Mengenang Masa Lalu

1485 Words
Indira benar-benar kedatangan tamu tepat jam sepuluh malam. Ihsan datang tidak sendiri namun membawa serta Putrinya. “Kamu cantik sekali, Sayang.” “Tante juga makin cantik. Kenapa nggak kelihatan tua sih?!” Indira kembali memeluk Titan karena gemas dengan kepolosan putri dari pengacara kondang Ihsan Dirgantara. “Titan semester berapa?” “Enam, Tan. Bentar lagi lulus.” “Jadi pengacara sama kayak Papa?” Titan menggelengkan kepala. “Aku ambil jurusan Ekonomi Bisnis harusnya sih jadi pegawai kantoran tapi Titan maunya jadi Ibu Rumah tangga saja.” “Lucu banget sih kamu, Nak. Pengen Tante bawa ke Bali.” “Boleh, Tan. Ajakin aku jalan-jalan keliling Bali sekalian berjemur pakai bikini.” “Memangnya boleh sama Papa?” Indira membelai lembut kepala Titan. “Katanya kamu lagi magang? Berarti tidak bisa pergi jauh apa lagi menginap.” “Bisa dong, Tan. Sabtu dan Minggu ‘kan Titan libur. Nanti Jumat siang berangkat ke Bali.” “Bilang dulu sama, Papa. Kalau Tante siap kapan saja ajakin kamu jalan-jalan.” Titan menatap kearah Papanya yang sedang sibuk dengan laptopnya. Kedatangan Ihsan ke rumah Indira bukan dalam rangka reunian atau apel. Dia meminta file dokumen penting mantan kliennya yang dititipkan pada Indira. Waktu itu Ihsan hampir celaka jika Indira tidak menumpahkan kopi yang akan diminumnya. “Tidak boleh!” jawabnya tanpa melihat ke arah Putrinya. “Yah, Papa. Tante Dira yang akan menemani Titan selama di Bali. Pasti aman kok.” “Jangan ganggu Tante Dira, Sayang. Kamu akan merepotkannya selama di Bali. Lagipula Papa sedang sibuk bulan ini jadi tidak bisa memantau mu dari jarak jauh.” “Titan pasti aman kok. Buktinya Papa saja bisa diselamatkan dari kopi beracun oleh Tante Dira.” “Tetap tidak boleh, Sayang. Jangan membantah Papa sudah hampir selesai copy file dokumen sebentar lagi kita pulang!” Titan mencebikkan bibir kesal karena tidak diberi izin oleh Papanya pergi ke Bali. “Papa pelit, Tan,” bisiknya pada Indira. “Bukannya pelit, Sayang. Papa hanya ingin melindungi mu.” Titan mengeratkan pelukannya pada Indira. Anak itu paling anti dengan para Wanita di sekeliling Ihsan namun Dira pengecualian baginya. Sejak awal mereka bertemu, Titan sudah jatuh hati pada Indira sewaktu masih muda. Gadis itu merasa tenang dan nyaman jika berada didekat Dira. “Harusnya tadi bawa saja flashdisk nya, Pak. Tidak perlu menunggu lama untuk mengcopy semua file dokumen yang ada didalamnya.” “Kamu tidak suka aku dan Titan terlalu lama di sini?” “Ih, Papa. Kok bicaranya begitu sih? Tante Dira tuh maksudnya baik.” Ihsan terkejut mendapatkan omelan dari Putrinya karena bicara ketus pada seorang Wanita dewasa. “Maaf ya, Tante. Papa aku memang seperti kanebo kering kaku sekali.” Indira mencium kedua pipi chubby Titan. “Tidak masalah, Sayang. Tante sudah paham dengan sikap Papa mu.” “Tante baik sekali sih. Titan jadi makin, Sayang.” Ihsan hanya geleng-geleng kepala saat melihat anaknya manja dengan Indira. Karena sudah jam dua belas malam dia memutuskan membawa pulang flashdisk yang sejak tadi sudah diberikan untuknya. “Terima kasih atas bantuannya. Besok pagi akan aku kembalikan flashdisk nya.” “Ambil saja, saya sudah tidak butuh barang itu.” “Kamu tidak ada keinginan kembali bekerja?” “Jika menjadi seorang jaksa tidak. Mungkin saya akan mencari pekerjaan lainnya saat sudah bosan bersantai.” “Titan tidur?” Ihsan melihat ke arah Putrinya yang kini terlelap dalam pelukan Indira. “Maaf sudah merepotkan. Tadi saat aku berkata akan menemui mu Titan merengek ingin ikut.” “Saya justru yang harusnya berterima kasih sama Pak Ihsan. Sudah mau membawa si cantik ini berkunjung. Enggak pernah berubah dia tetap saja bawel dan menggemaskan.” “Semakin cerewet dan banyak tingkah.” Indira tersenyum membelai lembut pipi Titan. “Cantik sekali!” Ihsan akhirnya menggendong Titan menuju mobil karena Indira melarang membangunkannya. “Sekali lagi aku ucapkan terima kasih. Berdamai lah dengan masa lalu meskipun sulit. Kamu berhak bahagia jadi nikmatilah hidupmu mulai dari sekarang!” *** Semalam Fathir sempat menemui Ihsan sebentar saat berkunjung ke rumahnya. Dia adalah salah satu penggemar Ihsan Dirgantara karena kepiawaiannya dalam menangani kasus dan kejujuran yang selalu dijunjungnya. “Dira.” “Iya, Yah. Ada apa?” “Semalam Pak Ihsan pulang jam berapa? Sepertinya sampai larut.” “Jam dua belas lebih, Yah. Dia ngeyel banget mau mindahin file dokumen yang sangat banyak ke laptopnya padahal Dira sudah menyuruhnya membawa flashdisk nya.” “Lalu Titan bagaimana? Anak itu sangat cantik.” “Dia ketiduran setelah memakan banyak camilan, Yah. Dira saja sampai gemas sama gadis itu. Cerewet dan banyak tingkah. Pengen aku bawa pergi ke Bali tapi nggak dikasih ijin sama Papanya.” Indira memberikan teh dan pisang goreng pada Ayahnya. Fathir memutuskan tidak berangkat ke kantor karena ingin bersama dengan anaknya sebelum pindah ke Bali. “Ihsan terkenal galak pada semua Pria yang berusaha mendekati Titan. Tidak akan mudah mengajaknya pergi jauh apalagi sampai menginap berhari-hari.” “Iya, Yah. Semalam waktu Titan merengek minta liburan ke Bali langsung ditolak mentah-mentah.” “Apa Ihsan suka denganmu, Nak? Indira meletakkan piring yang dibawanya ke meja makan sebelum menjawab pertanyaan Ayahnya. “Mana mungkin, Yah. Pak Ihsan itu sangat mencintai dan setia dengan mendiang Istrinya. Banyak sekali Wanita kaya dan berkelas yang mendekatinya namun ditolak.” “Bisa saja dia suka yang biasa sepertimu.” “Ayah jangan mengada-ngada deh. Ini masih pagi lebih baik membicarakan hal-hal yang pasti saja.” Wulan baru datang dari taman belakang setelah menyiram para bunga kesayangannya. Semenjak ada Putrinya tugas memasak langsung diambil alih oleh Indira. “Lagi ngobrolin apa kayaknya seru sekali?" “Ihsan Dirgantara dan Putrinya.” “Siapa dia, Yah? Seperti pernah dengar nama itu.” Fathir memang belum memberitahu sang istri jika semalam anaknya kedatangan tamu penting. Bukannya tidak mau menjelaskan namun dia lupa. “Pengacara yang pernah ditolong sama, Dira. Hingga anak kita hampir kecelakaan saking ngebutnya naik mobil menuju cafe.” “Owh, Pak Ihsan yang orangnya ganteng itu?” “Bunda gak boleh genit nanti Ayah marah.” Dira menyela pembicaraan kedua orang tuanya saat menyajikan menu sarapan yang baru saja matang. “Dira masih berhubungan sama dia?” “Sudah lama nggak, Bun. Dari kemarin ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Aku kira orang iseng ternyata Pak Ihsan yang telepon.” “Memangnya tidak kirim pesan?” “Nggak, Bun. Makanya Dira pikir orang jahil.” “Mau apa dia ke rumah kita?” “Minta beberapa file dokumen yang dulu dititipkan sama Dira sewaktu di fitnah sama kliennya sendiri.” “Kok bisa dititip ke kamu, Sayang?” Wulan sudah mulai mode kepo-kepo dengan putrinya. Sejak dulu dia memimpikan punya menantu seperti Ihsan dan cucu seperti Titania. “Memangnya kamu siapanya?” Dira menghela nafas karena Bunda dan Ayahnya berusaha menggodanya. “Kebetulan saja waktu itu Dira tahu rencana klien Pak Ihsan akan memberikan racun pada kopinya karena beliau tidak mau membelanya lagi dalam persidangan. Saat itu file dokumen penting yang menjadi bukti kejahatan kliennya ada di laptopnya. Bunda tau sendiri ‘kan waktu itu terjadi kerusuhan di cafe antara polisi dan anak buah gembong narkoba. Jadi, Pak Ihsan menyuruh Dira membawa pergi laptopnya dan memindahkan filenya.” “Kenapa harus dipindah jika filenya sudah ada di laptop Pak Ihsan?” Fathir mulai tertarik dengan kisah yang diceritakan oleh Putrinya. “Apa jangan-jangan ada oknum polisi yang melindungi para penjahat itu?” “Benar sekali, Yah. Maka dari itu Pak Ihsan meminta Dira membuang laptop itu di dekat cafe tempat kejadian kerusuhan. Agar para komplotan gembong narkoba mengira laptop itu sudah rusak.” “Padahal kamu sudah menyalin semua file dokumen yang ada didalamnya,” saut Wulan. “Iya, Bun.” Indira selesai menyiapkan sarapan langsung ikut duduk di meja makan. “Sebenarnya Pak Ihsan sudah lama meminta file dokumen itu Tapi Indira tidak bisa memberikannya karena Mas Nizam tidak memberi izin buat pergi ke luar rumah.” “Kapan kamu terakhir bertemu dengan Pak Ihsan?” tanya Fathir. “Dua belas tahun yang lalu sebelum berhenti kerja.” “Dari mana dia punya nomormu yang baru?” Indira mengernyitkan dahinya. “Bukannya Ayah yang kasih?” “Tidak, bukan Ayah.” “Lalu siapa yang kasih nomor Dira?” Wulan ikut penasaran. Nomor baru anaknya tidak ada yang mengetahuinya selain keluarga terdekatnya. “Apa Naura?” “Bukan Naura, Bun. Dia malah mengira Ayah yang kasih.” Fathir kembali menggelengkan kepalanya karena merasa tidak pernah bertemu apalagi memberikan nomor ponsel Putrinya pada Ihsan. “Ihsan itu pengacara top di negara kita. Sangat mudah baginya mendapatkan nomor Dira.” “Iya, Dira saja sempat kagum dengannya saat menangani kasus pembunuhan berantai satu keluarga. Sikapnya sangat tegas dan juga jujur dalam membela kliennya. Padahal waktu itu keluarga korban tidak memiliki uang untuk membayar tapi Pak Ihsan tetap mau membantu.” “Suami idaman ya, Nak?” tanya Wulan. “Bunda kok malah bahas suami sih?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD