Kopi Hitam

1243 Words
“Selamat pagi semuanya. Perkenalkan nama saya, Indira Khairani Rachman.” “Indira, salam kenal,” saut karyawan bernama Bagas. “Biarkan Indira melanjutkan perkenalannya dulu, Gas. Kamu ini kalau lihat Wanita cantik saja langsung gercep!” tegur karyawan lain. “Hehe, maaf." Karena malas di goda teman kerjanya Indira mempercepat sesi basa-basi saat berkenalan. Dia tidak menyangka karyawan di Firma Hukum Dirgantara berjumlah lebih dari seratus orang. Sempat membuatnya berdecak kagum. Pantas saja Ihsan selalu memberikan bantuan hukum pada orang-orang yang tersandung kasus namun tidak memiliki uang untuk membayar pengacara. “Status available, Dir? Bisa dong kita speak-speak saat makan siang nanti.” Bagas kembali menggodanya. “Dir, masuk ke ruanganku!” Titah Ihsan. Mendapatkan kesempatan kabur dari Bagas, Indira langsung pamit pada teman-temannya karena bos besarnya memanggil. Kini, kehidupan penuh dengan warna telah kembali. Dia akan mulai menikmati setiap momen luar biasa yang akan terjadi dalam hidupnya. “Buatkan saya kopi hitam.” Ihsan memberikan perintah saat Indira baru masuk ruang kerjanya. “Bukannya di sini ada OB?” “Aku suka kopi buatan mu.” “Pak Ihsan, saya di sini sebagai pengacara bukan pembuat kopi.” “Indira kepalaku sedikit pusing. Tolong jangan mengajakku berdebat." Mau tidak mau Indira pergi ke pantri membuatkan kopi untuk bosnya. Hari ini pertama kalinya dia datang ke kantor Ihsan Dirgantara. Matanya tak henti-hentinya mengamati interior mewah yang mendominasi setiap ruangan. Begitupun pantri, biasanya dibuat alakadarnya namun di kantornya di desain seperti dapur restoran berbintang. “Bikin kopi segelas saja lama sekali. Kamu ngobrol sama Bagas?!” “Jangan asal tuduh, Pak. Saya bingung tempat kopi hitamnya jadi butuh waktu buat cari.” “Memangnya OB kemana?” “Ya, mana saya tahu.” Indira belum duduk karena tidak persilahkan. Tingkat kepekaan bosnya sangat minus. Ihsan minum kopi lebih dulu sebelum menjelaskan tujuan meminta karyawan barunya datang ke ruangannya. “Hmm, pas. Aku suka,” ucapnya. “Setiap pagi tugasmu membuatkan ku kopi sebelum bekerja.” “Pak Ihsan dalam kontrak kerja tidak ada aturan seperti itu!” “Aku akan membayar kopi buatanmu. Bilang saja mau bayaran berapa?” Indira tidak paham dengan jalan pikiran Bosnya. Seenaknya sendiri memberikan perintah. “Baiklah, saya minta setiap gelas kopi seharga lima ratus ribu.” “Ok, noted.” Ihsan menjelaskan mengenai kasus perceraian yang akan ditangani oleh Indira. Kali ini seorang artis sedang menggugat cerai suami yang berprofesi sebagai CEO asal Surabaya. Kasus itu akan berlarut-larut karena pihak tergugat menolak perceraian dengan alasan masih mencintai sang istri. Dia juga menjelaskan jika masalah rumah tangganya hanya kesalahpahaman saja. “Bagaimana menurutmu?” “Lumayan rumit tapi masih bisa diatasi.” “Bagus, kalau begitu kamu pelajari berkas-berkasnya. Setelah itu, bentuk tim yang akan membantumu.” “Baik, Pak,” jawan Indira. “Oh, iya, Pak. Saya tidak mau ikut-ikutan dalam drama rumah tangga mereka. Saya butuh partner yang sudah terbiasa tampil didepan kamera wartawan infotainment.” “Aku akan meminta sepupuku menjadi wakilmu untuk mendampingi klien saat melakukan konferensi pers.” Indira meninggalkan ruangan Bosnya. Sebelum bekerja dia akan berkenalan kembali dengan teman-teman satu ruangannya terlebih dulu. “Sebenarnya, kami sudah mengenalmu secara tidak langsung, Dir.” “Wajahku sering muncul di TV dan wira-wiri di media sosial ya?” “Sewaktu masih jadi Ibu Jaksa cantik kamu sangat populer,” jawan Virda. “Soal kasus dengan mantan suamimu, Aku tidak begitu mengikuti. Vanya tuh yang selalu update." “Iya, greget banget pengen nampol mantan mertuamu, Dir,” saut Vanya. “Sudah tua bukannya bertaubat malah bikin gara-gara terus. Mana gila harta lagi. Bisa-bisanya fitnah kamu sekarang minta pembagian saham." Teman baru Indira sangat menyenangkan jika diajak ngobrol. Kebetulan nya lagi mereka seumuran. “Aku malas membahas soal masa lalu. Biarlah mereka bertindak sesuka hatinya. Nanti kalau sudah capek pasti akan diam sendiri.” “Benar sekali!” seru Virda. “Okay, sekarang kita mulai membahas kasus perceraian artis terkenal.” Vanya dan Virda adalah sepupu kembar Ihsan. Keduanya sudah bergabung di Firma Hukum Dirgantara sejak lulus kuliah. Mereka adalah keluarga Dirgantara yang berusaha kabur dari tugas meneruskan Perusahaan keluarga seperti Ihsan. “Jadi siapa yang akan menggantikan ku saat konferensi pers besok?” “Vanya.” “Aku.” Ucap keduanya berbarengan. Si aktif Vanya paling jago mengatasi kejulitan para wartawan infotainment. “Vanya, bisa aku minta tolong?” “Tentu saja Dira. Kami berdua ini adalah partner mu dalam menangani kasus ini. Katakan saja jika butuh bantuan.” Indira bersyukur mendapatkan rekan kerja sangat menyenangkan dan tidak iri-irian. Dia menjelaskan pada Vanya dan Virda langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menghadapi pihak tergugat. “Setelah makan siang Dilraba akan datang untuk menjelaskan KDRT yang telah dialaminya selama menikah. Kalian harus aktif bertanya sementara aku akan mengamatinya.” “Untuk apa kamu melakukan itu, Dir?” tanya Vanya. “Aku tidak akan mengambil kasusnya jika dia berbohong.” “Oh, begitu. Kamu sama persis sama Pak Bos.” Vanya tersenyum ke arah Indira. “Maksudnya?” “Kak Ihsan itu sama sepertimu. Tidak mau ambil sembarang kasus meskipun di iming-imingi bayaran selangit. Sebelum menerimanya pasti melakukan apa yang akan kamu lakukan nanti,” terang Virda. Indira hanya mengangguk tanpa menjawab. Kini ketiganya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. *** “Kenapa wajahnya begitu?” “Bapak jangan bicara dulu deh! Saya sedang serius.” Indira dengan beraninya meminta Bosnya diam saat berada didepan mejanya. Jam pulang kerja sudah lewat setengah jam yang lalu namun Dira masih setia duduk di depan laptopnya. “Kamu kesambet apa?” “Pak lihat deh,” tunjuknya pada layar laptop tanpa memutar ke arah Ihsan. “Mana bisa aku melihatnya, Dira!” “Oh, iya. Maaf, Pak.” Indira mengarahkan layar laptop pada Ihsan. Dia menemukan keganjilan dari kasus yang sedang ditanganinya. “Coba Bapak lihat gerak-gerik dari Dilraba saat masuk ke ruang pertemuan.” “Dia melihat ke arah ruanganku.” “Sepertinya dia memiliki maksud lain saat meminta bantuan hukum dari Pak Ihsan.” “Jangan berpikir macam-macam, Dira!” Indira mematikan laptopnya setelah mendapatkan jawaban dari Bosnya secara tidak langsung. “Saya rasa Pak Ihsan sudah mengetahui maksud lain dari Dilraba.” “Aku tidak peduli dengannya.” “Tapi dia klien Pak Ihsan.” “Bukan! Kamu dan si kembar yang bersedia menangani kasusnya jadi aku anggap dia klien kalian.” Indira hanya mengangkat bahunya malas berdebat dengan bosnya. Hari pertamanya bekerja cukup menguras tenaga dan pikirannya. Rekan kerjanya banyak meminta sarannya soal kasus yang sedang mereka tangani. Membuatnya sibuk sejak pagi hingga sore hari. “Saya mau pulang dulu. Pak Ihsan jika masih betah di kantor silahkan kembali bekerja.” “Kamu itu tidak sopan sekali, Dir!” “Owh, Maaf. Saya kira Pak Ihsan mau lembur.” “Aku akan mengantarmu pulang.” “Tidak perlu, saya bisa naik taksi. Lagipula rumah kita berbeda arah.” “Aku sekalian mau jemput Titan. Dia sedang main ke rumahmu.” “Ya, sudah. Pak Ihsan langsung saja ke rumah Ayah. Saya tetap akan naik taksi.” Ihsan kesal dengan sikap keras kepala Indira. “Ayok, buruan pulang.” “Lepaskan tangan saya, Pak.” Indira masih berusaha melepaskan diri dari Ihsan. “Jika ada yang lihat mereka bisa salah paham.” “Tidak akan ada yang lihat. Karyawan disini sudah pulang semua hanya ada kita berdua.” “Tetap saja Pak Ihsan tidak boleh bertindak sesuka hati,” omel Indira. Kesal Bosnya menarik lengannya seperti anak kecil yang ketahuan ingin kabur. “Mau digendong seperti Titania?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD