Beautiful Wound | 8

1090 Words
Pagi kembali menyapa, seorang gadis mengerjap- ngerjapkan kedua matanya, dan pening seketika menyerang kepalanya, ia berjalan tertatih ke kamar mandi, perutnya begitu mual, dan begitu tiba di wastafel, ia mengeluarkan seluruh cairan yang yang bergejolak di perutnya.                   “Huwek...Huwek...” Rania berpegangan pada ujung wastafel, tubuhnya begitu lemas, dan perlahan tubuh itu meluruh di lantai kamar mandi,  sakit mendera kepalanya, membuatnya menggigit bibir untuk menahan erangan yang akan muncul dari bibir ranumnya, dan sakit itu semakin menjadi, seolah ribuan jarum menusuk-nusuk di setiap pori-pori kepala gadis itu, Rania yang tadinya terduduk, kini sudah meringkuk di lantai layaknya bayi dalam kandungan, kedua tangannya menjambak rambutnya berharap rasa sakit itu segera menghilang.                   “Arrgghh....” Rania mengerang di ruangan dingin itu, ia merangkak, mencari sesuatu pada sebuah rak di atas bath up. Botol kecil yang selalu berisi tablet berwarna putih itu kini hanya tersisa tempatnya, isinya benar-benar tidak ada walau hanya satu butir.                   “Arrrgghh...” Lagi-lagi sakit itu kembali mendera kepalanya, membuat Rania mengerang dan melempar botol obat itu sembarangan. Dan tubuhnya kembali terjatuh di lantai dingin dengan tangisan tanpa suara yang sangat menyayat hati.                   Akira melihat satu persatu orang-orang yang disayanginya keluar dari kamar mereka dan menghampirinya. Menuju meja makan lebih tepatnya. Ia tersenyum melihat kedatangan Kirana yang baru saja keluar dari kamarnya, suasana hati wanita paruh  baya itu begitu bahagia pagi ini, setelah semalam tidur dengan anak gadisnya, dan pagi ini ia bangun lebih awal, melihat Rania yang tertidur di pelukannya, membuat hati Akira menghangat, dan pagi ini, ia berniat memasak makanan kesukaan Rania lagi, setelah tadi malam gadis itu hanya menyentuh s**u yang dibuatnya, tanpa menyentuh masakannya sedikit pun, namun Akira tidak merasa keberatan dengan itu, ia sangat senang bisa melihat kedua anaknya lagi, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menyayangi dan mencintai mereka dengan kasih sayang yang sama.                   “Pagi Bunda.” Kirana langsung mencium pipi Akira dan duduk di meja makan.                   “Apa Aksa tidak datang pagi ini? Biasanya ia menjemputmu untuk ke kampus dan sarapan di sini. Cepat telepon dia supaya bisa sarapan bersama kita.” Kirana mengangguk dan mulai mencari kontak Aksa di ponselnya, namun baru saja ia akan mendial nomor Aksa. Suara bariton yang sangat dikenalnya, membuatnya menghentikan kegiatannya.                   “Pagi ... Tante.” Aksa bersama Keanu yang baru memasuki dapur tersenyum pada Akira.                   “Sayang. Apa yang kau buat pagi ini?” Keanu menghampiri Akira dan mencium kening istrinya, sedangkan Aksa tersenyum ke arah Kirana dan segera duduk di samping gadis itu. Sejak mereka menjadi sepasang kekasih, Aksa tidak pernah absen untuk mengantar Kirana ke kampus, dan tak jarang pria itu selalu ikut sarapan bersama keluarganya.                   “Bunda membuat sayur asam dan ayam goreng favorit Rania.”                   “Benarkah? Lalu apa kau juga tidak membuatkan makanan kesukaanku?” Keanu pura-pura kesal, membuat Akira memukul pelan bahu suaminya.                   “Dan Bunda juga tidak membuatkan makanan kesukaanku. Jahat.” Kini Kirana mengikuti apa yang ayahnya lakukan, gadis itu berpura-pura kesal dengan bibir yang mengerucut membuat Akira dan Aksa terkekeh karenanya.                   “Astaga ~ Astaga, baiklah, nanti malam Bunda buatkan makanan kesukaan kalian, dan kau Aksa, datanglah nanti malam, Tante mengundangmu.” Aksa hanya mengangguk menanggapi perkataan Akira. Orang yang sebentar lagi akan menjadi ibu mertuanya. Mungkin.                   “Ohk? Dimana Rania?” Tanya Keanu menyadari anak gadisnya belum menunjukkan batang hidungnya, biasanya dulu Rania yang selalu bangun paling pagi, walaupun penampilannya yang terkesan urakan, namun untuk urusan dapur, ia menuruni sifat Akira yang pandai meracik bahan masakan menjadi makanan yang membuat lidah semua orang serempak akan mengatakan enak.                   “Ahh, tadi aku masih melihatnya tertidur begitu pulas, biar aku bangunkan.” Akira baru saja akan melepas apronnya, namun gadis yang sejak tadi menjadi bahan perbincangan itu telah muncul dengan kemeja polkadot yang dipadukan dengan peplum skirt.                   “Ahh maaf, aku kesiangan.” Rania tersenyum dan langsung duduk pada posisinya.                   “Tidak apa-apa sayang, sekarang makanlah, Bunda sudah membuatkan sayur asam kesukaanmu.”                   “Terima kasih, Bunda.”                   “Apa hari ini kau sudah mulai bekerja?” Tanya Keanu dan Rania hanya mengangguk, kemudian kembali menunduk, ia tahu Aksa tengah memperhatikannya, dan Rania belum bisa menatap mata pria itu, ia benar-benar tidak bisa, apalagi kini status Aksa yang merupakan calon tunangan saudara kembarnya, ia takut, takut jika melihat mata elang itu, rasa cinta dan rindunya akan semakin besar untuk Aksa, dan itu akan semakin menyakiti hatinya.                   “Rania wajahmu terlihat pucat. Kau baik-baik saja?” Tanya Kirana yang memperhatikan wajah Rania, membuat Rania gelagapan namun sedetik kemudian dia tersenyum.                   “Aku baik-baik saja Kirana, kau selalu berlebihan dengan segala hal. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir.” Rania tersenyum dan mengangukkan kepalanya berusaha meyakinkan Kirana, namun tidak dengan Aksa, pria itu justru semakin intens menatap wajah Rania, dan Aksa tahu jika gadis itu sedang berbohong dan tidak baik-baik saja.                   “Apa kau sakit sayang? Jika iya, jangan memaksakan dirimu untuk ke kantor hari ini, Bunda akan menelpon pihak kantor, untuk memberimu libur lebih panjang.” Kini raut wajah Akira yang terlihat cemas, dan tepat saat perkataan Akira berakhir, kepala Rania kembali mendengung sakit, gadis itu hanya bisa meremas ujung roknya, menundukkan kepalanya dan mengigit ujung bibirnya.                   “Rania.” Panggil Keanu karena sedari tadi Rania hanya diam saja, bahkan gadis itu tidak menjawab pertanyaan Akira. “Kau benar baik-baik saja?” Tanya Keanu memastikan.                   “Iya, Ayah. Tentu aku baik-baik saja.” Rania tersenyum dan mulai menyendok masakan buatan ibunya. Masakan yang selalu terasa nikmat di lidahnya itu kini terasa hambar, karena rasa sakit di kepalanya yang semakin menjadi, dia tidak bisa mersakan apapun selain rasa sakit itu. Mereka makan dalam diam, namun Aksa selalu menatap lekat ke arah Rania, memperhatikan setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh gadis itu.                   “Bunda, Ayah sepertinya aku harus berangkat.” Rania menyudahi sarapannya saat sakit di kepalanya semakin menjadi, ia tidak ingin pingsan di hadapan keluarganya, bahkan ia sendiri masih belum siap untuk menghadapi kenyataan yang seolah mencekiknya setiap waktu.                   “Benarkah? Baiklah hati-hati.” Rania menghampiri Akira dan Keanu, mencium pipi keduanya, kemudian beralih pada Kirana.                   “Kirana, aku pergi.” Rania tersenyum dan dibalas anggukan oleh Kirana yang masih sibuk dengan makanan di mulutnya.                   “Aksa, aku duluan.” Ujar Rania melangkah meninggalkan dapur, baru saja ia sampai di pintu dapur, kakinya gemetar, keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, dan rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak tumbang di hadapan keluarganya.                   ‘Kumohon jangan di sini.’ Rania meringis sakit, namun sepertinya tubuh itu benar-benar tak lagi bertenaga dan tak mampu lagi menahan rasa sakit, hingga akhirnya Rania jatuh terduduk dengan mencengkram erat kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD