Kemarin Indira sempat mengundang Titania untuk makan malam di rumahnya. Dia juga sudah berjanji akan memasak banyak makanan untuk gadis itu.
Kini Titan sudah berada di rumahnya tepatnya sedang membantu memasak di dapur.
“Tante, sudah matang.” Titan berdiri didepan oven yang berisi zuppa soup.
“Minta tolong Bibik buat angkat, Sayang.”
“Biar Titan saja, Tan.”
Indira menggelengkan kepala tidak mengijinkan gadis kesayangannya mengangkat zuppa soup yang masih panas.
“Dari tadi aku nggak boleh bantuin,” rengeknya dengan memeluk Indira dari belakang.
“Titan sudah bantuin potong sayur tadi. Itu ‘kan sama saja membantu.”
“Masaknya enggak, Tante. Aku sudah biasa masak dan membuat macam-macam kue.”
Indira mengeringkan tangannya menggunakan waslap. Semua menu makan malam sudah siap dihidangkan. “Titan itu tamu di rumah ini. Harusnya duduk manis sambil makan camilan.”
“Kalau begitu ayo kita makan sekarang. Aku sudah lapar, Tan. Tadi siang tuh nggak sempat makan.”
“Kenapa tidak makan? Jangan dibiasakan perut dalam keadaan kosong, Sayang.”
“Hanya hari ini, Tante. Besok-besok aku bakal makan banyak.”
Keduanya berjalan menuju ke arah ruang tamu untuk memanggil orang tua Indira, Ihsan dan Ammar.
Ya, Titania tidak datang sendiri. Dia bersama dengan Duda hits Jakarta.
“Papa makan nasi dulu jangan pisang goreng terus!”
Ihsan sudah menghabiskan hampir separuh pisang goreng yang ada di piring. Dia ketagihan dengan rasa pisang goreng buatan Indira. “Iya, Nak.”
“Dira, sepertinya Pak Ihsan kesulitan mengambil nasi.” Wulan sengaja menggoda Putrinya yang terlihat cuek dengan tamunya.
“Dekat kok, Bun. Pasti bisa ambil sendiri.” Indira melanjutkan memakan zuppa soup kesukaannya. Namun dia terkejut saat Ihsan memberikan piring kosong padanya. “Buat apa?”
“Ambilkan nasi lauknya sup d**a ayam dan fuyunghai.”
Indira menghela nafas saat Ihsan lagi-lagi bertindak sesuka hatinya. Padahal, jarak makanan yang di maunya dapat dijangkau dengan mudah tetap saja meminta bantuan.
“Terima kasih,” ucapnya saat Indira memberikan piring berisi makanan. “Tolong air minumnya.”
Titan tersenyum ke arah Wulan saat melihat Papanya sengaja mengerjai Tante cantiknya.
“Papa manja banget sih! Biasanya kalau di rumah juga masak dan makan sendiri.”
“Sayang,” tegur Ihsan pada Putrinya. “Cepat dimakan makanan yang sudah kamu ambil keburu dingin.”
“Siap, Pa.”
Kediaman Fathir yang biasanya sepi kini ramai dengan celotehan Titan. Meski tamunya berjumlah tiga yang aktif hanya gadis itu sedangkan Ihsan dan Ammar menikmati makan malam dengan tenang.
Selesai makan malam Fathir mengajak para tamunya berbincang di taman belakang rumahnya. Disana dia sudah menyiapkan jagung bakar dan teh hangat.
“Papa, Titan mau menginap di rumah Tante Dira ya?”
“Tidak boleh, Sayang. Besok kamu harus ke kampus buat bimbingan.”
“Besok jadwal bimbingannya siang, Pa.” gadis itu kini bergelayut manja di lengan Papanya agar diperbolehkan menginap.
“Bukannya besok pagi kamu sudah ada janji sama Mommy?” Ammar mengingatkan Sekretarisnya jika sudah memiliki janji dengan orang tuanya.
“Wah, iya. Hampir saja lupa.”
Indira baru menyusul ke taman belakang setelah membantu Bibik dan Bundanya membersihkan meja makan.
“Tante, aku nggak jadi menginap. Maaf ya,” ucap Titan berpindah manja dengan Indira.
“Ngak dikasih ijin?”
“Itu salah satunya, Tan.”
“Salah duanya apa?”
Titan terkikik saat Indira ikut-ikutan bercanda seperti dirinya. “Aku lupa jika sudah memiliki janji sama Tante Eliza.”
“Iya, tidak apa-apa.” Indira membalas pelukan gadis kecilnya. “Lain kali saja menginapnya.”
“Padahal Titan sudah berencana mau ajakin Tante begadang nonton film. Gagal deh ...”
Fathir senang sekali kedatangan Ihsan dan Ammar. Keduanya adalah orang-orang hebat yang sangat disegani dalam dunia bisnis.
“Pak Ihsan mengajak Mbak Indira bergabung di Firma Hukum Dirgantara?” tanya Ammar.
“Iya, Nak. Dia sangat berkompeten di bidang hukum. Sayang jika ilmunya tidak digunakan.”
“Benar sekali, Pak. Daddy saja pernah konsultasi masalah surat perjanjian yang dipalsukan kliennya dengan Mbak Indira.”
Fathir tersenyum saat Putrinya disanjung oleh kedua tamunya. Keputusan Indira menjadi ibu rumah tangga setelah menikah tanpa restu sangat disayangkan banyak semua orang.
Di saat karirnya sedang di atas dia memilih mengabdi pada suami dan mertua yang tidak tahu diri.
Kemarin saat Dira meminta izin kembali bekerja pada kedua orang tuanya membuat Fathir dan Wulan menangis saking bahagianya.
Mereka bahagia bukan karena Indira dapat menghasilkan uang tetapi karena Putrinya benar-benar sembuh dari traumanya.
“Saya mohon Pak Ihsan membantu menjaga Indira. Meskipun masalah dengan keluarga mantan mertuanya sudah selesai. Sepertinya, mereka masih mencari celah agar bisa menyakiti Dira.”
“Iya, Pak. Saya janji Indira akan aman selama bekerja,” jawab Ihsan dengan tulus.
“Om Fathir tidak berniat menggugat keluarga mantan suami Mbak Dira? Kelakuan mereka sangat kejam dan tidak bermoral,” saut Ammar.
“Tante Wulan tidak mengijinkan Om untuk membalas mereka, Nak. Oleh karena itulah para orang-orang tidak tahu malu itu terus saja menyebar fitnah soal Tante Dira.”
Ihsan melihat ke arah Indira dan Titan yang tengah berbaring di kursi malas sambil berpelukan. Di balik senyum karyawan barunya menyimpan banyak sekali kesedihan yang selama ini dialaminya.
“Sayang, boleh Tante tanya sesuatu?”
“Tentu saja boleh, Tante.”
“Ada hubungan apa kamu sama Ammar? Selain Bos dan Dosen.”
Gadis itu tersenyum malu-malu sembari mengeratkan pelukannya pada Dira. “Sebenarnya Titan sama Om Duda tuh saling suka, Tante. Tapi kita nggak pacaran karena Papa gak kasih ijin.”
“Memangnya Papa tidak tahu soal hubungan kalian berdua?”
“Harusnya sih tahu, Tan. Om Duda ‘kan sering banget antar jemput Titan. Kayaknya Papa pura-pura nggak tau deh.”
Indira membelai lembut pipi Titania. Entah mengapa ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya saat memeluk anak dari Ihsan Dirgantara.
“Tante kenapa nangis?” Titan membersihkan air mata Dira menggunakan jarinya.
“Tidak papa, Sayang. Tante sangat bersyukur kamu mau bermanja seperti ini.”
“Titan sayang banget sama Tante.” Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada d**a Dira.
“Kenapa ikutan nangis, Sayang?”
“Aku senang sekali saat tahu Tante Dira kembali ke Jakarta. Apalagi besok senin mulai kerja di kantor Papa.” jawabnya di sela tangisan.
“Papa kamu yang paksa Tante buat kerja di kantornya.”
“Tapi, Tante seneng ‘kan? Soalnya Titan bahagia karena kita bisa bertemu setiap hari.”
Indira menciumi kedua pipi Titan saat mendongakkan wajahnya. “Tante juga bahagia. Sayang, jika ingin berbagi cerita Tante siap mendengarkan. Jangan ragu ataupun sungkan!”
Ammar pamit pulang lebih dulu karena mendapatkan telepon dari Sekretarisnya. Sementara Ihsan masih asik berbincang dengan Fathir soal hukum dan bisnis.
Kini Titan sudah terlelap dalam pelukan Indira setelah mencurahkan isi hatinya mengenai perasaannya pada Pria yang jauh lebih tua dan berstatus Duda.
“Ketiduran lagi?” Ihsan duduk di pinggir kursi.
“Iya, Pak. Dia bisa tidur dimanapun tempatnya.”
Ihsan merapikan poni Putrinya yang menutupi wajah. “Kenapa dia menangis?”
Indira tidak menyangka jika Ihsan tahu jika Putrinya habis menangis. “Gara-gara saya, Pak.”
“Dia bahagia sekali saat tahu kamu kembali ke Jakarta. Hingga tidak bisa tidur semalaman menunggu kabar darimu.”
“Waktu saya tiba di Jakarta tidak sengaja bertemu Titan di jalan.”
“Hmmm, dia juga menceritakannya padaku. Setelah itu, merengek minta diantar main ke sini.”
“Gadis cantik dan lucu. Saya sangat sayang dengannya.” Indira kembali mencium pipi Titania.
Ihsan pamit pulang dengan menggendong Putrinya atas perintah Indira.
“Pelan-pelan, Pak. Jangan sampai kebangun!” omelnya saat Ihsan tak sengaja membenturkan kepala Putrinya pada pintu mobil.
“Aku tidak sengaja, Dira.”
Meski sedang tidur Titan tetap tidak bisa diam. Baru saja ditaruh di kursi kini posisinya sudah melorot ke bawah.
“Bisa apa tidak? Sini, biar saya saja yang pasangkan seat belt.”
“Bisa, aku ini Papanya sejak dia lahir.”
Indira mendengkus kesal. “Ya, iyalah. Memangnya siapa lagi kalau bukan, Pak Ihsan?!”
Ihsan menutup pintu mobil dengan perlahan setelah berhasil memasang seat belt.
“Tidak perlu berterima kasih lagi,” ucap Indira saat Ihsan akan bicara.
Ihsan mengangkat sebelah alisnya. “Memangnya siapa yang mau mengucapkan terima kasih?”
“Pak Ihsan bisa pulang sekarang. Saya capek mau istirahat.”
“Kamu tidak sopan jika mengusir tamu, Indira.”
“Pak Ihsan yang terhormat saya ini benar-benar lelah ingin segera merebahkan diri di atas kasur empuk. Sekiranya Bapak sudah tidak memiliki kepentingan bisa pulang sekarang juga,” ucap Indira dengan suara lembut.
“Baiklah, aku akan pulang.” Saat Ihsan akan membuka pintu mobilnya dia memanggil Dira.
"Apalagi, Pak Ihsan," jawab Dira kesal.
“Apa pisang gorengnya masih?"