Lyora masih saja terpana seraya memandangi pintu kamarnya. Ia berharap jika Leonard akan kembali mendatangimya. Walau ia tahu jika itu adalah suatu hal yang mustahil. Kini Lyora sedang tersenyum-senyum sendiri dan masih saja memandangi kedua bahu yang sempat dirungkuh oleh Leonard.
"Beruntungnya perempuan yang jadi istrinya Pak Leon. Gak pernah absen dikasih bunga mawar yang cantik itu. Andai aja dia masih single dan tadi dia kesini emang jengukin gue.
"Bukan karena mau ketemu sama Mas Andy. Happy banget kali ya gue. Eits, mikir apa sih lo Ra! Sadar dong Ra sadar! Siapa lo siapa dia!" monolog Lyora seraya memukuli pipinya yang mulai memerah.
Sedangkan Leonard juga sedang tersenyum-senyum sendiri seraya memandangi sebucket bunga mawar ditangannya. Sebab ia kembali mendapatkan sebuah kenyamanan dikala ia dekat dengan Lyora. Namun dikala ia kembali teringat soal sang Mama yang begitu jahat juga selalu saja egois kepadanya. Membuat senyuman manis itu memudar seketika.
"Hadeuh Leon! Ngapain juga sih lo jadi mikirin perempuan itu! Semua perempuan itu sama Yon! Mereka semua egois dan selalu ingin memang sendiri! Stop save she on your mind! Stop it please! Lo gak mau kan hati lo kembali sakit hanya karema seorang wanita!" Umpat Leonard yang kembali merasa frutrasi.
Semenjak Papanya pergi dan sikap Mamanya berubah drastis kepadaya, memang cukup memengaruhi dirinya untuk dapat bersikap baik kepada perempuan. Sebab Leonard selalu saja berpikir jika setiap perempuan pasti memiliki berbagai kepribadian yang sama. Yakni egois, selalu merasa benar, juga selalu ingin menang sendiri. Sehingga hal itu begitu sulit membuatnya membuka hati kepada wanita apalagi dapat mencintainya dengan penuh ketulusan.
***
Kini waktu menunjukan pukul 5.30 WIB. Lyora baru saja selesai solat Subuh. Lyora lirik diponselnya tak ada satu pun pesan masuk atau panggilan dari sang Oma. Yang menandakan jika Omanya memang benar-benar sudah tak peduli lagi kepadanya. Airmata Lyora kembali mengalir begitu saja. Kembali merasa kesepian bagai hidup sebatang kara. Namun saat ini, Lyora sudah merasa jika keadaannya jauh lebih membaik. Dan ia berharap, jika hari ini dokter akan mengijinkannya untuk lembali pulang.
"Usia gue udah duapuluh lima tahun sekarang. Tapi selama enam belas tahun ini, bukan waktu yang cukup untuk Oma bisa memgubur kesedihannya dan maafin gue. Gue harus apa ya, gue harus gimana biar Oma bisa ikhlas menerima kepergian Papa.
"Gue gak tau gimana jadinya nanti kalau sampai akhir hayatnya Oma, Oma gak bersedia maafin gue. Hiks..hiks.." tangis Lyora kembali pecah disetiap ia teringat tentang kenyataan hidupnya yang dirasa begitu pahit. Ia juga tak mampu lagi menanggung dosa jika memang benar sudah tak ada jalan lagi agar Oma bersedia memaafkannya. Hingga kini, hanya foto Lyora saat duduk dibangku kelas tiga sekolah dasar yang tengah memegang piala juara kelas bersama Mama dan Papanya yang selalu saja menjadi penyemangat dirinya.
"Ma, Pa, andai Mama dan Papa masih ada. Mungkin kenyataannya gak akan seburuk ini. Aku ingin segera susul Mama sama Papa. Aku ingin bisa bahagia sama-sama lagi seperti dulu. Aku sedih disini Ma, Pa. Udah gak ada lagi orang yang menyayangi aku seperti Mama dan Papa. Hiks..hiks.." lanjut Lyora lagi.
To..tok..tok..tok..
"Silahkan masuk," ucap Lyora seraya menyeka airmatanya.
Ternyata ada seorang suster yang mengantarkan sarapan juga obat yang kini memasuki ruangannya.
"Terimakasih banyak ya sus," ucap Lyora seraya tersenyum.
"Iya Mbak sama-sama," jawab suster yang juga tersenyum.
"Oh iya sus, hari ini dokter yang akan memeriksa saya datang jam berapa ya?" tanya Lyora.
"Kurang lebih jam tujuh pagi Mbak," jawab suster.
"Oh gitu. Oke sus terimakasih ya," ucap Lyora.
"Iya Mbak sama-sama. Saya permisi," jawab suster dan Lyora hanya mengangguk seraya tersenyum.
Dengan malas Lyora kembali memakan sarapan paginya. Karena saat ini, apa yang ia rasakan masih saja hambar. Juga nafsu makannya yang belum sepenuhnya kembali. Sehingga begitu sulit bagi Lyora untuk menelan setiap suapan makanannya.
***
Leonard kembali sibuk dengan pekerjaannya. Pagi ini ia berangkat lebih awal sebab ada beberapa dokumen yang tertunda belum ia tandatangani. Ketika sarapan ia kembali mendapatkan tekanan dari sang Mama. Yang lagi-lagi menuntutnya untuk segera mengenalkan sesosok calon istri padanya. Atau mengajaknya untuk melamar perempuan pilihannya. Sebab kini sudah memasuki minggu terakhir sebelum ia genap tigapuluh tahun.
Mama semakin menekankan hal itu kepada Leonard sebab jika diusia Leonard genap tigapuluh tahun ia belum juga menikah. Maka bukan hanya Leonard yang akan kehilangan segala aset miliknya. Namun juga Mamanya yang akan kehilangan setengah aset miliknya untuk dapat disumbangkan ke panti asuhan yang telah ditunjuk oleh Papanya.
"Aku pengin bisa sarapan dengan tenang Ma. Jadi aku mohon jangan bahas itu saat ini juga. Aku capek Ma! Aku bosan dengarnya!" ucap Leonard penuh penekanan disetiap katanya.
"Kamu pikir Mama gak capek hah? Kamu pikir Mama gak bosan! Mama juga sudah terlalu muak mengingatkan kamu soal hal ini! Kamu ini tampan dan mapan! Jadi apa sulitnya untuk kamu dapat menemukan seorang wanita yang kamu cintai dan segera menikahinya!" bentak Mama dengan nada tinggi.
Prang..
Leonar banting sendok dan garpu yang kini berada ditangannya seraya menatap Mamanya dengan tatapan yang begitu tajam juga seakan menusuk.
"Mungkin bagi Mama hal itu simpel juga mudah Ma. Tapi bagi Leon hal itu adalah hal yang paling sulit dalam hidup Leon! Karena Mama yang sudah buat Leon benci sama perempuan. Dan karena Mama juga yang sudah didik Leon hidup tanpa cinta dan kasih sayang! Sehingga saat ini Leon gak pernah mengerti apa itu arti cinta!" bantah Leon dengan penuh penekanan disetiap katanya seraya ia berlalu begitu saja.
"Leon tunggu Leon.. Leon.. Leon.." pekik Mamanya seraya mengekori langkah Leon yang cukup lebar. Namun sayang leon tak mengindahkannya dan ia tak mampu mengejarnya. Hingga kini Leon mulai memasuki mobilnya dan mengemudikannya dengan kecepatan yang cukup tinggi.
Setiap kata-kata Leon kini terus saja terngiang ditelinga Mamanya. Entah mengapa ada rasa bersalah sebagai seorang Ibu yang tak pernah menyayangi juga mengasihi putranya. Namun jika mengingat peristiwa itu, Mama tak pernah merasa bersalah. Justru ia merasa puas karena telah berhasil membuat seorang putra yang teramat ia benci menjadi tersiksa juga tak pernah mendapatkan kenyamanan didalam hidupnya.
"No no no no no! No... ngapain juga kamu mengasihani anak yang sudah menbunuh Papanya sendiri! No ... no!" monolog Mama yang kini sedang merasa begitu frustrasi juga tak ingin menyalahkan dirinya atas apa yang telah terjadi.
***
To be continue