2. Panggilan Spesial

1932 Words
Tak bisa menghindar dari sang mama karena sudah tertangkap basah mengagung-agungkan sosok Wira di depan selembar foto candid lelaki tersebut. Fela pun menceritakan semuanya pada Ayunda. Mulai dari awal mula pertemuannya dengan Wira di sebuah stan pengenalan berbagai ekstrakulikuler hingga kesedihannya karena selama satu tahun ini ia tak bisa menarik perhatian Wira. Wira seakan acuh tak acuh pada Fela. Padahal juga selama ini Fela selalu menjadi murid kebanggaan ayah Wira. Tapi interaksi mereka tergolong interaksi biasa seperti teman seperlatihan lainnya. Tak ada keakraban yang spesifik. Bahkan terkesan dingin memeluk keduanya. Apakah ada yang salah dengan Fela? Perasaan selama ini ia tidak pernah berbuat salah pada Wira.. Kata Mama Ayunda semalam, ”Kalau memang kamu cinta, dikejar! Diperjuangkan! Kalau kamu hanya diam dan menunggu, maka tidak akan pernah ada yang berubah. Kecuali ada keajaiban, tapi menurut mama sih itu kemungkinannya sangat kecil. Dimana-mana, kalau di awal saja sudah sangat susah menarik perhatian lelaki yang kita cintai..maka kamu tidak perlu meneruskan usaha menarik perhatian tersebut. Sia-sia dan hanya akan membuang waktu saja. Cari jalan lain! Gerak cepat! Apalagi setelah mama dengar ada nama cewek lain yang kamu sebut tadi.” Tak hanya menasihatinya tentang berjuang saja. Ayunda sempat curiga pada Fela bila selama ini sebenarnya putrinya itu memaksakan dirinya untuk bisa unggul di bidang olahraga karate hanya untuk mendapatkan perhatian Wira semata. Namun dengan tegas Fela kukuh bahwa bukan karena Wira ia dahulu memilih karate sebagai ekstrakulikulernya. Bahkan di awal pun Fela juga tidak menyangka bahwa dirinya mempunyai bakat bela diri yang terpendam hingga beberapa kali berhasil menjuarai pertandingan. Itu semua sudah anugerah yang harus dikembangkan bukan? Mengenai nasihat panjang lebar mamanya tentang mengubah taktik dan berjuang. Sepertinya memang benar kata mamanya. Toh, gosip hanyalah bualan semata yang beredar luas. Belum dikonfirmasi kebenarannya oleh yang bersangkutan. Berarti..diantara Wira dan Tisha tidak ada hubungan apapun!  Fela pun juga merasa bahwa ia tak bisa terus-terusan seperti ini. Ia harus memperjuangkan cinta pertamanya ini! “Ya, aku harus bisa!” “Ya harus dong! Ayah dukung kamu seratus persen, Fela. Ayah sudah pesan matras karate untuk diletakkan di gudang belakang. Nanti biar Ayah suruh Pak Basuki untuk membersihkan gudang tersebut. Ayah beri kaca yang besar juga. Pokoknya setiap gerakan kamu akan terpantul jelas di sana. Kamu akan bisa berlatih sendirian, mengoreksi kesalahan setiap gerakanmu secara mandiri, intinya berlatih di luar latihan keseharian kamu dengan Pak Wijaya—pelatihmu.” “Huh?” Fela sepertinya tidak mendengar ucapan sang ayah sebelumnya. Karena ternyata tadi ucapannya tidak dibatin. Melainkan diucapkan terang-terangan di meja makan pagi ini. Astaga! Dan, apa tadi kata ayahnya? Beliau akan menyulap gudang belakang menjadi tempat latihannya di rumah? Wah! Asyik.. “Ayah serius?” tanya Fela dengan kedua bola mata yang berbinar penuh dengan pancaran kebahagiaan itu. Satya dengan mantap mengangguk. “Serius. Kamu mau ‘kan?” “Mau dong!” “Fela yakin? Mama lihat sepulang sekolah, Fela sudah sangat kelelahan. Mama bisa lhoo baca apapun dari wajahmu. Intinya, Mama nggak mau kalau kamu sampai memaksakan fisikmu untuk terus berlatih. Lagipula pertandingan nasionalmu masih beberapa bulan lagi..” “Ya justru itu, Ma. Fela harus semakin rajin latihannya!” Melihat putrinya yang sangat antusias untuk menjadi peserta dalam lomba mewakili sekolahnya di tingkat nasional itu..Ayunda hanya menghela napasnya perlahan. Ia tersenyum senang. Felanya sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang gigih mempertahankan prestasi yang dimilikinya. Bahkan esok mungkin tak hanya mempertahankan. Melainkan meningkatkan! Benar-benar hebat sekali putri almarhumah Ranya ini. “Semangat terus kebanggaan Mama!” “Eeiittss! Nggak bisa gitu dong, Ay. Kebanggan Ayah juga!” Aksa yang sedari tadi hanya diam menyimak. Kini semangkuk sereal di hadapannya sudah habis. Itu tandanya ia bisa ikut menyahuti perbincangan antar ayah, mama dan juga kakaknya itu. “Terus kalau Kak Fela kebanggaan, aku apa dong?” “Kamu kesayangan! Sudah deh, nggak usah iri gitu. Semua kebagian kali! Makanya cepat gedhe! Biar bisa banggain ayah sama mama!” “Hmmm Kak Fela sok bijak.” “Lhoo memangnya kamu baru tahu? Sejak dulu Kakak bijak seperti ini, Aksa..” Fela menyampirkan rambutnya yang terurai itu ke belakang. “..kalau nggak bijak, mana mungkin Kakak menjabat DUA PERIODE sebagai ketua kelas sebelas MIA-1 di SMA Bhintara Jaya?” Dengan bangganya Fela menekankan kata pada ‘dua periode’. Senyum sinis penuh kemenangan itu tak pernah lalai ia tunjukkan pada sang adik. Setidaknya dengan cara seperti inilah pertikaian kecil mereka akan terlihat lebih berbobot karena mempeributkan hal yang menurut Fela patut diacungi jempol. Aksa tak terima karena ia selama ini belum pernah menjadi seorang ketua kelas. Melihat ekspresi memerah putranya. Ayunda berucap memutuskan pertikaian kecil antar kakak dan adiknya itu. “Aksa nggak boleh marah. Kak Fela sedang memberi contoh yang baik untuk Aksa. Mama do’akan, tahun depan semoga Aksa bisa menjadi ketua kelas di kelas lima. Semangat terus, Jagoan Mama!” “Jagoan Ayah juga! Betul kata Mama. Jadikan ejekan kakakmu itu sebagai motivasi untuk bangkit. Masa kamu mau kalah gitu aja sama kakakmu?” “Pokoknya aku bakal buktiin. Tahun depan aku bakal jadi ketua kelasnya!” “Oke. Kakak ingat ya hari ini kamu buat janji. Kalau sampai tahun depan bukan kamu ketua kelasnya..Kakak bakal minta kamu traktir Kakak makan sushi sepuasnya di restoran favorit keluarga kita!” “Oke, siapa takut!?” Begitulah kurang lebihnya suasana meja makan di pagi hari. Memang, saat makan bersama seperti ini Satya mengajarkan pada anak-anaknya untuk menjalankan tata karma di meja makan. Akan tetapi, setelah makanan di piring masing-masing sudah habis. Maka mereka sudah dibiarkan untuk bebas mengeluarkan suara.   ***   Kembali pada rutinitasnya di hari senin. Upacara bendera! Momen dimana Fela dapat dengan leluasa memandangi Wira yang tengah bertugas sebagai pemimpin upacara pagi hari ini. Hah..mimpi apa semalam? Mengapa rasanya sebahagia ini meski hanya memandang wajahnya dari kejauhan saja!? Memang ya, orang kalau sudah jatuh cinta! Apa-apa maunya selalu bisa melihat, meski harus dari kejauhan. Bagi Fela tidak masalah. Toh, matanya masih sangat normal dan bisa dengan jelas melihat katampanan Wira dan aura kepemimpinan di wajahnya. Benar-benar tidak salah selama satu tahun ini Fela mencintai pria itu secara diam-diam. Namun.. “Bisa nggak lihatin Mas Wira-nya biasa aja? Nggak takut matanya jatuh ke tanah?” “Iiishhhh, kamu Nis! Sudah aku bilang berkali-kali ‘kan? JANGAN-PANGGIL-MAS! Panggilan ‘Mas’ itu cuman khusus aku aja,” peringat Fela tak menggubris pertanyaan sensi Ninis—sahabat baiknya.  “Hm, Iya! Slow aja kali. Lagian ya percuma aja lo pandangi tuh cowok. Percuma Fela! Gerak kek. Sampai bulan terbit di siang bolong juga nggak bakalan ada yang berubah kalau dia not responding! Pintar jangan cuman di matematika-nya Bu Ajeng doang. Lama-lama benaran dijodohin sama Kak Lingga lo!” “Emangnya benaran ya kalau Kak Lingga yang super bandel itu anaknya Bu Ajeng guru matematika kita?” tanya Fela yang masih tidak percaya dengan keanehan yang ada di SMA Bhintara Jaya ini. Lagipula, dimana-mana..anak guru itu selalu masuk kelas unggulan. Minimal kalau nggak masuk kelas unggulan, terkenal pintar dan berprestasi deh! Bukan seperti Kalingga Prabaswara Nugroho yang terkenal dengan segudang masalahnya. Tapi dengar-dengar ia juga masuk tiga besar di kelasnya. Hmmm..benarkah? Atau sekedar gosip yang berhembus saja? Ah, masa SMA kebanyakan gosip! Seperti senin-senin biasanya. Kantin akan sangat ramai bila sudah memasuki jam istirahat. Padahal baru telat lima menit, sudah full saja segala antrian stan makanan. Mulai dari bakso, nasi soto, hingga jajanan hits seperti pisang cokelat dijual di kantin sekolah yang sangat dijaga kebersihannya ini. Tak jarang guru BK juga kerap mengawasi murid-murid di jam istirahat ini. Untuk apa? Mengawasi agar mereka tetap menjaga kebersihan kantin! “Kayaknya aku nggak minat mengantre deh, Nis..” “Terus..lo tega biarin gue kelaparan? Gue lapar, Fela.” “Mending kamu gabung sama Risa dan teman-teman sekelas kita yang lain gih! Tuh, mereka lagi antre bakso.” “Nggak bisa! Enak saja! Biasanya gue setia ya nungguin lo..” Karena tak tega dengan wajah Fela yang sudah memelas. Akhirnya Ninis memutuskan, “Ya udah! Lo duduk manis di sini. Jagain kursinya. Gue beliin minum bentar, dan lo tungguin gue antre sekalian makan. Oke?” “Oke! Nah, gitu dong!” Ninis memutar kedua bola matanya dengan malas. Fela selalu memilih enaknya saja! Dasar.. “Lo serius nggak mau gue pesanin makan sekalian?” tanya Ninis sekali lagi demi memastikan kondisi sang sahabat. “Nggak usah, Nis. Aku masih kenyang, tadi pagi sarapan sereal kebanyakan..” tolak halus Fela dengan senyum manisnya. “Yee sok manis lo! Ya udah gue ke sana dulu.” Fela mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin yang telah dipadati oleh siswa-siswi di jam istirahat pertama ini. Memang hanya tersedia satu kantin di sekolahnya ini. Namun meskipun begitu, kantin ini cukup besar, dan nyaman pastinya. Tak lama kemudian Ninis kembali membawakannya segelas jus jambu. Kemudian setelah Fela mengucapkan ‘terima kasih’, Ninis kembali pada antreannya membeli makan untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan. Tak sadar dengan seorang lelaki yang berdiri cukup lama di sampingnya. Fela yang tengah memutar musik di ponselnya dengan mengenakan earphone bluetooth putih kesayangannya itu, terkejut saat merasakan bahunya ditepuk oleh sebuah tangan besar. “Iya?” Fela santai menoleh ke samping. Kalingga! “K-kak L-lingga?” “Hm. Udah kenal ‘kan lo sama gue? Sekarang, minggir!” “K-kenapa harus minggir? Ini ‘kan tempat dudukku, Kak..” “Kalau gue bilang detik ini tempat duduk ini milik gue, gimana? Lo bisa apa?” Bisa tendang Kak Lingga ke planet mars sekarang juga! Tahan..tahan, Fela. “F-fel..ada apa?” Ninis yang baru saja tiba merasa terkejut dengan kehadiran sosok Kalingga—kakak kelas yang terkenal dengan kebadungannya itu. “N-nggak apa-apa kok, Nis. Kita pindah tempat duduk saja ya?” ajak Fela berharap Ninis mengerti bahwasannya Fela tak ingin mencari keributan di kantin yang cukup ramai ini. Tapi, Ninis bukan tipe wanita yang akan membiarkan dirinya atau pun orang-orang terdekatnya merasa terintimidasi dengan tingkah orang lain. Apalagi orang tersebut terkenal dengan sikap semena-menanya di sekolah mereka ini. Meskipun pandai, jika tak diimbangi dengan attitude yang baik, maka akan percuma saja. Karena semua orang hanya akan fokus pada satu titik hitam—kesalahan dari pada warna putih yang lebih mendominasi. “Kenapa harus pindah!? Ini tempat duduk kita!” Ninis pun menoleh pada Kalingga. “Maaf ya, Kak Lingga.” Kalingga yang merasa dilawan dan seakan disepelekan itu kemudian menunjukkan kekehan mengerikannya. Fela sudah sangat ketakutan. Mau bagaimana pun juga, tidak mungkin bukan ia mengeluarkan jurus karatenya? Bisa-bisa panggilan orang tua perdana akan didapatkannya melalui jalur laknat! Tidak-tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. “Nis..please. Pindah yuk..” Melihat Fela yang semakin ketakutan. Kalingga bukannya menghentikan tindakan buruknya itu. Lelaki itu justru santai merangkul bahu Fela. Fela tentu semakin tidak bisa berkutik sekarang ini. Belum lagi pandangan siswa-siswi lainnya. Astaga..hari senin apa ini? Mengapa sialnya headshot!? “Lo takut ya sama gue?” “…….” “Baguslah. Gue suka lihatnya,” kata Kalingga sembari tangannya bergerak menyisipkan anak rambut Fela ke belakang telinganya. Tetapi belum sempat rambut Fela terselip sempurna, ada tangan lain yang memelintir tangan kurang ajar Kalingga. Brak!! Tangan Kalingga pun terhempas membentur meja kantin. “Apa-apaan lo!?” “M-mas Wira..” “K-kak Wira..” “Jangan gangguin teman gue.” “Teman!?” seru Ninis dan Fela bersamaan karena saking syoknya mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Wira barusan. “Cuman teman ‘kan? Nggak perlu lo sampai repot-repot ikut campur, Boy.” Kalingga mengusap tangannya yang baru saja dihadiahi rasa sakit tak terduga yang berasal dari sosok Wira—tetangga kelasnya. “See you next time, My Cute Girl.” Dengan santainya Kalingga berlalu setelah mengusap lembut rambut kepala Fela. “MY!?”   *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD