Bibi Asih

2684 Words
Setelah mobil, Lela kembali dibuat terpana saat mobil yang ditumpanginya memasuki area rumah milik calon majikannya. Dalam hati Lela terus berbicara atau lebih tepatnya bertanya, tak salah kah tantenya masuk ke sini? Siapa tahu karena sikap tak senonoh yang dilakukan Marni dan Parto saat di mobil membuat otak mereka menjadi lupa. Ini tidak bisa dikatakan rumah, melainkan istana yang menurut Lela seperti di negeri dongeng. Bahkan perjalanan dari gerbang masuk ke teras rumah itu pun mampu membangun 10 rumah seperti di kampungnya. “Masyaallah, sungguh indah ciptaan-Mu ya, Rabb!” batin Lela menafakuri keagungan Tuhannya. “Kampungan!” Lela langsung menoleh ke kiri, di mana ada Marni yang menatapnya sambil mendelik dengan bibir yang tak pernah diam mengomelinya. Lela kembali tertunduk, rasa kagumnya pada bangunan yang diinjaknya, seketika lenyap terganti dengan rasa takut juga besarnya keinginan untuk kembali pulang. “Ayo cepat masuk! Kenapa malah menunduk gitu?” Marni menarik tangan Lela setengah menyeret, bahkan Lela beberapa kali hampir tersandung kakinya sendiri. Mereka masuk ke salah satu ruangan yang terbilang luas. Dan di sana ada banyak perempuan dengan pakaian .... Astaghfirullah! Lela buru-buru menundukkan pandangannya. Dia sangat risih dengan pakaian yang mereka kenakan. Pakaian yang nyaris telanjang—ke atas kurang bahan, begitu juga ke bawahnya. “Gusti, naha teu arisineun kikituan?” batin Lela terus bicara. (Ya Allah, apa mereka gak malu seperti itu?) “Heh, kenapa masih di sana? Sini, ganti busanamu!” Lela terperanjat saat Marni memanggilnya setengah menyentak. Wanita itu melempar selembar pakaian padanya. Mata Lela melotot dengan mulut menganga tak percaya, bahkan tubuhnya langsung menegang dan sedikit bergetar. “Bi, m—maksud Neng, T—tante, i—ini apa?” “Bi, miksid Ning, Tinti, ini ipi?” Marni mengulang perkataan Lela sambil mencibir, membuat semua yang berada di sana sontak tertawa. “Bajulah! Masih nanya lagi. Itu seragam pekerja di sini, kamu harus pakai!” cecar Marni sambil membuka semua pakaiannya di depan semua orang—tanpa rasa malu, hingga menyisakan pakaian dalamnya saja. Lalu, dengan santainya memakai pakaian yang tadi disebut kurang bahan oleh Lela. Benar saja, sama seperti yang lainnya, bahkan dad* Marni setengah mengembul karena ketatnya pakaian serta besarnya lingkaran kerah yang berbentuk U. Membuat dad* wanita itu yang memang lebih besar seakan siap meloncat ke luar. “Ya ampun ....” Marni menggeram. “Kenapa malah bengong kayak orang beg*? Kamu itu mau bekerja apa liburan?” Tubuh Lela semakin bergetar, badannya terpental-pental ke kanan dan ke kiri karena Marni terus mendorong tubuhnya, bahkan terkadang kepalanya. Ruangan itu kembali riuh dengan gelak tawa, seolah apa yang dilakukan Marni benar-benar menghibur mereka. “Aduh, perut gua keram gegara banyak tawa! Sudah lama kita gak bully juni*r kita. Lagian, dari mana kamu dapatkan pekerja baru seperti ini, sih? Beda lingkungan sama kita, hahaha.” “Iya, nih si Marni, ada-ada saja. Dia tuh cocoknya jadi tukang donasi masjid-masjid, atau panti-panti. Hahaha!” tambah yang lainnya. Marni mendengus keras, matanya melotot garang ke arah Lela. “Namanya si Lela, anak kakak gua yang mati beberapa waktu lalu. Kakak ipar gua yang minta ajak dia, dan sebenarnya gua gak mau karena yakin bakal ngerepotin, terbukti 'kan dia malah bikin gua susah.” “Sudahlah! Sudah biasa juga orang kampung emang kek gitu, ‘kan? Contoh aja lu, Mar. Yang dulunya selalu nangis-nangis karena terpaksa pakai baju ginian—merasa berdosa udah buka aurat, eh, sekarang paling jago godain laki-laki,” sahut perempuan berambut ikal. “Nah, bener banget! Lu aja dulu sok alim, sekarang ....” “Hus! Diam!” cegah Marni saat teman-teman kerjanya akan membongkar kelakuannya di depan Lela. Bisa gawat jika gadis kampungan ini lapor sama suami, atau ibunya. Semuanya tertawa, mereka sangat tahu jika Marni memang bermuka dua. Di kampung sok alim, sementara di sini paling nakal dari yang lainnya. “Ya udah, ah! Urus aja ponakan sok suci lu dulu. Kita-kita cabut kerja duluan, sip kerja sebentar lagi berganti.” Semua keluar menyisakan Marni dan Lela yang masih menunduk dalam. Melihat tingkah Lela, Marni kembali terpancing emosi. “Heh, cepetan pake bajunya!” Lela akhirnya menangis, kepalanya terus menggeleng, “Neng pulang aja, Bi. Neng gak mau kerja di sini, hiks.” Marni semakin melotot, dan geram. “Udah dibilang jangan panggil gua bibi! Emang gua pembokat lu?” “Ma—maaf, Tante! Tapi, Neng tidak mau memakai itu, hiks!” Marni terus memaksa dan Lela tetap tak mau melepas pakaiannya, meski saat ini tubuhnya sudah perih dan sakit akibat cubitan dan pukulan ulah tantenya. “N—Neng mau pulang lagi, T—Tante, hiks.” “Dan lu akan bocorin semua rahasia gua di sini, ‘kan? Lu mau ngadu sama ibu lu kalau gua jahatin lu di sini. Iya, ‘kan? Ngaku, lu!” Lela menggeleng cepat, sesekali bibirnya meringis menahan sakit, “Neng janji, Tante! Neng janji gak akan bicara apapun sama siapapun.” “Halah ...! Emang gua akan percaya sama lu!” Marni menarik paksa tangan Lela ke atas dan berusaha membuka baju yang dipakai Lela saat ini, sontak membuat tangisan gadis itu semakin keras, bahkan menjerit. Karena kesal, Marni menampar pipi Lela tanpa balas kasih—entah ke mana jiwa persaudaraannya itu. “Ada apa ini? Kenapa ribut sekali?” Marni yang bersiap melayangkan kembali tamparannya, langsung menurunkan tangannya saat mendengar suara seseorang yang dia kenal. “Sia**n! Kenapa nenek tua ini malah ke sini?” batin Marni menggerutu. Setelah cekalan tangan Marni terlepas, Lela langsung mundur beberapa langkah sampai punggungnya membentur dinding, tubuhnya merosot sampai akhirnya dia berjongkok, menelusupkan kepalanya di atas kedua lututnya. Badannya masih bergetar, juga suara isakan yang masih terdengar meski tidak sekeras tadi. “Ada apa ini, Marni? Kamu apakan dia sampai nangis begitu?” Marni memalingkan wajahnya dan tak menjawab pertanyaan wanita tua itu. Marni terkenal sebagai pelayan yang sok berkuasa, hampir semua pelayan takut padanya—kecuali wanita tua ini. Namanya Asih, dan bukannya Marni takut padanya, hanya wanita tua itu sudah dianggap ibu kedua oleh majikannya, meskipun Marni juga termasuk orang kepercayaan sang tuan, tetapi Asih jauh lebih dipercaya tuan mereka. “Kenapa malah berpaling? Kenapa dia sampai nangis keras seperti itu? Tuan sedang ada di rumah, kamu juga tahu ‘kan, jika tuan tak suka kebisingan?” tanya Asih sekali lagi, matanya terus melirik ke arah Lela yang masih meringkuk penuh tanya. “Siapa dia, Marni?!” Marni mendengus pelan. “Dia ponakan saya yang baru saja datang bersama saya dan akan bekerja di sini.” Asih menggeleng tak percaya. “Sama keponakan kamu sendiri, kamu bisa keras begitu?” Marni memutar bola matanya. “Saya hanya mencoba menjalankan tugas saya. Saya mencoba mendisiplinkan dia supaya taat peraturan di sini,” sahutnya membela diri. Matanya mendelik tajam pada Lela seakan ingin menerkam, dan itu disaksikan oleh Asih. “Kamu bekerja saja. Malam ini tuan akan mengadakan acara di rumah, pekerjaan harus beres sebelum waktunya. Gadis ini, biar saya yang menangani.” Tanpa menunggu perintah dua kali, Marni segera berlalu dari sana. Sebenarnya, hatinya masih belum puas memberi pelajaran pada Lela yang dipikirnya pembangkang itu, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa saat berhadapan dengan Asih. Selain wanita tua itu pelayan kesayangan sang tuan, Marni juga sedikit malu karena Parto—pacar rantaunya- adalah mantan menantu Asih, yang dia rebut dari putrinya. Asih mengembuskan napas panjang setelah beberapa detik mengamati Lela yang terus bersembunyi di balik kedua lututnya. Dengan perlahan Asih mendekati. “Anak muda, bangunlah! Tantemu sudah tidak ada sekarang.” Lela menggeleng lemah, sambil terus terisak. Dia sangat takut melihat sifat asli adik dari sang ayah itu jauh dari dugaannya selama ini. Wanita yang selalu berpenampilan tertutup di kampungnya, meski terkadang sering terdengar gosip miring tentang wanita itu, Lela yang awalnya tidak percaya, ternyata begitu ketakutan setelah dengan mata kepala sendiri menyaksikannya. “Anak muda, berhentilah menangis! Saya akan berusaha menolongmu. Mendongaklah, dan perlihatkan wajahmu!” Lela perlahan mengangkat kepalanya, dilihatnya wajah wanita yang sudah berkeriput itu dengan tatapan memelas. “N—Nyonya!” sapa Lela terbata. “Panggil saja saya Bi Asih!” Lela mengangguk. “Jadi kamu adalah keponakannya Marni dari kampung?” tanya Asih kembali, yang dijawab Lela dengan anggukkan—lagi. “Tujuan kamu ikut Marni ke sini, mau apa?” “N—Neng mau ikut bekerja be—bersama Bi M—Marni, Bi. Na—namun, Neng gak tahu jika pe—pekerjaannya se—seperti i—ini.” “Pekerjaan seperti apa? Di sini kamu hanya bekerja membersihkan rumah, kebun, memasak, mencuci dan merapikan kamar.” Asih mencoba memberikan ketenangan dengan memberitahu sebagian besar pekerjaan para pelayan di rumah ini, meskipun banyak juga yang sengaja dia tutupi tentang beberapa hal yang pasti akan membuat gadis di depannya ini ketakutan. “Ma—maksud Neng, pakaiannya ha—harus seperti ta—tadi.” Lela menggeleng sambil kembali menangis. “N—Neng mah gak mau pakai baju begituan. Ambu bilih nyeuseulan (Ibu takut marah). N—Neng mah mau pulang lagi ke kampung, hiks.” “Emangnya kamu tidak diberi tahu dulu sebelum ke sini bagaimana peraturan di sini?” tanya Asih. Lela menggeleng. “Bibi, maksud Neng, Tante Marni gak kasih tahu.” Asih menghela napas, merasa kasihan pada Lela. Asih seperti melihat Marni saat pertama kali ke sini, begitu lugu dan polos. “Apa kamu benar-benar butuh uang?” Lela mendongak, menatap Asih dengan mata berairnya. “Neng dan ambu memang butuh uang, Bi. Ta—tapi, Neng lebih memilih jadi buruh tani di kampung da—dari pada harus be—bekerja pakai ba—baju seperti i—itu. Hua ... Ambu, Neng hoyong uih deui. Ambu ....” (Ibu, Neng ingin pulang lagi. Ibu ....) Asih tersenyum maklum. Bahasa Lela sebagian tak bisa dia mengerti, tapi yang jelas gadis ini menginginkan pulang. “Berhentilah menangis! Bibi akan mencoba membantu kamu untuk kembali pulang.” Tangis Lela seketika terhenti, dia bergegas bangun dari duduknya, dan membawa tangan Asih dalam genggamannya. “Nu leres, Bi?” Asih mengernyit. “Maaf, kamu tanya apa sama saya?” Mata Lela mengerjap lucu, baru sadar jika dia memakai bahasa daerahnya. Lela tersenyum di sela sisa isakannya, menampilkan gigi putihnya yang bergingsul. “Hehehe, maaf, Bi, Neng lupa. Maksud Neng, benarkah Bibi mau bantu Neng pulang lagi ke kampung?” Asih ikut tertawa kecil, tertular dari Lela. Lihat saja, betapa polosnya gadis di depannya ini, dia tak tega dan tak akan terima jika gadis sepolos Lela berubah menjadi wanita nakal, bahkan berani merebut suami orang lain. “Tentu saja. Saya akan berusaha sebisa saya untuk memulangkan kembali kamu ke kampung.” Lela berjinjit gembira, diciumnya tangan Asih berkali-kali. “Terima kasih banyak, Bi. Neng gak akan lupa semua kebaikan Bibi ke Neng.” Asih mengangguk sambil tersenyum lebar, ikut merasakan kebahagiaan padahal hanya sesederhana itu. “Baiklah, Bibi akan meminta anak Bibi untuk antar kamu ke stasiun. Kamu ....” “Ekhem!” Perkataan Asih terhenti saat mendengar dehaman seseorang yang sangat dia kenal dari luar ruangan itu. Dalam hati Asih bertanya-tanya, “Kenapa ada suara tuan di dini?” “T—Tuan!” Terdengar salah seorang pelayan menyapa. “Kamu lihat Asih?” Asih buru-buru melepaskan genggaman tangan Lela dan pergi. Sebelum keluar, Asih sempat memberikan isyarat pada Lela untuk tidak keluar atau mengeluarkan suara yang diangguki oleh gadis itu. “Saya di sini, Tuan.” Asih membungkuk saat di hadapan majikannya. “Temui saya di ruang kerja!” seru sang tuan, lalu berlalu dari sana. “Baik, Tuan.” Setelah majikannya tak terlihat lagi, Asih kembali masuk menemui Lela. Di sana gadis itu tengah duduk dengan wajah mengernyit lucu. Lela yang melihat Asih, buru-buru menghampiri. “Apa Bibi kena marah? Yang barusan siapa, Bi?” “Beliau adalah Tuan Max, majikan kami di rumah ini.” Kepala Asih menggeleng. “Bibi tidak dimarahi? Kenapa kamu berpikir seperti itu?” “Habisnya ... Neng dengar dari suaranya dia sangat galak sekali.” Asih tertawa mendengar penuturan Lela. “Tuan Max tidak galak, tapi terkadang wibawanya memang membuat kita segan, jadi tak ada yang berani di sini.” “Termasuk Bibi?” Asih mengangguk membenarkan. “Ya sudah. Bibi sekarang mau menemui Tuan Max dulu, kamu tunggu di sini sampai Bibi kembali, ya! Setelah itu Bibi akan bawa kamu ke rumah Bibi dan meminta anak Bibi mengantarmu ke stasiun.” Lela mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Bi. Terima kasih banyak! Entah harus bagaimana Neng membalas kebaikan Bibi.” “Cukup hidup dengan benar! Bibi sudah senang sama kamu.” Lela memeluk tubuh wanita tua itu. Dia terharu, Allah tidak pernah tidur dan membiarkan hambanya dalam kesulitan. Di saat dia ditekan dan disakiti oleh orang yang notabene-nya adalah tantenya sendiri, Allah malah menghadirkan seseorang untuk menjadi penolongnya. Lela semakin yakin jika Tuhannya maha tahu dan maha adil. Tak akan membiarkan hamba-Nya melewati ujian di luar batas kemampuannya. “Sudah-sudah! Bibi mau pergi sekarang, biar urusan Bibi dengan Tuan Max cepat selesai.” Lela mengurai pelukannya dan mengangguk. “Iya, Bi. Semoga cepat selesai urusannya. Neng tunggu Bibi di sini.” Asih tersenyum, kemudian pergi meninggalkan Lela yang terus menampilkan senyuman gembira, wanita baya itu adalah satu-satunya harapan Lela untuk pulang kembali. Lela berdiri saat pintu terbuka, senyumannya langsung terbit melihat sosok Asih telah kembali. “Alhamdulillaah, Bi, Neng kira Bibi akan lama, dan ternyata sebentar,” seru Lela tak menyurutkan senyumannya. Namun, reaksi Asih berbeda dengan Lela. Raut wajah wanita tua itu malah sedikit lesu, dan malah menatap Lela tanpa kedip untuk beberapa saat. Melihat sikap Asih yang berubah, Lela kebingungan. “Bi, ada apa? A—apa semuanya baik-baik sa—saja?” tanyanya sudah mulai memiliki firasat kurang baik. Asih menghirup udara sedalam mungkin, sebelum kembali mengembuskannya secara perlahan. “Neng, emmm ... maafkan Bibi!” ucapnya sedikit berbisik. “M—maksud Bibi apa?” “Tuan Max sudah mengetahui keberadaanmu, dan beliau tidak mengizinkanmu pergi dari rumah ini. Karena ibumu sudah berhutang pada Tuan Max.” Lela melotot, kepalanya terus menggeleng—menolak percaya. Dia paling tahu siapa ibunya, wanita yang melahirkannya itu bukan orang yang gampang meminjam uang, apa lagi pada orang asing. “N—Neng gak percaya, Bi. Ambu adalah orang yang tak gampang berhutang, ba—bahkan selama ini tak pernah sekalipun Neng dengar ambu meminjam pada tetangga.” “Si teteh kemarin meminjam padaku untuk pendaftaran adikmu ke pondok pesantren. Karena aku juga butuh uang untuk biaya sekolah Ardi (anak Marni) aku mencoba meminjam pada Tuan.” Asih dan Lela seketika menoleh ke arah pintu di mana sudah ada Marni tengah berdiri di sana. “Uangnya sudah Tuan transfer lewat kang Jani (suami Marni) dan sudah diberikan pada si teteh.” “Ke—kenapa Tante meminjam uang pada tuan?” tanya Lela gak habis pikir. “Karena aku tak punya jalan lain lagi selain meminjamnya pada Tuan Max. Lagian beliau langsung setuju karena jaminannya tenaga kamu di sini.” Marni menatap lurus pada Lela—tak berani bersitatap dengan Asih- yang tentu saja ikut memperhatikannya. “Jadi, jangan kecewakan Tuan Max jika hidup kamu ingin tentram.” Setelah selesai berbicara, Marni buru-buru menutup pintu dan pergi dari sana. Tubuh Lela kembali bergetar, matanya kembali mengabur dengan napas yang siap dengan isakannya. Sementara Asih hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan sikap Marni yang begitu tega bahkan pada saudaranya sendiri. “Pantas saja dia tega menyakiti putriku yang bukan siapa-siapa.” Asih langsung memeluk tubuh Lela, mengusapnya berharap gadis itu sedikit tenang. “Maafkan Bibi, Neng! Neng jangan khawatir, Bibi akan berusaha menjagamu dari mereka-mereka yang berbuat jahat padamu.” Lela mengeratkan pelukannya pada wanita tua itu, dan mengangguk. “Terima kasih, Bi. Setidaknya, Neng meyakini satu hal, Allah akan tetap bersama hamba yang selalu mengingat-Nya. Tak pernah tidur dan tak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesulitan. Bibi adalah salah satu contoh yang Neng yakini sebagai bentuk pertolongan Allah pada Neng.” Tubuh Asih menegang mendengar ucapan Lela yang bahkan tanpa keraguan itu. Benarkah dirinya adalah yang dikirim Tuhan untuk melindungi gadis malang ini, sementara dia bukanlah salah seorang hamba yang percaya akan adanya Tuhan yang disembah Lela?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD