PPW 6 – Prolog (6)

1187 Words
Tak lama kemudian, setelah selesai menyelesaikan kebutuhanku, akupun langsung keluar dari kamar mandi. Namun betapa terkejutnya aku saat seseorang menyiramku dengan air kotor.   Byurrr!   Aku melepaskan tanganku dan mengusap wajahku.   “Hahahahaha cabut, Guys!” seru seseorang yang sangat aku kenal. Dia adalah Davina. Aku bisa bertaruh untuk itu.   Aku melihatnya dengan keadaan buram. Aku menggeram aku benar-benar tidak menyukai gadis iblis itu.   “Anak-anak segera ke lapangan sekarang!” pengumuman itu begitu singkat dan padat.   Siaaal. Harus berapa kali aku mengumpati keadaan ini. Aku benar-benar ingin pergi saat ini juga namun aku sadar aku tidak bisa pergi ke manapun.   “Hei, kamu! Ke lapangan sekarang!” seru Pak Tarno salah satu guru killer di sekolahku.   Aku pun berlari ke lapangan. Dan sesampainya di lapangan akupun mendapati semua orang memandangku.   “Teman-teman lihat! Ada teman kita yang habis mencebur ke selokan!” seru Dave. Kembaran Davina.   Semua orang sontak menertawakan aku. Aku benar-benar malu saat ini. Aku benar-benar marah. Aku malu, Aku sudah tidak tahan dipermalukan seperti ini. Aku seorang laki-laki, harusnya aku bisa lebih berani.   Aku melirik Kak Julian yang ada diantara mereka, dia hanya menyilangkan tangan dan memandangiku dengan tatapan yang seperti menahan tawa. Aku membencinya.   “Apa salahku?” seruku tiba-tiba.   Sebuah kekuatan datang ntah dari mana. Aku merasa lebih berani. Tiba-tiba aku melihat Annaliese yang terlihat sedang menyemangatiku. Ntah mengapa aku jadi tambah semangat setidaknya ada satu orang yang mendukungku.   “Lihat, dia mulai memaikan dramanya!” seru Davina.   Semua orang menertawakanku lagi, bahkan lebih keras. Aku benar-benar tidak tahan dengan semua ini.   “Aku akan membalas kalian semua!” seruku berapi-api.   “Woo takuuut. Hahahahaha.” seru Davina.   “Di kehidupan selanjutnya. Kau akan menjadi babuku!” seruku.   “Hahahahahaha aku menunggu kematianmu!” seru Davina yang kembali tertawa.   Semua orang menyorakiku. Menertawakanku dan terus memojokkanku. Aku benar-benar tidak tahan dengan ini semua. Aku tidak mau berada di sini lagi. Aku akan membalas semua yang dilakukan oleh mereka semua. Aku berjanji.   Aku pun memilih berlari membelah lautan siswa yang tidak memiliki hati di hadapanku. Aku tidak tahan, benar-benar tidak tahan. Aku mendorong siapa saja yang menghalangi jalanku hingga semua orang mengumpatku.   Semuanya tidak adil, tidak adil!   Aku terus berlari menuju gerbang sekolah yang hampir ditutup oleh security yang berjaga. Aku tidak memperhatikan semua orang yang masih menertawakanku di belakang. Sungguh aku sakit hati kepada mereka semua.   Aku terus berlari hingga aku sampai di depan sebuah tepi danau yang sepi dari keramaian. Di sekitar danau tidak ada orang selain aku. Aku pun memilih mengambil sebuah batu dan aku langsung melemparkan batu-batu kecil itu ke danau dengan sekuat tenaga.   Aku benar-benar sudah tidak tahan dengan semuanya.   “KENAPA TUHAN? KENAPA KAU BEGITU JAHAT KEPADAKU?” teriakku sekuat tenaga.   Duar!   Seakan menjawab teriakanku, kilatan petir terlihat di atas sana. Akupun luruh ke tangah dengan keadaan bertopang menggunakan lutut, air mataku menderas.   “Aku benci dengan semua ini! Aku benci!” seruku sambil memukuli rumput yang ada di dekatku.   “Badrun! Kamu tidak boleh seperti ini.” seru seseorang yang tiba-tiba ada di hadapanku.   Aku mendongak. Aku mendapati Annaliese di sana yang sedang berjongkok dengan raut wajah khawatir kepadaku. Aku berniat mendorongku dengan kasar.   Namun, tanganku menembus tubuhnya.   “Siapa kamu?” seruku.   Rasa marahku kini berubah menjadi rasa ketakutan yang luar biasa. Aku benar-benar tidak bisa mengerti mengapa tanganku bisa menembus bahu Annaliese yang kudorong itu. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa di dunia ini ada seseorang yang tidak bisa disentuh.   Aku jatuh terduduk dan menyeret tubuhku sendiri ke belakang.   “Aku Annaliese. Kamu tidak lupa bukan?” tanya Annaliese kepadaku.   “Tidak, kau pasti pasti hantu! Jangan mendekat!” seruku.   Aku terus berteriak agar tidak mendekatiku. Annaliese terus berjalan mendekat. Kini pikiranku memutarkan kejadian di mana Annaliese yang belakangan bisa menghilang dengan cepat, ternyata dugaanku yang menduga kalau dirinya adalah seorang atlet lari begitu salah.   Dia bukan atlet, dia bahkan bukan manusia.   “Jangan takut kepadaku, Badrun. Aku tidak jahat.” kata Annaliese yang terus mencoba meyakinkanku.   Bagaimana bisa aku mempercayai dia adalah manusia, bila kuamati wajahnya saja dia terlihat pucat seperti itu. Tidak ada manusia yang pucat setiap hari. Aku merutuki diriku dalam hati. Aku benar-benar payah tidak bisa membedakan mana hantu mana manusia.   “Jangan mendekat!” seruku yang terus menyeret tubuhku mundur ke belakang.   “Badrun, bukankah kau katakan kepadaku kalau kau suka pada hantu? Aku memang hantu. Tapi aku hantu yang baik. Banyak golongan hantu di dunia ini. Tapi sekali lagi percayalah kalau aku seorang hantu yang baik.” kata Annaliese.   Aku tentu saja ingat bahwa aku pernah mengatakan bahwa aku menyukai seorang hantu. Tapi aku hanya bercanda saja, tidak ada manusia yang menyukai hantu, harusnya dia tidak boleh menelan kata-kataku mentah-mentah.   Aku jadi teringat bagaimana dia tersenyum saat aku mengatakannya, kalau tidak salah saat kami berada di perpustakaan. Kini aku benar-benar mengerti mengapa dia merasa begitu bahagia saat aku mengatakan kepadanya kalau aku menyukai hantu. Aku kira dia anak yang tidak normal. Ternyata dirinya adalah hantu normal, normal sesuai porsinya sebagai hantu.   “Tidak, aku tidak menyukai hantu.” kataku mengelak.   “Apa kau ingin meminta bukti?” tanya Annaliese.   “Tidak-tidak. Aku tidak mau apapun.” kataku. “Pergilah ke alammu. Jangan ganggu aku.” Kataku.   “Justru hanya kamulah yang bisa membawaku kembali.” kata Annaliese.   “Maksudmu?” tanyaku memicing curika.   Annaliese menggelengkan kepalanya lalu dia duduk di sampingku. Aku menggeser tubuhku ke samping menghindari berdekatan dengan hantu yang telah menginap dan pernah tidur di kamarku. Ah, aku jadi teringat dia yang tiba-tiba masuk ke kamarku.   Sial. Aku bodoh sekali. Gadis normal atau manusia tentulah tidak ada yang bisa masuk kamar orang sembarangan. Aku benar-benar tidak habis pikir.   “Aku turut sedih melihatmu diperlakukan seperti itu.” kata Annaliese.   Aku menoleh ke arah Annaliese. Melihat bagaimana dirinya terlihat sedih dan tidak berbohong membuat luntur sedikit rasa takutku kepada dirinya yang aku sadar dan tahu kalau dia adalah hantu.   “Aku lebih baik mati saja!” seruku.   Membayangkan bagaimana dia yang notabenenya hantu melihat aku diperlakukan oleh manusia yang lebih kejam dari bangsanya membuat aku tambah frustasi. Aku malu sebagai manusia juga laki-laki ternyata lebih terhormat hantu ketimbang manusia.   Hantu hanya bisa menakuti, namun manusia bahkan bisa membunuh.   “Kau pikir segalanya akan selesai jika kau mengakhiri hidupmu?” seru Annaliese.   Aku menghentikan langkahku. Namun, aku tidak mau berbalik dan melihat ke arahnya.   “Kau lihat aku? Hidup tidak matipun tidak. Aku berada di dimensi yang tambah sulit setelah mengalami kematian. Dan lihat apa kau mau terlihat menyedihkan seperti aku?” tanya Annaliese.   Aku terdiam. Aku tidak tahu apakah hantu bisa menceramahi manusia seperti apa yang dilakukannya kepadaku, namun bila kutilik dari bagaimana dirinya, sepertinya hal tersebut memang bisa saja terjadi.   “Kau masih hidup. Kau bisa melanjutkan hidupmu. Kau bisa memilih hidupmu sendiri dan masa depanmu.” seru Annaliese.   Kali ini aku berbalik karena aku ingin melihat bagaimana ekspresi dirinya saat mengatakan hal tersebut kepadaku. Akupun langsung melihat wajah seriusnya.   “Kau tau apa soal masa depanku? Kau lihat sendiri bukan? Masa depanku suram!” seruku kepada Annaliese.   “Aku bisa membantumu kalau kau mau. Kau bisa mengubah semuanya. Semuanya.” kata Annaliese.   Aku menatapnya. Tak berkedip.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD