Merasa tidak tenang usai pertikaian di meja makan tadi. Diam-diam pukul sebelas malam, Fela menyelinap keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju kamar Aksa--sang adik, yang letaknya tidak jauh dari kamarnya. Perlahan namun pasti, niat Fela hanya ingin menghibur Aksa dan menguatkan Aksa. Sudah saatnya Aksa belajar memahami bagaimana didikan seorang ayah yang sebenarnya bagi anak laki-laki penerusnya kelak. Bukannya Fela tak tahu mengenai itu, tentu dengan adanya Aksa, sedikit banyak Fela tahu. Ayahnya berbeda dalam mendidik dirinya dahulu, dengan Aksa kini. Itu semua karena kelak Aksa-lah yang akan mewarisi perusahaan Satya. Fela tentu saja tidak berpikir untuk merebut posisi Aksa, karena menurutnya memang Aksa-lah yang pantas menggantikan posisi ayahnya kelak. Sementara dirinya hanya berusaha menjadi yang terbaik, entah dari segi karier, hingga sikap. Agar kelak Tuhan menghadirkan jodoh yang baik pula. Karena jodoh sejatinya cerminan diri.
"Aksa.." lirih Fela mencoba mengetuk pelan pintu kamar Aksa.
Tetapi sudah terhitung tiga kali Fela melakukannya dengan perlahan karena tak ingin membuat keributan sehingga memancing emosi sang ayah kembali. Tak sabar karena tidak mendapati sebuah jawaban dari Aksa, Fela pun mencoba peruntungan dengan membuka pintu kamar Aksa.
Ceklek..
Terbuka.
Tumben sekali adik laki-lakinya itu tidak mengunci pintu kamarnya.
"Aksa?"
Dilihatnya ternyata Aksa belum tidur. Apa yang dilakukannya malam-malam seperti ini. Bila ayah sampai mengecek kamar anak-anaknya, bukankah Aksa akan kembali mendapatkan hadiah? Dengan perlahan, Fela mendekat pada sang adik yang tengah duduk di karpet yang terletak di samping ranjangnya. Ia dengan beberapa stik es krim sepertinya tengah mengerjakan tugas prakarya.
"Ngerjain apa?" tanya Fela yang kini juga ikut mendudukkan dirinya di samping Aksa. Tubuhnya bersender di tepi ranjang, lelah mungkin karena sejak pulang dengan kondisi hujan-hujanan tadi..Fela belum sempat mengistirahatkan badannya.
Bagaimana ia mau istirahat bila keluarganya baru saja bertengkar?
"Kerajinan."
"Kerajinan apa? Kakak bantu ya? Biar cepat selesai. Ini sudah jam sebelas malam lhoo..untung saja ayah nggak ke sini."
Aksa mengangguk.
Fela pun mulai membantu sang adik yang tengah mengerjakan prakarya dengan bahan dasar stik es krim. Rencananya stik es krim ini akan disusun sekreatif mungkin membentuk sebuah mobil-mobilan. Sementara untuk rodanya, Aksa mengambil roda bekas mainan mobil-mobilannya. Tinggal dirakit-rakit dengan bantuan lem dan juga tali saja. Semua beres dengan cepat karena bantuan Fela yang begitu telaten. Memang bila soal kerajinan, tangan wanitalah yang paling tepat untuk hal yang satu itu.
"Selesai," ucap Fela dengan bangganya. Senyum tulus Aksa pun terbit juga.
Pukul dua belas malam lebih lima belas menit keduanya menyelesaikan kerajinan tersebut dengan sempurna dan sesuai dengan ekspektasi Aksa sebelumnya. Kakaknya itu benar-benar bisa diandalkan.
Grep.
Fela terkejut ketika Aksa tiba-tiba memeluknya. Ia menangis pelan. Fela mendengarkan isakan pelan yang keluar dari bibir adiknya tersebut. Tangannya tidak tinggal diam. Bergerak mengusap lembut punggung kecil yang tampaknya tengah lemah karena tak ada penopangnya itu.
"Sudah, jangan nangis dong.."
"..'kan kerajinan kamu sudah selesai, Aksa."
Masih dengan isakan kecilnya, Aksa mencoba mengutarakan sebuah kalimat yang kedengarannya cukup jelas di telinga Fela. "Kak, maaf ya.."
"Hei ssstttt, kenapa minta maaf? Kakak nggak marah kok."
"Tapi ayah marah besar. Aku janji, mulai besok nggak bakal lagi bersikap seperti tadi sama Kakak. Aku mau belajar jadi adik yang baik dan sopan pastinya."
Pelukan erat Aksa pada sang kakak pun merenggang. Ia kemudian memberikan jari kelingkingnya. "Janji, Kak?"
"Oke. Janji kamu, Kakak ingat. Awas ya kalau ingkar."
"Nggak.."
"Sebenarnya, Kakak nggak pernah serius marah atau kesal sama kamu. Itu semua yaa hanya sekedarnya saja. Wajar kalau kita sering bertengkar kecil. Tapi mungkin, ayah maunya kamu bersikap lebih dewasa. Kan usia kamu nantinya akan semakin bertambah, Aksa. Kakak tahu, Aksa masih belum terbiasa menerima didikan tegas dan sedikit keras dari Ayah itu. Akan tetapi, cobalah biasakan terima itu semua. Satu hal yang harus kamu ingat, Aksa."
"Apa, Kak?"
"Kelak, kamu yang akan menggantikan ayah. Bukan Kakak. Makanya ayah mau yang terbaik untuk kamu. Kakak pun juga. Kakak mau adik Kakak menjadi orang yang bahkan bisa lebih sukses dari ayah."
"Hmm, begitu ya?" Aksa mulai menghapus air matanya. Ia kini sudah duduk manis di depan sang kakak yang masih setia memberikannya nasihat itu.
"Iya. Jadi semua omongan ayah di meja makan tadi, jangan dimasukin ke dalam hati. Biasakan saja untuk menerimanya. Anak laki-laki harus tahan tempaan, Aksa."
"Kalau nanti aku yang jadi penerus ayah, terus gimana sama cita-citaku, Kak? Aku maunya jadi polisi."
"Ya itu dipikir nanti."
"Kok nanti?"
"Ya karena sekarang waktunya tidur. Sudah mau jam setengah satu. Tidur, Aksa. Besok kamu masuk sekolah. Kakak juga mau balik ke kamar. Sudah ngantuk dan capek banget."
Benar juga kata sang kakak. Baru kali ini dirinya begadang hingga tidur pukul setengah satu dini hari. Coba saja bila sang kakak tidak membantunya mengerjakan tugas prakaryanya itu? Sudah pasti akan begadang hingga pukul dua atau tiga pagi!
Sebelum Fela benar-benar meninggalkan kamar sang adik. Ia sempat mendengar ucapan lirih Aksa. "Kak, makasih banyak. Lain kali, jangan begadang bantuin tugasku lagi. Aku tahu, Kakak pasti capek juga. Semoga nanti kalau Kakak jadi turnamen karate, Kakak yang jadi juara satunya."
"Aamiin. Selamat tidur, Adik Kakak yang paling ganteng dan baik. Daaa.." Fela menyempatkan dirinya melambaikan tangan kanannya pada Aksa yang sudah dalam posisi tiduran dengan selimut menutupi separuh tubuh mungilnya itu.
"Daaa.."
***
Keesokan harinya, Aksa terbangun kesiangan. Ia mendatangi meja makan--tempat keluarganya tengah melangsungkan sarapan pagi dengan keheningan itu. Tangan kecilnya tengah membenahi letak dasinya. Rasanya sangat lesu. Pasti karena begadang semalam. Apa boleh buat? Tugas prakaryanya yang sebenarnya hendak diselesaikannya malam bersama ayahnya, harus ia selesaikan sendiri. Untung saja ada sang kakak yang suka rela membantu.
"Aksa, mau tambah telur?" tawar Ayunda mencoba bersikap seperti biasanya.
Aksa menggeleng, "nggak usah, Ma. Ini sudah cukup."
Fela yang duduk di samping Aksa merasa kasihan pada sang adik. Efek yang timbul akibat ucapan keras sang ayah kemarin malam membuat sang adik tidak seceria biasanya. Wajar saja. Pasalnya, ini baru kali pertama seorang Satya bersikap sekeras itu pada putranya. Tetapi, dengan adanya kejadian ini..Aksa bisa belajar. Bahwasannya, tidak mudah untuk menjadi seorang Aksa Rajasa. Ia harus dididik sejak kecil untuk menjadi anak yang pandai, tegas, berjiwa kepemimpinan dan juga sopan tentunya. Karena keluarga Rajasa selama ini selalu dipandang masyarakat sebagai keluarga yang harmonis. Serta, anak-anak hingga cucu mereka pun juga mempunyai derajat bak orang yang berasal dari keturunan kerajaan. Setiap perilaku dan tutur kata memang selalu diawasi.
"Nih, makan.." Fela memberikan telur yang ada di piringnya pada piring Aksa.
"Kenapa dipindahin ke piringku sih, Kak?"
"Ya biar kamu kuat. Hari ini olahraga 'kan jadwalnya?"
"Iya."
Satya hanya diam saja. Namun diam-diam ia mengawasi setiap interaksi yang terjadi diantara Fela dan Aksa. Memastikan didikan kerasnya manjur kemarin. Pasalnya, ia sampai detik ini berperang dingin dengan Ayunda gara-gara sikapnya kemarin.
Tibalah momen dimana Ayunda memberikan keduanya uang saku. Memang setiap bulan Satya selalu memberikan beberapa uang untuk kebutuhan sehari-hari hingga saku anak-anak pada Ayunda. Sehingga selama ini pun, yang mengatur segala keuangan rumah adalah istrinya itu. Dan, terbukti. Meski pun mereka keluarga yang berpunya, Ayunda tetap tidak mau memanjakan anak-anaknya. Memberikan uang saku sewajarnya ibu-ibu lainnya.
"Yah..."
"..semalam, Aksa sudah minta maaf pada Kakak," lanjut Aksa mencoba mengutarakan apa yang telah ia lakukan semalam. Ia sudah melaksanakan perintah dari sang ayah. Aksa melaporkan demikian agar Satya tidak terus-terusan salah paham dan mengira ia masih kukuh tidak mau meminta maaf seperti kemarin. Bukan agar diberi uang saku. Lagipula, Aksa masih ada sisa uang saku kemarin. Masih cukup untuknya..
"Hm. Baguslah."
"Ma, kenapa aku dikasih? Kata Ayah, uang sakuku untuk Kak Fela," kata Aksa ketika Ayunda memberinya uang saku.
"Nggak, Sayang. Ayah--"
"Beri pada Fela," potong Satya. Ayunda sungguh tidak suka dengan sikap Satya. Bagaimana pria itu tega berbuat demikian pada putranya. Kasihan Aksa. Ayunda tidak tega..tapi ia juga tidak bisa melawan sang suami. Berperang dingin sejak semalam ternyata tidak membuat Satya berubah.
Akhirnya, hanya Fela saja yang mendapatkan uang saku hari ini. Keduanya pun pamit untuk berangkat sekolah. Biasanya, jika pagi seperti ini..keduanya berangkat ke sekolah dengan diantar supir pribadi. Ketika pulang sekolah, hanya Aksa saja yang dijemput oleh Pak Basuki--supir yang dipekerjakan oleh Satya. Sedangkan Fela, kerap pulang sore dan memilih memesan kendaraan umum untuk pulang. Lagipula juga selama ini Satya belum memperbolehkan Fela belajar naik mobil. Sebenarnya, Ayunda sudah pernah mengusulkan pada Satya untuk membelikan Fela sebuah motor. Lumayan bukan untuk berangkat dan pulang sekolah. Hanya saja, Satya menolak usulan Ayunda. Ia berjanji pada Ayunda bahwasannya kelak jika Fela sudah duduk di kelas tiga SMA, Fela akan langsung kursus mengendarai mobil. Satya berencana membelikan putrinya mobil. Sementara Aksa akan terus diantar Pak Basuki hingga Aksa menginjak bangku SMA--barulah Satya membelikan sebuah motor sport khas anak laki-laki pada umumnya. Semua normal-normal saja. Tidak ada yang salah dengan rencana yang sudah dibuat oleh seorang ayah itu. Pastinya dengan pertimbangan yang matang dan juga yang terbaik untuk kedua anaknya.
"Aku mau bicara."
"........" Ayunda yang tengah mencuci piring pun tak mengindahkan ucapan sang suami. Ia mengira Satya sudah berangkat bekerja tanpa berpamitan padanya karena keduanya tengah berperang dingin. Akan tetapi, rupanya perkiraan Ayunda salah. Satya masih di rumah. Apa pria itu tidak terlambat nantinya? Benar-benar..
"Ay..."
"Bicara saja. Aku dengarkan," jawab Ayunda sekenanya. Tangannya masih aktif mencuci piring bekas sarapan tadi. Tidak ada asisten rumah tangga di rumah ini. Namun, setiap satu minggu sekali. Bu Basuki akan kemari untuk mencuci dan menyetrika baju-baju keluarga ini.
"Kamu nggak akan dengarkan aku kalau masih cuci piring membelakangiku!"
Ayunda geram. Kegiatannya diganggu oleh sang suami. Mau tidak mau, Ayunda harus menyelesaikan masalahnya dengan sang suami. Ia mematikan keran wastafel setelah mencuci bersih tangannya. Kemudian tubuhnya berbalik. Bersedekap tangan menatap tajam sang suami.
"........." Tatapan Ayunda seakan mempersilahkan Satya untuk berbicara.
Senyum di bibir Satya tercetak jelas karena ia sangat gemas dengan ekspresi marah sang istri. Sama. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Istrinya masih sangat cantik dan memikat hatinya, setiap hari tidak pernah bosan ia memandangi wajah cantik Ayunda. Fela memang tidak pernah salah memilih mama. Seumur hidup, Satya akan berterima kasih pada Fela karena menyatukannya dengan Ayunda--wanita yang tak hanya cantik rupanya. Namun juga akhlaknya.
"Aku minta maaf. Soal Aksa, aku hanya ingin mendidik dia lebih keras. Kamu tahu, dia anak laki-laki. Mana bisa kudidik sama dengan Fela."
"Tapi, apa kamu tega hukum Aksa seperti tadi?"
"........." Satya tidak bisa menjawabi pertanyaan Ayunda. Sedangkan tangis Ayunda mulai pecah, terbukti dengan wajahnya yang menunduk dan bahunya bergetar kini.
"Aku nggak tega Mas.."
"Sayang, jangan nangis.." Satya mendekat dan memeluk tubuh sang istri.
Kini, Ayunda menangis sesenggukan di dadaa sang suami. Tak peduli bila setelah ini kemeja abu-abu yang dikenakan Satya itu basah karena air matanya. Biar saja, ini semua juga buah dari kelakuan suaminya yang menurutnya kelewat batas itu.
"Hikss...hikss..kamu jahat banget sama Aksa. Aku nggak mau tahu..hikss..kamu harus minta maaf!"
"Iya, nanti aku minta maaf."
"Janji?" Ayunda merenggangkan pelukannya. Ia memberikan jari kelingkingnya pada sang suami.
Tanpa menunggu lama, Satya menyatukan kelingkingnya pada kelingking Ayunda. Dengan tersenyum manis melegakan hati, Satya berucap, "Janji, Sayang."
Setelahnya, tangan Satya bergerak mengusap air mata yang keluar dari mata indah istrinya. Masih pagi seperti ini, Satya merasa gagal melukis mentari hidupnya. Ia justru membuat mendung menjatuhkan air hujan.
"Kamu tetap ya, Ay.."
Dengan suara seraknya, Ayunda bertanya, "Tetap apa, Mas?"
"Tetap cantik. Setiap hari bukannya bosan, aku malah makin sayang."
"Iiihh, bucin banget. Sudah-sudah, kamu berangkat kerja gih Mas! Sudah telat lohh.."
Cup!
Satya mengecup kening sang istri. Seperti biasanya, tak pernah lupa untuk hal yang satu itu. Kemudian, setelahnya barulah Ayunda mencium tangan sang suami. "Semangat kerjanya, Mas Satya."
"Pakai sayangnya mana!?"
"Semangat kerjanya, Mas Satya Sayang—hhhmmmmmbbbttt."
Setelah mendengar kata 'sayang' terlontar dari bibir Ayunda, Satya justru semakin tertantang untuk melumat habis bibir sang istri. Ia gemas sekali dengan bibir manis Ayunda. Melumatnya habis dengan sesekali memberi jeda untuk mengambil napas. Tapi, ciuman mereka tidak berhenti juga. Keduanya bahkan tak peduli bila sesekali menjeda tautannya untuk meraup napas sebanyak-banyaknya.
Satya benar-benar tak memberi ampun pada ciuman yang ia berikan untuk sang istri.
Hingga..
"Mmm..M—massh..sudah.."
Sesaat setelah Satya meloloskan Ayunda. Ayunda dengan kesal memukul pelan d**a Satya. "Kamu sudah telat kerja!"
"Masih pengen sayang-sayangan," ucap Satya dengan santainya seraya mengusap sisa salivanya usai berperang bibir dengan Ayunda.
"Nggak ada sayang-sayangan! Kerja!" Sesekali memberikan kegalakannya untuk dirasakan Satya, tidak masalah. Toh, Ayunda tetap yang tersayang untuk pria itu.
"Nanti malam ya, Ay." Satya dengan sengaja menaik-turunkan alisnya, bermaksud menggoda sang istri.
"Nanti malam apa?" tanya Ayunda seraya kembali melanjutkan kegiatan mencuci piringnya yang sempat terjeda.
"Aku pengen."
"Pengen apa!?"
"Biasalah. Nggak usah pura-pura nggak tahu kodeku, Ay. Kugigit nanti. Gemas!" Tangan Satya mulai jahil mencubit pipi kiri Ayunda dari samping. Lalu, tangannya beralih memegangi rambut panjang Ayunda.
"Iya-iya. Sudah sana berangkat! Ngapain masih pegang-pegang rambutku?"
"Ya biar kamu cuci piringnya enak, nggak keganggu sama rambutmu." Sepengertian itu Satya. Ya begini, bila sudah manis, tidak tertolong. Tapi jangan tanyakan bagaimana jika tanduknya sudah keluar.
Menyeramkan!
Meninggalkan Satya dan Ayunda yang hingga anak-anak bertumbuh besar masih saja harmonis dan selalu sayang-sayangan setiap saat. Meski pun dalam rumah tangga sebuah pertikaian tidak bisa terelakkan, tetapi keduanya telah mampu melalui setiap pertikaian tersebut. Tak jarang juga selalu berakhir manis seperti itu.
Fela berjalan santai melewati tiap lorong kelas. Dengan senyum merekah ia menyapa beberapa teman-teman yang ia kenali. Selain itu juga banyak teman-teman lainnya yang menyapa Fela. Siapa memangnya yang tidak kenal dengan Fela Rajasa? Se-antero sekolah juga pasti mengenalnya!
Hap!
Sebuah tangan merangkut bahu Fela. Pelakunya?
"Ninis! Ngagetin saja! Untung aku nggak banting kamu!"
"Kalau lo berani banting gue, gue ceburin lo ke kolam renang belakang sekolah!"
"Kalau itu sih area kamu, Nis.." Fela menurunkan nada bicaranya. Cukup mengerikan ancaman atlet renang favoritnya itu!
"Jelas."
Keduanya masih berjalan beriringan menuju kelas. Seperti biasanya selalu dipenuhi canda.
Hingga keduanya mendengar keributan pagi-pagi ini di depan kelas X-IPS 2. Ada drama kolosal apa di sana? Fela dan Ninis pun menyelinap masuk pada kerumunan. Betapa terkejutnya saat keduanya melihat Kalingga tengah beradu mulut dengan adik kelas yang wajahnya sudah sangat ketakutan.
Apa-apaan ini? Rasa ingin berlari ke ruang BK dan melapor pun Fela urungkan, tangan Ninis lebih dulu menahan pergerakannya.
"Mau ngapain lo?"
"Lapor ke BK-lah! Kasihan.."
"Nggak! Lo nggak boleh ikut campur masalah Kak Lingga. Lo jangan cari masalah, Fel. Lo nggak amnesia 'kan sama kejadian tempo hari di kantin?" Fela mengingat kembali kejadian tersebut. Ngeri juga sih! Tapi kasihan dengan adik kelas yang tengah dirundung oleh Kalingga.
Ninis bertanya pada teman yang berdiri menonton keributan di sebelahnya itu. "Emang masalahnya apa sih!?"
"......." Ia hanya menaikkan bahunya tanda tidak tahu.
Selamat datang di negeri yang lucu ini!
Di mana orang yang tidak tahu duduk perkaranya, justru asyik menjadi penonton drama kolosalnya. Astaga..
"LO BERANI BERBUAT 'KAN!? BERARTI, LO JUGA UDAH SIAP TANGGUNG JAWAB! NGERTI LO!?"
"N—ngerti K-kak.."
"EMANGNYA LO NGGAK ADA KERJAAN SAMPAI-SAMPAI SUKA NGEMPESIN BAN SEPEDA ANAK-ANAK CEWEK!? MAU APA LO? MODUS ANTERIN PULANG!? NORAK LO! PENGECUT!"
"HUUUUUUU..." Semua yang tengah menonton pun kompak menyoraki adik kelas yang usil tersebut. Fela tak jadi melapor ke BK, lebih baik ia mengajak Ninis untuk segera keluar dari kerumunan. Sebelum keduanya terkena masalah oleh Kalingga. Menghindari Kalingga merupakan satu dari sekian cara untuk hidup aman dan damai sentosa di SMA Bhintara Jaya.
Tapi, ia masih tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Kalingga barusan. Mengingat gosip yang beredar tentang Kalingga yang suka mencari masalah di sekolah ini, mengapa Kalingga seperti seksi pendisiplin sekolah? Mengurusi adik kelasnya yang kelewat usil itu..
Entahlah..Fela tak mau memikirkan atau pun membenarkan tindakan Kalingga barusan. Menurutnya, tak berurusan dengan Kalingga sudah menjadi pilihan yang terbaik!
Kerumunan sudah lebih dulu bubar sebelum keduanya meninggalkan kerumunan tersebut. Hal itu secara otomatis membuat Fela dan Ninis terlihat oleh kedua mata Kalingga.
"Heh! Heh! Berhenti lo!"
Mimpi buruk apa yang datang di pagi hari beriringan dengan sinar mentari yang cerah ini?
"Ada apa, Kak?" Ninis menanggapi panggilan Kalingga dengan begitu santai.
"Bukan lo. Tapi dia!" Telunjuk Kalingga mengarah pada Fela.
Sontak, Fela menunjuk dirinya sendiri. "K—kenapa aku, Kak!?"
***