingku. "Kamu tahu, kalau di sini tuh semuanya anak anak orang kaya. Di sini semuanya mahal. Dan mereka akan selalu membandingkan kita dengan penampilannya. Tapi kamu jangan khawatir. Aku di sini untuk menjaga kamu agar kamu tidak perlu bergabung dengan teman teman yang seperti itu. Kamu hanya perlu duduk diam dan menerima pelajaran. tapi kamu enggak perlu punya teman. Kamu tahu, mereka itu agak agak menyebalkan!" Enelis terus saja berkicau, sampai seorang Dosen masuk dan memulai materi. Sehingga ia pun terpaksa diam. Namun ia sesekali menatap padaku seakan mengingatkan bahwa aku tidak boleh berisik. Selama Dosen menerangkan materi. Aku tentu saja membuka menuliskan apa saja yang ia katakan. Aku ingin semua yang telah di sampaikan Dosen itu enggak hilang begitu saja. "Kamu nulis apa?" Tanya Enelis, dia melihat apa yang aku tulis tadi. Kemudian ia terbahak. "Ya ampun Nurani ... kamu ko kaya anak SMA sih! Kamu enggak perlu nulis Nurani. Nanti kita akan diberikan tugas dan mencari materinya sendiri di internet. Kamu ko merepotkan diri sendiri dua kali kalih sih." Dia meraih buku kecil itu dan memperlihatkannya ke teman temannya lalu mereka teman temannya Enelis menertawakan apa yang aku lakukan itu. "Btw, kamu punya laftop enggak?" dia kembali meletakan buku kecil milikku yang sudah ia perlihatkan ke teman temannya dan mengatakan bahwa aku ini kudet dan apalah bahasa mereka yang mengatakan bahwa aku ini enggak gaul kaya anak anak kuliahan lainnya, ya mungkin seperti mereka. "Harga nya mahal tahu? kamu ini beli tas ko yang ber merk segala sih? kan yang harga standar juga banyak." dia meraih tas ku dan melihat lihat brand nya. "Ayolah Nurani ... kamu telah menghabiskan uang kedua orang tua mu hanya untuk kuliah di sini. Mending kalau setelah selesai dari sini, kamu bisa kerja. Kalau aku sih, kedua orang tuaku sudah kenal keluarga Dominggo. Keluarga kami bekerja sama dengan mereka. jadi aku bisa kerja di perusahaan Dominggo. Kalau kamu kan, enggak kenal siapa siapa, kamu enggak punya koneksi kan. Lalu bagaimana kamu mau mengembalikan uang ke dua orang tuamu?" Dia bersidekap d**a. "Teman teman! kalian ingatkan perusahaan Dominggo. Kedua orang tuaku kenal sama mereka. " ujarnya pada teman temannya, dan aku hanya diam saja mendengarkan apa yang sedang gadis itu bicarakan. Aku enggak suka berdebat dan memperlihatkan sesuatu pada mereka tentang kebenaran diriku. Biarkan saja mereka membicarakan semua kelebihan dan apa yang mereka punya. "Iya, keluargaku juga bekerja sama dengan perusahaan Dominggo. Dan kabar baiknya setelah aku selesai kuliah dari sini, aku akan direkrut langsung oleh pihak Dominggo." sahut gadis berambut pirang. Dia adalah temannya Enelis. "Aku juga. Kedua orang tuaku adalah salah satu orang kepercayaannya Tuan Dominggo. Sehingga kami sering sekali menerima hadiah dari beliau. Dan Ayahku sudah berbicara sebelumnya pada beliau, kalau aku akan langsung di tempatkan di Perusahaan Dominggo." gadis yang lain ikut menimbrung dan ikut berbicara dengan Enelis, yang tentu saja tentang pembicaraan Dominggo. Oh, Tuhan ... Dominggo yang mana sebenarnya yang sedang mereka bicarakan ini. Dominggo yang lain atau malah Tuan Dominggo yang saat ini sedang bersama ku. Sebenarnya ada berapa Dominggo yang ada di dunia ini. "Eh, coba aku lihat leptof nya." selesai membicarakan tas bermerk ku. Enelis kini meraih leftop yang ada di dalam tas ku. "ya ampun! ini brand termahal. dari mana kamu dapetin leftop ini? kedua orang tuamu menjual apa lagi untuk membelikan kamu ini?" Dia memberikan leftop ku ke teman temannya dan memperlihatkan pada mereka bahwa benda itu sangat mahal dan tidak mungkin aku bisa membelinya. "Ooo ... kamu enggak mungkin bisa membeli ini, nurani. Kamu ko enggak mikir kalau kedua orang tuamu pasti bingung sekarang mau tinggal di mana, karena kamu harus membeli barang barang mewah ini. Aduh! aku kasihan sekali sama om dan tante. Jangan jangan sekarang mereka tinggal di kolong jembatan lagi, cuma gara gara kamu jualin semuanya buat kuliah ke sini!" Ku usap dadaku. Aku enggak mau sedikit pun meladeni gadis ini. Aku sungguh tidak peduli sedikit pun. "Leftop ku bahkan enggak bermerk kaya gitu tahu. Aku memilih leftop biasa, yang penting kan fungsinya, buka merk nya. Duh, sayang banget harus beli leftop mahal mahal tapi harus jual ini itu kan?" Enelis kembali berkata. "Nurani ... jaga barang barang ini dengan baik. AKu kasihan sama om dan tante. Mereka pasti mengharapkan kamu menjadi seorang gadis yang sukses. Karena kalau kamu enggak sukses. Mereka akan sangat rugi sekali." Dia meletakan dengan hati hati leftop itu di dalam tas ku. "Aku enggak bisa bayangin bagaimana pusingnya kedua orang tua mu memikirkan biaya kuliah kamu yang selanjutnya." Enelis meraih tasnya. "Aku pulang lebih dulu. " dia mengajak teman temannya dengan berbisik bisik, yang entahlah apa saja yang sedang mereka bisik bisik kan aku pun enggak tahu. Kuliah hari pertamaku benar benar luar biasa. Kumasukan semua barang barang ku , sepertinya Kak tria sudah berada di luar menunggu ku. Aku harus segera menemuinya dan pulang. Mendengar celotehan Enelis dan teman temannya kepala ku sangat pusing sekali. Sampai di bawah, aku tidak menemukan Kak tria. Tapi seseorang berdiri di depan mobil mewah dia tersenyum padaku. Aku enggak tahu siapa dia, karena aku belum pernah mengenalnya sebelumnya. Aku berdiri kaku, dan dia menghampiriku. "Hay Nurani Cahya!" Dia tahu nama ku! Siapa dia? "A-anda siapa?" Dia kembali tersenyum, mata birunya begitu lekat memindai ku, membuatku takut. "Aron, namaku Aron Alexander!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD