Ingin Kembali Pulang.

1160 Words
Marni langsung melepaskan pelukannya saat sadar jika bukan dia saja yang berada di sana. Kepalanya menoleh ke arah Lela dan mendengus membuat Lela sedikit meringsut takut. Apalagi saat pria yang masih memeluk sang tante ikut menatapnya lekat dan terang-terangan menampilkan wajah cu*as. Marni menggeram dan tambah kesal terhadap ponakannya. Belum juga sehari Lela bersamanya, gadis itu sudah bikin hatinya geregetan setengah mati. Dengan tak berperasaan, Marni menyikut perut Parto—supir jemputan sekaligus kekasih masa rantaunya- keras sekali menimbulkan pekikan dari mulut pria itu mengaduhkan rasa sakit. Parto menatap protes pada Marni. Namun, hanya dua detik saja! Karena di detik selanjutnya dia cengengesan saat melihat mata Marni yang membola penuh cemburu. “Hehehe, ini siapa, Yang?” tanya Parto kembali memeluk Marni. Marni mendengus, “Kenapa? Mau diembat?” sindirnya yang dibalas tawa oleh sang pacar. “Gak mungkinlah, Yang!” Parto membisikkan sesuatu pada Marni, tapi matanya dengan kurang ajar mengedip ke arah Lela, “Emang ada ya yang tertarik sama gadis culun seperti dia? Dari desa, ok! Tapi, jangan kampungan gitu juga, kali!” Marni seketika meneleng pada Lela yang masih meringkuk takut. Matanya menelisik badan Lela dari kepala hingga kaki. Baju panjang kedodoran dan sarung PM yang sudah sedikit kusam. Benar, siapa yang mau dia di sini dengan penampilan seperti itu? Bibir Marni terangkat sebelah. Lega karena berpikir pacarnya gak mungkin tertarik pada ponakannya, juga mencibir, mengolok pakaian yang dikenakan Lela. Entahlah! Sepertinya Marni benar-benar tidak menyukai Lela. Padahal Lela adalah keponakannya. Putri dari kakak kandungnya sendiri. “Namanya Lela, anak kakak aku yang bulan-bulan lalu mati itu. Kemarin si teteh minta bantuan untuk mengajak dia ikut kerja. Tahulah keadaan kami di kampung. Si teteh butuh biaya hidup, cuma dia gak mungkin aku izinin kerja di sini. Terpaksa deh bawa anaknya. Dia!” tunjuk Marni dengan dagunya. “Baik banget sih kamu, Yang!” Parto mencolek dagu Marni membuat wanita itu tersipu malu seperti perawan baru kasmaran. Bibir Marni mengerucut manja, “Kepaksa aja!” jawabnya sedikit dibuat jutek. “Jangan kepaksa begitu. Lumayan kan ada junior yang bisa kita test nanti. Hahahaha.” “Hahahahaha. Benar banget kamu, Beb!” Dalam hati, Lela tak pernah berhenti membaca hauqolah dan istighfar. Terus meminta perlindungan pada Allah Subhanahu Wata’ala. Firasatnya sungguh tak enak. Andai dia tak malu, sangat ingin menangis dan merengek pada tantenya agar dia dipulangkan saja. Andai dia berani, ingin sekali naik bus dan pulang sendiri ke rumahnya. Ke kampung halamannya. Namun, sayang beribu sayang. Ini kali pertama dia menginjak ibu kota. Hiruk-pikuk yang berbeda jauh dengan keadaan di kampung halamannya. Lela sering ikut sang ayah ke pasar, tetapi keramaian di pasar kota halamannya tak seramai di sini. Boro-boro berbalik dan pulang sendiri, bahkan saat ini untuk melangkah pun Lela takut kesasar. Dalam cemas, Lela hanya bisa pasrah. Menunggu dua manusia di depannya yang masih tertawa, dalam diam. Entah apa yang lucu. Dia sadar mereka tengah menertawakannya, tetapi, perkara apa yang ada pada dirinya yang membuat mereka tertawa hingga terbahak seperti itu? Gusti nu Agung. Neng teu gaduh tangan pangawasa. Mung ka Gusti Neng nyuhunkeun pitulung. Tantayungan Neng, Gusti! (Ya Tuhan, hamba tak punya daya upaya. Hanya kepada-Mu hamba berserah diri dan meminta perlindungan. Lindungi hamba, Ya Rabb!) Marni segera melepas belitan tangan Parto dan menyuruhnya berjalan terlebih dahulu ke mobil. Tanpa menolak, pria itu berbalik dan melangkah sambil membawa tas pakaian milik sang pacar. Marni seketika menghadap ke arah Lela setelah Parto sudah sedikit jauh. Mata yang tadi menyipit genit, berubah menjadi beliak penuh tudingan. Jantung Lela kembali berdebar cepat, nyalinya menciut semakin mengecil. “K-kumaha, Bi?” (Iya, Tante?) Lela memberanikan diri berkata lebih dulu. Sungguh menyesal dia ikut bersama sang tante. Apalagi saat ini Lela menyaksikan sifat lain dari tantenya yang sangat jauh dari dugaannya. “Heh!” Marni mencengkram tangan Lela kuat sehingga gadis itu sedikit terpekik karena kaget dan sakit. “Udah dibilangin jangan pake bahasa daerahmu itu! Jangan malu-maluin! Mentang-mentang orang kampung, tapi jangan kampungan juga! Ngerti kamu?!” gertak Marni disertai pelototan super seperti lakon antagonis di serial FTV. “M-maaf, Tan-te!” gagap Lela. Kepalanya semakin menunduk. “Dan ....” Mata Mirna berubah menyipit penuh intimidasi, “Aku tahu otak kamu itu sudah mengatai aku, kan?” “M-maksud Ta-tante apa?” “Alah! Gak usah ngeles, kamu! Munafik tahu, gak?” Marni berdecih. “Otak kamu itu pasti bertanya-tanya kan soal lelaki yang meluk aku tadi?” Lela bergeming tak merespon. Nyatanya apa yang dikatakan Marni memanglah benar. Sejak pertama melihat sikap Marni dan pria itu dia sangat syok, dan kepalanya langsung digerogoti banyak pertanyaan. Siapa pria itu? “Benar! Namanya adalah Parto, dia adalah pacarku!” jujur Marni membuat Lela membelalakkan matanya tanpa bisa dicegah. Gusti! Bi Marni teh apan atos gaduh caroge. Naha tiasa janten kiyeu? (Tuhan! Bukankah tante Marni sudah punya suami. Kenapa bisa jadi begini?) “Alaaah!” Marni mengibaskan tangannya, “Aku peringatkan sama kamu. Kalau sampai mas Karna(suaminya Marni) tahu aku punya pacar di sini, atau keluarga—bahkan ibumu sekalipun, itu berarti kamu yang bermulut ember. Aku pastikan kamu gak akan hidup damai selamanya. Ngerti, kamu?” Lela mengangguk cepat. “M-muhun, eh, I-iya, Tan-te. Neng bakal tutup mulut! Moal¹ bicara ka² siapa-siapa!” ¹Gak akan ²pada “Awas saja! Jika kamu coba-coba mengingkari janji!” Kembali Marni mengancam sebelum akhirnya dia melangkah maju. Lela menatap Marni sedih. Ingin sekali dia mengingatkan sang tante jika perbuatannya itu sangatlah berdosa. Namun, apalah daya, dia hanya manusia lemah, dan rapuh. Gusti nu maha pangapunten. Hapunten sadaya dosa abdi! (Ya Allah yang maha pengampun, ampunilah semua dosaku!) batin Lela menjerit tangis. “Heh! Malah bengong lagi. Ayo cepetan!” Marni semakin kesal saat tahu kalau Lela masih berdiri di tempatnya. Bukannya mengikuti, malah bengong melamun. Dasar gadis kampungan! Lela bergegas menyusul Marni yang sekarang tengah bersungut-sungut padanya. “Cepetan masuk!” seru Marni galak. Lela buru-buru membuka pintu belakang mobil. Matanya terpaku melihat bagaimana kondisi mobil yang akan ditumpanginya. Harum kopi berpadu dengan aroma musk seketika menguar memanjakan indera penciumannya. Tubuhnya bahkan langsung merasa sejuk. Panas menyengat dari terik matahari yang tadi dirasakannya, seketika hilang tanpa jejak. Dari yang pernah diingatnya, ini kali pertama Lela menaiki mobil se ... apa, ya? Pokoknya bagus dan nyaman. “Huh, kelihatan banget kampungannya.” Lela mengerjap saat telinganya mendengar sindiran Marni. Dengan takut, Lela menoleh ke sang tante. Benar saja, Marni tengah melirik—mendeliknya, bahkan disertai bibir yang mencibir. “Hahahaha, udahlah, Yang! Kasian dia ketakutan sama kamu.” Parto tertawa sambil mengusap pipi Marni. “Kamu tenang aja. Tante kamu itu aslinya sangat baik, kok! Kalau enggak, mana mungkin aku cinta mati sama dia. Iya, gak, Sayang?” ucap Parto disertai kedipan mata membuat Marni tertawa bahagia. Lela hanya bisa menunduk, tapi tak sengaja matanya melirik ke arah kaca spion yang bergantung di depan. Jantungnya berdetak kencang saat Parto menatapnya lekat, lalu mengedipkan sebelah mata padanya. Astaghfirullah! Ambu, Neng hoyong uih deui. (Ibu, aku ingin kembali pulang.)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD