Kembali Pulang

1385 Words
“Welcome to Jekardahhh janda kembang.” Indira yang baru saja keluar dari pintu kedatangan Bandara Soekarno-Hatta pura-pura tidak mengenal sahabatnya yang tengah berteriak heboh. Untung saja dia memakai masker dan kacamata hitam sehingga orang-orang disekitaran sana tidak ada yang mengenali. “Janda kembang tunggu aku. Kok malah ditinggal sih!” Naura berlari ke arah Indira. “Kamu tidak melihatku, Dir?” “Bisa diam apa tidak, Ra. Jangan sampai aku sumpel mulutmu dengan kaos kaki.” “Ih, jahatnya ...” Naura memeluk lengan sahabatnya. Keduanya menuju ke arah pintu keluar bandara. “Kangen banget sama kamu, Dir.” “Alah bilang kangen ngak mau nyusul! Titan saja sempat nyusul meskipun hanya sehari.” “Jelas beda dong. Anak kamu sudah rindu berat sama Mama tirinya pastinya akan nyusul meskipun berangkat pagi pulang malam.” “Jangan asal bicara, Ra! Aku memang sudah menganggap Titan seperti anakku. Bukan berarti aku akan menjadi Mama tirinya.” “Lihat saja nanti.” Naura membukakan pintu untuk Indira sebagai tanda permintaan maaf. Dia sengaja menawarkan diri menjemput sahabatnya yang baru saja tiba di Jakarta Sepanjang perjalanan Indira menceritakan penjebakan Ihsan padanya agar mau bergabung di Firma Hukum Dirgantara. Dia juga mengirimkan kontrak aneh yang dibuat oleh Ihsan pada Naura. Bukannya kasihan justru sahabatnya malah terbahak setelah membaca kontrak kerjanya. “Kayaknya mulai tumbuh benih-benih cinta,” ucap Naura menutup ipad nya. “Baru tahu jika kontrak kerja ada point yang melarang soal perasaan.” “Aku rasa Pak Ihsan membuat kontrak kerja seperti itu pada setiap Karyawan Perempuan di kantornya.” “Takut banget kalau jatuh cinta. Sama sepertimu, Dir.” “Bukankah Pak Ihsan terkenal bucin dengan mendiang Istrinya. Meskipun sudah lama meninggal dia tetap mencintainya sampai tidak mau menikah lagi.” Naura tersenyum mendekatkan badannya pada Indira. “Sebentar lagi Pak Ihsan bakalan sold out.” “Tahu dari mana kamu?” “Feeling aja.” “Gaya mu, Naura! Pakai feeling segala. Gimana soal pertunanganmu lancar?” “Tentu saja gagal maning, haha. Gila aja aku mau di jodohkan sama Pilot mecum itu. Bisa jatuh harga diriku.” “Kok bisa kamu dijodohkan dengan Angga gimana ceritanya?” Indira terkekeh melihat wajah masam sahabatnya. Naura mencebik lalu membuka ponselnya. Dia meminta sahabatnya membaca sendiri pesan-pesan yang dikirimkan oleh Angga. “Ya, ampun. Enggak nyangka kamu bakal dapat pujangga cinta seperti ini.” Indira terus saja menggoda Naura setelah membaca pesan-pesan puitis. “Aku yakin gosip yang beredar soal Angga tidak benar.” “Sudahlah aku malas membicarakan soal Pria mecum itu. Bikin otak aku penuh kabut hitam.” Mobil yang ditumpangi keduanya berhenti di lampu merah. Tiba-tiba saja ada seorang gadis yang meneriakkan nama Indira. Tidak hanya itu saja, dia juga mengeluarkan kepalanya lewat jendela mobil. “Tante Cantik ...” “Kenapa bisa kebetulan sekali,” gumam Indira. Naura meminta sahabatnya agar membuka kaca jendela. Dia ingin menyapa Titania yang kini menjadi sahabatnya. “Hai, Titan.” Naura melambaikan tangan. “Hai juga, Tante Naura.” Gadis itu tersenyum lebar ke arah Indira dengan kedua mata tengah berkaca-kaca. “Akhirnya, Tante Dira pulang juga.” “Jangan nangis, Sayang. Besok main ke rumah Tante.” Indira terkekeh melihat gadis kecilnya menangis sesenggukan saat melihatnya. “Tante akan masak banyak makanan buat Titan.” “Okay, Tante. Besok malam Titan akan mampir ke rumah Kakek dan Nenek.” Indira terkejut saat Titan memanggil kedua orang tuanya dengan sebutan ‘Kakek dan Nenek’ padahal terakhir bertemu masih memanggil dengan Om dan tante. *** “Sayang, Bunda bahagia sekali kamu kembali pulang.” Wulan terus menciumi kedua pipi anaknya. “Bunda kenapa malah nangis? Harusnya sambut anaknya dengan senyuman. Kalau menangis cantiknya berkurang banyak.” Indira menghapus air mata Bundanya menggunakan ibu jari. “Bunda bahagia sekali, Nak. Sampai tidak bisa berhenti menangis.” Keduanya kembali berpelukan sebelum masuk ke dalam rumah. Jangan tanya Naura ada dimana! Dia sudah masuk lebih dulu karena kebelet pipis kebanyakan minum es teh saat di bandara. “Banyak banget barang-barang yang kamu bawa, Nak?” “Oleh-oleh buat Bunda, Ayah, Naura, Titan dan para pekerja di rumah. Enggak banyak kok, Bun.” “Titan?” Wulan mengajak masuk anaknya setelah melepaskan pelukannya. “Kemarin dia mampir ke sini sebelum berangkat ke kantor.” “Tumben dibolehin sama Papanya main ke sini terus, Bun?” “Dia diantar sama Bos nya. Itu loh, anak bungsunya Pak Ibrahim.” “Ammar?” “Iya, Ayah sempat ajak ngobrol sebentar saat dia ikut turun dari mobil.” “Ayah kenal sama Ammar? Kayaknya enggak pernah dengar Perusahaan kita kerja sama dengan Zufar Group.” “Pak Ibrahim ‘kan teman kuliah Ayah. Masak kamu lupa?” Indira langsung ke kamarnya untuk berganti pakaian karena Jakarta sangat panas meskipun sudah sore hari. Saat dia baru membuka pintu, Naura terlihat sedang marah-marah dengan seseorang lewat telepon. Tanpa mau mencampuri urusan sahabatnya Indira menuju ke kamar ganti lalu kamar mandi. “Lama banget sih putri duyung mandinya,” omel Naura. Dia kini sedang menikmati snack khas bali yang dibawa Dira. “Gerah banget, Ra. Mau mandi cepat malah tergoda berendam.” “Makasih oleh-olehnya, Dir. Mama suka banget langsung di buat ngemil.” Indira yang baru saja duduk langsung terkejut. “Mama ke sini?” “Hum, dia mau jewer telinga keponakannya. Itu, masih ada di bawah lagi gosip sama Bunda.” “Aku kebawah dulu kalau begitu. Kamu mau ikut apa tidak?” “Disini sajalah. Aku lagi enggak baik-baik saja sama Mama.” Indira turun ke bawah untuk menemui Tante kesayangannya. Saat dia menikah tanpa restu, Mama Naura yang membantunya saat kesulitan keuangan. Meskipun Dira memiliki tabungan dan klinik kecantikan tetap saja kurang jika untuk membiayai keluarga suaminya dan biaya pengobatan mendiang Papa mertuanya. “Mama, kangen,” ucap Indira dengan merentangkan kedua tangannya. “Lama banget enggak ketemu.” “Sayang, Mama juga kangen. Kamu nakal sekali tidak pamit kalau pergi ke Bali.” “Dira sudah titip salam sama Naura, Ma. Memangnya tidak disampaikan?” Keduanya kembali duduk setelah berpelukan melepaskan rindu. “Anak itu sedang ngambek sama Mama. Setiap hari numpang tidur di rumah kamu.” Wulan yang baru saja membuat minuman untuk sepupunya tertawa. Naura benar-benar sedang ngambek dengan kedua orang tuanya karena dijodohkan dengan Angga. “Salah sendiri menjodohkan anak sama Pria yang tidak baik track recordnya.” “Angga itu di fitnah, Mbak. Dia sebenarnya anak yang baik.” “Dira juga berpikir begitu, Bun. Kayaknya dia itu banyak yang suka secara anak tunggal keluarga kaya makanya banyak yang sengaja bikin berita jelek,” terang Indira. “Kata Ayah sih juga gitu, Nak.” Wulan memberikan teh melati untuk tamunya. "Tapi Bunda masih ragu soalnya belum pernah bertemu langsung." Ketiga orang itu tengah asik bergosip ria tanpa mengajak Naura yang sedang mencak-mencak mendapatkan telepon dan ratusan pesan dari Angga. “Lupain saja aku! Memang tidak ada yang sayang denganku.” Indira baru saja masuk ke dalam kamarnya langsung mendapatkan omelan. “Jangan marah-marah terus nanti kamu cepat tua.” “Ponselmu sejak tadi nyala terus. Kayaknya ada pesan kalau enggak telepon masuk.” “Kenapa tidak kamu angkat?” “Aku saja sibuk memblokir nomor si kupret itu! Ngak ada waktu buat lihat ponsel kamu.” “Biasanya orang yang terlalu benci lama-lama bakal jadi cinta. Hati-hati, Ra.” Indira menggoda sahabatnya sebelum menuju balkon untuk menelepon balik Ihsan. Calon Bosnya mengirim pesan menanyakan soal kasus yang belum diterimanya. Ihsan meminta pendapat Indira apa harus menerimanya atau tidak karena dia malas menangani drama perceraian. “Halo, Pak.” “Kamu itu mengetik apa, Dira? Aku tunggu sejak tadi tidak selesai-selesai.” “Belum mengetikan sesuatu masih berpikir, Pak. Ngak sabaran banget sih.” “Menurutmu bagaimana? Jika kamu setuju mengurus kasusnya aku akan terima. Senin langsung kamu kerjakan berkasnya.” “Pak Ihsan, yang terhormat. Saya saja belum tanda tangan kontrak secara langsung. Bisa-bisanya Bapak sudah memberikan tugas!” “Setelah kembali ke Jakarta aku sudah anggap kamu telah menandatangi kontraknya.” “Tidak bisa begitu dong, Pak. Suka seenaknya sendiri bikin kesel.” “Aku sedang sibuk, Dir. Jangan mengajak berdebat! Senin kamu berangkat lebih pagi langsung pelajari kasusnya jika cocok terima jika tidak tolak saja.” Tut ... tut ... tut ... “Dasar Kurang Belaian!” omel Indira saat layar ponselnya mulai meredup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD