Memarkir motor sport merah kesayangannya di dalam garasi rumah. Baru juga menginjakkan kaki di ruang tamu, Papa dan Mama sudah menatapnya tajam. Beberapa hari ini Elang memang sering pulang terlambat apalagi sejak beberapa hari lalu papa dan mamanya tidak ada di rumah. Jadilah Elang merasa bebas tanpa harus dicerca berbagai macam pertanyaan terutama dengan papanya. Airlangga Putra Pradipta, pemuda berusia dua puluh dua tahun anak tunggal Arman dan Rania. Biasa disapa Elang oleh teman dan keluarganya.
"Malam, Pa ... malam, Ma." Elang menyapa kedua orang tuanya lalu duduk di sebelah Rania dan mencium pipi wanita yang telah melahirkannya dua puluh dua tahun yang lalu.
"Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang. Kamu tahu sudah jam berapa ini?" Arman menatap tajam putranya.
Memang sekarang sudah lewat dari jam sebelas malam. Seperti biasa Elang terlalu lalai jika sudah berkumpul bersama dengan teman-temannya. Elang adalah pemuda yang hobi clubbing juga terkadang ikut balap liar. Jika saja Arman tahu hobi putranya yang satu ini sudah bisa ia pastikan beliau akan sangat murka. Untung saja selama ini Elang bisa menyembunyikannya dengan rapi semua yang sering ia lakukan dari Papa dan mamanya.
Elang tahu apa yang dia lakukan itu tidak benar, tapi bagaimana pun juga itu sudah menjadi salah satu hobinya. Touring keliling daerah hingga berhari-hari tak pulang juga sering Elang lakukan. Ah, namanya masa muda harus dinikmati sepenuhnya. Jika tidak Elang bisa menyesal nantinya. Karena jika sudah menikah dan berkeluarga mana mungkin dia bisa seperti ini.
"Elang! Kenapa diam. Jawab Papa. Dari mana kamu?" tanya Arman dengan nada sedikit meninggi karena sedari tadi putranya hanya terdiam larut dengan pemikiran sendiri.
"Aku hanya pergi ke rumah teman, Pa," jawabnya acuh.
"Rumah teman? Heh!" Arman mencibir.
"Nge-trek lagi? Clubbing? Balap liar, apalagi hah!"
Bagaimana papanya bisa tahu semua kelakuannya. Pikir Elang dalam hati. Elang hanya bisa mengangguk menjawab apa yang Arman tanyakan.
"Astaga, Elang! Kapan akan lulus kuliah jika kau masih saja suka bersenang-senang. Papa ini sudah tua. Sudah saatnya kau menjadi penerus papa."
"Papa! Elang itu masih ingin menikmati masa muda. Elang masih ingin bersosialisasi dengan teman-teman Elang."
"Ya, Tuhan Elang! Mau sampai kapan, hah?!"
"Elang masih dua puluh dua tahun, Pa."
"Lalu ...."
"Masih banyak waktu untuk Elang."
"Tidak! Papa tidak akan lagi memberikan kamu dispensasi. Seharusnya tahun ini kamu bisa lulus. Tapi apa? Skripsi saja kamu telantarkan."
"Beri aku waktu, Pa."
"Sekali Papa katakan tidak ya tidak. Dengarkan Papa, Elang! Ada sesuatu yang harus Papa sampaikan padamu."
Elang mengernyit. Sepertinya hal serius yang ingin papanya sampaikan.
"Elang ... satu minggu yang lalu saat Papa dan Mama bertemu dengan klien di luar kota, tiba-tiba klien Papa terkena serangan jantung. Papa dan Mama membawanya ke rumah sakit. Dan di Rumah Sakit itu Papa tak sengaja bertemu dengan kawan lama Papa. Namanya Rafli."
Arman menjeda ucapannya. Mengembuskan napas berat. Elang masih menanti kelanjutan cerita papanya.
"Rafli adalah sahabat baik Papa. Dulu rumah kita bertetangga. Tapi sejak Papa pindah ke kota, Papa sudah tidak pernah bertemu kembali dengan Rafli. Lebih dari dua puluh lima tahun kami berpisah. Dan kemarin saat Papa bertemu dengannya, kondisi Rafli sangat memprihatinkan. Rafli mengidap penyakit paru-paru kronis. Kondisinya sudah memburuk." Arman sempat meneteskan air mata sebelum mengusapnya dan kembali melanjutkan ceritanya.
"Papa sempat berbincang sedikit dengannya karena kondisi Rafli yang sudah kritis. Dan kamu tahu Elang. Dulu Papa pernah mepunyai janji pada Rafli. Janji yang harus Papa tepati. Tapi sayangnya Tuhan lebih sayang pada sahabat papa itu karena pada akhirnya Rafli tak bisa bertahan hidup. Dia meninggal disaat Papa dan Mama sedang bersamanya."
"Sabar, Pa.” Rania mengusap pundak suaminya. Terlihat sekali jika Arman sangat bersedih.
"Elang. Dulu mamamu sangat terpukul sejak kepergian kakakmu, Anya. Dan berkat Rafli perlahan kesedihan kami terobati karena kehadiran Kirana, anak perempuan Rafli dan Risma. Hingga pada saat Papa harus pindah dan meninggalkan keluarga Rafli, Papa dan Mama berjanji jika kelak mempunyai anak lelaki maka kami akan menjodohkannya dengan Kirana.
Mengenai Anya, Arman dan Rania memang pernah menceritakan pada Elang. Anak perempuan mereka yang meninggal di saat masih berusia satu tahun. Dan mereka harus menunggu lima tahun lamanya barulah mendapatkan Elang. Anak lelaki satu-satunya di keluarga mereka. Elang berpikir sejenak. Berarti yang dimaksud oleh papanya adalah dia sendiri. Airlangga Putra Pradipta yang akan dijodohkan dengan anak sahabat papanya.
"Pa ... apa sebenarnya maksud Papa?" tanya Elang penasaran.
"Elang, anak perempuan Rafli itu kerja di kota. Sebenarnya almarhum Rafli sangat khawatir melepas anak perempuan satu-satunya untuk hidup di Ibukota seorang diri. Namun, nyatanya Kiran tetap keukeh dengan pendiriannya. Meski ayahnya khawatir karena anak gadis satu-satunya harus hidup terpisah dengan kedua orangtuanya, tanpa pengawasan. Dan sebelum Rafli menutup mata untuk selama-lamanya, Papa berjanji padanya untuk menjaga anaknya. Sekaligus Papa ingin mewujudkan janji Papa dulu untuk menikahkan Kiran dengan kamu, Elang. Anak lelakiku."
"Tidak, Pa. Menikah? Papa jangan bercanda."
"Elang, kamu adalah anak Papa satu-satunya. Jadi Papa mohon sama kamu untuk membantu Papa menepati janji pada almarhum Rafli. Jangan jadikan Papa sebagai orang munafik yang mengingkari janjinya sendiri."
"Pa ... apa Papa lupa jika Elang masih kuliah. Elang masih sangat muda untuk menikah. Biarlah Elang menikmati masa muda Elang dulu, Pa. Jangan paksa Elang dengan janji konyol Papa itu."
"Janji konyol kamu bilang? Heh! ... Oke baiklah. Jadi kamu menolaknya?"
"Iya,Pa. Elang tidak bisa."
"Jika kamu menolaknya maka dengan berat hati Papa akan mencoretmu dari daftar ahli waris tunggal keluarga."
"Apa? Papa jangan bercanda."
"Papa tidak bercanda. Papa serius. Sangat serius, Elang."
"Lalu ... kenapa Papa tega mencoret nama Elang dari keluarga."
"Elang, Papa tega karena kamu juga tega pada Papa."
"Oh, Papa balas dendam pada Elang hanya karena sebuah perjanjian perjodohan."
"Bagi Papa janji adalah hutang yang wajib Papa bayar."
"Dan Elang lah alat untuk Papa membayar hutang. Begitu?"
"Iya."
"Pa ... Argh .... " Elang beranjak berdiri dan berlalu meninggalkan papa dan mamanya.
Demi sebuah perjanjian konyol, papanya harus mengorbankannya. Anak kandungnya sendiri.
Mana bisa papanya berbuat seperti itu, akan mencoret dia dari daftar ahli waris tunggal. Huft, bukannya Elang takut tidak mendapatkan harta warisan papanya. Toh, meskipun tanpa harta warisan Elang yakin masih bisa hidup dari usahanya. Meski usahanya terbilang masih kecil, hanya bengkel modifikasi yang ia dirikan bersama teman-temannya, tapi Elang yakin mampu menutupi biaya hidupnya sendiri.
Yang membuat Elang khawatir hanya satu, Bagaimana jika sampai harta warisan papanya jatuh pada orang yang tidak tepat. Semisal pada wanita anak sahabatnya itu yang akan dijodohkan dengan dia. Sungguh Elang tidak rela.
Berpikir sejenak dan mungkin menerima perjodohan yang telah dirancang papanya tak ada salahnya. Hanya menikahi gadis anak sahabatnya itu saja. Setelahnya Elang masih bisa bebas menjalani hidup seperti biasa. Dan jangan salahkan jika Elang akan membuat hidup gadis itu menderita bagai di neraka. Salah sendiri kenapa mau-mau saja dijodohkan dengannya. Dipikirnya ini jaman Siti Nurbaya yang apa-apa harus ikut kata orang tua.