PART. 9 ROBBY

1322 Words
Rani membuka matanya, perutnya terasa lapar karena belum makan malam. Niatnya ingin menunggu Raja pulang baru makan malam, tapi karena Raja menudingnya pacaran ia jadi kesal, menangis dan akhirnya tertidur pulas. Ditengoknya jam di atas meja. Pukul 2.10 dini hari. Rani beringsut turun dari tempat tidurnya. Ia keluar dari kamarnya, menuju dapur untuk mengisi perutnya. 'uuh perutku lapar sekali, hhhh ini gara-gara pria tidak punya perasaan bernama Raja itu! Main tuduh sembarangan, apa tidak bisa tanya baik-baik dulu' gumam Rani di dalam hatinya. Rani memanaskan sop buntut yang ada di dalam panci. Setelah panas dimasukannya ke dalam mangkok. Rani duduk di kursi dapur dengan satu mangkuk sop buntut dan sepiring nasi dihadapannya. Baru saja ia ingin menyuap satu sendok ke mulutnya. "Siapkan minum dulu sebelum makan!" Rani terjengkit kaget, spontan dipukulnya lengan Raja yang berdiri di samping tempat duduknya. "Kalau kamu tidak siapkan minum, kalau keselek bisa bahaya nanti" Raja meletakan gelas berisi air putih di atas meja. Kemudian ia duduk di hadapan Rani. 'Ada apa?' Tanya Rani tanpa suara, tapi tatapannya menyiratkan kekesalan hatinya. "Habiskan dulu makanmu, baru kita bicara, aku tunggu kamu di ruang tengah" Raja kemudian berdiri dan keluar dari dapur. Selesai makan dan mencuci perabot bekas makannya, Rani menemui Raja di ruang tengah. "Duduklah!" Raja menepuk tempat di sebelahnya, dan Rani menurut saja apa yang diperintahkan Raja. Raja memegang kedua bahu Rani agar Rani duduk menghadap ke arahnya, supaya ia bisa membaca gerak bibir Rani. "Siapa cowok yang menemanimu menunggu jemputan tadi?" 'Teman sekelas' "Apa yang kalian bicarakan?" 'Banyak' "Banyak itu apa!?" 'Tentang aku...tentang dia...tentang kakaknya yang juga bisu' "Hanya itu" Rani menganggukan kepalanya. 'Hhhh kalau sikapnya seperti ini, persis sikap Ayah yang sering bertanya tentang teman pria di sekolahku' batin Rani. Tanpa terasa air mata mengalir di pipi Rani. Raja mengerutkan dahinya bingung. "Kenapa menangis? Akukan tidak memarahimu!" Rani dengan begitu saja melingkarkan kedua tangannya di tubuh Raja, kepalanya di sandarkan di d**a Raja, ia menumpahkan air matanya di sana. Raja mengangkat tangannya, ia tidak ingin menyentuh Rani. Tapi perlahan tangannya turun, dan mulai mengusap punggung Rani lembut. "Kamu ingat Ayahmu?" Raja bisa merasakan anggukan kepala Rani. Raja menarik nafas berat, dibiarkan Rani membasahi dadanya dengan air mata. Setelah puas menangis, Rani menarik kepalanya dari d**a Raja. Raja membersihkan wajah Rani dengan tissue yang diambilnya dari atas meja di depannya. "Kembalilah ke kamarmu, tidurlah! Jangan sampai kesiangan ke sekolah!" Rani menganggukan kepalanya, ia berdiri dari duduknya, lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Raja menggaruk kepalanya, bingung sendiri dengan sikap manisnya kepada Rani. 'Aku hanya kasihan padanya, tidak ada perasaan lainnya' batinnya untuk meyakinkan dirinya sendiri. - Pulang sekolah hari ini Rani ingin langsung ke rumah kakeknya untuk bertemu ibunya. Wajah ibunya terlihat ceria saat melihat penampilan Rani yang manis dalam seragam sekolah yang dikenakannya. "Ya Allah Kamu cantik sekali Mbak, kamu cantik sekali, sini ibu ingin memelukmu" Bu Lina menggapaikan tangannya ke arah Rani, Rani mendekat dan langsung memeluk ibunya, Bu Lina membalas pelukan Rani dengan erat. "Ayah pasti akan memujimu habis-habisan kalau melihatmu seperti ini Mbak" gumam Bu Lina dengan air mata mengaliri pipinya. "Wajah Mbak semakin cantik, kulit Mbak semakin putih, Nak Raja pasti mengurusmu dengan sangat baik, kakekmu tidak salah memilih dia untuk jadi suamimu Mbak" Bu Lina menyentuh pipi chubby Rani. Rani merebahkan kepala di pangkuan ibunya yang duduk bersandar di atas ranjang. "Mbak!" Panggil Bu Lina. Rani menelengkan kepalanya untuk melihat wajah ibunya. "Mbak pakai kontrasepsi KB apa? Pasti ikut KB kan biar bisa sekolah sampai selesai?" Karena terkejut dengan pertanyaan ibunya, spontan Rani menggelengkan kepalanya. "Jadi kamu tidak pakai kontrasepsi, kalau hamil nanti sekolahmu bagaimana Mbak?" 'Ya ampun ibu, di sentuh saja tidak pernah, bagaimana aku bisa hamil hhhh' batin Rani. "Mbak, kamu mendengar ibu tidak, laah kok malah tidur sih Mbak" Bu Lina mengira Rani tidur, karena tidak menanggapi ucapanya. Padahal Rani hanya bingung ingin menjawab apa, ingin bohong takut dosa, ingin jujur takut jadi beban pikiran ibunya. karena itu Rani memilih diam saja. - Rani turun ke lantai bawah, sudah sore dan ibunya masih tidur. Rani ingin mengambil minum ke dapur. Saat melewati kamar Kakeknya, ia melihat kakeknya tengah duduk di atas tempat tidur, terdengar beliau tengah bicara di telpon dengan seseorang, entah apa yang beliau bicarakan, Rani tidak bisa jelas mendengarkan. 'kenapa kakek tidak ke kantor? Apa beliau sedang sakit? Atau sudah pulang dari kantor' Tanya Rani di dalam hatinya. Akhirnya Rani memutuskan untuk meneruskan langkahnya menuju dapur. "Non Rani ingin apa?" Tanya Bibik. 'Minum' jawab Rani tanpa bersuara, ia mengambil sendiri gelas dan mengisinya dengan air orange juice dari dalam kulkas. "Non Rani ingin cemilan?" Rani menganggukan kepalanya. Bibik menyerahkan sepiring irisan brownies ke tangan Rani. Rani membawa minumam dan kue itu ke teras yang menghadap kolam renang di samping rumah. Ia duduk sambil menikamati minuman dan kuenya. Tiba-tiba Robby duduk di sebelahnya. Rani terjengkit kaget, dan segera berdiri ingin menghindari Robby, tapi Robby menahan lengannya. "Santai saja Rani, aku sedang baik hari ini, aku tidak akan memperkosamu" kata Robby dengan sinar licik di matanya. Rani ingin merenggutkan tangannya dari genggaman Robby, tapi Robby menariknya sampai Rani jatuh di atas pangkuan Robby dengan posisi punggung menghadap Robby. Rani berusaha berontak dari pelukan pria berusia 39 tahun itu, tapi Robby sangat erat memeluknya, tangan Robby melingkari perut Rani. Rani berusaha melepaskan pelukan Robby, kakinya menginjak-injak telapak kaki Robby. Robby tertawa karena merasa bisa mempermainkan Rani yang dianggapnya sebagai kelinci manisnya. Sejak kehadiran Rani di rumah ini, Robby sudah tertarik padanya, tidak perduli dengan wajahnya yang lugu, dandanannya yang ndeso, dan sikapnya yang katro. Robby suka dengan ABG manis seperti Rani. Setiap melihat Rani air liurnya serasa ingin menetes, keluguan dan kepolosannya membuat Robby benar-benar ingin memiliki Rani, yang merupakan anak dari saudara sepupunya sendiri. Rani masih berusaha melepaskan tangan Robby yang memeluknya, bahkan kini Robby mulai mengecupi tengkuknya. Rani semakin panik, air matanya mengalir dengan deras. "Rani!" Suara Raja yang memanggil Rani membuat Robby melepaskan pelukannya. Tapi tangan Rani masih dalam genggamannya. Robby mencengkeram erat lengan Rani. "Awas kalau mengadu, aku tidak akan membiarkan ibumu hidup dengan tenang!" Ancam Robby, Rani menghapus air matanya dengan kasar sebagai bentuk rasa marahnya kepada Robby. "Rani!" Raja muncul di ambang pintu, matanya menatap penuh selidik pada Robby dan Rani. "Hallo Raja, aku hanya sedang menghibur istrimu yang sedang menangis, bukan begitu Rani?" Robby tersenyum pada Raja, lalu ia bangkit dari duduknya. Raja hanya diam, ia tidak menanggapi ucapan Robby. "Oke, aku ke kamar dulu ya, jangan sedih terus Rani, tersenyumlah!" Robby menyunggingkan senyum ke arah Rani, Rani membuang pandangan dengan rasa marah di dalam hatinya. "Kita pulang sekarang, tapi pamit dulu dengan ibu!" Kata Raja tegas, Rani menganggukan kepalanya. - Rani duduk dengan dagu diletakan di atas tangannya yang terlipat di jendela mobil. Pandangannya memang ke suasana senja di sepanjang jalan ibukota, tapi pikirannya tengah gelisah akan apa yang sudah terjadi sore ini tadi. Ia ingin bisa lepas dari Robby, tapi ancaman Robby membuatnya berpikir seribu kali untuk mengadukan sikap Robby pada orang lain. Rani yakin ancaman Robby bukan sekedar di bibir saja, terlihat jelas kalau Robby orang yang bisa melakukan apa saja demi tujuannya. Raja menatap Rani yang seperti tengah melamun. Kuncir kuda Rani membuatnya tengkuknya terlihat jelas. Kening Raja mengernyit saat melihat tanda merah di tengkuk Rani. 'Itu bekas kecupan, siapa yang sudah mengecup tengkuknya, apa yang sudah dia lakukan, dengan siapa dia bermesraan!?' Berbagai pertanyaan menyesaki benak Raja. Namun meski rasa marah tengah menguasai hatinya, Raja berusaha meredam kemarahannya, setidaknya sampai mereka tiba di rumah nanti. Mata Raja sulit lepas dari tanda merah di tengkuk Rani. Meski ia sudah berusaha mengalihkan perhatian ke ponsel di tangannya, tapi tetap saja ada yang terasa menggelegak di dalam hatinya. Lahar kemarahannya sudah siap ia muntahkan dari dalam mulutnya. 'Gadis kampung, ndeso, dan katro ini ternyata tidak selugu dan sepolos yang aku kira! Ternyata dia liar juga, hhhhh...apa yang sudah dilakukannya, berciuman, bermesraan, saling menggerayangi, saling...arrrgghhh...!' Raja benar-benar berusaha ekstra keras agar kemarahannya tidak meledak sebelum mereka tiba di rumah. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD