Indira akan terbang ke Bali pukul sebelas malam. Dia berangkat ke bandara diantar oleh kedua orang tuanya dan juga sahabatnya.
Barang yang dibawanya tidak banyak karena villa pemberian Ayahnya sudah terisi lengkap dengan berbagai macam perabotan yang dibutuhkannya.
Begitupun dengan baju, Wulan sudah mengirim asistennya ke Bali untuk membawa dan menata pakaian milik Putrinya.
“Jangan sampai lupa pulang ke Jakarta.” Naura terus saja memeluk lengan sahabatnya. “Aku akan menyusul mu jika ada kesempatan kabur.”
“Suka sekali kabur-kaburan dari Papa.”
“Habisnya minggu depan aku mau dijodohkan lagi sama anak temannya. Berasa aku ini perawan tua yang ngak laku.”
“Memang kenyataannya begitu ‘kan? Umurmu sudah tiga puluh tujuh tahun, Ra. Memang sudah waktunya berumah tangga.” Indira dan Naura itu seumuran. Mereka berteman semenjak bayi karena orang tuanya masih kerabat dekat.
“Hah, aku masih belum kepikiran untuk menikah. Masih banyak sekali keinginan yang belum aku wujudkan.”
Keduanya saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Indira tengah sibuk memikirkan kehidupan barunya. Sementara Naura, dia tengah sibuk memikirkan cara kabur dari acara perjodohan.
“Oh, iya, Dir. Kata Ayah Fathir kemarin malam kamu kedatangan tamu spesial. Apa Pak Ihsan benar-benar datang berkunjung?”
Indira mengangguk, dia masih memikirkan ucapan Ihsan sebelum meninggalkan kediaman orang tuanya. “Iya, sama Titania.”
“Aku beberapa kali bertemu dengan Titan.” Naura menegakan kembali badannya agar bisa bicara dengan nyaman. “Dia magang di Perusahaan Zufar Group.”
“Keturunan Pak Ihsan tidak perlu diragukan lagi kepintarannya. Sangat sulit masuk ke Perusahaan itu tapi dia bisa lolos.”
“Sepertinya bukan hanya menjadi anak magang saja,” ucap Naura dengan menggantungkan kalimatnya.
Indira menoleh kesamping penasaran dengan maksud sahabatnya. “Jadi karyawan tetap?”
“Bukan karyawan tapi menantu.”
“Anak Pak Ibrahim sudah menikah semuanya ‘kan? Apa masih ada satu lagi tapi aku tidak tahu?”
“Dasar mantan babu mertua! Masak berita yang menggemparkan jagad raya dan maya kamu tidak tahu?! Aku makin takut buat menikah kalau berakhir tragis sepertimu.”
Indira mendengkus kesal karena sahabatnya selalu saja menyebutnya ‘Mantan babu mertua’ meskipun sudah tidak sedih lagi, Dira tetap merasa bersalah pada dirinya sendiri.
“Kenapa sih? Kalau bicara suka sekali bikin penasaran.”
“Ammar bercerai dengan istrinya. Sekarang ini dia sudah menjadi Duda incaran semua Wanita tapi ...” Naura mendekatkan badannya pada Indira karena ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting.
“Memangnya Pak Ihsan bolehin anaknya dekat dengan Duda? Apalagi sekelas Ammar yang sering digosipkan berganti-ganti Wanita.”
“Kalau itu sih aku kurang tahu, Dir.” Naura melihat gelagat aneh dari sahabatnya. Sejak tadi Indira seperti memikirkan sesuatu saat tidak diajaknya bicara. “Mikir apa sih? Sampai serius begitu.”
Indira masih mempertimbangkan akan menceritakan soal sikap Ihsan pada sahabatnya atau tidak. Meskipun sudah resmi menjanda satu tahun yang lalu dia masih takut membuka hati untuk Pria lain.
“Dira,” panggil Naura. “Kamu sakit? Jangan bikin aku takut dong.”
“Aku baik-baik saja, Ra. Hanya sedang memikirkan Pak Ihsan.”
Sepertinya Indira tidak sadar telah berbicara apa dengan sahabatnya karena terlalu fokus dengan layar ponselnya.
Naura sudah mode kepo langsung menempel kembali pada Indira lalu ikut membaca pesan yang dikirimkan oleh Ihsan tadi pagi.
“Kenapa ngak di balas?”
“Bingung mau balas apa.”
“Pak Ihsan kasih tawaran bagus kenapa tidak diambil?” Naura membawa sahabatnya ke dalam pelukannya. “Jangan buru-buru ditolak. Minta waktu sama dia buat memikirkan tawaran itu.”
Indira bingung jika tetap di Jakarta pasti akan ada kemungkinan bertemu dengan mantan suami atau mantan mertuanya.
Bukannya Dira belum bisa move on, dia hanya ingin menghindar dari orang-orang yang pernah membuat hancur kehidupannya.
***
“Tante cantik ...” seorang gadis manis berlari dengan membawa paper bag cukup besar. Dibelakangnya ada Duda tampan incaran semua Wanita Jakarta.
“Calon anak kamu datang tuh,” ucap Naura.
“Ra, kamu bicara apa?! Kalau ada yang dengar pasti akan salah paham.”
Naura sengaja pergi dari tempat duduknya memberikan waktu untuk Titan dan Ihsan yang baru saja sampai.
“Tante cantik kenapa enggak balas pesan, Papa?”
“Belum sempat, Sayang. Memangnya kirim pesan apa?” Indira pura-pura belum membaca pesan yang dikirim oleh Ihsan.
“Tanya kapan Tante berangkat ke Bali. Sebenarnya itu Titan yang kirim pesan pinjam ponsel Papa.”
“Kenapa tidak pakai Ponsel kamu sendiri?”
“Hehe, punya Titan tuh agak rusak. Tapi kalau sudah dingin lagi bisa di pakai.”
“Mau Tante belikan ponsel baru?” Indira langsung memeluk gadis cantik yang bergelayut manja padanya.
“Enggak usah, Tan. Masih bagus kok ponselnya.”
“Sudah pakai piyama kenapa bisa sampai bandara?”
Titan mencebik lalu menatap kesal kearah Papanya yang sedang berbincang dengan Fathir dan Wulan. Sebenarnya dia sudah merengek minta diantar bertemu Indira sejak sore namun Ihsan tidak peduli.
Entah apa yang merasuki Papanya hingga mengajaknya ke bandara tanpa boleh berganti pakaian lebih dulu.
“Papa tuh, Tan. Aneh banget!” Titan sangat manja dengan Indira seperti seorang anak yang akan ditinggal bepergian Ibunya. “Tante Dira akan berapa lama di Bali?”
“Belum tahu, Sayang. Mungkin saja akan menetap di Bali selamanya.”
“Ya, jangan! Nanti kalau Titan kangen jauh mau nyamperin.” Gadis itu merengek meminta Indira agar tidak berlama-lama di Bali dan segera kembali ke Jakarta.
“Nanti kamu main saja ke Bali bareng Tante Naura.”
“Siapa itu, Tan? Titan enggak kenal.”
“Itu dia orangnya,” tunjuk Indira pada sahabatnya. Naura ikut berbincang dengan orang tua Dira dan Ihsan.
“Owh,” jawabnya, Titan melambaikan tangan saat Naura melihat ke arahnya. “Apa Tante Naura akan ke Bali juga?”
“Iya, Sayang. Dia akan menyusul ke Bali jika libur kerja.”
“Okay, nanti Titan minta nomor Tante Naura biar bisa atur jadwal buat nyusul ke Bali.”
“Harus atas ijin Papa ya? Ngak boleh kabur-kaburan.”
“Siap, Tante cantik.” Titan kembali memeluk Indira. Dia juga berkata jika kedua pipinya akan merindukan ciuman dari Dira.
Hingga akhirnya pesawat yang ditumpangi Indira akan segera berangkat. Titan masih merengek tidak mau melepaskannya sampai Ihsan kesulitan menenangkan Putrinya.
“Sayang Tante Dira harus segera masuk.”
“Mau ikut ke Bali.”
“Kamu belum punya tiket mana bisa naik pesawat? Ayo lepaskan Tante Dira agar tidak ketinggalan pesawat.” Ihsan masih berusaha menarik tubuh anaknya yang menempel pada Indira.
“Papa janji dulu baru Titan lepaskan Tante Cantik.”
“Janji apa?”
“Papa harus janji bolehin Titan nyusul ke Bali.”
“Sayang ...”
“Kalau enggak janji Titan ngak mau lepasin!”
Ihsan menghela nafas karena Putrinya sudah mode keras kepala. Jika sudah seperti itu, dia harus mengalah agar Titan mau melepaskan Indira.
“Papa janji akan mengajakmu ke Bali bulan depan.”
Titan mengarahkan jari kelingkingnya ke arah Ihsan mengajak melakukan pinky promise. “Deal, no debat!”
Setelah berhasil mendapatkan ijin pergi ke Bali gadis itu melepaskan pelukannya pada Indira. Memang banyak akal dan tingkah anak Ihsan Dirgantara.
“Maafkan anak saya,” ucap Ihsan pada Dira. Titan kini sudah bergabung bersama dengan kedua orang tua Indira dan Naura. Dia meminta semua nomor ponsel orang-orang terdekat Tante cantiknya.
“Tidak masalah, Pak. Pesawatnya juga masih menunggu pengisian bahan bakar jadi saya tidak akan tertinggal.”
“Kamu belum menjawab tawaranku?”
“Boleh minta waktu untuk memikirkannya? Saya tidak bisa menjawabnya sebelum menikmati keindahan pulau dewata Bali.”
“Aku akan memberimu waktu tiga bulan untuk menenangkan diri. Setelah itu kembalilah ke Jakarta!”