Tuan Max

1409 Words
“Argh! Sial!” Max melemparkan pulpennya ke atas meja kerjanya. Entahlah, sudah beberapa hari ini dia uring-uringan tanpa sebab. Padahal hampir setiap hari dia mencari kesenangan, bahkan tanpa dia cari pun kesenangan itu selalu menghampiri dengan sendirinya. Mempunyai uang—yang mesin pun capek menghitungnya, usaha sukses, wajah bagus, dan bahkan berbagai fasilitas yang hanya dengan menjentikkan jari akan dia dapatkan, nyatanya tak membuat seorang Maxwell Grahadian Macharaff merasa puas akan hidupnya. Harta, tahta, kesenangan, bahkan wanita adalah hal yang paling mudah didapatkannya. Namun, sudah beberapa minggu ini dia merasa bosan akan hidupnya yang terasa begitu-begitu saja. Sampai akhirnya teman-temannya—sang penjilat- selalu berinisiatif mengadakan pesta setiap minggunya di rumah dia. Menyewa para wanita bayaran, bahkan memesan berbagai macam minuman yang mampu membuat akal mereka hilang beberapa jam saja. Senang, ya ... lumayan. Namun, hanya sesaat, ketika dirinya bangun, dia kembali akan merasakan jenuh. Mungkin inikah yang dirasakan para Milyader yang malah memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Hmmm ... bisa jadi! Karena hidup memang hakikatnya tidak ada yang sempurna. Saat Max sedang mengistirahatkan tubuhnya dalam sandaran kursi kebesarannya, seseorang mengetuk pintu, membuat dia terpaksa harus membuka kembali matanya. “Siapa yang berani menggangguku?” batinnya merutuk. “Masuk!” Pintu terbuka dan menampilkan salah seorang pelayan yang tentu dia kenal. “Ada apa?” tanya Max dingin. Marni membungkuk. “Ma—maafkan saya sudah mengganggu waktu Tuan.” “Langsung ke inti!” “S—saya mau meminjam u—uang, Tuan.” Tubuh Marni terlonjak saat tiba-tiba Max membanting pulpennya ke arahnya. “Apa uang yang saya berikan kemarin belum cukup? Bonus tahunan kamu sudah saya naikkan, kamu beli tanah sekampung apa gimana, ‘huh?” Marni menggeleng cepat. “Ma—maksudnya, i—ini bukan untuk sa—saya, Tuan. I—ini untuk kakak saya.” Max tersenyum mengejek. “Ada urusan dengan saya? Kenapa tidak kamu saja yang menolongnya? Toh, uang kamu pasti cukup hanya untuk meminjamkannya sedikit.” “U—uang saya sudah dipakai biaya sekolah a—anak saya, T—Tuan, dan lagi kakak saya membutuhkan uang yang cukup besar untuk biaya sekolah anaknya ju—juga.” “Apa yang kakak kamu punya buat jaminan meminjam pada saya? Saya tidak punya yayasan bakti sosial untuk itu.” Marni mendongak, tetapi langsung menunduk kembali. Wajah sang tuan sangatlah ganteng, tetapi tidak bisa dinikmati oleh sembarang orang, apa lagi dirinya yang hanya seorang pelayan. “Hari ini saya membawa putrinya yang paling besar. Dia sangat pandai bekerja, Tuan. Apa lagi masakannya sangat terkenal lezat di kampung saya. Mahir dalam urusan cuci-memcuci, bahkan membersihkan toilet yang sudah mengerak.” “T—terlebih ....” Max mengangkat sebelah alisnya, menunggu Marni melanjutkan ucapannya. “T—terlebih ... putrinya adalah gadis nomor satu primadona di kampung kami, T—Tuan.” “Hahaha ....” Max sontak tertawa saat Marni mencoba merayunya dengan wanita. “Primadona, ya? Cantikan siapa Vanessa sama dia?” Tubuh Marni menegang. “Si*l. Gua lupa jika pria ini dikelilingi banyak wanita cantik dan seksi.” Max mengibaskan tangannya. “Sudahlah. Sekarang perlihatkan potonya! Saya sangat penasaran dengan sang primadona di kampungmu itu.” Marni mengerjap beberapa kali, tak menyangka jika majikannya akan terpancing tawarannya. Dengan tubuh sedikit bergetar—ragu dan khawatir akan respon sang tuan- Marni maju beberapa langkah dan memberikan ponselnya yang sudah terpangpang wajah Lela. Max menerima dan mengamati photo Lela secara seksama, sedangkan Marni terus mencuri pandang merasa penasaran dengan respon sang tuan. Agak lama Max memperhatikan wajah Lela dalam photo itu, sampai di detik berikutnya Max tiba-tiba tertawa cukup nyaring sambil membanting ponsel Marni ke atas meja. Max menatap Marni penuh cemooh. “Kamu mengejek saya, huh? Kamu ingin dia terus bertaushiah di depan saya yang berlumur dosa ini, huh? Hahaha.” Tubuh Marni semakin bergetar. Niatnya bukan seperti itu. Lagian kenapa tuannya tak merasa tertarik, padahal apa yang dikatakannya soal primadona kampung itu benar adanya. Lela meski berpakaian tertutup dia adalah gadis yang selalu menjadi incaran para lelaki, bahkan para bandar pun terus berlomba untuk mendapatkan gadis itu. “Ta—tapi, Tuan, soal keahliannya dalam bekerja, sa—saya berani jamin, T—Tuan akan sangat puas.” Max tidak merespon, dia hanya mengangkat tangan, lalu mengibaskannya, merasa tidak tertarik. Marni keluar dengan hati yang dongkol. Dia takut jika Lela beneran akan pulang dibantu oleh pelayan tua yang bernama Asih itu. Bisa-bisa rahasianya dibongkar gadis kampungan itu. “Tunggu!” Marni sontak berbalik. “Ya, Tuan.” “Kamu tadi bilang, dia sudah di sini ikut bersama kamu, ‘kan?” Marni mengangguk. “Benar, Tuan.” “Di mana dia sekarang?” “D—di ruang ganti pelayan, T—Tuan.” “Hmmm ....” Max mengelus dagunya, matanya menerawang ke atas. “Pergilah bekerja! Saya akan coba pikirkan lagi.” Marni langsung tersenyum sumringah, mengangguk semangat, lalu pamit. Harapannya ternyata punya peluang besar, semoga tuannya beneran tertarik dengan keponakannya itu. Sementara itu, Max mulai berkutat di ponselnya, dia tengah menyambungkan cctv yang ada di ruang ganti para pelayannya. Benar saja, ada seseorang yang tengah duduk meringkuk sambil memeluk kedua lututnya, kepalanya tak terlihat karena tersembunyi di antara kedua pahanya. Max yakin, dialah gadis yang dimaksud Marni. Max berkerut saat matanya menangkap sosok pelayan sekaligus ibu asuhnya. “Sedang ngapain Bi Asih di sana?” Karena penasaran, Max akhirnya memutuskan untuk menghampiri ruang ganti tersebut. “Ambu, Neng hoyong uih deui. Ambu ... hiks!” Tubuh Max menegang mendengar suara tangisan seseorang sambil meracau dengan bahasa yang samasekali tidak dipahaminya. Darahnya seketika berdesir, membuat jantungnya berdegup cepat. Ada rasa bahagia saat mendengar suara itu, seperti sebuah minuman yang baru dirasakannya tetapi langsung membuatnya ketagihan dan terus merasa kehausan. “Berhentilah menangis! Bibi akan mencoba membantu kamu untuk kembali pulang.” Kening Max mengernyit tak suka, entahlah! Mendengar Asih akan membawanya pulang hatinya mendadak geram. “Nu leres, Bi?” “Maaf, kamu tanya apa sama saya?” “Hehehe, maaf, Bi, Neng lupa. Maksud Neng, benarkah Bibi mau bantu Neng pulang lagi ke kampung?” Aaah, jantung Max semakin berdesir mendengar kekehan gadis kampung itu, sungguh seperti memicu adrenaline-nya. Asih ikut tertawa, ah, jangankan pelayan tua itu yang pasti melihat bagaimana cara gadis itu memamerkan giginya, bahkan dia saja yang hanya mendengar, ikut tersenyum. “Tentu saja. Saya akan berusaha sebisa saya untuk memulangkan kembali kamu ke kampung.” “Terima kasih banyak, Bi. Neng gak akan lupa semua kebaikan Bibi ke Neng.” Sia**n! Berani sekali pelayan tua itu membawa pergi miliknya. Eh, miliknya? Max seketika tersenyum miring. Baiklah, mulai saat ini gadis desa itu adalah miliknya. “Baiklah, Bibi akan meminta anak Bibi untuk antar kamu ke stasiun. Kamu ....” Max berdehem keras saat ujung matanya melihat salah satu pelayannya akan melewatinya. Dalam hati dia terus berdo’a agar kelakuannya sebelum ini tidak diketahui siapapun. “T—Tuan.” “Kamu lihat Asih?” Tiba-tiba Asih keluar dari ruang ganti. “Saya di sini, Tuan.” “Hmmm. Temui saya di ruang kerja!” Setelah itu Max berlalu dari sana. “Baik, Tuan.” Masih terdengar Asih menjawab ucapannya. ... “Masuk!” perintah Max saat pintu terketuk. Pintu terbuka dan menampilkan sosok Asih yang berjalan menghampirinya. “Apa yang bisa saya bantu, Tuan?” “Siapa nama gadis yang tengah menangis sambil meracaukan bahasa alien itu?” tanya Max langsung ke inti. Terlihat tubuh Asih sedikit menegang dan itu tentu sudah diperkirakan oleh Max. “T—Tuan ....” “Pastikan dia tidak kabur dari sini! Saya percayakan gadis itu padamu.” Max menatap Asih serius. Meski dia menghormati wanita yang sudah merawatnya sedari kecil itu, Max tetap akan bersikap tegas—bahkan kejam, saat kesenangannya mulai terusik. “Dia adalah jaminan di sini. Ibunya sudah berhutang padaku dan dia yang akan mencicilnya dengan tenaganya.” Mata Asih membesar, syok. Namun, dia juga tak bisa berbuat apa-apa. “Ba—baik, Tuan.” “Suruh dia menemui saya sebelum pesta di rumah ini dimulai!” “Baik, Tuan.” Max mengayunkan tangannya, menyuruh Asih keluar karena urusannya sudah selesai. Asih membungkuk sebelum dia unduh diri. “Tunggu!” Asih kembali berbalik. “Jangan lupa, temui saya dengan seragam yang sudah ditetapkan di sini.” “T—tapi, T—Tuan ....” “Dan saya tidak bisa menerima penolakan, apapun itu!” Wajah Asih berubah pucat, sementara Max? Mana peduli dia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD