4. Proses Move On Kevand

2214 Words
Biru langit sudah terganti pekat dengan beberapa bintang yang menghiasi. Nada dan Kevand masih duduk tanpa ada satu katapun keluar dari mulut masing-masing. Baik Nada maupun Kevand sibuk dengan isi kepala sendiri. Bahkan, Nada mengabaikan bunyi ponselnya yang berdering tak hanya sekali. "Kenapa ngga diangkat, Nad?" tanya Kevand yang akhirnya terusik dengan nada dering yang Nada pasang. Jujur saja, ini cukup mengganggu pendengarannya. "Gue kan lagi nemenin lo. Masa main HP, sih?" jawab Nada yang malah memasukkan benda pipih tersebut ke dalam tasnya. Benar, mereka belum pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Mereka malah bermain ke rumah pohon. Nada rasa, di tempat ini, perasaan Kevand akan lebih baik. "Ya siapa tau penting, Nad." "Ah nggak. Tenang aja. Lo udah enakan, kan?" tanya Nada. Hal itu membuat lelaki di sebelahnya terkekeh. "Kayaknya gue rapuh banget ya di mata lo?" "Ya emang. Lo nggak sadar nangis-nangis cuma gara-gara putus sama cewek yang jelas-jelas udah nyeleweng dari lo?" Nada memutar bola matanya malas. "Hmm..." Kevand hanya membalas perkataan Nada dengan gumaman. Karena, di lubuk hatinya yang paling dalam, Kevand masih berat hati kalau Nada bicara buruk pada perempuan yang pernah mengisi hatinya itu. Padahal, memang seperti itu kenyataannya. Hanya saja, Kevand belum sepenuhnya rela. "Kenapa cemberut? Emang bener, kan? Jangan bilang lo masih nggak rela putus sama dia? Kan udah gue bilang, dia itu--" "Nggak baik buat gue, nyelingkuhin gue, nggak bersyukur karena gue udah sayang banget sama dia. Lo mau ngomong itu, kan?" potong Kevand. Ia sudah hapal betul dengan dialog yang selalu Nada katakan setiap kali dirinya merenung dan terbayang masa-masa berpacaran dengan Mikha. "Nah itu lo inget. Jadi, jangan cuma diinget kata-kata guenya doang. Harus--" "Harus dijalankan juga. Hidup masih panjang, ngapain nangisin hal nggak penting. Itu, kan?" Nada tertawa hingga matanya hilang karena Kevand benar-benar menghapal dialognya. "Jangan ketawa! Gue hapal karena lo sehari bisa lima kali ngomong gitu." "Iya, itu kan demi--" "Kebaikan hidup gue. Astaga, Nad. Gue beneran hapal." Keduanya tertawa renyah. Sejenak melupakan apapun yang terjadi di hidup mereka. "Ayo pulang!" Kevand menepuk bahu Nada pelan. Membuat gadis yang mulai terhanyut dalam pikirannya sendiri itu pun tersadar. "Makan malam di rumah gue, ya. Bunda yang nyuruh." sambung Kevand sambil menyodorkan ponselnya ke arah Nada. "Gue sih nggak nolak. Udah lama juga kan nggak makan masakan bunda." Nada tersenyum kecil saat tak sengaja melihat Kevand yang kini sudah tidak terlalu tampak bersedih. Misinya sebentar lagi berhasil. Ia akan membuat Kevand benar-benar melupakan Mikha. Karena, Kevand tidak pantas bersedih hanya karena gadis semacam Mikha. "Lelet banget lo! Cepet!" teriak Kevand yang ternyata sudah berjalan cukup jauh. "Lo kok ninggalin gue?!" teriak Nada yang mulai berlari menyusul Kevand. Di sinilah keduanya kini. Ruang makan keluarga Kevand. Bersama dengan bunda Kevand dan juga Kanaya. Mereka sempat mendapat teguran karena belum berganti pakaian sejak pulang sekolah. "Bunda sudah kabari mamamu, Nad. Jangan khawatir." "Terima kasih, Bunda." Nada tersenyum kecil. Segala masalah pasti akan beres kalau orang tuanya tahu ia bersama Kevand. Kalau mereka melewatkan makan malam dengan tenang, tentu salah besar. Karena, Nada dan Kevand malah berebut bakwan udang yang sebenarnya masih terdapat beberapa di meja makan. "Yang itu udangnya gede. Lo ambil yang lain aja! Gue mau yang itu!" Nada tetap bersikukuh merebut bakwan di piring Kevand. "Enak aja! Ini punya gue!" Bunda dan Kanaya hanya bisa menggeleng melihat kedua remaja yang tengah berebut makanan itu. Meski dilerai, tak lama mereka akan melakukan hal yang sama. "Mending buat Kakak aja sini!" Alih-alih melerai pertengkaran mereka, Kanaya dengan santainya mencomot bakwan di atas piring sangat adik. Membuat Nada dan Kevand berteriak serempak. "KAK KANAYAAA!" Makan malam mereka bisa dibilang agak kacau. Sehingga, Kanaya meminta keduanya meminta maaf pada bunda. Itupun, mereka masih terus saling menyalahkan. "Nih!" Kevand menyodorkan satu bungkus es krim pada Nada. Sebagai permohonan maaf tentu saja. "Ya. Gue pulang." Nada menarik es krim di tangan Kevand dengan cepat lalu beranjak dari duduknya. Kevand hanya tertawa melihat tingkah Nada. Setelah gadis itu tidak nampak di rumahnya, Kevand membuang napasnya kasar. "Makasih, Nad. Lo udah kerja keras banget. Tapi sorry, gue sebenernya belum bisa seikhlas itu. Gue cuma nggak mau lo sedih dan ngerasa usaha lo sia-sia. Gue bakal berusaha lupain Mikha, kok." Kevand bermonolog. "Nada pulang!" teriak sang gadis di depan rumahnya. Sang ibu yang melihat anaknya baru pulang dan masih mengenakan seragam sekolah itu langsung berdecak. Apalagi, saat melihat Nada yang memakan es krim dengan santainya. "Astaga. Kamu ini bikin Mama panik saja, Nad. Ini juga, malam-malam makan es." "Kevand yang ngasih, Ma. Kalo mau ngomel, sama dia aja." kekeh Nada sebelum mencium punggung tangan sang ibu. "Maaf, Ma. Nada nemenin Kevand tadi." "Lain kali, kabarin Mama atau bunda. Biar kami nggak menebak-nebak. Atau pulang dulu, ganti baju. Kalian ini kebiasaan." "Iya, Ma. Maaf. Nada ke kamar dulu, ya. Udah gerah." Nada tak langsung melepas seragamnya, melainkan berbaring di atas tempat tidurnya dan mengambil ponselnya dari dalam tas. Ia pikir, tak hanya ibunya yang menghubunginya. Benar saja, ada sebelas panggilan tak terjawab dari Iel, sang kekasih. Juga entah berapa banyak pesan yang enggan ia hitung pastinya. Nada membuang napasnya kasar. Ini sudah cukup malam. Ia menimbang apakah akan membalas pesannya sekarang atau esok hari saja. "Ah besok aja, deh." putus Nada yang bersiap untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia menyibukkan diri dengan mengerjakan tugas rangkuman yang harus ia bawa esok hari. "Ck, siapa sih?" Nada mendengus kesal saat ponselnya berbunyi terus menerus. Ia pikir itu Iel dan mencoba mengabaikannya dan esok akan beralasan kalau dirinya sudah tidur. Tetapi, saat matanya menangkap nama Kevand di sana, ia mengambil benda pipih tersebut. "Kenapa?" tanyanya. "Lagi apa sih? Lama banget ngangkat teleponnya." "Gue lagi ngerjain rangkuman. Ganggu banget, lo. Ada apa?" Nada bertanya dengan nada yang cukup tinggi. Membuat Kevand di seberang sana tertawa. "Rajin. Besok gue liat punya lo, ya. Sekarang, gue mau keluar beliin bunda martabak telor. Lo mau, gak?" "Lo nyogok gue biar nyontekin tugas, gitu?" "Nggak baik suudzon sama temen, Nad. Ayo, mau gak?" "Kalo gratisan gue nggak nolak." "Yeu! Ya udah." "Hati-hati." "Oke." Kevand hanya mengantar martabak ke rumah Nada tanpa mampir karena sudah cukup malam. Meski begitu, keduanya malah bertelepon sepanjang malam. Dalihnya menemani Nada yang mengerjakan tugas. Ya, Kevand hanya memberikan semangat pada sahabatnya itu. *** "Jangan diliat!" Nada memperingati Kevand saat mata lelaki itu tak sengaja bertabrakan dengan mantan kekasihnya, Mikha. "Apa sih? Gue nggak sengaja, juga!" balas Kevand tak terima. Padahal, ia memang sengaja melirik ke arah Mikha. "Jangan diliat atau gue colok juga mata lo!" Nada juga melirik sinis ke arah Mikha. Dendam Nada pada gadis yang sudah menyakiti sahabatnya itu memang tak main-main. Kevand sendiri terkadang bergidik ngeri saat melihat Nada yang begitu sinis pada Mikha. Tetapi, ia tentu tak bisa memperingati. Toh, kekesalan Nada juga bukan tanpa alasan. "Ayo masuk kelas!" Kevand menarik tas Nada karena keadaan semakin tidak menyenangkan. Sementara, Nada merengut karena belum selesai memberikan tatapan sinis pada Mikha. Kevand mengangkat alisnya sebagai kode bertanya pada Nada saat gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas. "Iel mana?" tanyanya. Biasanya, kekasihnya itu sudah datang sebelum dirinya. Namun, hari ini ia tak melihat lelaki itu. Nada mengecek ponselnya tapi tak menemukan pesan baru dari Iel. Mungkin saja, lelaki itu belum datang. Toh, waktu masuk pun masih cukup lama. "Apa gue chat aja, ya?" gumam Nada. Kevand yang melihat hal itu juga ikut mengedarkan pandangannya. "Belum dateng kali, Nad." "Ya iya gue juga mikirnya gitu." Nada mengangkat bahunya sambil menimbang apakah ia akan menghubungi sang kekasih atau tidak. Tolong ingatkan Nada kalau ia juga belum membaca pesan yang dikirim Iel kemarin. "Coba chat deh." Ucapan Kevand belum Nada jawab tapi bel masuk sudah berbunyi. Nada langsung menyimpan ponselnya ke dalam tas dan mengeluarkan buku pelajarannya. Hatinya cukup gelisah karena Iel ternyata tak masuk hari ini. Apa yang terjadi dengan kekasihnya itu? Beberapa materi juga tak masuk ke dalam kepalanya karena terlalu memikirkan Iel. Kevand yang memerhatikan hal itu menatap Nada. Memberikan kode kalau sahabatnya itu lebih baik fokus terlebih dahulu pada materi di depan daripada mendapat masalah. "Iel ke mana, ya?" gumam Nada. Bel istirahat yang ia tunggu-tunggu akhirnya terdengar. Hari ini rasanya berjalan begitu lambat. Nada mengeluarkan ponselnya. Berharap ada pesan yang Iel kirimkan kepadanya. Tetapi nihil. Hanya ada pesan semalam. Nada mulai membaca pesan dari Iel satu persatu. Iel : Nad, kamu ke mana? Nad, mama kamu nanyain. Kamu pergi sama Kevand? Nad... Kamu belum jawab chat aku juga. Kamu ke mana? Nada, jangan pulang malam Nad, sudah tidur? Dan masih banyak pesan lain yang Iel kirimkan kepadanya. Apa Iel marah? Tapi kalau melihat pesan yang kekasihnya itu kirimkan, tak terlihat marah sama sekali. Iel seperti biasa mengkhawatirkannya. Nada mulai menekan tombol memanggil pada Iel. Tetapi, tidak dijawab. Nada mencoba sampai empat kali dan hasilnya sama. Ia mungkin harus bertanya pada pihak kesiswaan apakah Iel mengirim surat izin atau tidak hari ini. Namun, sebelum Nada beranjak, Kevand menyodorkan satu piring batagor ke hadapannya. "Lo boleh panik, tapi makan dulu." Tak bisa dipungkiri, Nada juga merasa kalau perutnya kosong. Jadi, ia memilih menyantap batagor yang Kevand bawakan untuknya. Tak butuh waktu lama untuk Nada menghabiskan makanannya. Ia langsung berdiri dan hendak pergi ke ruang kesiswaan. "Mau gue anter, Nad?" tanya Kevand. "Nggak usah. Lo ke kantin aja tuh anterin piring. Dah gue buru-buru. Takut keburu masuk." Nada berjalan tergesa-gesa. Karena, ruang kesiswaan memang agak jauh dari kelasnya. Ia takut bel masuk berbunyi sebelum dirinya sampai. Dan kesialan itu benar terjadi. Baru melewati koridor pertama, bel masuk sudah menggema. Membuat dirinya mau tidak mau memutar arah kembali ke kelasnya. Ia tidak mau membuat masalah dengan terlambat masuk ke kelas. "Gimana, Nad?" tanya Kevand saat Nada masih menetralkan napasnya yang memburu karena berlari. "Gue belum juga nyampe. Udah bel masuk aja." jawab Nada kesal. Kekesalan Nada tak sampai di sana. Karena ternyata, gurunya tidak masuk dan hanya memberikan tugas kepada mereka. Tahu begini, Nada teruskan saja pergi ke ruang kesiswaan. Hanya telat sedikit tak masalah. Kalau sekarang, ia sudah tak bisa lagi keluar karena memang tak boleh berkeliaran saat jam pelajaran berlangsung. Nada hanya bisa mengetuk-ngetuk mejanya dengan bolpoin di tangannya. Ia tidak berniat mengerjakan tugas yang diberikan. Kepalanya hanya berisi Iel dan Iel saja sekarang. Ke mana Ielnya? "Nad, tugasnya harus dikumpulin sekarang." bisik Kevand. "Ha? Nggak bisa dibawa ke rumah?" "Nggak. Lo gak denger tadi? Tugas hari ini. Udah cepet kerjain!" "Lo dong yang ngerjain. Nanti gue liat." "Idih, enak aja nyontek!" protes Kevand. "Kagak nyadar diri lo! Biasanya siapa yang nyontek sama gue?" Nada melotot ke arah Kevand dan hampir melempar bolpoin di tangannya ke arah lelaki itu. "Eits, sabar. Iya deh gue kerjain." Diam-diam, Nada mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik pesan pada Iel. Meminta lelaki itu untuk sekedar membalas pesannya. Mengabarkan apa yang terjadi hari ini. Iel tidak mungkin marah hanya karena pesan yang tak dibalasnya semalam, kan? Nada tahu Iel tidak kekanak-kanakkan seperti itu. "Nih salin!" Kevand mengarahkan catatannya kepada Nada. Gadis itu tersenyum dan mulai menyalin dari buku Kevand. "Pulang nanti ke rumah Iel?" bisik Kevand. "Hmm... Gue khawatir banget sama dia. Takut kenapa-napa." "Oke gue temenin." "Eh, gue bisa sendiri, kok." tolak Nada. "Lo berangkat bareng gue. Ntar mama lo nanyain." Nada akhirnya mengiyakan perkataan Kevand. Kalau dipikir, lumayan juga. Seperti halnya Nada yang selalu ada untuk Kevand, lelaki itu pun sama. Tidak akan membiarkan Nada menjalani apapun sendiri. Apalagi, membiarkan Nada bersedih. Kevand tidak akan membiarkan hal buruk terjadi kepada sahabatnya. Tentu, persahabatan seperti ini yang diidam-idamkan semua orang. "Udah coba telepon lagi?" tanya Kevand. Nada mengangguk lesu karena Iel tetap tak mengangkat panggilannya. Begitu juga pesan yang dikirimnya tak dibaca sama sekali. Mungkin, ini juga yang dirasakan Iel semalam. Saat ia tak menjawab panggilan dan membaca pesan yang dikirimkan kekasihnya itu. "Jangan nangis." "Siapa yang nangis?" bantah Nada sambil menghapus air matanya dengan cepat. Hal itu membuat Kevand terkekeh dibuatnya. "Gue bilang gue nggak nangis, Iel." "Gue Kevand!" Nada tersenyum miris karena salah memanggil. Pasalnya, yang ada di kepalanya saat ini memang hanya Iel. Kevand tentu sangat memakluminya. "Ya udah ayo. Kita harus memastikan Iel baik-baik saja." Nada mengenakan helm yang Kevand berikan. Iya, hari ini Kevand sengaja membawa motor karena takut terlambat. Hanya lima belas menit waktu yang mereka tempuh menuju rumah Iel. Nada menekan belakang beberapa kali dan belum mendapat jawaban sama sekali. Ia harap-harap cemas. Kevand menepuk bahu Nada lembut. Memberikan semangat kalau kekasih dari sahabatnya itu pasti baik-baik saja. "Cari mas Iel?" tanya seseorang yang akhirnya muncul di balik pagar. "Iya, Pak. Ielnya ada?" tanya Nada pelan. Sang sekuriti membukakan gerbang untuk Nada dan Kevand. Menyuruh kedua remaja itu masuk ke area rumah. "Lho, kalian temannya mas Iel, kan? Saya tadi pagi mengantar surat izin mas Iel ke sekolah." "Memangnya, Iel kenapa, Pak?" tanya Nada. "Semalam, mas Iel jatuh di tangga dan dibawa ke rumah sakit." Nada serasa disambar petir saat mendengar kabar tersebut. Matanya memanas seketika. "K-kapan?" tanya Nada dengan suara bergetar. Pasalnya, semalam Iel masih mengirimkan pesan kepadanya. "Pukul setengah satu kalau tidak salah. Mas Iel mau ke dapur." Nada semakin meringis mendengar penjelasan sang sekuriti. "Kalau boleh tahu, di rumah sakit mana, ya?" tanya Kevand. Ia tahu kalau Nada tak sanggup lagi bertanya. Setelah sang sekuriti menyebutkan nama rumah sakitnya, Kevand mengajak Nada pergi dari sana. "Ini pasti salah gue ya?" gumam Nada dengan suara bergetar. "Nggak. Nad, jangan nyalahin diri lo." Kevand mengusap puncak kepala Nada sebelum memakaikan helmnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD