•• Happy reading ••
"Dek! Tunggu." Jaren menahan lengan Andara dan menariknya ke salah satu ruangan yang tidak terpakai dan cukup berdebu. Ruangan yang cahayanya remang-remang memang terkesan horor di sore hari seperti ini.
"M-mas Jaren? Ada apa?" Andara mencoba melepaskan lengannya yang dipegang erat oleh Jaren. Kakinya melangkah mengikuti pergerakan Jaren yang sedikit kasar.
"Ini pasti karena Vante," ucap Jaren dengan suara yang cukup mendominasi ruangan gelap ini. Dia tidak terima dengan keputusan Andara yang tiba-tiba mengundurkan diri dan tidak memperpanjang kontraknya dengan perusahaan penerbit yang Jaren kelola.
"Dia suamiku. Aku resign karena aku juga ingin berfokus pada tulisanku sendiri. Lagi pula, aku terlalu repot jika mengurus Mas Vante dan bekerja padat setiap harinya, Mas," sela Andara. Dia memang kewalahan jika bekerja padat sambil mengurus suaminya. Lagipula, Andara juga tidak melanggar kontrak, hanya tidak ingin memperpanjang saja.
"Kau dengannya hanya sebatas pernikahan perjanjian, kenapa kau yang repot mengurus Vante? Itu bukan kewajibanmu." Nada bicara Jaren meningkat drastis, membuat kepala Andara terasa pusing.
"Mas kenapa, sih? Aku ini istri orang, kenapa Mas seperti pesuruhku?" Andara menutup mulutnya dengan telapak tangan. Memang, perutnya sedikit mual karena tadi pagi ia salah makan. Vante menyuruh istirahat saja, tapi dia menolak. Alhasil, saat ke kantor ini, Vante menemani, pria itu menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan lagu yang dipilihkan istrinya untuk terapi saraf.
"Aku tidak menganggapmu b***k. Tapi, kenapa kau resign seperti ini? Ini impianmu, Andara." Jaren sedikit menjolak bahu Andara hingga punggung wanita itu bersandar di dinding.
"Aku udah ga bisa kerja disini lagi, Mas. Maaf, aku punya prioritas yang lebih penting sekarang."
"Vante?"
Andara mendongak dan membalas tatapan Jaren yang penuh kesedihan tersirat di dalamnya. Laki-laki itu tampak tidak baik-baik saja saat ini. Tapi, kenapa?
Lalu, Andara mengangguk sebagai jawaban iya, iya jika semuanya karena Vante semata.
Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya dan tersenyum sarkas pada Andara. "Kau jatuh cinta padanya, kan? Sudah bisa ditebak, ini kesempatanmu karena Indira membuang laki-laki itu."
Hoek.
Andara memegang perutnya yang mulai mual dan terasa nafasnya yang menghangat, mungkin setelah ini akan mengalami tidak enak badan.
"Kau hamil?"
Andara membulatkan kedua matanya, kaget atas pertanyaan Jaren yang terlontar dengan begitu penekanan.
"Hah? H-hamil?"
"Kau mual dari tadi. Wah, kau benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk merebut Vante dari Indira. Aku tidak menyangka Andara, licik juga permainanmu ini. Murahan!"
Plak!
Tanpa sengaja, tangan kanan Andara melayang begitu saja di pipi Jaren dengan sempurna, pernyataan yang dilontarkan Jaren sangat menyakitkan. Andara tidak seperti itu, jika boleh memilih, maka dia tidak ingin menikah dengan Vante.
"Mas jaga omongan Mas, ya!" Andara menggertakkan giginya untuk tidak meledak-ledakkan emosinya hari ini. Matanya memerah tajam menatap Jaren dengan tidak senang. "Jika aku hamil pun itu karena aku istrinya. Memangnya kenapa kalau aku hamil? Aku tidak pernah merebut mas Vante dari Kak Indira. Aku juga korban dari perbuatan dia, jika aku tidak punya moral sedikitpun, aku pasti akan dengan tega menolak pernikahan ini dan membiarkan ibu mas Vante memohon di kakiku sambil bersujud. Aku tegaskan sekali lagi, aku tidak pernah mengambil apapun yang dimiliki oleh Indira Jeo. Dia sendiri yang melepaskan mas Vante dan membiarkan ibu mas Vante bersujud di kakinya dan diremehkan pada hari itu."
"A-andara-"
"Jika mas menginginkan kakakku, tolong jangan menuduhku sembarangan sebagai perebut milik orang lain. Jangan libatkan aku dalam masalahmu, Mas. Sekali lagi, aku tidak pernah merebut mas Vante dari kakakku. Minggir!" tukas Andara dan berusaha untuk melepaskan diri dari Jaren yang sepertinya terlihat merasa bersalah pada Andara.
"Tunggu!" Jaren kembali menahan lengan Andara, dia bahkan menarik tubuh wanita itu dengan kuat dan membawanya ke dalam pelukan tubuhnya. Jaren mengunci Andara dengan erat, bahkan sekilas menumpukan dagunya di sekitar leher istri Vante itu, dia juga sekilas mencium kepala Andara dengan pelan.
"Mas! Mas ini kenapa! Kenapa melakukan hal ini padaku? Aku ingin keluar, suamiku sudah menunggu di dalam mobil. Awas, Mas!" teriak Andara dengan kesusahan, namun tidak digubris dengan baik oleh Jaren. Bahkan laki-laki itu menekan tubuh Andara ke dinding dengan tubuhnya sendiri.
"Mas!" Andara memukul bahu Jaren sekuat mungkin, rasanya sangat tidak etis posisi seperti ini, sangat ambigu dan memicu salah paham nantinya.
Perlahan, Jaren mengangkat kepalanya untuk berhadapan dengan Andara, tangan kirinya menyentuh tengkuk Andara dan menyatukan bibirnya dengan bibir milik wanita itu secara paksa.
Andara jelas memberontak dengan mendorong bahu Jaren, dia merasa jijik atas perlakuan Jaren kepadanya. Kenapa laki-laki ini menyerang Andara dengan menciumnya, ada apa? Bukankah Jaren menyukai Indira, kenapa lagi-lagi Andara yang menjadi korban. Sungguh, menyakiti Andara adalah sebuah kesalahan terbesar.
Jaren tidak peduli, ia hanya menahannya sejak tadi untuk tidak mencium Andara. Hanya saja, semakin menahan diri, maka di pikirannya terus bermunculan perlakuan mesra Vante terhadap Andara. Ya, Jaren menyukai Andara, dia tidak pernah mengklaim bahwa dirinya menyukai Indira. Dari dulu, hatinya terisi penuh dengan kehadiran Andara.
"Euhm…," lenguh Jaren dan semakin memperdalam ciumannya dan mencoba memasuki lidahnya ke dalam mulut Andara. Mati-matian Andara menolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali untuk melanjutkan ciuman.
Tag! Splas.
Andara menginjak kaki Jaren dan menendang alat vital laki-laki itu dengan kaki kanannya. Berakhir, Jaren yang yang mengerang karena sakit. Dia memegang alat vitalnya yang terasa ngilu dan meringis hebat karena jempol kakinya yang diinjak Andara dengan dahsyat.
Setelah itu, Andara mengambil kesempatan untuk kabur dari Jaren, di sepanjang koridor kantor, ia berlari dengan tangisan yang pecah karena merasa tidak suci bibirnya dicium oleh Jaren yang ia anggap seperti kakaknya sendiri.
Andara tidak peduli pada staf perusahaan yang menyapanya atau bertanya tentang dirinya yang menangis seperti ini. Ketika dia sudah keluar dari gedung perusahaan itu, Andara berlarian masuk ke dalam mobilnya dengan tergesa-gesa. Sehingga, membuat Vante kaget dan terbangun dari tidur santainya.
"Eunghhn…. Ughhh!" Andara menangis sesenggukan dan menumpukan kepalanya di kemudi setir.
"S-sayang ada apa?" Vante nampak terlihat panik mendengar tangisan Andara yang suaranya begitu mengiris hati Vante, menyakitkan.
"M-mas, aku boleh…. B-boleh minta pangku… eughhh! dan p-peluk?
Vante menepuk-nepuk pahanya agar Andara mendekat. "Sini sayang, kenapa kau menangis?"
Andara dengan ligat menerobos ke arah kanan bangku penumpang dan duduk di paha Vante, kedua kakinya terbuka lebar untuk mendekat dan merengkuh suaminya. Ia mengalungkan kedua tangannya di leher sang suami dan menangis kencang di bahu suaminya itu.
Vante menenangkan dengan terus mengusap punggung istrinya yang kecil itu. Bahkan, dia terus melayangkan ciuman ke kepala Andara dengan begitu lembut. "Ada apa? Kenapa menangis seperti ini, sayang? Ada yang menyakitimu, huh? Sini, bilang padaku."
"A-aku takut, eunghh! Mas Jaren jahat padaku!"
"Kenapa dia, bukankah dia teman berhargamu, sayang?" tanya Vante dengan nada lembutnya. Dia sangat sayang sekali pada istrinya ini, dia akan terus memperlakukan dengan lembut karena wanita yang dicintainya ini sangat berharga lebih dari pada berlian. Tapi…. Kenapa selalu ada hal yang membuat Vante selalu curiga? Kata itu barusan, 'Mas Jaren, katanya.'
"Mas Jaren, jahat!"
Nah, sejak awal istrinya tidak salah bicara. Itu, 'Mas jaren," lagi katanya.
"Ada apa?" Vante berusaha untuk tetap tenang agar wanitanya juga merasa nyaman dan terlindungi. Vante tidak akan membiarkan siapapun menyakiti istrinya, termasuk Jaren sekalipun.
"Dia menciumku dengan paksa, eunghh…."
"Apa!"
•• To be continue ••