Beautiful Wound | 9

991 Words
“Rania.” Teriak Akira melihat anak gadisnya jatuh terduduk, bahkan Keanu pun ikut menghampiri Rania dengan raut khawatir yang begitu tercetak jelas di wajahnya, begitu juga dengan Aksa dan Kirana, mereka langsung menghampiri gadis yang masih terduduk di lantai marmer itu.                   “Rania. Kirania.” Keanu mengguncang-guncang tubuh anaknya, saat gadis itu tidak merespon ucapannya, Akira dan Kirana sudah terisak, mereka memeluk Rania, namun gadis itu belum memberikan respon, hanya bisa meringis sakit di balik rambut yang menutupi wajahnya.                   “Bunda.. Ayah... Kirana.” Panggil Rania, setelah berjuang melawan rasa sakit yang semakin hari semakin menyiksanya itu, akhirnya Rania berhasil mengumpulkan tenaganya untuk kembali membuka matanya dan mengukir senyum. Meyakinkan pada mereka jika dirinya baik-baik saja. “Aku baik-baik saja. Percayalah.” Rania tersenyum dan perlahan bangkit, namun tatapan dari ke empat manusia itu tidak yakin sama sekali. Mereka benar-benar meragukan Rania jika gadis itu baik-baik saja. “Aku harus ke kantor sekarang.” Rania sekali lagi tersenyum meyakinkan mereka.                   “Tidak. Kau tidak boleh ke kantor hari ini, Bunda akan mati karena mengkhawatirkanmu, kau harus dirawat, wajahmu begitu pucat, sayang.” Akira menggenggam, meremas tangan Rania berharap anak gadisnya itu menuruti permintaannya.                   “Bunda, aku baik-baik saja. Astaga aku sangat bahagia Bunda begitu mengkhawatirkanku.” Rania serta merta memeluk Akira, baru kali ini Akira begitu mengkhawatirkannya, namun perkataan Rania tadi begitu menohok Akira, menyadarkannya akan kenyataan pahit itu, jika selama belasan tahun Rania tak pernah mendapatkan kasih sayang itu, yang ia dapatkan hanya makian dan amarah kedua orang tuanya, membuat Keanu yang melihat dan mendengar itu dari putrinya juga meneteskan air mata.                   Rania yang merasa bahunya basah, langsung melepaskan pelukannya dengan Akira, dan ia seolah tersadar jika perkataannya tadi bukanlah sesuatu yang harus ia katakan, bahkan ia melihat setitik air mata yang menggenang di mata ayahnya.                   “Bunda. Maaf, aku tidak bermaksud..”                   “Tidak apa-apa sayang. Bunda tidak tersinggung sama sekali.” Akira tersenyum dan merapikan anak rambut Rania.                   “Istirahatlah di kamarmu.” Ujar Keanu yang terdengar lebih pada sebuah perintah, membuat Rania segera menghampiri pria paruh baya yang paling ia idolakan itu.                   “Ayah. Pekerjaanku di kantor banyak, aku bukan karyawan baru di sana, aku hanya dipindah tugaskan untuk cabang di Jakarta. Dan jika hari ini aku kembali tidak masuk, aku tidak bisa membayangkan setinggi apa berkas-berkas yang harus kuperiksa dan aku analisis.” Rania mengiba dengan tatapan memohon, agar Keanu memberinya ijin.                   “Biar Rania berangkat bersamaku, Om.” Suara bariton itu membuat Rania menoleh, dan menatap dengan pandangan bertanya ke arah Aksa.                   “Aku akan mengantarnya setelah mengantar Kirana.” Ujar Aksa lebih jelas dan tak terbantahkan.                   “Ahh tidak perlu Aksa, aku bisa terlambat, aku akan berangkat sendiri.” Terlambat bukan alasan utama yang menolaknya menerima ajakan Aksa, ia perlu waktu untuk menata hatinya dan bagaimana seharusnya ia bersikap pada Aksa dan juga Kirana, dan juga ia harus berkompromi dengan hatinya, menerima satu fakta jika kedua manusia itu akan segera bertunangan.                   “Kalau begitu, aku akan berangkat dengan Ayah, biar Aksa mengantarmu saja, bukankah kantor kalian juga searah?” Kini justru suara Kirana yang menggagalkan rencananya. Mau tidak mau ia mengangguk saat tak ada lagi alasan yang bisa ia katakan untuk menolak ajakan Aksa.                   “Sa, kau harus menjaga saudaraku baik-baik, awas saja jika ia lecet walau hanya sejengkal, aku akan membuat perhitungan denganmu.” Suara Kirana yang dibuat galak membuat Aksa tertawa dan mengacak rambut gadis itu, sedangkan Rania mengalihkan fokusnya pada hal lain, tak ingin hatinya tahu lebih jauh apa yang dilakukan sepasang kekasih itu.   ***                   Mobil BMW metalic itu melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan kediaman keluarga Ravindra. Dua manusia yang berada dalam mobil tersebut masih saling terdiam, hingga sang pria membuka suaranya untuk menanyakan keadaan gadis yang duduk di sampingnya dengan pandangan kosong.                   “Rania, kau yakin baik-baik saja?” Tanya Aksa , raut khawatir begitu kentara pada wajah pria tampan itu.                   “Seperti yang kau lihat Aksa.” Rania tersenyum menatap Aksa, ia tahu, memang inilah yang seharusnya ia lakukan, menghindari pria itu bukanlah cara menyelsaikan masalah, bagaimana pun ia harus menghadapi kenyataan dan menguatkan hatinya untuk menerima fakta jika Aksa milik Kirana. Dan sebagai sahabat yang baik. Gadis itu masih berstatus menjadi sahabatnya bukan? Maka dari itu, sebagai sahabat yang baik ia akan mendukung apapun keputusan Aksa, sekali pun itu melukai hatinya sekali lagi.                   “Benarkah?” Tanya Aksa sekali lagi memastikan, walau hatinya kembali menghangat melihat Rania yang tersenyum ke arahnya dan gadis itu tidak lagi menghindari tatapannya, namun hatinya juga diliputi kecemasan melihat raut pucat yang masih tercetak di wajah Rania.                   “Ooh. Aku benar-benar baik-baik saja Aksa, berhenti mengkhawatirkanku berlebihan.” Rania terkekeh, dan membuka pintu mobilnya, tak terasa mereka sudah sampai di kantor Rania.                   “Rania.” Panggil Aksa menahan pergelangan tangan Rania saat gadis itu akan turun dari mobil.                   “Kenapa?”                   “Kau harus menghubungiku pertama kali jika kau tidak baik-baik saja. Seperti dulu.” Aksa menatap Rania dengan pandangan memohon, ia tidak ingin terjadi apa-apa pada gadis itu.                   “Ohk.” Rania tersenyum tipis dan keluar dari mobil itu, walaupun ia memutuskan untuk mendukung pria itu sepenuhnya, namun ia juga tidak ingin menyakiti hatinya lebih dalam dengan terlalu dekat dengan Aksa, bukannya ia ingin menjauhi Aksa, sampai kapan pun ia selalu menganggap Aksa sahabatnya walau hatinya menginginkan lebih dari itu, namun kini keadaan telah berubah dan ia harus mulai terbiasa dengan status Aksa, lagi pula, sekali pun Aksa juga mencintainya ia tidak yakin bisa memberikan kebahagiaan pada pria itu di masa depan.                     Masa depan? Sejak dua tahun yang lalu, ia telah melupakan masa depan dan cita-citanya termasuk menjadi istri dan mengurus anak, sejak kenyataan pahit itu menohok ulu hatinya, yang selalu ia lakukan hanya menjalani hari-harinya seperti biasa, seolah tidak ada apapun yang terjadi, dan ia tidak ingin memikirkan lebih jauh tentang hari esok, yang terpenting ia mendapat kebahagiaan di hari itu. Karena baginya saat memikirkan masa depan, selalu ada satu fakta yang menghantuinya jika masa depannya selalu dipenuhi dengan kematian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD