•• Happy reading ••
Andara Jeo, terima kasih untuk waktu berharga yang kau berikan selama ini.
"Mas Arshad," sapa Andara saat ia berdiri di dekat meja kasir cafe dan melihat Arshad yang ada di sana tengah menggantikan pegawai lain untuk menjadi seorang kasir.
Arshad mengangkat kepalanya saat mendengar panggilan tersebut. Garis senyumnya terbentuk saat mengetahui siapa wanita yang tengah menyapanya tersebut, itu istri Vante. "Hei, suamimu ada di dalam, mau aku antarkan?" tawarnya sebelum berusaha menyudahi menghitung uang koin yang cukup begitu banyak ada di dalam brankas kasir.
Andara memajukan tubuhnya dan mencoba mengintip apa yang dilakukan Arshad. Kepalanya mengangguk paham saat tahu apa yang tengah dikerjakan Arshad. "Mas lagi apa? Kok tumben jadi kasir?"
"Pegawai kasir kita sedang sakit, jadi Mas yang menggantikan sementara. Kenapa? Andara ingin meminum apa? Sudah lama sekali kan tidak mampir kesini? Sekalian mau ada yang Mas omongin," lontar Arshad agar Andara mau menerima ajakannya untuk sekalian mengobrol.
Tanpa banyak berpikir, Andara menerima ajakan Arshad tersebut. Lalu, ia mencari tempat duduk di sudut yang dekat jendela, sekalian sambil melihat pemandangan luar yang objeknya berupa kemacetan di jalan lintas raya yang cukup padat penduduk.
Arshad meletakkan satu gelas americano dingin di depan Andara. Lalu, laki-laki itu memilih duduk bersebrangan dari tempat duduk Andara. Ia menatap lekat sebentar wajah istri sahabatnya itu lalu tersenyum tipis untuk menggambarkan reaksinya.
"Kamu keliatan banyak pikiran akhir-akhir ini, pasti berat, ya?"
Andara menurunkan pandangannya untuk melihat segelas americano dingin dan menyentuhnya dengan kedua tangan. Belum diminum, ia tampak berpikir jawaban dari pertanyaan Vante.
"Ada apa?" tanya Arshad kembali dengan nada lembut yang seolah-olah wanita kecil yang ada di hadapannya tidak akan bisa dibentak sedikitpun.
"Hanya…. Andara hanya sedikit kewalahan Mas." Andara mengatupkan kedua bibirnya sehingga tercipta kerutan yang berasal dari dagunya. Jika dia terus melanjutkan untuk mengatakan kegundahannya terus-menerus, maka tangisnya akan meledak begitu saja.
"Berat sekali, ya? Berat rasanya? Menikah dengan laki-laki yang tidak kau cintai dan berusaha merawatnya dengan ikhlas?" Arshad meletakkan telapak tangannya di atas kepala Andara, diusapnya sedikit untuk memberikan ketenangan. "Tidak apa menangis, keluhkan semuanya pada Mas, kau tidak boleh menyimpannya sendiri, Andara."
Tes!
Benar saja, air mata itu turun mengalir tanpa bisa ditahan. Andara meluruhkannya sebagaimana perasaannya yang merasa sedikit lelah menjalani pernikahan yang penuh kebohongan ini.
"Lelah, ya?"
Andara mengangguk-ngangguk terus menerus, seolah-olah mengiyakan pertanyaan beribu kali. "Andara takut…."
"Vante juga begitu, dia merasa aneh pada hubungan kalian," balas Arshad. Laki-laki itu menyesap kopinya dan membuang objek ke jalanan raya
Andara diam tidak berkutik, matanya menatap Arshad dengan tanda tanya besar. "M-mas."
Arshad membalas tatapannya dan tersenyum kembali dengan santai. "Dia hanya merasa aneh karena bisa seleluasa itu bersama istrinya. Sedangkan dengan Indira dahulu, dia merasa seperti robot dan dituntut selalu perfeksionis dan kurang bisa memahami pentingnya apa adanya. Terima kasih…."
"Terima kasih?"
Arshad terkekeh melihat ekspresi Andara yang kebingungan. "Terima kasih karena dirimu seperti mengembalikan Vante ke zaman saat ia kuliah dulu. Sudut bibirnya lebih mudah tertarik ke atas, tubuhnya lebih berisi. Wajahnya lebih bersinar dan tentu aura bahagia itu selalu terpancar dari dalam dirinya. Walau tadi dia datang dengan wajah cemberutnya karena merajuk, tapi tidak bisa dihindari bahwa dia hidup sehat dan bahagia bersamamu, terima kasih…."
"Ah, i-itu…."
"Sudah kutebak tidak akan tidak bahagia jika seseorang itu berhasil menembus hati seorang Andara Jeo," ucap Arshad menimpali lagi.
"Andara tidak melakukan banyak hal, dia sendiri yang sekatif itu. Andara hanya senang jika Mas Vante tidak terlalu bersedih dengan hal yang menimpa penglihatannya." Andara menyesap americano dinginnya sebanyak dua teguk. Lalu, kembali menatap Arshad. "Jadi, bagaimana kalian mengatasi Mas Vante yang mengatakan merasakan aneh pada hubungan pernikahannya?"
"Tenang saja, Naresh bisa diandalkan. Dia mengatakan memang begitu hukum alam dalam pernikahan, tidak sama seperti masa pacaran dahulu. Akhirnya dia menuruti saja dan tidak ambil pusing lagi," jawab Arshad.
"Ah, begitu, baiklah…."
"Jadi, kamu jangan merasa lelah ya bersama Vante. Lakukanlah seperti kalian saling mencintai, itu tidak buruk. Jangan menahannya jika ingin menangis atau jangan merasa takut menceritakan padaku, Naresh atau Dhika. Anggap saja kami adalah kakakmu, Andara," pinta Arshad dengan sedikit bujukan agar Andara menerima tawaran itu. Dia juga khawatir pada mental Andara karena dia yang banyak berkorban untuk Vante saat ini.
Andara melebarkan senyumannya dan mengangguk mantap sebagai jawaban. "Mas, makasih ya, Andara pasti akan selalu menceritakannya pada Mas," tuturnya lembut dan suaranya mengecil di akhir.
"Ya sudah, temui sana si manja yang sedang ngambek. Pasti sekarang uring-uringan dan menunggu jemputan. Gengsinya lagi menguasai untuk meminta lebih dulu jemputan kepadamu."
"Ah, iya. Kalau begitu, Andara masuk dulu ya, Mas. Makasih juga loh americano dinginnya," ujar Andara. Kemudian, dia berdiri dan menuju ruangan yang ditempati para sahabat-sahabat Vante tersebut.
Kret.
Pintu terbuka saat Andara mendorongnya, terlihat Naresh, Dhika yang sedang mengurus berkas di meja ujung tempat Arshad yang diduduki sebelum laki-laki itu menjaga kasir.
"Mas," sapa Andara pada Naresh dan Dhika. Ia membungkuk sedikit sebagai bentuk kesopanan.
"Nah, jantung hatinya Vante sudah datang," ucap Dhika, sengaja dikeraskan agar Vante Adinan dapat mendengar jelas bahwa istrinya sudah menjemput.
Vante mendengarnya, bahkan sudah jelas tahu saat suara tadi menyapa kedua sahabatnya. Awalnya ia kaget dan tentu senangnya bukan main, namun sekarang tetap bersikukuh sedang merajuk pada istrinya.
"Tuh, masih ngambek si manja itu, Indira. Kaya anak kecil, maunya dimanja Indira dulu biar luluh hatinya dan merasa gembira lagi seperti semula," lontar Naresh.
Andara tersenyum sebagai respon, lalu berjalan ke arah suaminya dan tiba-tiba menggelitiki perut Vante dengan jari-jari lentiknya.
"Utututu. Gitik, gitik, perut Vante gemoy sekali. Kitik kitik kitik, uh manja sekali suamiku ini, ya. Merajuk, ya? Utututuutu, suamiku ini…. Kitik kitik kitik." Tanpa hentinya menggelitiki perut Vante, membuat laki-laki itu akhirnya melepaskan tawa karena geli dan tentu wajahnya sangat ceria kembali karena dimanja oleh istrinya.
Ah, itu alasan laki-laki itu kenapa sangat betah dan merasa leluasa mengekspresikan dirinya secara bebas pada istrinya, pikir Naresh dan Dhika, mereka saling tatap dan mengangguk paham sekarang.
"Cah! Pulang! Ayo pulang, utututu sayangnya Indira," ucap Andara lagi dan memberikan kecupan ringan di dahi suaminya. Penuh kasih sayang dan kehangatan, itulah yang membuat Vante jauh-jauh lebih bahagia dari yang dulu.
"Belum puas tahu main gelitiknya," protes Vante yang tentu seperti anak kecil penuh kemanjaan. Bahkan kedua sahabatnya merasa geli dengan tingkah dirinya yang seperti anak kecil.
"Gitik gitik gitik. Utututu jangan ngambek lagi, ya? Kitik kitik kitik utututu sayang."
***
"Indira kau melupakan satu hal," ucap Vante pada Andara yang duduk di depan meja rias untuk membersihkan wajah dengan kapas yang dibasahi oleh micellar water.
Andara pun melirik Vante dari pantulan cermin yang terbentang luas di hadapannya. Kali ini, apa lagi yang protes yang ingin Vante layangkan kepadanya. "Apa?" Kembali, Andara bertanya dengan kata singkat yang membuat Vante berdecih kecil mendengarnya.
"Apa?" tanya Andara lagi yang penasaran karena Vante tidak kunjung menjawab, malah sibuk memasang wajah remeh pada istrinya.
"Kau pikun, ya? Aku tidak suka aroma anggur, kenapa kau memasang pengharum ruangan dengan aroma yang tidak aku sukai. A-aku ingin muntah, Indira…."
Ah, itu penyebabnya. Lagi pula, Andara mana tahu, dia hanya asal memilih mana menurut dirinya yang memiliki aroma enak dan segar.
"Ah, itu. Aku dapat gratisan dan melupakan separah apa kau membenci aroma ini. Akan aku ganti dulu, sebentar. Andara naik ke atas sofa yang ada di dekat jendela dan menarik pengharum ruangan beraroma anggur tersebut yang tergantung di dekat ac. Lalu, membuangnya ke tempat sampah yang ada di dapur.
Vante berdehem dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, ia ingin bercengkrama dulu bersama istrinya sebelum mandi. Andara menyetujui dan duduk di sebelah Vante.
"Kau, akhir-akhir ini terlihat aneh? Ada apa? Katakan pada suamimu ini, kau seperti bukan Indira saja," ujar Vante membuka percakapan lebih dulu, tangan kanannya melingkar memeluk pinggan Andara dengan nyaman.
"Aku banyak pikiran." Dengan sengaja, Andara menjatuhkan kepalanya di pundak Vante dan tangan kanannya bergerak mengusap bagian perut Vante yang cukup berkotak. Ini, centil. Andara sangat centil jika begini. Tapi, ini suami sahnya dan Andara berhak 1000% untuk memenangkan hati Vante.
"Ada apa? Pekerjaanmu melelahkan? Ingin resign?"
"Pekerjaan memang berat, ya. Aku boleh resign?"
Vante mempererat pelukannya pada pinggang Andara, lalu menyentuh pipi istrinya dengan lembut. "Tentu, boleh. Kan kamu tahu, aku sukanya kamu kerjanya ga terlalu berat, sayang."
"Aku boleh jadi penulis aja ga sama kerja nyusun parsel pesanan orang, jadi di rumah aja?" pinta Andara yang juga ikut memeluk Vante lebih kencang. Andara, apa kau sudah jatuh lebih dalam ke kehidupan Vante. Aku tahu, Vante definisi suami idaman versimu. Bukankah kau beruntung bisa menjadi bagian dari hidupnya?
"Kau memangnya bisa menulis dan menyusun parsel. Dari mana kau mengrti hal itu, bukankah itu seperti Andara?"
"Aku belajar banyak darinya selama ini. Aku sudah lama memikirkan resign dan ingin menjadi istri penurut untukmu. Tentu saja aku belajar dari adikku itu."
"Ah, begitu rupanya." Vante mengangguk-ngangguk dan mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Setelah ini, dia akan memulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi saat ini?
"Mas, tadi Andara dapat telpon dari dokter Han," bisik Andara pelan sekali, tentu membuat telinga Vante menjadi geli karena hembusan nafas istrinya yang begitu menggoda.
"Apa katanya sayang?"
"Donor mata buat Mas Vante udah ada, tapi harus nunggu beberapa bulan lagi buat Mas ngejalani terapi saraf, biar ga berbahaya buat keselamatan mata Mas."
"Hah!" Reflek Vante menutup mulutnya dengan telapak tangan, kabar bahagia yang ia tunggu, akhirnya dia akan segera mendapatkan donor mata.
"Seneng, ga?" tanya Andara.
Stap.
Vante langsung memeluk Andara dengan begitu erat. Rasanya, tidak percaya busa secepat ini walau harus menunggu beberapa bulan penyelesaian terapi matanya. "Benarkah! Benarkah, Indira?"
Andara mengangguk-ngangguk dalam dekapan Vante, dagu mungilnya terasa mengentak di tulang selangka milik Vante. "Beneran tau! Seneng, ga?"
"Senang dong! Akhirnya, aku sebentar lagi bisa liat kembali, bisa liat kamu yang cantik ini!"
Ah, Andara memudarkan senyumannya, ia lupa akan hal ini. Jelas, jika tiba hari itu, pasti sangat sulit bagi Vante untuk menerima Andara sebagai istrinya. Atau mungkin, Indira yang akan kembali merebut posisi ini dan hidup bahagia bersama Vante.
"Aku juga senang, Mas Vante," balas Andara dengan hati yang gemuruh hebat membayangkan hari itu tiba.
"Oh, iya." Vante melepaskan pelukannya dan mencoba menyentuh kedua tangan Andara. "Kau sudah tidak berhubungan dengan Jaren lagi? Aku sudah jarang melihat kau izin bertemu dengannya."
"Kan sudah punya suami," jawab Andara seadanya. Benar sih, tapi lebih dari itu memang pada dasarnya Andara bukanlah orang yang dekat dengan Jaren.
"Baguslah. Aku tidak suka dengannya. Euhm…." Vante tampak berpikir sejenak, dia teringat sesuatu. "T-tapi dia tidak dekat dengan Andara, kan?"
Andara menaikkan satu alisnya, tertegun karena pertanyaan Vante yang terkesan posesif pada adik iparnya? Euhm, Andara boleh percaya diri?
"Kenapa Mas bertanya begitu? Memangnya kenapa jika Jaren dekat dengan Andara? Mana tahu berjodoh?"
"Hah! J-jodoh?" Vante terlihat panik, ekspresinya seperti tidak terima. Ada apa? Kan, kau tahu itu adik iparmu, Vante?
"Kok gitu ekspresinya," tukas Andara dengan suara yang dibuat kesal dan cemburu. "Aku cemburu, tau! Kenapa tidak menikah saja dengan Andara sejak awal!"
Vante menggeleng-geleng panik. "Bukan! Bukan seperti itu! Aku khawatir pada adik iparku, hanya itu saja, Indira. Jaren tidak cocok dengan Andara." Vante berusaha memajukan tubuhnya dan meminta maaf pada Andara.
Andara pun menahan tawa dengan susah payah, ekspresi Vante yang panik dan seperti ingin meledakkan tangis dapat dilihat jelas sore hari ini.
"Aku bercanda. Terima kasih sudah peduli pada Andara. Jika dia tahu kakak iparnya sebaik ini, pasti dia akan senang sekali," lontar Andara. Jelas, dia senang jika Vane sepeduli ini pada orang-orang.
"Benarkah?"
"Tentu saja, dia pasti ingin memiliki suami sepertimu."
"Kau cemburu? hah? uhhh... cemburu, ya?" Vante berusaha membawa kepalanya menuju perut Andara. Dia menggelitiki perut Andara dengan menggunakan bibirnya.
Berakhir, mereka bermain gelitikan lagi hingga mereka lupa, jika hari sudah semakin gelap dan mereka belum mandi sama sekali.
Mereka berdua memang menjalani kehidupan pernikahan yang sederhana. Kadang beradu argumen karena hal kecil, saling bercanda atau bahkan tidak malu lagi untuk saling buang angin, lalu saling kesal karena baunya yang tidak bersahabat. Tapi, yang perlu kalian tahu, lebih banyak kebahagiaan yang menyelimuti mereka berdua dan perasaan cinta yang saling menggebu-gebu tanpa batas.
Untukmu Vante Adinan, jangan lihat siapa orangnya nanti, tapi lihatlah momen yang dibangun sebelumnya.
•• To be continue ••