Bab 9

2081 Words
"Eh malah melamun di sini, ayo cerita sama Ambu kalian jalan kemana aja." tarik Siti, membuat lamunan Rania buyar seketika. Rania pun langsung tersenyum dan memeluk ibunya sambil berjalan. "Aku beliin baju buat Ambu." ucapnya semangat. "Wah pasti bagus bajunya, lumayan buat ke ondangan ke ceu Kokom." sahut Siti senang, bukan baju yang membuat Siti senang melainkan kebahagiaan anak gadisnya ini. "Bagaimana, kamu cocok tidak?" tanya Asep, mereka kini sudah duduk bersama dan tentu saja Ayah Rania juga kepo dengan perkembangan hubungan anaknya dengan sang Bos. Dengan malu-malu Rania pun menjawab. "Minggu depan Mas Hamka mau bawa orang tuanya ke sini." "Aarghhh serius kamu Ni, aduhh ini gimana atuh Pak. Apa rumah kita cukup ya , aduh apa rumah kita gak kekecilan buat nampung tamu apa Ambu sewa tenda aja ya." ucap Siti heboh. "Ambu sudah Ambu, biar itu nanti Appa yang urus." jawab Asep, dia tersenyum senang. "Ini kamu di belajain?" tanya Siti. "Iya, padahal Rania udah milih-milih harga yang paling murah tapi malah di ambil yang mahal-mahal. Apa Mas Hamka nanti ilfil ya sama Rania, tapi kan Rania gak mau. Rania udah milih yang murah-murah ko." curhat Rania, tentu saja dia tetaplah anak yang suka bercerita pada orang tuanya. "Ya gapapa kalau kamu fi kasih, kecuali kamu minta dan maksa." jawab Asep. "Nggak ko Pak, tapi Mas Hamka royal banget. Doain ya Pak, Bu biar jodoh." ucap Rania malu-malu. *** "Apa kamu bilang." sentak Mita, Ibu Hamka. "Iya Mah, aku mau lamar anak pak Asep. Tukang di proyek aku." jawab Hamka santai. "Kamu itu gila ya Hamka, Mamah tuh udah jodohin kamu sama Renata kamu malah cari sampah." bentak Mita emosi, bahkan nafasnya sampai naik turun saking emosinya. "Aduh Mah, udah Hamka bilang. Hamka tuh gak mau di jodohin, lagian Renata-nya juga gak mau. Gak usah maksa anak napa sih Mah." keluh Hamka. "Hamka, Mamah tuh melakukan ini buat kamu. Yang terbaik buat masa depan kamu, Renata itu cerdas, Dokter, Mamah juga tau asal usulnya tentu saja dia juga wanita terhormat." "Mah, Rania juga wanita cerdas, baik, sopan ke Ibuan. Mamah tau gak dia juga guru TK apa gak kurang sabar apa lagi coba dia. Didik anak orang lain aja sabar banget apalagi anak sendiri." jawab Hamka mengagungkan Rania. Mita menatap tajam anaknya, kepalanya jadi berdenyut sangat sakit dan bisa saja dia darah tinggi. Bagaimana bisa anaknya ini mau melamar orang, bagaimana dia mengatakan pada temannya itu kalau dia mau melamar gadis orang untuk jadi calon anaknya. "Please Mah, Minggu depan lamarkan Rania buat aku ya. Aku gak mau dia di tikung orang." "Terserah, Mamah pusing mikirin kamu. Di kasih berlian malah nyari krikil. Kalau kamu masih kekeh mau menikah sama dia, jangan harap ada pesta besar." sentak Mita, lalu pergi dari hadapan Hamka. Hamka menghela nafas melihat Mamahnya yang pergi, dia bukan mau melawan Ibunya. Bagaimana Ibunya yang sudah mengurus dia sedari kecil tapi Hamka juga ingin hidup dengan pilihan sendiri bukan segalanya di sortir sang Ibu. "Maafin Hamka ya Mah." gumam Hamka melihat Ibunya yang semakin jauh dan hilang setelah masuk kamar sambil membanting pintu. *** Jantung Rania sudah berdetak tak karuan, apalagi Minggu tinggal menghitung hari. Rania semakin tak karuan saat bapaknya dan tukang tenda sedang berbicara kapan akan di pasang. ting.. Rania mengerjap saat pesan masuk. "KAMU UDAH PULANG NGAJAR?" tanya Hamka lewat pesan, Rania tersenyum membaca pesan tersebut karena begitu manis. "UDAH MAS, BARU SAMPE." jawabnya. "YASUDAH KAMU ISTIRAHAT AJA, KAMU CAPEK KAN. GAK BOLEH CAPEK-CAPEK CUKUP AKU AJA NANTI YANG BIKIN KAMU CAPE." tulis Hamka dengan emot tersenyum. Pikiran Rania jadi berkelana membayangkan yang tidak-tidak bersama Hamka, rasanya baru kemarin dirinya bertemu bertukar kabar sekarang sudah mau lamaran saja. 'Ahh manis banget ' Di Jakarta, Mita masih saja mendiamkan Hamka bahkan saat anaknya itu bicara Mita tak menyahuti. "Mah udah dong jangan ngambek terus, nanti setelah nikah Hamka kasih Mamah cucu deh yang banyak." ucap Hamka. "Ckk!! Mamah bukan mau cucu dari perempuan itu dan lebih baik jangan ngajak dia tinggal di sini sama Mamah. Mamah gak sudi." ketus Mita. Hamka menghela nafas, apa begini sulitnya mendapatkan restu dari sang Ibu. Mungkin setelah dia menikah dengan Rania, Hamka akan menyuruh Rania untuk dekat dengan Ibunya semoga saja Ibunya luluh dan tau betapa baiknya Rania. Hamka pun pergi bekerja setelah makan siang di rumah, itu yang dia lakukan setiap hari karena Mamahnya yang selalu merengek makan siang sendiri. *** Hari yang di tunggu pun sudah tiba, tak banyak yang datang hanya ada satu mobil dan itu hanya berisi Hamka dan Mamahnya saja serta satu sopir. "Maaf hanya segini, keluarga kami sedang ada pekerjaan yang sibuk jadi maaf." ucap Hamka, sedangkan Mita dia sedang melihat sekeliling. Rumah yang kecil bahkan mereka sampai memasang tenda karena rumah yang tak besar ini. "Mah, ayo masuk." bisik Hamka karena tak enak dengan keluarga Rania yang sedari tadi melihat tingkah calon besannya tersebut. "Buruan kamu bilang apa niat kamu, Mamah ada janji sebentar lagi." ucap Mita setelah mereka duduk di kursi plastik yang di sewa di tukang tenda. Tentu saja keluarga Rania hanya bisa diam, karena mereka tau kalau Hamka bukan dari level mereka dan mereka cukup memaklumi itu. Namun Rania merasa kalau calon mertuanya itu tak menyukai dirinya, terlihat dari sorot matanya dan juga cara wanita paruh baya itu menilai dan memandang dirinya tapi Rania bodo amat karena yang akan menjadi suaminya kan Hamka, untuk calon mertuanya biarkan itu jadi urusan belakangan. "Baiklah Pak Asep, tentu saja Pak Asep juga sudah tau kabar baik ini dari Rania. Saya datang kemari membawa Ibu Saya untuk melamar Rania menjadi istri Saya." ucap Hamka tegas, lugas dan sempurna. Sungguh Rania tak pernah berhenti kagum saat melihat sosok tersebut karena menurutnya sangat sempurna. "Alhamdulillah niat baik Nak Hamka kami terima, tapi kembali lagi yang menjalani semua ini adalah Rania jadi kita tanya langsung pada Ranianya. Bagaimana Rania, kamu bersedia?" tanya Asep pada anak gadisnya. Rania yang sedang menunduk pun tersipu malu saat di tanya seperti itu. "Rania mau Appa." jawabnya. "Alhamdulillah, jadi lamaran di terima ya Nak Hamka ." ucap Asep senang. Siti pun mempersilahkan Hamka dan calon besannya untuk mencicipi hidangan yang ada. Tak ada acara tukar cincin hanya saja Hamka menyematkan kalung bertanda kalau Rania sudah ada yang menandai. "Ayo mah ." ajak Hamka, dia pun tersenyum ke arah Asep dan Siti. Meskipun tak suka Mita tetap harus mengikuti kemauan anaknya, meskipun hanya mencicipi sedikit. Setelah itu mereka pun kembali ke kota, tentu saja tak ada yang istimewa sama sekali tapi Rania sangat senang karena akan menikah. ** Hari demi hari Rania kini lalu, senyuman di wajahnya terus saja merekah apalagi pernikahan sudah di tentukan kapan akan berlangsung. Meskipun sederhana tapi Rania cukup senang. "Cie bu Nia udah mau nikah ni yehh." goda guru-guru. "Ahh Bu Ike ini bisa aja, tapi Bu nanti kalau saya Nikah. Saya pasti gak akan kerja lagi." ucap Rania tak enak, padahal dia sudah betah bekerja di sini tapi mau bagaimana lagi. "Kamu gak usah Khawatir mikirin siapa yang ganti kamu, katanya istrinya Ilham bakalan jadi pengantin kamu tapi Saya sedih karena rasanya baru kemarin kamu masuk sini." ucap Bu Siska. "Iya Bu, Saya juga tapi mau bagaimana lagi." suasana ruangan pun jadi berubah sendu. Tentu saja Rania yang Hamble dan mudah bergaul membuat siapa saja jadi betah, mereka jadi kehilangan teman seperjuangan. Ting.. Rania pun merogoh sakunya saat melihat ada pesan dari pujaan hatinya. Wajah sendunya tadi langsung berubah menjadi ceria. "Sudah selesai ngajarnya? Aku ada di depan." tulis pesan Hamka. Rania yang kaget pun langsung berdiri. "Kenapa Bu Nia." sentak Bu Siska ikutan kaget. "Hehe Maaf reflek, ini calon suami jemput." ucap Rania malu. Mereka pun langsung geleng-geleng kepala. Rania pun membereskan apa saja yang akan di bawa pulang lalu langsung berpamitan pada guru-guru yang masih nunggu jemputan. "Duluan ya bu Ike, Bu Siska." pamitnya. "Iya hati-hati." ucap. Dengan senyuman yang mengembang Rania pun langsung berjalan menuju mobil hitam yang terparkir indah. Hamka tersenyum melihat Rania sudah semakin dekat. "Aku tadi ke rumah, tapi kata Ibu kamu. Kamu belum pulang jadi aku jemput aja ke sini. Kamu gak bawa motor kan?" tanya Hamka. "Nggak Mas, biasa mogok." jawabnya. Hamka pun langsung membukakan pintu untuk Rania. "Kita ke restoran ya, aku udah izin ko sama Ibu kamu " ucap Hamka, dia pun mengusap kepala Rania dengan lembut. Meleleh sudah Rania di perlakukan seperti ini, sepanjang jalan Hamka terus saja mengengam tangan Rania bahkan sesekali mengecupnya. Mobil mereka pun berhenti di salah satu restoran, Untung saja restoran tersebut tidak terlalu ramai. Hamka pun mencari tempat yang lumayan mojok karena dia ingin bicara dengan Rania. "Kita makan dulu, aku ada yang mau di bicarakan sama kamu." ucap Hamka, tak lupa mengulas senyum pada Rania. "Iya Mas." jawab Rania santai, namun di dalam dirinya dia sudah tegang karena khawatir dengan apa yang akan Hamka bicarakan padanya. Setelah makanannya datang, Mereka pun menyantap dengan santai bahkan Hamka juga memesan desert untuk penutup. "Aku minta maaf ya soal sikap Mamah saat lamaran itu." ucap Hamka tulus, bahka laki-laki itu kini menggenggam tangan Rania. Coba, bagaimana Rania tak jatuh cinta kalau laki-laki ini begitu manis. "Iya Gapapa Mas, aku mengerti." "Iya Aku benar-benar tak enak, aku paham sih mungkin Mamah syok tiba-tiba aku minta di lamarkan wanita untuk jadi istri aku. Karena, maaf ya. Mamah udah cari calon buat aku tapi akunya mau sama kamu." mendengar itu pun Rania langsung tersipu. Dia seperti berlian yang sedang di perjuangkan. "Tapi kamu tenang aja, Mamah pasti luluh setelah kita nikah dan kamu ngasih cucu buatnya." bisik Hamka sambil tersenyum, Rania yang awalnya tersenyum pun langsung terdiam. Dia melupakan sesuatu, dia tak cerita pada Hamka kalau dirinya sudah tak gadis lagi. Apa waktu masih cukup untuk mengatakan semua ini, apalagi pernikahan mereka tinggal beberapa bulan lagi dan Apa Hamka akan menerima. Rania terdiam, dia takut berkata jujur. Bolehkan Rania egois, dia tak ingin kehilangan Hamka. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Hamka. "Hah, nggak ko Mas. Oh iya Mas. Nanti acaranya dimana?" tanya Rania, biarlah dia akan bicarakan ini nanti saat suaminya minta jatah malam pertama, Rania tak sanggup kehilangan Hamka sekarang. "Maaf ya, aku gak bisa ngasih pesta mewah buat kamu tapi gak bisa di bilang sederhana juga sih." ucapnya dengan wajah sendu. "Gapapa Mas, apapun yang penting kamu sah jadi suami aku." ucap Rania. "Kamu memang yang paling ngertiin aku, gak salah aku milih kamu jadi istri aku." ucap Hamka kembali mengecup tangan Rania. Mereka pun kini sedang menuju ke rumah Rania setelah ngobrol beberapa kata dan rencana mereka. "Nanti aku kirim desain cincin pernikahan kita, kamu nanti pilih aja apa yang kamu suka. Maaf ya kalau nanti aku sibuk, aku mau setelah kita nikah jadi ada waktu buat bulan madu." ucap Hamka manis. "Iya Mas, kamu juga jaga kesehatan ya. Jangan sampai tumbang." jawab Rania memberi semangat. "Yasudah kita turun yu, aku mau pamit sama Ibu dan bapak kamu." Rania pun mengangguk, setelah pamit Hamka kembali ke kota karena memang dia sangat sibuk. Rania tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, karena ini terlalu manis. Di dalam kamar Rania kini sedang guling-guling setelah beberapa jam Hamka baru sampe rumah dan memberi kabar kalau dirinya baru saja sampe. "Kamu istirahat aja Mas, kamu pasti capekan." tulis Rania. "Iyaa, aku gak sabar pengen cepet-cepet nikahin aku. Baru beberapa jam ketemu aja aku udah kangen." jawab Hamka di dalam pesan. "Hehe kamu bisa aja." balas Rania. "Sayang," "Iya Mas." "Emmm gimana ya aku ngomongnya, aku gak enak tapi aku juga pengen tau." tulis Hamka, Rania yang membacanya pun sampai geleng-geleng kepala karena tak biasanya Hamka canggung seperti ini "Bicara aja sih Mas, kamu tuh kaya ke siapa aja." balas Rania. "Tapi kamu jangan marah ya, Aku mau tanya KAMU MASIH PERAWAN KAN?" DEG... Jantung Rania langsung berdetak lebih cepat, tidak ada angin tidak ada hujan tapi Hamka menanyakan hal sensitif seperti ini. "Memangnya kenapa Mas, kalau seumpamanya aku gak perawan?" tanya balik Rania di dalam pesan. "Ya gapapa sih, aku kan cuman nanya. Lagian aku percaya ko kamu masih gadis, orang kamu lembut dan sopan gitu. Lagian mana mungkin wanita seperti kamu suka seperti itu. Toh aku juga selalu menjaga diri aku buat calon istri aku, dan pasti calon istri aku juga akan menjaga dirinya untuk aku juga." balas Hamka panjang lebar. Seperti di tikam belati, hati Rania begitu sakit. Bagaimana kalau Hamka tau tapi Rania tak mau memberitahu. "Aku mau membuktikan pada Mamah, kalau kamu tuh pilihan berbaik aku dan lagian aku tuh gak hanya cari istri tapi juga ibu buat anak-anak aku dan tentu saja aku juga ingin wanita baik-baik untuk Ibu dari anak-anak aku kelak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD