5. Iel sakit

2036 Words
Nada masih menangis saat motor yang dikendarai Kevand berhenti di parkiran rumah sakit. "Udah dong, Nad. Kita kan belum tau Iel kenapa." Kevand membantu melepas helm Nada karena gadis itu tak kunjung melepaskannya. "Takut." Nada bicara dengan sangat pelan sambil meremas ujung seragam Kevand. "Nggak usah takut, Nad." Iel sudah berada di ruang rawat inap. Nada masih takut-takut untuk masuk ke ruangan sang kekasih. Namun, lagi-lagi Kevand menariknya. Memberikan kekuatan kepada Nada. Gadis itu membuang napas kasar dan menetralkan detak jantungnya sebelum benar-benar masuk. "Iel..." panggil Nada lirih saat melihat lelaki yang berbaring di atas brankar dengan tangan kiri yang menggunakan gips. Nada tahu kalau Iel tidak tidur meski matanya terpejam. "Hai." sapa Iel yang membuka matanya perlahan seperti tanpa beban. "Iel kok sakit nggak bilang?" tanya Nada yang mati-matian menahan tangisnya agar tidak kembali pecah. Iel yang melihat hal itu hanya tersenyum tipis dan memberi kode agar Nada mendekat. Karena, sebelumnya Nada masih memberi jarak sebab masih merasa bersalah. "Maaf, ya." "Kok minta maaf?" "Soalnya, aku nggak balas chat sama ngangkat telepon Iel." "Gak apa-apa." Nada membuang napasnya kembali. Rasanya, tidak apa-apa yang Iel katakan malah membuatnya merasa bersalah. Apalagi, mereka ini sepasang kekasih yang harusnya saling memprioritaskan. "Baju kamu agak basah." Iel mengalihkan pembicaraan. Ya, saat di perjalanan, gerimis turun dan Kevand tidak membawa jas hujan. Alhasil, mereka terpaksa menembus gerimis yang menyebabkan seragam mereka agak basah. "Tadi gerimis." jawab Nada pelan. Jujur saja, ini lebih canggung daripada saat mereka melakukan pendekatan dulu. "Nanti kamu sakit, lho." "Iya, sorry deh. Gue nggak bawa mobil soalnya. Mau ngambil dulu, Nadanya keburu panik." Kevand yang menjawab perkataan Iel. Lelaki yang kini tengah kesusahan mengatur posisinya menjadi duduk itu bergumam pelan sambil menatap Nada. "Harusnya kamu pulang dulu, makan, ganti baju. Aku nggak apa-apa, kok." "Nggak apa-apa gimana? Itu tangan kamu." Nada menunjuk tangan kiri Iel. Nada hampir kembali menangis kalau Iel tidak mengusap puncak kepalanya dengan sayang. "Maaf ya sudah bikin kamu khawatir." "Harusnya aku yang minta maaf sama kamu." Kevand yang berdiri di belakang Nada merasa canggung berada di antara mereka berdua. Ia berdeham pelan sebelum memilih menunggu di luar. Siapa tahu, Nada dan Iel ingin mengatakan sesuatu. "Iel, maaf. Aku harus--" "Kamu harus nemenin Kevand yang patah hati. Aku paham kok, Nad. Kamu nggak perlu jelasin apa-apa." Nada bicara Iel sangat berbeda dari sebelumnya. Kalau sebelumnya terdengar ramah dan cenderung membuat Nada merasa bersalah, kini suaranya terdengar datar dan menakutkan. Ya, setidaknya perubahan itu bisa Nada rasakan. "Iel..." "Kevand kan sahabat kamu. Kamu memang harus nemenin dia, kan. Dia butuh banget pertolongan kamu." Lagi-lagi, Iel mengeluarkan sindirannya. Membuat Nada yang semula menunduk, kini mengangkat kepalanya. Ia bisa melihat senyum sinis di bibir sang kekasih. "Kalau kamu nggak bisa nemuin aku, nggak usah dipaksa, Nad. Aku kuat, kok. Nggak harus ditemenin atau disokong orang lain." Perkataan Iel kali ini Nada rasa cukup menohok. Ia merasa sedikit tersinggung. Entah karena Iel menyinggung dirinya yang terkesan lebih memprioritaskan Kevand atau karena kekasihnya itu menyinggung Kevand seakan-akan sahabatnya itu sangat lemah. "Iel... Nggak gitu." Nada masih menahan diri untuk tidak menaikkan nada bicaranya karena kondisi Iel yang memang tidak baik-baik saja. Selain itu, ia juga merasa bersalah karena mengabaikan pesan dan panggilan kekasihnya. Meskipun, perasaan bersalah itu kini mulai luntur sedikit demi sedikit. "Sudah malam, Nad." ucap Iel. "Kamu pulang saja. Sebentar lagi mama datang, kok. Baju kamu juga agak basah. Nanti kalau dibiarkan bisa demam." Perkataan selanjutnya kembali lembut. Nada tak melihat kilatan emosi di mata Iel seperti sebelumnya. Entah, Nada merasa kalau Iel memiliki kepribadian yang cepat sekali berubah. Saat ada Kevand, lelaki itu menunjukkan sisi lembutnya, saat Kevand tak ada di sana, Iel tampak begitu menggebu seakan memiliki dendam. Dan kini, lelaki itu berubah kembali seakan tak terjadi apa-apa. "Iel..." "Pulang, Nad. Besok kalau kamu mau ke sini, boleh." Nada mengangguk kaku. Meskipun, rasanya permasalahan dirinya dan Iel belum selesai. Tetapi, ia takut kalau alih-alih menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. "Oke. Aku pulang setelah mama kamu datang." "Nggak usah." "Aku maksa!" Nada menegaskan. "Baik." Iel tersenyum manis. Harus Nada akui, kalau Iel benar-benar tampan meski wajahnya agak pucat. "Kamu belum cerita kenapa bisa jatuh." Iel kemudian menceritakan kejadian malam itu, di mana lampu di rumahnya tiba-tiba padam saat dirinya menuruni tangga, lalu pijakannya tidak akurat dan tubuhnya tidak seimbang. "Karena mama papa di luar kota, aku baru dilihat bibi subuh." "Astaga!" Nada tentu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Berapa jam Iel harus tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Tangannya patah karena ia menahan tubuhnya sendiri yang ternyata tetap tak bisa. Mendengar cerita Iel, kekesalan yang Nada rasakan sebelumnya menguap sudah. Saat obrolan mereka berlangsung, ponsel Iel berbunyi. Mau tidak mau, mereka menghentikan obrolan. "Sebentar, ya." Nada mengangguk pelan. "Nad, kamu pulang aja. Mama udah di parkiran." ucap Iel setelah menutup panggilannya. "Aku tunggu sampai mama kamu ke sini." "Nggak usah. Kemaleman juga. Kamu pulang aja." Nada ingin membantah. Tetapi, Kevand memanggilnya dari luar. "Nad, mama telepon." "Ya sudah. Aku pulang ya, Iel. Besok sepulang sekolah, aku ke sini lagi." "Hmm... Bilang Kevand hati-hati. Jangan ngebut." "Siap! Iel juga cepat sembuh, ya." Iel mengusap puncak kepala Nada sambil tersenyum manis. Setelah itu, Nada meninggalkan ruangan Iel meski berat hati. "Kok mama nggak telepon gue, sih?" tanya Nada. "HP lo mati kalo lo lupa!" balas Kevand malas. "Ayo balik! Takut keburu malem." "Ini udah malem!" Sepertinya, ketidakberuntungan harus kembali dialami kedua remaja ini. Karena, belum juga mereka sampai di parkiran, hujan turun dengan derasnya. "Ya Tuhan. Kenapa harus hujan, sih?" gerutu Nada sambil menatap ujung sepatunya. Kalau hanya gerimis, mungkin bisa ia terobos. Tetapi, hujan kali ini cukup deras. Berbahaya juga berkendara di bawah hujan seperti ini. "Mau balik lagi ke ruangan Iel?" "Takut dia mau istirahat." jawab Nada. Tetapi, mereka tak punya pilihan lain. Lorong dekat parkiran cukup menyeramkan kalau mereka berlama-lama di sana. Akhirnya, Nada menyerah dan mengiyakan perkataan Kevand. "Gue udah kabarin mama kalo kita kejebak hujan." Sesampainya di depan ruangan Iel, Nada ragu untuk masuk. Ia takut kalau Iel sudah tidur. Tetapi, sayup-sayup suara obrolan yang terdengar di dalam ruangan membuat Nada akhirnya memanggil Iel. "Iel? Kamu belum tidur?" "Nada?" balas Iel bertanya. "Iya. Aku nggak bisa pulang. Soalnya hujan." "Masuk aja." Nada dan Kevand memasuki ruangan Iel yang ternyata sepi. Tak ada siapapun di sana. Padahal, sebelumnya Nada benar-benar mendengar suara obrolan dari dalam ruangan Iel. "Kalian duduk dulu aja." ucap Iel. Kevand langsung mengiyakan perkataan Iel. Lain halnya dengan Nada yang malah mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. "Mama kamu mana, Iel?" "Mama? Oh. Tadi pulang dulu. Ada yang ketinggalan." Nada mengangguk. Tetapi, rasa penasarannya tak berhenti sampai di sana. Nada melihat sebuah syal di samping Iel. Ia rasa, saat dirinya di sana, tidak melihat benda itu. "Ini punya mama Iel?" tanya Nada. Iel hanya mengangguk sebagai jawaban. "Nad, kalo lo ngajak Iel ngobrol mulu, dia nggak istirahat, dong." Kevand memperingatkan Nada yang terlalu banyak bertanya. Dengan wajah kesal, Nada akhirnya menghampiri Kevand dan duduk di samping sahabatnya. Ia dan Iel masih sesekali mengobrol. Meskipun, tak jarang Iel membuka ponselnya. Nada pikir, Iel tak menjawab panggilannya karena memang sulit membuka ponsel. Tetapi, kali ini ia melihat Iel bermain ponsel membuat rasa penasarannya kembali naik. "Napa lo?" bisik Kevand. "Iel bisa main HP. Tapi, dia nggak balas chat gue. Nggak ngangkat telepon gue juga." "Itu dia baru bisa kali." "Masa? Apa dia balas dendam, ya?" "Nggak boleh nuduh. Apalagi sama pacar sendiri." Kevand dengan segala pemikiran positifnya memang cocok berteman dengan Nada yang tak jarang berpikir berlebihan. "Ya tapi kan--" "Sssttt gak boleh gitu!" potong Kevand cepat. Iel bahkan masih sibuk dengan ponsel di tangan kanannya saat Nada dan Kevand pulang karena hujan sudah mulai reda. "Hati-hati. Jalanan licin." ucap Iel sebelum keduanya keluar. Setelah Nada dan Kevand keluar, Iel membuang napasnya lega. "Huh! Hampir saja!" *** Karena Nada tak ingin kembali menyusahkan Kevand, hari ini ia pergi ke rumah sakit menjenguk Iel sendiri. Ya, selain itu, Nada juga tidak ingin menambah kesalahpahaman di antara dirinya dengan sang kekasih. Tentu tak mudah meyakinkan Kevand kalau ia bisa sendiri. Karena, Kevand khawatir dirinya akan pulang malam. Atau bisa saja hujan kembali turun dan Nada sendirian. "Lo beneran mau ke rumah sakit sendiri?" tanya Kevand. "Gue bukan anak kecil, ya. Gue bisa sendiri. Lo udah nanya ini berapa kali?" "Ya gue kan cuma khawatir sama lo." "Terima kasih, Bapak Kevand. Tapi, gue beneran mau sendiri aja. Lo langsung pulang! Awas aja kalo di rmh diem nemuin si nenek lampir!" ancam Nada. Hal itu bukan tanpa alasan, karena Nada melihat Kevand yang masih mencoba melakukan interaksi dengan mantan kekasihnya saat waktu istirahat. "Iya, bawel! Nggak! Udah sono! Ntar nggak ada bus. Pulangnya lo telepon aja gue." "Gimana nanti. Ya udah, gue duluan." Kevand menggeleng pelan saat melihat tubuh mungil Nada semakin menjauhinya. Padahal, hari ini Kevand sengaja membawa mobil agar mereka tak kehujanan seperti kemarin. Nada mengirimkan pesan kepada Iel terlebih dahulu kalau ia sedang berada di jalan. Kali ini, Iel membuka pesannya. Ya, setidaknya pesan yang ia kirim dibaca. Dengan wajah yang lebih cerah dari kemarin, Nada berjalan agak cepat menyusuri koridor rumah sakit sambil menenteng buah-buahan yang bundanya bawakan. "Hai..." sapa Nada saat masuk ke ruangan Iel. Kekasihnya itu tersenyum tipis sambil menepuk tempat tidurnya. Memberi kode pada Nada agar duduk di sampingnya. "Gimana hari ini? Lebih baik?" tanya Nada. "Lumayan. Kepalaku nggak pusing. Mungkin, besok bisa pulang." "Oh, syukurlah." Nada tak melanjutkan perkataannya. Padahal, sebelumnya ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada sang kekasih. Tetapi, fokusnya kini tertuju pada sebuah benda di atas balas yang tentu saja itu bukan benda yang digunakan oleh laki-laki. Ya, jepitan rambut. Nada tidak familiar dengan benda itu. Daripada menyimpan rasa penasarannya sendiri, Nada akhirnya bertanya kepada Iel. "Ini punya siapa, Iel?" tanyanya. "Punya mama. Mungkin, tadi pagi mama lupa ambil." Nada tahu kalau ibu Iel sangat sibuk bahkan bisa bekerja sampai larut. Sampai-sampai, Iel pun sendiri di rumah sakit. "Kamu curiga sama aku, Nad?" tanya Iel. "Ha?" "Kamu curiga sama aku?" Iel mengulang pertanyaan yang sama. "Nggak." "Kamu nanya itu artinya kamu penasaran." "Ya aku cuma mau tau, Iel." "Dari semalam, kamu nanya terus benda-benda yang ada di ruangan aku. Kamu sebenarnya mau jengukin aku apa mata-matain aku, sih?" Nada menganga tak percaya dengan pertanyaan yang dilontarkan Iel. "Kok kamu nanyanya gitu? Aku nggak berpikir sejauh itu, Iel." "Aku nggak mau kamu mikir aneh-aneh, Nad. Itu aja." "Aku nggak." balas Nada pelan. Padahal, ia agak kesal dengan tuduhan Iel. Tetapi, karena lagi-lagi ia tak ingin memperpanjang masalah, ia akhirnya mengalihkan pembicaraan. "Iel mau buah?" "Boleh. Apel, ya." Dengan telaten, Nada mengupas satu buah apel dan menyuapi Iel. "Makasih." "Kalau makan jangan sambil ngomong." ucap Nada karena Iel yang bicara saat masih mengunyah apelnya. Kekasihnya itu hanya tertawa pelan dan menelan apelnya dengan cepat. "Kamu udah makan?" "Udah. Tadi aku bawa bekal. Soalnya, bakal pulang telat. Oh iya. Kata mama, semoga cepat sembuh. Maaf belum bisa jenguk Iel." "Nggak apa-apa. Bilang mama makasih. Iel besok pulang, kok." Obrolan keduanya terhenti saat mendengar sebuah suara di depan ruangan Iel. "Sebentar." Nada bangkit dari duduknya untuk mengecek ada apa sebenarnya. Nada melihat seseorang yang mengambil parcel yang terjatuh tepat di depan ruangan Iel lalu orang itu bergegas begitu cepat. "Ada apa, Nad?" tanya Iel. "Orang barangnya jatuh gitu. Mungkin buru-buru kali, ya. Bikin kaget aja." "Duh, dikira apa." balas Iel. Keduanya kembali bercerita mengenai kejadian-kejadian kecil yang terjadi demi mengingat masa lalu. Nada juga tak lupa menceritakan apa saja yang terjadi saat Iel tidak masuk sekolah. "Kangen Iel di kelas, deh." "Aku juga kangen. Janji bakal masuk sekolah secepatnya." "Iel sembuh dulu." "Iya, bawel. Aku bakal cepet sembuh." Nada mengerucutkan bibirnya saat Iel mengatainya bawel. Lagi dan lagi, ponsel Iel berdering saat keduanya masih terlibat obrolan yang menyenangkan. "Iel tak banyak bicara dengan orang di seberang sana. Hanya iya dan iya yang Nada dengar." "Nad, kamu pulangnya gimana?" tanya Iel. "Naik taksi." "Jangan terlalu malam." "Ini masih sore, Iel." "Iya, tapi kamu perempuan. Bahaya lho. Pulang aja. Aku nggak apa-apa." Iel mengusirnya seperti kemarin. Nada dengan segala pemikirannya yang terkadang berlebihan itu tentu kembali curiga. Tetapi, ia tidak ingin menambah beban pikirannya. Jadi, ia akhirnya pamit pulang. Tetapi, ia tidak pulang dengan taksi. Melainkan, meminta Kevand menjemputnya. "Kevand, jemput gue!" Hanya itu yang Nada ucapkan dan langsung mengakhiri panggilannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD