Mata Kiran membulat sempurna mendapati lelaki yang telah melafalkan ijab qabul untuknya lima menit lalu. Jauh dari pemikirannya. Kiran sedang dituntun oleh Mira, saudara sepupu dari bundanya. Baru melihat punggungnya saja Kiran sudah bisa menebak jika lelaki yang telah menikahinya ini sangatlah jauh dari lelaki impiannya.
Dulu Kiran sering bermimpi akan dinikahi oleh seorang pria mapan, rupawan dengan postur tinggi, punggung tegap dan wajah yang tampan. Sama persis seperti kisah yang sering ia baca di n****+ romance. Namun, kenyataannya sangatlah jauh dari kriteria yang Kiran inginkan. Terlebih saat Kiran telah berhasil duduk di sebelah lelaki itu. Berusaha menelan ludah dengan susah payah saat Kiran harus mencium punggung tangan lelaki untuk yang pertama kali. Astaga, Kiran harus menerima kenyataan dinikahi oleh bocah ingusan seperti ini.
Meski Kiran akui lelaki yang telah sah menyandang gelar suaminya ini memiliki wajah yang tampan, tapi tetap saja dia merasa seolah tengah bersanding dengan adiknya sendiri. Wajah suaminya jelas menunjukkan jika usianya masih sangat muda. Tubuhnya tinggi dan sedikit kurus.
Berusaha memaksakan senyum kala beberapa tamu undangan satu persatu memberikan ucapan selamat.
"Ecie ... dapat daun muda," bisik Mira di telinga Kiran membuatnya mendelik tidak suka. Pasti saudara sepupunya itu sedang menertawainya. Mira itu usianya dua tahun di bawah Kiran dan bulan depan dia juga akan menikah.
"Sialan, kaj! Awas saja, ya." Kiran menggeram akan candaan sang sepupu.
Mira terkekeh dan meninggalkan Kiran begitu saja. Tidak tega juga jika terus menerus menggoda Kiran.
Memang salah Kiran juga yang tidak mengenali calon suami sendiri. Bahkan fotonya pun ia tak pernah melihat sebelumnya. Dan di hari pernikahannya ini adalah di mana untuk pertama kali Kiran bertemu dengan Airlangga Putra Pradipta. Anak lelaki satu-satunya dari Arman dan Rania.
Teringat seminggu yang lalu kala Arman meminta untuk memenuhi janji pada mendiang ayahnya. Tak kuasa Kiran menolak. Dan demi ayahnya pula Kiran mengiyakan semua perjodohan yang telah dirancang oleh Arman. Hanya dalam waktu satu minggu pula kini status Kiran telah berganti. Bukan single lagi melainkan seorang istri dari bocah bernama Airlangga atau Arman sering menyebut namanya Elang.
***
Kiran terjengit kaget karena tiba-tiba bocah itu sudah masuk ke dalam kamar tanpa izin pula. Dan dengan santainya duduk di atas ranjang miliknya. Kiran yang sedang membersihkan make-up di wajah hanya meliriknya sekilas melalui ekor mata. Acara pernikahan sudah selesai dua jam yang lalu. Hanya acara sederhana mengingat keluarga Kiran masih berduka karena kepergian ayahnya.
Berusaha mengacuhkan kehadiran Elang saat dengan santai pria itu melepas kemejanya. Kiran masih bisa melihat pantulan diri pria itu dari cermin di hadapannya. Huft, untung saja bocah itu masih memakai kaos di balik kemeja putihnya, kata dalam benak Kiran. Dan tanpa permisi Elang sudah berbaring tengkurap di atas ranjang milik Kiran.
Astaga, dasar bocah. Tak hanya wajahnya saja yang terlihat muda tapi kelakuannya juga sangat kekanak-kanakan. Seharusnya sebelum menguasai ranjang, dia minta izin dulu padanya sebagai pemilik. Tapi ini apa, main tidur sembarangan di ranjang orang. Tanpa izin juga. Kiran terus saja menggerutu akan sikap dan tingkah laku Elang.
Kiran terpaksa mengalah, keluar dari dalam kamar mendapati Bunda yang masih membereskan beberapa barang.
“Belum tidur kamu, Nduk?" Risma sedikit kaget yang melihat Kiran sudah berada di sampingnya.
"Belum, Bun. Belum ngantuk. Bunda sebaiknya segera istirahat. Ini biar besok kita bereskan lagi," pinta Kiran pada Risma.
"Ya, sudah kalau begitu Bunda ke kamar dulu. Capek juga ternyata." Risma terkekeh dan beranjak berdiri.
"Bun!" Kiran memanggil.
Risma menoleh mendengar panggilan Kiran.
"Ada apa?" tanya Risma mendapati anaknya menggigit bibir ingin berkata sesuatu tapi tampak ragu.
"Eum ... Kiran ... Kiran boleh tidak untuk malam ini tidur dengan Bunda."
"Tidur dengan Bunda? Loh, mana bisa begitu. Lha ... terus suamimu?"
"Bocah itu sudah tidur, Bun."
"Hush, sembarangan. Bocah itu suamimu, Nduk. Lagian jangan manggil gitu, tidak baik. Meski masih muda, tapi Elang itu sudah sah menjadi suamimu. Suami yang harus Kiran hormati karena bagaimana pun seorang suami itu lebih tinggi derajatnya dibanding istri."
"Iya, Bunda. Kiran tahu. Tapi, malam ini saja, ya, Bun. Kiran boleh tidur bareng Bunda?"
"Sudah menikah kok ya masih manja sama Bunda. Yo, wis malam ini saja. Hanya satu malam ini saja. Selanjutnya kamu tetap harus tidur bareng suamimu. Dosa nanti meninggalkan suami tidur seorang diri."
"Habisnya satu ranjang dipakai sendiri. Salah siapa coba Kiran tak disisain tempat."
"Oalah, Nduk. Ya, sudah ayo tidur di kamar Bunda."
"Terima kasih, Bunda. Kiran sayang Bunda." Kiran mengecup pipi Bunda sekilas sebelum merangkul lengannya masuk ke dalam kamar.
Malam ini setelah beberapa malam Kiran tak dapat memejamkan mata. Bayangan ayah selalu saja berada dalam benak Kiran. Kini, tinggal dia berdua bersama bundanya. Tak lagi ada Ayah yang menemani.
Kiran membaringkan tubuh di samping bundanya. "Nanti jika Kiran kembali ... Bunda tidak ada teman di rumah ini. Bunda ikut Kiran saja tinggal di kota."
Risma menghadap pada Kiran. Mengusap lembut kepala putrinya. "Tidak usah, Nduk. Biarlah Bunda tetap tinggal di sini. Menemani almarhum ayah di sini."
"Bunda ... jika Bunda di sini sendiri bagaimana? Bunda tidak ada teman nantinya."
"Nduk ... meskipun Ayah sudah tak lagi hidup di dunia, tapi Ayah selalu ada di samping kita berdua. Di rumah ini banyak sekali kenangan Bunda bersama Ayah. Jika Bunda ikut Kiran ... rumah ini tidak ada yang menempati dan menjaganya. Ayah pasti sedih jika tahu rumah yang banyak kenangan ini akan kosong nantinya."
Mendengar apa yang bundanya sampaikan membuat Kiran sesenggukan. Perempuan itu menumpahkan tangis di dalam pelukan Risma. Dua orang wanita yang sama-sama merasa kehilangan pahlawan mereka.
"Kiran jangan lagi bersedih. Jangan juga mengkhawatirkan Bunda di sini. Bunda akan baik-baik saja. Kamu juga ... harus baik-baik ketika nanti kembali ke kota. Ingat! Sekarang ada suami yang akan menemani Kiran. Ada Om Arman dan Tante Rani juga yang telah menjadi keluarga baru kita."
"Iya, Bunda. Kiran paham. Maaf, karena Kiran harus meninggalkan Bunda. Kiran janji akan sering pulang ke rumah ini mengunjungi Bunda. Jika ada apa-apa Bunda harus segera menghubungi Kiran."
"Iya, Bunda janji. Sekarang sebaiknya kita segera tidur. Besok Kiran harus kembali. Jadi sekarang segera istirahat."
Kiran menganggukkan kepala. Memeluk erat bundanya berusaha memejamkan mata. Esok hari hidup barunya akan segera dimulai.