3. Drama Keluarga Satya

2539 Words
Kejadian di kantin tadi memang tidak bisa dilupakan oleh Fela. Bahkan otaknya ngeblank saat pelajaran matematika--Bu Ajeng. Baru kali ini dalam sejarah, seorang Fela dimarahi oleh Bu Ajeng karena melamun sendiri saat diterangkan beberapa materi baru di pelajaran yang diajarnya. Ninis yang merupakan teman sebangkunya hanya bisa diam sembari geleng-geleng kepala saja. Fela seperti ini pasti karena efek kejadian di kantin tadi. Bagaimana bisa seorang Kalingga--Kakak kelas yang selama ini terkenal badungnya itu tiba-tiba tertarik untuk mencari keributan dengan Fela? Dan, bagaimana bisa Wira--sosok lelaki yang selama ini tidak pernah absen Fela curhatkan pada Ninis, menghampirinya untuk membela kala Fela dihampir saja dirundung oleh Kalingga? Benar-benar hoki Fela hari ini. Tidak ada yang menyangka bahwa kejadian tak terduga ini bisa menimpa. Garis bawahi, ini Wira hloo.. Kakak kelas yang selama ini tidak pernah memberikan respon lebih pada Fela! Padahal seperti yang kalian ketahui, keduanya kerap bertemu dalam satu ruang olahraga--tempat latihan karate yang dibimbing langsung oleh ayah Wira--Pak Wijaya. Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Pelajaran matematika dijam akhir seperti ini memang menjadi ujian tersendiri. Beberapa kali Fela--sebagai ketua kelas yang bertanggung jawab sepenuhnya pada kondisi kelas yang dipimpinnya, berusaha mengajukan pada guru pembuat jadwal kelas agar meletakkan pelajaran tersebut di awal jam pelajaran. Namun hingga kini belum ada perubahan. "Baru kali ini gue lihat Bu Ajeng tanduknya keluar buat nyeruduk lo," sindir Ninis saat semua teman-teman sudah asyik dengan berkemas dan segera pulang ke rumah masing-masing. Full day school memang sudah mereka jalani semenjak duduk di bangku kelas satu SMA. Sehingga pulang sore pun sudah biasa. Fela yang tengah memasukkan buku-bukunya hanya melirik Ninis sekilas. "Heran. Kok tadi Mas Wira bisa ada di sana ya? Apa jangan-jangan dia selama ini diam-diam awasin aku? Jangan-jangan!" "Apa!? Lo semangat banget ya kalau udah bahas Kak Wira, Fel. Kalau Bu Ajeng tahu, nangis dia. Lo kacangin beliau. Padahal selama ini lo murid kesayangan beliau!" "Isssh nggak usah bahas Bu Ajeng lagi! Jamnya sudah habis. Oh ya, Nis. Kamu tahu nggak penggemar rahasia?" Ninis mengangguk meski pun ia masih ragu dengan apa yang dimaksud Fela barusan. Selama SMA memang perihal percintaan belum pernah mewarnai hari-hari Ninis. Gadis yang bersahabat baik dengan Fela itu memang terkesan menjauhi dunia perbucinan, akan tetapi ia pro untuk memberikan nasihat-nasihat untuk teman-teman yang sudah menjalin hubungan--pacaran, atau yang sedang berjuang, seperti Fela. Sudah menjadi hukum alam, jomlo selalu menjadi penasihat terbaik bagi yang memiliki pasangan! "Nah, jangan-jangan..Mas Wira penggemar rahasiaku!" seru Fela yang seketika membuat hening seisi kelasnya yang belum sepi teman-temannya itu. Krikk..krikkk.. Hingga tawa Ninis meledak dibuat-buat. Ia bahkan menepuk keras lengan Fela. Masih dengan tertawa Ninis berkata, "Lo kalau mau ngelawak, nanti gue kenalin sama teman kakak gue. Dia salah satu juri acara lawak yang di TV itu!" "Ha?" Fela yang masih tidak menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian hanya bisa melongo mendengar ucapan Ninis barusan. Sementara teman-teman satu kelasnya hanya membatin. Mereka baru menyadari bahwa selama ini, sosok lelaki yang membuat Fela jatuh hati tak lain dan bukan juga merupakan teman sefrekuensinya. Yakni teman ekstrakulikuler karate! Kakak kelas 12 MIA 1 yang terkenal karena segudang prestasinya di bidang olahraga. Menyumbang banyak sekali medali dan piala-piala kejuaraan karate. Benar-benar ambisius mengharumkan nama sekolahnya. Tapi teman-teman satu kelas Fela bukan tipe yang suka menggunjing atau bergosip. Paling hanya beberapa, sehingga setelahnya mereka acuh dengan apa yang terjadi nanti dengan ketua kelas mereka--Fela. Saat Ninis masih mencoba membisikkan sesuatu bahwa Fela sempat membuat seisi kelas syok dengan ucapan ngawurnya tadi, Elvan berjalan mendekat pada keduanya. Ninis yang sadar dengan kehadiran Elvan pun mulai menetralkan kembali wajahnya yang kesal karena Fela tidak sadar dengan ucapannya yang memancing perhatian massa tadi. "Ada apa, Van? Ada perlu sama Fela?" tanya Ninis pada lelaki yang tengah tersenyum pada mereka berdua itu. Tak dapat dipungkiri, selama menjabat sebagai anggota OSIS SMA Bhintara Jaya, Elvan kerap berunding dengan Fela tentang kelas mereka. Maka dari itu, tidak ada salahnya pertanyaan Ninis barusan mengingat mereka tidak begitu akrab dengan Elvan. Terlebih Fela! Bagaimana ia bisa akrab dengan sahabat sepupunya yang selama ini seakan tidak menyukainya itu? Masih ingat Paula? Entahlah, sepupu Fela itu sepertinya masih dendam karena kejahilannya semasa kanak-kanak dulu. Tapi Fela bersikap tidak peduli. Ia sendiri juga tidak merasa hal tersebut merupakan sebuah kesalahan besar. Bukankah wajar bila anak-anak semasa kecil itu bandel dan usil? Seharusnya Paula tidak mengingat-ingat kejahilan Fela! Toh, keduanya juga sudah sama-sama beranjak dewasa kini. "Gue nggak salah dengar tadi, Fel?" "A--apa, Van?" Fela meringis. Benar kata Ninis! Sial. Ini semua karena bibirnya tidak bisa dikendalikan. Akhirnya terungkap kan siapa sebenarnya sosok lelaki yang disukai oleh Fela. "Lo suka sama Bang Wira?" "Huh? E--enggak--" "Iya! Kenapa? Bang Wira lo itu masih jomlo 'kan? Bilangin ke dia kalau selama ini ada yang diam-diam suka sama dia. Sumpah ya, gue gedek sama drama cinta dalam diam t*i ayam itu!" Ninis kesal. Kemudian ia mencangklong tas punggungnya, berjalan meninggalkan kedua temannya itu. Sudah dapat Fela tebak. Ninis terburu-buru karena ia hendak les renang. Ninis juga perenang yang hebat lho! Tidak salah, kelas Fela--kelas unggulan, banyak terdapat atlet-atlet di dalamnya. Mantap bukan? Tertarik? Silahkan siapkan otak dengan kapasitas kecerdasan. "Ninis lagi nggak sehat, Van. Makanya suka ngelantur gitu ngomongnya." "Tapi mata lo nggak bisa bohong, Fela.." "Kenapa? Mataku kenapa, Van?" "Lo suka benaran 'kan sama Bang Wira?" Fela menghela napasnya. Ia juga mencangklong tasnya, hendak pergi ke tempat latihannya dengan Pak Wijaya atau biasa ia panggil Sensei Jaya. "Kenapa memangnya? Salah ya kalau aku suka sama dia? Apa benar dia udah sama Kak Tisha?" "Jujur gue nggak tahu, Fela. Tapi, kalau lo suka. Perjuangin lah! Lagian bukannya kalian sudah saling kenal di tempat latihan. Lo bukan anggota baru di sana, Fel. Bahkan bisa dikatakan lo murid senior. Masa sama anak pelatih lo sendiri, lo nggak dekat atau bahkan akrab?" Elvan memang tidak mengerti dengan hubungan asmara atau semacamnya tentang kakak sepupunya--Wira. Karena selama ini pun kedekatan keduanya tidak seterbuka itu hingga membahas masalah percintaan yang notabenenya masalah pribadi yang menyangkut hati. Dengan polosnya Fela menggeleng. "Dia nggak kayak cowok pada umumnya, Elvan. Susah mau ngajak bicaranya. Yang ada malah canggung. Kalau aku bicara di tempat latihan sama Mas Wira, ya seperlunya. Kayak bahas tentang gerakan kata, atau kumite." Lelaki yang tengah berdiri di hadapan Fela itu terkekeh. Masih dengan kedua tangannya yang masuk ke dalam saku celana, Elvan mendekatkan dirinya pada Fela. "Ya gimana lo mau PDKT-an sama Abang sepupu gue, kalau yang kalian berdua omongin cuman soal kata sama kumite. Jelas jauh sama pembahasan perasaan, Fela." Melihat wajah polos Fela yang berubah mendung. Elvan seketika berkata, "Ya lo berjuanglah! Jangan bisanya cuman ngobrolin soal Bang Wira ke Ninis aja. Dia itu jomlo abadi, kasihan aja kalau tiap hari dengar cerita lo yang bucin itu." Keduanya kemudian terkekeh. Benar juga kata Elvan. Tapi Fela tidak peduli, ia akan terus mencurahkan isi hatinya yang semakin menjadi ini pada Ninis. Karena hanya Ninislah sahabat sejati Fela. "Gue duluan. Sepupu lo udah ngamuk-ngamuk kalau gue telat samperin kelasnya," pamit Elvan pada Fela. Baru saja Elvan hendak melewati pintu kelas mereka. Fela berseru, "Terjebak friendzone aja terus! Sampai kalian berdua patungan buat nabung gelar acara pelaminan!" Langkah Elvan sempat terhenti. Sebelum benar-benar meninggalkan kelasnya, anggota OSIS SMA Bhintara Jaya itu menyeringai. Ia justru dengan santainya membalas ucapan sepupu Paula itu, "Do'a-in aja!" "Ck..ck..ck..semoga sampai pelaminan berkat temanan terus! Aamiin." *** Tidak ada yang berubah bahkan sejak kejadian yang tak disangka-sangka oleh Fela itu. Di tempat latihan yang dimiliki oleh Pak Wijaya, keduanya masih berinteraksi seperti biasanya. Seolah tidak akrab, dan melupakan kejadian siang tadi di kantin sekolah. Terbesit sebuah ide cemerlang di benak seorang Fela Rajasa. Ia tidak akan lagi menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Toh, yang pertama kali memulai bukan Fela. Tanpa disadari oleh lelaki yang selama ini disukai oleh Fela itu, dirinyalah yang lebih dulu membukakan sebuah pintu harapan pada Fela. Masuk pun mungkin tidak masalah. Dengan keyakinannya, Fela membawa dua botol air mineral yang tadi sempat dibelinya di kantin sekolah sebelum pulang sekolah. Ia mendekat pada Wira. Kemudian mendudukkan dirinya di sebelah Wira yang tengah mengawasi anak-anak SD berlatih karate. Seperti biasanya, akan ada sesi-sesi. Biasanya, setelah senior berlatih, maka saatnya Pak Wijaya melatih anak-anak junior. Tentu saja hal tersebut dibantu juga oleh murid-muridnya yang sudah senior. Ada pula yang lebih memilih beristirahat di tempat duduk yang telah disediakan, sembari mengeringkan keringat sebelum mengakhiri latihan sore ini dengan sebuah pendinginan. "Ekhm.." ".........." Tak ada respon dari Wira. Matanya masih saja fokus pada sang ayah yang tengah melatih anak-anak kecil di depannya itu. "Mas Wira?" panggil Fela memberanikan diri. Dan, benar saja. Setelahnya Wira menoleh. Fela berpikir positif, mungkin saja tadi Wira tidak mendengar dehemannya karena suara 'kiai' anak-anak itu menggema di seluruh penjuru tempat berlatih karate ini. Tanpa menunggu jawaban dari Wira yang sepertinya hanya memberikan respon diam dan menaikkan sebelah alisnya. Fela langsung memberikan salah satu botol mineral yang dibawanya itu pada Wira. Dengan tersenyum ia memberikannya. "Untuk Mas Wira." Ajaibnya, lelaki di samping Fela itu tersenyum dan menerima pemberian Fela tersebut. "Terima kasih." "Sama-sama. Oh ya, terima kasih juga Mas Wira karena sudah menolong aku tadi waktu di kantin--" "Kebetulan gue lihat. Dan, gue nggak suka keributan di tempat umum. Kantin tempat umum 'kan?" Fela mengangguki pertanyaan Wira barusan. Meski pun rasanya kesal dengan sebuah penuturan yang keluar langsung dari bibir Wira bahwasannya lelaki itu hanya sebatas 'kebetulan'! "Tapi nggak apa-apa. Tetap saja, aku hutang budi sama Mas Wira." "Rajin latihan aja. Lo tahun ini turnamen nasional 'kan?" "Iya. Kok Mas Wira tahu?" Fela mulai antusias bertanya. Ada sedikit rasa percaya diri. Jangan-jangan, benar dugaannya. Diam-diam, Wira mengaguminya selama ini. Astaga, andaikan jalan cinta pertama Fela semulus itu.. "Emangnya Sensei Jaya cuman pelatih? Di rumah, beliau ayah gue." Hmmm, Fela salah menduga. Ternyata Wira tahu tentang turnamennya dari sang ayah. Lagian, untuk apa juga Wira mencari tahu tentangnya? Selama ini saja keduanya tidak akrab di tempat latihan. Apalagi di sekolah! Bertatapan langsung saja baru hari ini saat kejadian di kantin tadi. "Udah 'kan?" "Huh?" Fela mengalihkan pandangannya pada lelaki yang duduk di sampingnya itu. Mata Wira kembali menatap lurus ke depan. Dari samping seperti ini, ketampanan Wira tak berkurang sama sekali. Ciptaan Tuhan seindah ini, Fela hanya berharap bisa memilikinya. "Ya udah. Sana." "........" "Balik ke barisan, Fela. Senam pendinginan." Fela seketika berdiri dari duduknya. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu. Mengapa secanggung ini mencoba mengakrabi Wira? Dinding yang lelaki itu bangun begitu kokoh! Fela menghela napasnya karena masih belum bisa menghancurkan dinding pembatas itu. Mengesalkan memang.. Tunggu dulu. Tadi Wira memanggil Fela dengan menyebut namanya? "Mas Wira!?" Fela sudah berdiri di samping Wira kini. "......." "Tahu namaku?" "Murid kesayangan ayah gue. Sampai rasanya bosan dengar nama lo selalu disebut, Fel." Dengan rasa senang yang membuncah dalam dadanya. Fela mengulum senyumnya. Ia tak lagi menanggapi ucapan Wira karena Sensei Jaya langsung mengambil alih senam pendinginan sore ini, dikarenakan Senpai Dipta absen hari ini. Ia sibuk dengan acara kampusnya menjelang pemilihan anggota BEM. Sedangkan Senpai Wira, yap. Wira merupakan salah satu asisten ayahnya sendiri di tempat latihan ini. Maklum, sejak masih kecil pun ia sudah diajarkan untuk menguasai olahraga yang satu ini. Guna meneruskan warisan berupa ilmu yang dipunyai oleh ayahnya. Tetapi sayangnya, sore ini sepertinya Wira tidak ingin memimpin senam pendinginan. Entahlah..moodnya seakan uring-uringan. Pulang setelah menerjang hujan dan berlindung dibalik mantel ojek online, Fela bersin-bersin bahkan ketika baru saja memasuki rumahnya. Seusai ia mengucap salam, ia langsung diinterogasi oleh kedua orang tuanya yang tumben sekali sudah duduk berdua di ruang keluarga. "Kamu sakit, Fela? Kenapa tadi nggak telepon ayah saja? Kehujanan 'kan pasti. Sudah, kamu mandi. Mama siapkan teh hangat." "Fela pikir, ayah belum pulang Ma.." Satya melipat koran yang dibacanya. Ia kemudian berkata, "Kenapa nggak minta tolong Pak Wijaya antar pulang? Biasanya 'kan diantar meski pun nggak hujan, Fela.." "Yah, nggak enak dong. Masa nebeng terus. Lagipula, hari ini putranya--Mas Wira nggak bawa motor. Jadi pulang bareng ayahnya naik mobil." "Lha apa hubungannya sama putra Pak Wijaya?" Ayunda yang tahu betul situasi yang sebenarnya pun segera menyela, "Ya benar kata Fela, Mas. Nggak enak juga kalau nebeng sama pelatihnya." "Sekarang kamu bersih-bersih gih! Lain kali pesan taksi online saja kalau hujan, Fela.." pesan sang mama sebelum beranjak dari ruang keluarga tersebut untuk pergi ke dapur. Sebagai anak yang penurut, tentu saja Fela hanya mengangguk. Sebenarnya, tadi ia hendak memesan taksi online. Namun, ia urungkan karena pasti datangnya lebih lama. Sementara hari sudah mulai petang. Ia juga tak bisa menduga bila turun hujan. "Kehujanan, Kak?" "Hmmmm." "Aku kira kebanjiran..kaburrrrr!!" "Ihhh, Aksa!" "Fela! Aksa! Magrib-magrib nggak boleh ribut. Dengar suara azan." "Aksa, Yah. Nyebelin banget!" "Habisnya, Kak Fela pulang-pulang basah kuyup. Selesai latihan karate atau habis latihan renang sih!" Tawa Aksa pun meledak. Candaannya memang selalu membuat kepala Satya dan Ayunda geleng-geleng. "Diam." Fela menekankan pada kata tersebut sembari matanya melotot pada Aksa. Bermaksud agar adiknya itu takut padanya. Bukannya ketakutan, Aksa justru menjulurkan lidahnya guna mengejek sang kakak. "Aksa! Sini, kamu." Tegas Satya memasang wajah marahnya pada sang putra. Mendidik Aksa sejak dini merupakan suatu hal yang susah-susah gampang. Aksa sendiri tumbuh menjadi anak yang aktif dan semakin besar, semakin membutuhkan tenaga ekstra untuk mendidiknya. Tak jarang Satya akan bersikap tegas dan galak pada putranya itu. Berbeda dengan didikannya pada Fela dulu. Maklum saja, Fela anak gadisnya yang sejak kecil memang selalu bersikap manis. Bukan bermaksud membandingkan gender. Hanya saja, ia tak bisa selunak itu pada Aksa. Karena kelak, Aksa-lah penerusnya. "Syukurin!" gumam Fela kemudian berjalan menuju kamarnya. "Ada drama apalagi? Kalian berdua memang nggak pernah bisa anteng.." sahut Ayunda yang juga mendengar tanda-tanda keributan itu. Kedua anaknya memang selalu bisa menghidupkan suasana rumah. Tanpa ada salah satu di rumah tersebut, maka akan ada ketentraman. Misal, ketika Aksa menginap di rumah eyangnya. Maka rumah akan sepi. Begitu pun sebaliknya. Malam harinya, di meja makan setelah usai makan. Satya sudah tidak bisa lagi mengendalikan dirinya untuk tidak menasihati Aksa tentang sikap anak itu yang kurang sopan pada sang kakak. "Siapa yang mengajari bersikap tidak sopan begitu?" "Maksud, Ayah?" Aksa masih tidak menyadari kesalahannya. "Aksa minta maaf pada Kakak." "Nggak mau!" "Aksa.." lirih Ayunda yang sudah hafal betul bahwa eskpresi marah Satya kali ini bukan main. "Ya sudah. Besok uang jajan Aksa untuk Kakak semuanya!!" "Kok gitu, Yah!?" Fela hanya diam menyimak. Ia iba pada adiknya yang terkena imbas dari sikapnya sendiri itu. Sebagai kakak, mana tega ia menerima uang jajan sang adik. "Sampai kapan Aksa akan bersikap tidak sopan pada Kakak!? Ayah nggak suka ya, Aksa! Aksa itu adiknya Kak Fela, tidak pantas bersikap kurang ajar pada kakak sendiri! Selama ini Ayah diam, bukan berarti Ayah membiarkan. Ayah nggak suka lihat putra Ayah sikapnya urakan seperti anak jalanan." "Mas!" Ayunda mulai geram dengan ucapan Satya yang menurutnya kelewatan itu. Mau bagaimana pun juga, Aksa masih kecil. "Apa!? Kamu mau bela putra kamu itu!? Bela! Bela terus. Biar nanti dia makin urakan. Aku nggak suka ya Ay kalau kamu manjain dia! Aku nggak mau punya anak yang sikapnya nggak sopan begitu." Satya pun meninggalkan meja makan begitu saja. Sedangkan sebagai seorang ibu, Ayunda merasa sakit hati dengan ucapan sang suami barusan. Mengapa sebegitu kerasnya Satya meluapkan segala emosinya? Apa ada masalah lain yang membuat Satya langsung melampiaskannya pada anak-anak? "Ma, Aksa minta maaf ya? Mama jadi dibentak-bentak Ayah gara-gara Aksa nakal," kata Aksa menahan tangisnya. Kemudian ia juga berlari menuju kamarnya sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD