Bab 8

2041 Words
"Mas Ilham ngapain?" tanya Rania gugup, bagaimana tak gugup dia sedang melakukan hal yang tak baik. Apa Ilham melihatnya ya, apa suaranya kedengaran ya. Aduhh Rania benar-benar takut. "Hehehe maaf ya ganggu kamu malem-malem, ini aku di suruh nganterin ini buat kamu. Mau lewat depan tapi ko udah pada gelap. Kayanya keluarga kamu udah pada tidur, aku gak enak ganggu jadi pas liat kamar kamu masih nyala aku ketok aja siapa tau kamu masih bangun." jelas Ilham sambil menggaruk kepalanya yang tak gatel. Rania menghela nafas, dia tersenyum sambil mengambil bungkusan yang Ilham berikan. "Makasih ya Mas Ilham." ucap Rania. "Iya sama-sama." Ilham pub langsung pergi setelah memberikan bungkusan tersebut. Rania melihat Ilham sampai laki-laki itu hilang dari pandangan, Rania pun langsung menutup jendela dan merobohkan tubuhnya ke kasur. "Emang kayanya aku tuh gak boleh gitu lagi." gumam Rania, dia pun langsung mematikan lampu kamarnya lalu tidur. *** Suasana pagi ini biasa saja, Ibunya memasak sedangkan adik-adik sedang bersiap untuk sekolah. "Teh, nanti pulang ngajar belikan bahan-bahan ini ya." ucap Siti sambil memberikan bon dan uang pada Rania. "Mau ngapain Ambu belanja sebanyak ini?" tanya Rania. "Sore nanti akan ada yang mau datang, kamu siap-siap juga dandan yang cantik. Siapa tau orang itu langsung mau jadiin kamu istri." Timpal Asep yang sedang ngopi. Rania hanya mengangguk tanpa membantah pagi ucapan kedua orang tuanya, mana mungkin Rania menolak ini semua yang ada nanti kedua orang tuanya kecewa lagi. Rania hanya berdoa saja semoga orang itu mau menerima Rania apa adanya. "Yasudah Nia berangkat dulu." pamitnya. "Gak sarapan dulu kamu?" tanya Siti yang masih sibuk di dapur. "Nia sarapan nanti aja di sana, Assalamualaikum." "Walaikumsalam." Rania pun mengendarai motornya, sepanjang jalan dia hanya melamun dan fokus berkendara. Sekarang penyesalan terasa sangat nyata di depan mata, dia takut kalau nanti suaminya tak menerima dirinya yang sudah tak gadis lagi ini. Bahkan Rania tak bisa memilih untuk masa depannya sendiri karena sadar diri. "Bu Nia, Saya teriakin dari tadi." ucap Bu Siska sedikit berteriak. "Ehh Iya Maaf Bu, saya gak denger." "Sudah sarapan belum, kita sarapan bubur Ayam dulu yu." ajak Bu Siska, Rania yang memang mau sarapan di luar pun mengikuti Bu Siska menuju gerobak tukang bubur Ayam. Bu Siska langsung memesan dua bubur ayam dan teh hangat, memang mantap. "Bu Nia udah dapat undangan belum, katanya Mas Ilham nikahnya di percepat." ucap Bu Siska mulai bergosip. "Lohh kenapa di percepat?" tanya Rania heran, karena semalam Ilham tak ngomong apapun. "Katanya Mas Ilham mau melaut lagi, kalau nunggu nanti takutnya malah lama lagi." ucap Siska. "Bukannya Mas Ilham belum lulus kuliah ya Bu?" tanya Rania, karena setahu Rania Ilham masih kuliah. "Dia lanjutin S2, tapi kayanya bakalan berhenti di tengah jalan karena tergiur melaut lagi." ucap Siska, Bubur ayam yang sudah datang pun kini di aduk oleh Siska. Rania yang bukan tim aduk bubur pun langsung menyantapnya. "Saya kasian aja sama istri, baru nikah masa langsung di tinggal lagi." ucap Siska di sela makannya. Rania hanya diam karena dia pun tak tau, dan tak kenal dengan orang-orang di sini. Apalagi dia cukup lama meninggalkan kampung halamannya ini. Setelah sarapan bubur mereka pun kembali melanjutkan perjalanan yang tertunda, tentu saja ibu-ibu wali murid sudah berkerumun untuk bergosip. Rania dan Siska pun langsung masuk ke ruang guru. *** Sepulang mengajar Rania langsung ke pasar yang tak jauh dari tempat dia mengajar, tentu saja dia berbelanja yang ada di bon. Padahal Ibunya itu gak pernah memasak kan dirinya daging sapi, tapi entah siapa yang datang membuat Ibunya jadi masak daging. "Kayanya tamunya istimewa banget ya." gumam Rania, setelah membeli daging Rania pun berjalan ke arah tukang sayur. Tentu saja dia membeli beberapa jenis sayuran, sepertinya Ibunya mau membuat sayur godog, berasa mau lebaran saja. Setelah mendapatkan semuanya Rania pun langsung pulang. "Ya ampun teh meni lila ih." omel Siti. Rania saja belum membuka helm tapi semua belanjaan langsung di ambil. "Emang kenapa sih Bu, ini tuh masih jam satu. Masih sempet." jawab Rania. "Masalahnya kata Appa, tamunya mau datang jam dua. Buruan kamu sana mandi, dandan yang cantik." ucap Siti sambil mendorong anaknya menuju kamar. Rania berdecak, padahal dia ingin istirahat dulu tapi karena ada tamu itu. mau tak mau dia harus bersiap. "Emang siapa sih, kaya mau nyambut anak pejabat aja. Palingan Appa nyari suami buat aku tukang kuli yang sama kaya Bapak tapi kenapa juga harus heboh kaya gini." gerutu Rania sambil membersihkan tubuhnya. Rania pun kini sedang memilih baju, tentu saja dia harus memilih baju yang sopan. tok tok "Teh, buruan keluar. Tamunya sudah ada." bisik Siti. "Gercep banget sih, bentar bu." jawab Rania sedikit berteriak. *** Rania mematung setelah dia keluar dari kamarnya untuk melihat tamu yang datang. Tentu saja ekspetasi tak sesuai realita, pantas saja Ibunya memasak makanan yang istimewa hari ini karena tamunya pun tak kaleng-kaleng. "Ayo Nak Duduk." ucap Asep menyadarkan anaknya. "Emm Iya Pak." jawabnya langsung menunduk. "Nak Hamka, ini anak Saya. Namanya Rania." ucap Asep mengenalkan anaknya pada tamu. "Iya Pak, benar. Sangat cantik." ucapnya sambil menunduk malu-malu. "Haha Nak Hamka ini bisa saja." kekeh Asep. "Bagaimana Rania, kamu mau tidak jadi istrinya. Nak Hamka ini pengusaha, dia juga bos bapak. Sebenarnya tinggal gak di sini tapi terpaksa ke sini karena ingin bertemu kamu." ucap Asep sedikit menggoda anaknya. "Kamu gak usah jawab sekarang, kalian bisa pendekatan dulu." potong Asep. "Iya Pak." jawab Rania. Tentu saja Rania tak bisa menolak, apalagi Hamka ini sangat tampan. Rania sampai heran, bagaimana bisa bapaknya tau kalau bosnya ini sedang mencari istri. Apa ada informasi apa mereka sering ngobrol berdua seperti ini Di saat Rania sedang sibuk dengan pikiran, Siti datang membawa makanan membuat Rania mau tak mau harus membantunya. *** Hari demi hari Rania lewati dengan biasa saja karena kabarnya Hamka kembali ke kota karena banyaknya pekerjaan dan dia akan kembali ke sini saat weekend. Entah kenapa Rania jadi mengharapkan Hamka datang secepatnya, apa ini yang di namanya cinta pada pandangan pertama. "Wah Bu Nia sepertinya happy sekali ya, Saya liat ceria banget.'' goda bu Ike. "Ahh nggak ko Bu biasa aja." jawab Rania dengan pipi yang merah. "Mau ke ondangan bareng gak ke Bu Ida." tawar Bu Ike. "Iya Bu, kita bareng aja. Saya malu kalau datang sendiri.," ucap Rania. Mereka pun kini kembali mengajar, seperti perjanjian setelah mengajar mereka pun langsung menuju rumah Bu Ida dimana di sana sedang mengadakan resepsi pernikahan Ilham. *** Kebaya pink kini melekat di tubuh Salsa, itulah yang Rania lihat di sosial media temannya itu. Rania tersenyum bahagia melihat Salsa yang kini sudah lulus bahkan tak terasa dia sudah lama tinggal di kampung. "Selamat ya Sayang, akhirnya lulus juga." itulah teks yang Rania tulis di kolom komentar temannya. "Iya Say, kangen. Kapan balik lagi ke kota, gue sekarang udah kerja di perusahaan loh." balas Salsa lewat DM, tentu saja dia tak mau kalau ada obrolan yang tak enak terbaca orang. "Oh ya, Alhamdulillah kalau gitu." jawab Rania. "Iya, Sorry ya Atm lo gue buang, gue takut di cari polisi gara-gara kasus itu." Rania pun terdiam membaca pesan Salsa, tentu saja itu sangat berbahaya. "Tapi tenang aja, duitnya udah gue kuras habis. Hahaha." tulis Salsa lagi, Rania terkekeh melihat pesan dari temannya ini. Mana mungkin Salsa rela uang begitu besar harus di buang. Rania pun menyimpan hpnya, dia menatap langit-langit kamarnya yang usang. Meskipun sudah di renovasi tapi sepertinya sering bocor, terlihat dari bulat-bulatan yang membekas. *** Weekend telah tiba weekend telah tiba horee!! Jika tak malu Rania pasti akan nyanyi itu sambil berteriak tapi Rania tak mau melakukan itu. Pagi-pagi sekali Rania sudah dandan cantik karena Hamka akan datang, laki-laki itu akan mengajaknya berbelanja. Siapa yang tak tergiur, sudah lama dia tak berbelanja seperti itu. "Ambu, udah cantik belum?" tanya Rania pada Ibunya. "Udah cantik belum tuh pak." goda Siti. "Emmm coba Appa liat." goda Asep melihat menampilkan Rania. "Cantik banget ini mah ya Ambu." "Iya Appa Sangat cantik." ucap Siti. titt tiittt.. Kepala Rania langsung memanjang mendengar suara klakson mobil di luar. "Assalamualaikum." "Walaikumsalam." Hamka langsung menyalami Asep dan Siti, meskipun Asep bawahannya tapi Asep calon mertuanya. Wadidaw calon mertua. "Bu, Pak. Saya mau izin mau ajak Rania jalan keluar." ucap Hamka. "Iya Nak, bapak titip anak Bapak ya." ucap Asep. Mereka pun kembali pamit. Sepanjang jalan Rania pun terus saja melirik ke arah Hamka, laki-laki yang sejak awal datang ini begitu baik dan royal. Bahkan Rania saja bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. "Kita ke Mall apa mau makan dulu?" tanya Hamka lembut. Suaranya aja adem begini. "Makan dulu aja Mas." jawab Rania malu-malu. Hamka pun tersenyum ke arah Rania, dia gemas dia mengusap kepala Rania tapi malu karena mereka baru beberapa kali bertemu dan belum sedekat itu. Hamka pun memarkirkan mobilnya menuju restoran, Rania ini sederhana tapi setiap Hamka membawa ke restoran . Rania tak pernah membuatnya malu dan sangat elegan saat makan. "Kamu sering ya ke restoran kaya gini?" tanya Hamka. Rania yang di tanya seperti itu pun langsung gugup. "Hah!! emmm pernah dulu di ajak temen." jawabnya gugup. "Oh begitu, tapi bagus sih jadi kalau di ajak nanti ke acara-acara kamu gak gugup." ucap Hamka tersenyum lagi, meleleh sudah hati Rania kalau begini caranya. Makanan pun kini sudah datang, dengan malu-malu Rania menyuapi makanan ke mulutnya. Dia sudah seperti Abg yang baru saja puber. 'Ko aku deg-degan kaya gini ya, padahal aku pernah dekat sama laki-laki yang lebih tajir dari dia tapi gak bikin grogi kaya gini' batin Rania, dia pun melirik ke arah Hamka yang makan dengan elegan. 'Ini gak bener, bisa ke serangan jantung aku lama-lama ' "Kamu mau nambah?" tanya Hamka. "Hah?? nggak Mas, ini aja belum habis." jawab Rania. Hamka kembali tersenyum, setelah makan mereka pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Mall. Cukup jauh memang dari rumah Rania ke Mall karena Rania tinggal di kampung. "Pilih apapun yang kamu mau." ucap Hamka, mereka kini sudah berjalan di dalam Mall. "Beneran Mas?" tanya Rania. "Tentu saja, apapun." jawabnya. Tentu saja Rania senang, jiwa matrenya kembali muncul tapi secepatnya dia tahan , mana mungkin dia merotin Hamka begitu cepat kalau Hamka ilfil bagaimana. Rania pun mengambil beberapa setel baju untuk dia mengajar, dia melihat harga bajunya yang cukup mahal membuat dia kembali menyimpan. Kalau dulu mungkin dia akan ngambil tanpa melihat harga tapi sekarang mana mungkin dia seperti itu. Tanpa Rania ketahuan kalau Hamka mengambil baju yang sudah Rania lihat-lihat. "Totalnya tiga juta empat ratus dua puluh ribu." ucap kasir. Mata Rania pun langsung melotot, dia pun menoleh ke arah Hamka yang malah mengulas senyum ke arahnya. "Bayar pake debit ya." ucap Hamka. "Mas ko mahal banget sih, gak usah jadi deh belinya." bisik Rania, tapi Hamka malah terkekeh. "Kamu lupa ya, aku ini orang kaya." jawab Hamka, wajah Rania pun langsung memerah. Setelah berbelanja Hamka pun memutuskan untuk pulang. Di perjalanan Hamka pun sesekali menoleh ke arah Rania. "Rania, mungkin ini terlalu cepat. Tapi Minggu depan aku akan membawa Ibu ku untuk melamar kamu." ucap Hamka serius, dia pun menoleh ke arah Rania untuk melihat bagaimana reaksi perempuan di sampingnya. "Hah Minggu depan? apa gak terlalu cepat Mas?" tanya Rania sedikit syok, bukan dia tak mau menikah dengan laki-laki ini, tentu saja dia mau tapi bagaimana. "Kamu siapkan?" tanya Hamka. Dia kembali melihat ke arah Rania, tapi Rania hanya diam. "Apa kamu belum siap?" tanya Hamka lagi. "Aku siap ko Mas." jawab Rania membalas senyuman Hamka. "Aku senang, secepatnya aku akan membawa Ibu aku buat lamar kamu." kini Hamka lebih berani dengan mengengam tangan Rania, bahkan sepanjang jalan rasanya Hamka tak mau melepaskan tangan tersebut. "Mas fokus nyetirnya." tegur Rania. "Iya Sayang, ahh aku gak sabar karena sebentar lagi akan jadi suami kamu." ucapnya senang, bahkan bahagia itu tak bisa hamka sembunyikan. Pipi Rania memerah, tentu saja dia seperti di ratukan dia bahkan lupa dengan dirinya yang sudah tak perawan. Apa Hamka akan menerima Rania yang gadis tapi tak perawan ini, atau Rania sendiri yang bicara pada Hamka nanti tapi apakah Hamka akan menerimanya. Rania tak tau, wajah cerianya bahkan kini jadi tiba-tiba mendeng, dia menatap lekat ke arah laki-laki yang sedang mengemudi dengan kebahagiaan yang tak bisa di sembunyikan. Rania melambaikan tangan saat mobil Hamka kini semakin menjauh dari rumahnya, dia harus langsung pulang karena besok pagi ada meeting. Tatapan mata Rania begitu kosong, bahkan sampai mobil Hamka tak terlihat pun Rania masih mematung di halaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD