Chapter 6

1315 Words
Selamat membaca Jam menunjukkan pukul 15.02. Yura yang baru saja bangun langsung turun dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci wajah. Setelah selesai, dia mengelapnya dengan handuk kecil. Kemudian keluar dari kamar, dan turun ke lantai satu berniat untuk mengambil air minum karena tenggorokannya terasa kering. Ketika menuruni tangga, tatapannya tertuju ke arah Arka dan Vano yang tengah duduk di sofa sembari menonton tv. Yura melewati mereka berdua begitu saja dan tidak menyapa, meski Arka tengah menoleh ke arahnya ketika menyadari kedatangannya. Yura berjalan ke arah dapur, lalu membuka pintu lemari es dan mengambil sebotol air minum dingin. Dia kemudian menuangkannya ke dalam gelas, dan meneguknya sembari duduk di kursi. Setelah habis, Yura kembali mengisi gelas kosong tersebut dengan air dingin dan menghabiskannya hingga tandas. Kemudian dia beranjak dari kursi, dan melangkah menuju dispenser untuk mengisi botol air minum sebelum memasukannya kembali ke dalam lemari es. Yura sudah berniat naik ke tangga untuk kembali ke kamar, namun Arka tiba-tiba memanggilnya. "Kamu siap-siap dulu, habis ini kita pergi," ungkap Arka. "Kemana?" tanya Yura dengan nada suara yang tidak menyenangkan. "Vano mau nonton di bioskop," sahut Arka ringan. "Kamu pergi saja sama Vano, aku nggak ikut," pungkas Yura. "Kita kan jarang bisa pergi bareng-bareng begini, Ra. Mumpung ada waktu, sekali-kali kita pergi bertiga," sahut Arka. "Ada atau nggak ada aku pun kalian juga tetap bisa bersenang-senang, kan? Atau enggak, kamu ajak Giska buat gantiin aku. Vano juga pasti lebih suka pergi dengan Giska dari pada aku," tukas Yura sedikit sarkas. "Aku ngajak kamu pergi karena ingin kita punya waktu bersama, agar hubungan kita juga ada perubahan. Tapi di saat aku mencoba mendekatkan diri, kamu justru minta orang lain gantiin kamu." "Yang istri aku itu kamu atau Giska?" tukas Arka sarkas. Yura tersenyum sinis. "Kamu tanya aku? Aku sendiri juga penasaran, sebenarnya aku ini istri kamu atau bukan? Atau mungkin aku hanya sebatas wanita yang menikah dengan kamu saja? Entahlah, aku sendiri juga bingung." "Jangan bikin aku emosi ya, Ra. Aku ngajak kamu baik-baik, tapi respon kamu malah begini," pungkas Arka dengan nada suara yang sedikit naik. "Loh? Aku benar, kan? Yang aku omongin itu fakta." Arka memilih untuk diam dan menyudahi perdebatan karena memikirkan Vano yang juga masih berada di sana. Kemudian dia menghela napas pelan. "Sekali ini saja, pergi dengan aku dan Vano. Tolong ...," pinta Arka penuh harap dengan nada suara rendah. Yura terdiam, lalu melirik ke arah Vano yang sedari tadi hanya tertunduk lesu dengan raut wajah murung. "Ya sudah kenapa sekarang masih duduk belum siap-siap?" tukas Yura. Raut wajah Vano seketika berubah sumringah dan berseri-seri. "Bunda mau ikut?" tanyanya ceria. Yura tidak memasang ekspresi apa pun. "Kamu mandi dulu sama Papa. Bunda juga mau siap-siap," ujarnya sembari melangkah menuju tangga. Arka menatap punggung Yura dari belakang sembari tersenyum. Kemudian dia segera mengajak Vano ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa saat kemudian setelah selesai mengurus Vano, Arka berjalan menuju kamarnya dengan Yura untuk bersiap-siap. Dia membuka pintu kamar, dan mendapati Yura tengah berdandan di depan meja rias. "Nanti kita sekalian makan malam di luar, soalnya Vano juga minta main di mall," ungkap Arka sembari berjalan masuk. "Hem." Yura hanya menjawab Arka dengan deheman, dan tetap fokus merias wajah. Arka menghela napas berat. Dia memilih untuk tidak mempermasalahkan respon Yura yang kurang menyenangkan. Karena tidak ingin jika akhirnya dirinya dan Yura bertengkar kembali hanya karena masalah kecil. Meskipun sebenarnya dia ingin menegur sikap Yura yang terkesan tidak sopan terhadap suaminya sendiri. Setelah semua sudah siap, mereka pun berangkat menuju ke sebuah mall terbesar di salah satu kota Jakarta. Di sepanjang perjalanan, Vano terus bercerita dengan riang sampai membuat Arka yang menjadi teman bicaranya kewalahan karena terus menyahutinya. Sedangkan Yura hanya diam, dan tidak ikut mengobrol bersama dengan suami serta anaknya yang begitu asik bercerita tentang banyak hal. Arka melirik ke arah Yura yang hanya duduk melamun sembari melihat ke arah kaca jendela mobil. Dia tidak bisa menebak isi pikiran Yura karena wanita itu hanya memasang wajah datar. Arka benar-benar tidak bisa mengerti apa yang tengah Yura pikirkan saat ini hingga membuat wanita itu hanya diam sedari tadi tanpa mengatakan apa pun. ***** Saat ini Arka, Yura, dan Vano tengah berada di area bermain dalam mall setelah mereka selesai menonton film di bioskop. Vano terlihat begitu gembira dan bersemangat mencoba segala permainan yang ada, salah satunya memasukkan bola basket ke dalam ring bersama dengan Arka yang menemaninya. Sedangkan Yura tidak ikut bermain, dan hanya duduk di kursi menunggu sampai dua orang itu selesai. Ketika Yura sedang melihat Arka dan Vano yang sibuk bermain, tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri Yura. "Yura ...," panggil seseorang dengan suara beratnya yang terdengar tidak asing di telinga Yura. Yura menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang pria sedang tersenyum hangat ke arahnya. "Pak Marco," gumam Yura sumringah. Marco duduk di samping Yura. "Apa kabar?" tanyanya ramah. "Ah, saya baik. Bapak sendiri bagaimana?" "Ya seperti biasanya," sahut Marco ringan. "Kamu sendiri di sini?" tanyanya. "Emm ... sama mas Arka dan Vano. Mereka lagi main di sana," jawab Yura pelan sembari menunjuk ke arah Arka. "Oh, kamu kenapa nggak ikut main?" "Enggak, Pak," sahut Yura tersenyum kecil. "Bapak di sini juga lagi nemenin Naomi?" "Iya, itu anaknya lagi sibuk ngambil boneka di mesin sama mbaknya sambil marah-marah karena dari tadi nggak bisa-bisa terus," ungkapnya terkekeh karena tidak habis pikir dengan sifat putrinya yang pantang menyerah. "Sekarang Naomi sudah besar ya, Pak. Dulu waktu saya masih kerja di kantor Bapak, dia masih suka malu-malu kalau ketemu orang baru. Sering nangis juga kalau ditinggal Bapak rapat." Yura tertawa kecil ketika mengingat kembali tingkah menggemaskan Naomi saat masih sangat kecil. "Sekarang kan dia sudah umur enam tahun, Ra. Apalagi kamu juga nggak pernah ketemu Naomi sejak kamu memutuskan untuk resign dari kantor. Makanya dia sekarang kelihatan berbeda di mata kamu," ujar Marco. "Tidak terasa sudah selama itu, ya?" lirih Yura dengan tatapan lurus ke depan. "Sebenarnya waktu itu aku berat melepas kamu, karena kamu termasuk karyawan yang rajin dan berkompeten. Tapi karena kamu ingin fokus dengan keluarga setelah menikah, jadi aku juga nggak bisa berbuat apa-apa," ungkap Marco. Yura menoleh ke arah Marco. "Sebenarnya saya juga ingin kembali kerja di kantor Bapak, tapi saya masih belum yakin," tuturnya pelan. "Kapan pun kamu siap, aku akan selalu menerima kamu kembali," sahut Marco tersenyum lembut. Sudut bibir Yura tersungging ke atas membentuk senyuman hangat. "Terima kasih. Memang hanya Bapak satu-satunya bos yang baik dan perhatian ke semua karyawannya," pujinya. Marco terkekeh. "Kamu terlalu berlebihan." "Saya mengatakan yang sebenarnya. Karena saya juga sudah lama kerja dengan Bapak, jadi tentu saja saya tau sifat Bapak," sahut Yura yakin. "Itu juga alasan kenapa saya betah dan nyaman kerja dengan Pak Marco. Karena Bapak orangnya ramah, supel, dan juga baik. Tidak seperti bos kebanyakan yang keras, arogan, dan egois selalu menuntut pegawainya untuk bisa dalam segala hal." "Apa itu artinya aku termasuk tipe ideal kamu?" goda Marco. "Harus saya akui memang iya. Bahkan dulu saya sempat suka dengan Pak Marco karena sifat Bapak yang tenang dan lemah lembut. Ditambah lagi dengan wajah dan kepintaran Bapak yang tidak main-main. Intinya di mata saya Pak Marco itu sempurna," ungkap Yura tersenyum ceria. Marco terdiam membisu sembari menatap Yura dengan tatapan yang sulit dijelaskan, serta raut wajah yang sulit ditebak. "Kalau seandainya sekarang kamu belum menikah, apa kamu aku menerima pinangan aku kalau aku melamar kamu?" tanyanya dengan raut wajah serius. "Emm, mungkin. Tapi Bapak terlambat, karena saya sudah menikah dengan laki-laki lain," jawab Yura santai. "Pak Marco sih kelamaan lamar saya, jadinya saya nerima lamaran orang lain, deh," lanjutnya dengan nada gurau. Marco tersenyum getir. "Kalau aku lebih cepat, mungkin sekarang Naomi sudah punya adik." Yura justru tertawa menanggapi ucapan Marco yang dianggapnya sebagai candaan. Yura tidak menyadari jika di ujung sana Arka tengah memperhatikannya dengan raut wajah dingin tanpa ekspresi. Tangannya perlahan terkepal erat bersamaan dengan hatinya yang bergemuruh ketika mendapati Yura dekat dan pria lain. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD