Selamat membaca
Arka masuk kembali ke dalam kamar dan mendapati Yura tengah bersandar di punggung ranjang sembari memainkan ponsel.
"Kenapa masuk lagi? Bukannya dia ngajak pergi?" tukas Yura ketus tanpa menoleh ke arah Arka.
"Kalau mau pergi, ya pergi saja. Biasanya kan hari Minggu kalian bertiga pergi bareng," sambungnya datar tanpa ekspresi.
"Hari ini aku capek, mau istirahat di rumah," sahut Arka ringan.
"Jadi kita selesaikan pembicaraan kita yang sempat tertunda," sambungnya berjalan ke arah Yura.
"Nggak ada lagi yang mau aku bicarakan," pungkas Yura sibuk memainkan ponselnya.
"Tapi aku masih belum selesai bicara," ucap Arka sembari duduk di tepi ranjang.
"Bisa tolong taruh hp kamu kalau ada orang lain ngajak ngomong. Aku ingin kita berdua bicara baik-baik dengan kepala dingin," sambungnya dengan raut wajah serius.
"Kamu bukan anak kecil yang harus aku bilangin dulu supaya ngerti, kan?"
Yura meletakkan ponsel di atas tempat tidur dengan sedikit kasar, lalu menoleh ke arah Arka dengan raut wajah ketus. "Apa yang mau kamu bicarakan, hem?"
Arka mengembuskan napas panjang.
"Mungkin aku memang salah," tuturnya dengan nada suara yang jauh lebih lembut dari sebelumnya.
Yura hanya diam tanpa ekspresi.
"Sepertinya selama ini aku terlalu fokus dengan Vano sampai aku kurang memperhatikan kamu. Aku hanya memikirkan bagaimana cara membuat Vano bahagia, sampai lupa kalau aku harus memikirkan perasaan kamu juga. Aku pikir Vano akan senang kalau dia bisa terus berada di dekat ibunya. Karena itu, aku nggak melarang Giska bertemu dan pergi menghabiskan waktu bersama dengan Vano. Aku membiarkan mereka berdua bersama karena aku nggak mau Vano merasa jauh dari ibu kandungnya, walaupun aku dan Giska sudah bercerai," jelas Arka.
"Tapi tanpa sadar, aku lalai dan nggak bisa membatasi diri terhadap masa lalu sampai membuat kamu salah paham, dan berpikiran yang macam-macam tentang aku. Aku ngerti kenapa kamu bisa sampai berpikiran seperti itu, dan mengira aku masih memiliki perasaan dengan Giska. Tapi sekarang situasinya sudah berbeda, Ra. Giska adalah masa lalu aku, dan kami nggak bisa lagi bersama. Karena aku juga sudah menikah dengan kamu."
"Awalnya aku memang sangat terpukul dengan perceraian aku dan Giska. Bahkan aku sempat drop karena hal itu. Di samping aku masih mencintai Giska, aku juga memikirkan perasaan Vano kalau tumbuh di keluarga broken home. Karena itu, aku masih ingin mempertahankan pernikahan, walaupun Giska selingkuh. Tapi mungkin memang kami nggak di takdirkan bersama, jadi akhirnya kami tetap berpisah walaupun aku sudah melakukan berbagai cara untuk tetap bersama."
"Dan jujur, aku nggak ada niatan sama sekali untuk kembali dengan Giska. Aku memilih memaafkan dan menerima dia karena dia adalah ibu dari anak aku. Bukan karena semata aku masih mengharapkannya kembali. Aku juga sudah berusaha melupakannya sejak kami bercerai. Dan alasan kenapa aku nggak pernah menyentuh kamu, karena aku nggak mau menyakiti perasaan kamu di saat hati aku masih untuk orang lain."
"Karena itu, aku menunggu sampai aku benar-benar bisa menghilangkan dia dari hati aku agar kamu nggak terluka. Jadi jangan pernah berpikir aku menikahi kamu karena sebagai pelampiasan." Tangan Arka bergerak untuk menyentuh tangan Yura, namun Yura dengan cepat menghindar.
"Sudah lah, Mas. Kamu nggak perlu mengelak lagi. Apa susahnya mengakui kalau kamu memang masih mencintai mantan istri kamu itu, hah? Lagian semua orang juga sudah tau kalau kamu masih belum bisa melupakan Giska. Bahkan mereka sampai beranggapan kalau kamu lebih menyayangi Giska dibandingkan aku yang berstatus sebagai istri kamu saat ini. Karena sikap dan perlakuan kamu ke Giska yang jauh lebih hangat dibandingkan sikap kamu kepada istri kamu sendiri."
"Tanpa diberitahu pun, aku juga sudah tau. Aku tau kalau aku ini bukan siapa-siapa bagi kamu. Karena itu, aku nggak pernah protes dengan sikap kamu yang jelas nggak adil. Aku nggak pernah komplain kenapa kamu justru lebih perhatian, dan sering menghabiskan waktu bersama dengan Giska di hari libur dibandingkan dengan aku. Bahkan aku nggak pernah meminta kamu menjauh dari dia, atau pun melarang kamu bertemu dengan dia. Karena aku sadar kalau aku hanya orang asing yang nggak berarti apa-apa bagi kamu. Aku nggak terlalu berharga di hidup kamu sampai kamu harus memikirkan perasaan aku. Iya kan, Mas?" Yura tersenyum sinis.
Arka terdiam membisu.
"Sudahlah, aku ngantuk." Yura berbaring di atas tempat tidur sembari membelakangi Arka.
"Kita masih harus bicara, Ra. Kalau kamu terus begini, hubungan kita nggak akan ada kemajuan," tutur Arka dengan nada suara rendah.
"Sudah tiga tahun pun hubungan kita memang nggak pernah ada perubahan," desis Yura sarkas.
"Ra ...." Arka sudah berniat menyentuh rambut Yura.
"Aku ingin sendiri," tukas Yura dingin.
Tangan Arka seketika terhenti dan mengambang di udara. Kemudian dia mengepalkan tangan dan kembali menurunkan tangannya. "Kita akan bicara lagi nanti setelah kamu tenang," tuturnya pelan, dan berlalu pergi meninggalkan Yura sendiri di kamar.
Setelah Arka pergi, Yura mencengkram sprei erat sampai buku-buku jarinya memutih sembari menggertakan gigi.
TBC.