PPW 7 – Prolog (7)

1107 Words
Aku menatap Annaliese si hantu cantik itu dengan tatapan ingin tahu. Aku akui, aku memang tertarik dengan apa yang dikatakannya. Apa katanya tadi? Dia bisa membantuku untuk memperbaiki keadaan?   Sudah lama sekali aku ingin memperbaikinya. Sudah banyak hal yang ingin aku lakukan juga sudah ku lakukan namun semuanya sia-sia. Dan dia menawarkan itu kepadaku baru saja?   Apakah kali ini aku harus mempercayai hantu? Aku benar-benar hilang kewarasan jika melakukannya namun aku sudah lelah. aku sudah tidak mau merasakan sakit seperti sebelumnya. Lalu akupun mulai memberanikan diriku untuk mendekatinya dan mengatakan kepadanya kalau aku menerima tawarannya.   "Bagaimana?" tanya hantu cantik itu sambil tersenyum.   Sial sekali, meski dia adalah hantu namun kadar kecantikannya jauh melebihi manusia normal. Namun, aku harus fokus.   "Apa kau bisa menjamin kalau hidupku akan berubah?" tanyaku kepadanya.   "Aku memang tidak bisa menjamin karena berubah atau tidaknya hidupmu itu hanya bisa ditentukan oleh dirimu sendiri. Tapi aku memiliki seseorang yang membantu." kata Annaliese dengan wajah serius.   Aku menatapnya, kali ini rasa takutku kepadanya lenyap ntah mengapa, rasanya menguap begitu saja. Aku tidak tahu apakan rasa takut itu akan kembali menjadi hujan atau memang benar-benar menghilang bersama udara.   "Baiklah. Ayo, antarkan aku kepada orang yang kau bilang itu. Kalau kau membohongiku, aku berjanji akan membakar makammu agar kau merasakan panas!" seruku mengancamnya.   Setidaknya inilah s*****a terakhirku, mengancamnya dengan kata-kata yang kejam. Katakanlah aku jahat namun sebagai manusia aku tentu harus memiliki jiwa yang kuat. Tidak boleh merasa takut, walau sebelumnya aku hampir saja buang air kecil di celana.   "Hahaha kau lucu sekali, Badrun. Aku sangat ingin mencubitmu!" seru Annaliese.   Aku memandangnya dengan sinis. Bagaimana mungkin ada orang maksudku hantu yang aku ancam justru menganggap ancaman yang aku katakan dengan serisu ini lucu.   Ah, di saat-saat seperti ini rasanya aku ingin tahu dari mana keanehan hantu di hadapanku berasal. Apakah semua bangsanya juga kerjaannya hanya tertawa-tertawa saja. Sampai menertawakan sesuatu yang sebetulnya bukan untuk ditertawakan.   "Aku tidak sedang bercanda!" seruku.   Aku pun bangkit dari keadaanku yang tadi dterduduk. Rasanya tidak ada lagi yang perlu aku takutkan kepada hanti di hadapanku ini. Dia cantik, selalu tertawa, dan tidak bisa menyentuhku. Aku rasa dia tidak punya kekutatan untuk membunuh.   "Ayo, cepat kita datangi orang yang kau maksud!" seruku lalu berjalan meninggalkan Annaliese.   "Badrun, tunggu!" seru Annaliese yang meneriakiku.   "Ada apa lagi? Jangan bilang kau berbohong kepadaku!" seruku dengan sangat kesal.   Lihat saja kalau dia sampai berbohong. Aku akan ... Aku akan ... Ah, apa sebetulnya yang bisa menyakiti hantu sepertinya? Nantilah akan kupikirkan lagi.   "Jalannya ke sana bukan ke situ!" seru Annaliese menunjuk arah yang berlawakan dengan arah langkahku.   "Ekhm!" kataku mulai berdehem.   Aku tentu merasa malu namun aku tidak mau kalau sampai Annaliese sampai tahu kalau aku sedang merasa malu.   "Hahahaha kamu benar-benar lucu Badrun!" seru Annaliese sambil tertawa.   Sial. Mengapa dia terus menertawakanku seakan aku adalah anak yang bodoh sih?   Aku pun berjalan ke arah yang dia tunjukkan sebelumnya, Aku tidak mau menoleh, aku tidak mau terlihat menyedihkan dan memalukan di depannya. Kini aku merasakan telingaku panas mendengar suara tawanya.   "Tunggu, Badrun!" seru Annaliese yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku.   Aku seketika terkejut masih belum biasa mendapati dirinya yang tiba-tiba berada di depanku. Namun, dengan cepat aku menormalkan eksresiku. Akupun mengganti ekspresi keterkejutan ini dengan wajah marah.   "Ada apa lagi?" tanyaku.   "Mengapa telingamu merah?" tanya Annaliese.   Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Apa yang dia katakan benar-benar terasa absurd, tidak masuk logika. Telingaku merah tentulah karena aku sedang merasakan malu. Begitu saja dia bertanya.   Aku hendak marah namun saat aku melihat wajahnya yang terlihat serius aku pun menghela nafas. Aku mencondongkan wajahku ke arahnya. Tidak kuralat. Aku mencondongkan telingaku ke arahnya lalu kubiarkan dia mengamati telingaku dan mencari tahu apa yang terjadi.   "Sentuh saja dan kau periksa sendiri mengapa telingaku menjadi merah!" kataku.   Aku hanya ingin mempermainkannya, aku tahu dia tidak bisa menyentuhku sehingga aku memintanya untuk menyentuh telingaku.   Di luar dugaan, tiba-tiba dia meniup telingaku.   Sungguh! aku tidak bohong. Aku merasakan hembusan nafasnya, seketika tubuhku merinding dahsyat, aku benar-benar merasa bulu kudukku brdisi semua, hawa dingin seketika menyelimutiku.   Aku pun langsung menegakkan tubuhku untuk menetralkan tubuhku.   "Bagaimana? Apakah sudah sembuh?" tanya Annaliese dengan polosnya.   "Sudah tidak usah banyak tanya! Ayo, jalan lagi!" seruku.   "Ayo!" seru Annaliese yang dengan semangat 45 kini langsung berjalan mendahuluiku.   Aku hanya bisa membiarkannya berjalan di depanku. Sepertinya aku memang harus membiarkannya berjalan mendahuluiku. Sebab, dengan begitu dia tidka perlu melihat wajahku.   Baru saja aku berpikir demikian tiba-tiba Annnaliese berbalik sambil tersenyum kepadaku.   "Badrun!" panggilnya sambil tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku.   Dia sedang dalam posisi seang berjalan mundur.   Aku hanya bisa memutar bola mataku dengan malas. Aku benar-benar malas menanggapi tingkah ajaibnya yang sedemikian rupa.   "Sudah kalau jalan itu lihat ke depan! Jangan ke belakang!" aku mulai berseru kepadanya.   Annaliese hanya bisa mengerucutkan bibirnya namun tak lama kemudian kembali tersenyum kepadaku. Tidak, dia tertawa bukan tersenyum.   "Sudah sana hadap depan!" seruku sambil mengisyaratkan dia harus melihat ke depan menggunakan tanganku.   Namun, seketika aku menyadari sesuatu. Aku merasa menjadi pusat perhatian lalu akupun menoleh ke sekitar dan benar saja kini aku sudah menjadi pusat perhatian dari orang-orang. Aku benar-benar merasa bodoh saat ini karena aku benar-benar lupa kalau Annaliese adalah hantu dan tidak semua orang bisa melihatnya.   Bahkan di tempatnya sekarang berjalan saja, di tepi jalan raya hanya aku yang bisa melihat Annaliese. Aku benar-benar frustasi memikirkannya.   Aku mulai bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi dan terus berjalan.   Aku tidak mau berlama-lama di tempat tersebut dengan tatapan yang penuh dengan rasa aneh dari orang-orang di sekitar.   Aku pun terus berjalan bahkan mempercepat jalanku.Aku tidak mau dianggap sebagai anak laki-laki yang 'freak'.   Annaliese menatapku dari depan sambil tertawa. Aku memberikan peringatakan kepadanya lewat tatapan mataku, namun bukannya takut, Annaliese justru tertawa dan berlari. Sontak akupun langsung berlari mengejarnya.   Annaliese berlari sambil terus tertawa. Aku terus mengejarnya meski aku sadar kalau pun aku menggapainya, aku tidak bisa memeganginya, bersentuhan saja aku tidak bisa jadi sebenarnya percuma saja bermain kejar-kejaran dengan hantu seperti dia.   "Stop!" seru Annaliese tiba-tiba.   Aku pun langsung menghentikan langkahku agar tidak menabrak tubuhnya yang seperti bayangan.   "Ada apa?" tanyaku kepadanya.   "Kita sudah sampai." kata Annaliese.   Annaliese menunjuk sebuah rumah pohon yang berada di pinggir danau. Rumah pohon itu terlihat kotor, seakan tidak pernah dijamah oleh manusia.   "Di mana orangnya?" tanyaku penasaran.   "Ada di rumah pohon itu. Ayo kita naik!" kata Annaliese.   Annaliese langsung mencoba memanjat pohon namun yang membuatku aneh, dia terlihat lincah sekali dan terlihat seperti bisa menggenggam tangga untuk sampai di rumah pohon tersebut. Mengenai ilusi atau tidaknya, jujur aku tidak mengetahuinya.   "Ayo!" seru Annaliese sambil tertawa.   Aku memutar bola matanya lagi, di saat apapun dia selalu tertawa, menyebalkan sekali. Sangat menyebalkan karena saat tertawa kadar kecantikannya selalu bertambah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD