6. Es krim dan hujan

2071 Words
Sudah satu minggu sejak Iel dilarikan ke rumah sakit. Empat hari yang lalu, lelaki itu sudah diperbolehkan pulang. Nada hanya pernah mengunjunginya sekali karena merasa tidak enak. Itupun, ia datang bersama teman sekelasnya. Gadis itu tidak tahu kalau hari ini, Iel memilih kembali masuk ke sekolah dengan kondisi tangan kirinya yang masih berbalut gips. "Kok kamu nggak ngabarin aku kalau masuk hari ini?" tanya Nada. Iel terkekeh dan meminta Nada duduk di sampingnya. "Surprise. Kaget gak?" "Kaget, lah. Padahal, kalau kamu ngomong, aku bisa bawain kamu bekal." "Nggak usah repot-repot." Nada kembali ke tempat duduknya saat belajar masuk berbunyi. Ia sebenarnya masih agak khawatir dengan kondisi Iel saat ini. Tetapi, ia paham kalau kekasihnya juga merasa bosan kalau terus berada di rumah. Apalagi, orang tuanya jarang sekali pulang. "Kagak usah diliatin mulu. Iel kagak bakal ilang." Bisikan Kevand membuat Nada hampir melempar bolpoin di tangannya. Hal itu membuat Kevand tertawa pelan. "Berisik." Keduanya kembali fokus pada pelajaran yang tengah di jelaskan oleh gurunya di depan. Bukan Nada namanya kalau tidak penasaran pada apapun. Termasuk, saat Iel tak henti-hentinya melirik ponselnya. Seperti menunggu seseorang mengabarinya. Nada rasa, Iel tidak terlalu tertarik dengan benda pipih serba bisa itu sebelumnya. Bahkan, mereka saja tidak terlalu intens berkirim pesan. "Istirahat bentar lagi. Lo nggak harus liatin Iel segitunya kali, Nad." Kevand kembali menegurnya. "Ya elah. Berisik amat, lo! Sana liat ke depan. Ntar kena tegur mampus!" "Baik, anak-anak. Untuk hari ini cukup. Ada yang ingin ditanyakan?" Seluruh kelas menjawab serempak tidak yang membuat gurunya mengangguk dan merapikan bukunya untuk segera meninggalkan kelas. "Iel, mau makan apa?" tanya Nada saat satu persatu teman-temannya keluar kelas. Iel yang semula menatap ponselnya itu kini menatap Nada. "Aku bawa bekal, kok." jawab lelaki itu sambil mengeluarkan kotak bekalnya dari dalam tas. "Bibi yang buatkan?" Pertanyaan retoris yang harusnya tidak Nada tanyakan. Karena, mana mungkin ibu Iel yang memasak bekal tersebut. "Hmm..." balas Iel. "Kamu makan aja dulu. Nanti, kita ngobrol lagi." Mau tidak mau, Nada mengangguk dan menarik Kevand yang masih duduk di kursinya sambil menggambar tidak jelas di bagian belakang bukunya. "Ayo jajan!" "Lah? Gue kira lo sama Iel?" "Iel bawa bekal. Sekarang, gue laper banget. Ayo cepet!" "Sabar elah, Nad!" Pemandangan tersebut tak luput dari pandangan Iel yang kini tengah makan sambil sesekali melihat ponselnya. "Iel, aku ke kantin dulu, ya." "Iya." "Lo ngerasa aneh gak sih sama Iel, Kev?" tanya Nada saat keduanya sudah keluar dari dalam kelas. "Anehnya?" "Ditanya malah balik nanya. Maksud gue, lo ngerasa nggak, sih kalo Iel nyembunyiin sesuatu dari gue?" "Jangan kebiasaan nuduh orang!" Iel mendorong pelanggan dahi Nada. "Gue nggak nuduh. Cuma agak curiga aja." "Itu tuh. Bahan overthinking. Ntar lo nangis-nangis. Padahal, nggak ada yang aneh. Lo bikin asumsi sendiri, dipikirin sendiri. Nangisnya ke gue!" Nada hanya memutar bola matanya malas setelah mendengar jawaban Kevand. Pantas, sahabatnya itu gampang dibodohi oleh mantan kekasihnya. Pikirannya terlalu positif dan tak pernah menaruh curiga barang sedikitpun kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri. "Gue nggak niat overthinking, ya. Cuma kalo diliat-liat emang bikin kepikiran." "Itu namanya overthinking, oon! Bodo amat lah! Lo mau makan apa?" Kevand mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau Nada berpikir terlalu jauh. "Batagor biasa. Minumnya es teh lemon banyakin esnya." "Es terooos!" Nada hanya mencebik kesal saat Kevand meledeknya. Gadis itu memilih untuk mencari tempat duduk untuk mereka berdua. "Nada tuh bukannya pacar Iel gak sih?" "Iya. Tapi kok dia sama Kevand mulu, ya?" Sayup-sayup, Nada mendengar orang membicarakannya. "Kayaknya, Kevand putus sama Mikha juga gara-gara dia, ya. Secara, mereka lengket banget. Siapa yang nggak cemburu, coba?" "Iya, ya. Kita lihat aja, bentar lagi juga Nada udahan sama Iel." Nada hampir berdiri dan menghampiri orang tersebut kalau saja Kevand tidak datang dan menahan tangannya. "Kagak usah didengerin. Orang lain kan bukan kita. Mau mereka ngomong apa aja hak mereka. Tapi, kalo kita nggak begitu, gak usah marah." Kevand bicara selembut mungkin. Ia tidak ingin emosi Nada semakin naik. "Nad, jangan diaduk-aduk doang, dong." Kevand yang semula fokus pada makanannya, terusik dengan bunyi garpu yang terus beradu dengan piring di hadapannya. Nafsu makan Nada benar-benar hilang setelah mendengar perkataan orang yang entah siapa itu. Padahal, sebelumnya ia sudah lapar. "Gue ke kelas aja, deh." Namun, lagi-lagi Kevand menahan lengan Nada. Lelaki itu tak membiarkan sahabatnya beranjak sebelum makan. Kevand tahu kalau Nada memiliki gangguan lambung dan bahaya kalau perutnya dibiarkan kosong. "Lo nggak bisa pergi sebelum makan." Nada berdecak dan kembali duduk. Memaksa makanannya masuk ke dalam mulut meski perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. "Gue bilang jangan dipikirin, Nad." "Gue gak mikirin!" balas Nada sambil mengunyah. "Jangan makan sambil ngomong!" Kevand hanya menggeleng saat melihat Nada yang kini sangat lahap menyantap makanannya. Padahal, beberapa waktu lalu sahabatnya itu mengatakan tidak nafsu makan lagi. Berteman dengan Nada sejak lama memang membuatnya begitu hafal dengan tabiat sang sahabat. Maka dari itu, Kevand seperti membuat keseimbangan di antara mereka berdua. "Udah habis. Ayo ke kelas." "Bayar dulu." perkataan Kevand menghentikan langkah Nada. "Perhitungan banget, lo! Nih!" Nada mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam sakunya. "Nah gini. Jangan kebiasaan dibayarin gue." kekeh Kevand. Gurauan mereka lagi-lagi tak lepas dari tatapan siswa-siswa yang berada di kantin. Kevand tahu itu. Sebentar lagi, pasti akan ada yang menggunjing mereka seperti tadi. Maka dari itu, Kevand segera menarik lengan Nada agar menjauh dari kantin sebelum Nada mendengar apa yang tidak harus didengarnya. Perasaan Nada sudah mulai membaik. Kevand tidak ingin Nada lebih marah dari sebelumnya. "Sibuk banget, Iel?" tegur Nada yang baru saja masuk ke dalam kelas dan mendapati sang kekasih sangat sibuk dengan ponselnya. "Mama nanyain aku gimana. Padahal, aku udah oke, kok." Nada mengangguk paham. Mungkin benar apa yang Kevand katakan sebelumnya, ia hanya berpikir terlalu jauh. Tak ada yang harus dikhawatirkan. Iel yang sendiri di rumah tentu dikhawatirkan orang tuanya dan harus selalu mendapatkan kabar. "Duduk, Nad. Bel udah bunyi, tuh." Nada kembali mengangguk. Padahal, ia masih ingin mengobrol dengan Iel. Tetapi, bel masuk sudah menginterupsinya. Jadi, terpaksa ia harus kembali ke tempat duduknya. Nada memutar tubuhnya menghadap ke arah Kevand yang lagi-lagi sibuk menggambar. "Ternyata bener, gue aja yang overthinking. Iel kan harus kabar-kabaran terus sama mamanya." ucapnya pelan. "Gue bilang juga apa? Lo kebanyakan curiga, sih." Percakapan keduanya terhenti saat guru memasuki kelas. Hanya sekedar memberikan pengumuman kalau akan diadakan rapat dadakan. Jadi, kegiatan belajar mengajar tidak dilanjutkan hari ini. Nada yang memang kurang bersemangat belajar hari ini hampir saja bersorak kalau saja Kevand tidak menahannya. "Gue terlalu bersemangat buat leyeh-leyeh." tawa Nada pelan. Namun, sebelum itu, Nada bertanya kepada Iel terlebih dahulu. Apakah kekasihnya itu akan dijemput atau tidak. Kalau tidak, Nada akan meminta Kevand mengantar Iel terlebih dahulu. "Iel, kamu dijemput, gak?" "Dijemput, Nad." "Ya udah, ayo." Nada membantu Iel berdiri yang membuat sang kekasih tertawa. "Kakiku nggak kenapa-napa, Nad. Yang sakit kan tangannya aja. Aku gak apa-apa." Seperti biasa, Nada dengan keras kepalanya tetap menunggu jemputan Iel datang yang sebenarnya sudah diminta pulang terlebih dahulu oleh sang kekasih. "Kamu pulang sama Kevand kan, Nad? Kasihan dia kalo nunggu lama. Aku nggak masalah kok di sini sendiri. Jemputanku sebentar lagi datang, kok." "Ah, nggak. Kevand fine-fine aja tuh nunggu. Kamu lagi gini. Aku tunggu sampe jemputan kamu datang." Nada bicara Nada yang terdengar lucu membuat Iel tersenyum dan mengacak puncak kepala gadis itu. Membuat sang empunya salah tingkah dan pipinya memanas. Di mana Kevand? Lelaki itu tentu memilih menunggu di kantin daripada melihat drama picisan sang sahabat. Juga, tidak ingin mengganggu keduanya. "Eh, sorry." Kevand terperanjat saat punggungnya tertabrak oleng seseorang. Ia juga merasakan punggungnya basah. Ternyata, orang yang menabraknya itu menumpahkan minumannya ke punggung Kevand. "Sorry banget. Nggak sengaja." Perempuan yang menabrak Kevand itu berkali-kali meminta maaf dengan wajah tertunduk. Kevand bisa melihat betapa takutnya gadis di hadapannya itu. "Lain kali hati-hati, ya." Hanya itu yang Kevand katakan dan sontak membuat gadis itu mengangkat kepalanya. "Lo nggak marah?" "Jadi, lo mau gue marah?" Gadis itu menggeleng dan segera beranjak dari sana. Jalannya sangat cepat sehingga membuat Kevand tertawa. "Awas nabrak orang lagi di depan!" teriak lelaki itu sambil mengibaskan seragamnya yang basah. Ia melihat ponselnya yang menunjukkan pesan dari Nada yang mengajaknya untuk segera pulang. "Lho, ini punggung lo kenapa?" tanya Nada. "Ketabrak orang di kantin. Ayo balik." "Lah? Siapa yang nabrak? Dia ngebully lo? Atau gimana?" Nada memberikan pertanyaan bertubi-tubi yang membuat Kevand tertawa. "Bukan! Cewek yang nabrak. Kayaknya dia buru-buru gitu, sih." "Ya elah. Pantes lo cengar cengir. Ternyata yang nabrak cewek. Cantik, ya?" goda Nada. "Nggak terlalu merhatiin, tuh. Ayo lah, balik!" "Ih lo belum cerita. Siapa? Anak kelas berapa? Lo kenal, gak?" "Kepo amat lo! Gue nggak kenal, beneran. Nggak gitu jelas juga." "Kan lo bisa liat name tagnya." "Kurang kerjaan banget gue liatin name tag orang?" Nada masih terus menggoda Kevand sepanjang perjalanan pulang. Siapa tahu, perempuan itu bisa membuat Kevand benar-benar move on dari mantan kekasih tidak tahu diri itu. Ya, harus lebih baik juga tentu saja. Nada tidak ingin sang sahabat jatuh ke lubang yang sama lagi. Baru kali ini, Nada menolak ajakan main dan memilih tidur saja. Bukan tanpa alasan, Nada merasa energinya hari ini benar-benar menipis. Jadi, ia memilih tidur dan mematikan ponselnya agar tidak mengganggu tidur siangnya di hari sekolah yang biasanya begitu sibuk. Kesempatan langka yang tidak bisa Nada lewatkan. Sepertinya, Nada memang benar-benar kelelahan karena ia tidur sampai sinar matahari tak terlihat lagi. Gadis itu mengucek matanya dan beranjak menuju kamar mandi. Setelah membersihkan tubuhnya, Nada mengecek ponselnya dan mendapati pesan dari sang ibu yang mengatakan akan telat pulang. Jadi, terpaksa Nada harus memesan makan malam sendiri. "Daripada gue pesen, mending beli sendiri ke depan. Sekalian jajan es krim." gumam Nada sambil mengambil jaketnya. Ia mengambil dompetnya tapi tidak dengan ponselnya karena harus diisi daya. Toh, ia juga hanya sebentar. Nada juga pergi menggunakan sepedanya. Karena, jarak penjual makanan tak jauh dari kompleknya. Sudah lama juga ia tidak bersepeda malam. Cuaca juga sepertinya cukup mendukung. Gadis itu mengayuh sepedanya dengan santai sambil memikirkan akan membeli apa. Karena, terlalu banyak makanan yang dijual dan aromanya selalu menggoda. Akhirnya, Nada memilih nasi goreng juga sate ayam yang aromanya lebih mendominasi di indera penciumannya. Ternyata, makan sendiri tidak terlalu buruk. Meski biasanya ia akan pergi bersama Kevand. Ibunya terlalu khawatir kalau ia pergi sendiri. Perutnya sudah terasa penuh. Tetapi, masih ada beberapa makanan yang ingin Nada cicipi. Jadi, karena tak ada orang yang tahu, Nada bisa jajan sepuasnya. Tujuan terakhirnya adalah minimarket. Nada ingin membeli beberapa mie instan karena stok di rumahnya habis. Juga es krim yang sudah terbayang di pikirannya sejak tadi siang. Setelah membayar, Nada langsung memakan es krim tersebut sambil duduk di bangku yang disediakan oleh pihak minimarket. Cuaca tidak mungkin berubah cepat, kan? Jadi ia bisa santai-santai dahulu. Tak ada yang mengusiknya sampai Nada melihat sebuah mobil yang cukup familiar terparkir di depan sebuah ruko yang sudah tutup. Ia berjalan perlahan ke arah mobil tersebut sambil tetap memakan es krimnya. "Ini kan mobilnya Iel?" gumam Nada karena ia hafal betul plat nomor mobil sang kekasih. "Dia mau beli apa, ya?" Nada kembali bermonolog. Gadis itu mencoba melihat ke kaca mobil yang memang tidak begitu buram. Niatnya, ia ingin bertanya sedang apa kekasihnya di sini. Namun, gerakan tangannya terhenti saat melihat apa yang terjadi di dalam mobil tersebut. Nada yakin kalau itu adalah Iel karena tangannya yang masih menggunakan gips. Tangan kanannya yang baik-baik saya itu digunakan untuk menahan tengkuk seseorang yang berada di balik kemudi. Tubuh Nada membeku sampai setetes air mengenai kepalanya. Ya, hujan. Air turun dengan cepatnya membuat Nada berlari kembali ke pelataran minimarket di mana sepedanya berada di sana. Hujan turun dengan derasnya. Menjebak Nada yang kedinginan sendiri di depan minimarket dengan es krim yang hampir mencair di tangannya. Matanya memanas saat mengingat apa yang dilihatnya tadi. Nada tidak ingin menangis di tempat umum. Jadi, ia melampiaskan kesedihannya dengan menghabiskan es krimnya sebelum benar-benar mencair. Nada bahkan membeli kembali satu buah es krim demi menemani dirinya yang terjebak hujan. Nada tidak boleh menangis. Itu yang terus ia gumamkan. Sialnya, hujan tak kunjung berhenti sampai es krim kedua Nada habis. Karena tidak ingin terlalu larut, Nada memilih untuk menembus hujan yang masih cukup deras itu. Tidak peduli dengan keadaannya esok hari. Nada berjalan pelan sambil menuntun sepedanya di bawah guyuran hujan. Kali ini, ia tidak bisa menahan air matanya. Nada menangis di bawah guyuran hujan. "Sakit!" Nada memukul dadanya dengan sebelah tangan. Tubuhnya menggigil karena guyuran hujan berpadu dengan angin malam. Nada tidak bisa mempertahankan dirinya dan jatuh tetap di depan gerbang rumahnya. "NADA!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD