Campus Zone

1106 Words
"Siskaaaaa!" Dengan gaya cueknya, Niar berlarian sambil berteriak menyeru nama sang sahabat. Dia sudah tak sabar ingin menceritakan hari pertamanya bekerja. Kemarin begitu pulang dari Florist, dirinya terlalu capai sehingga segera tidur awal setelah menyelesaikan dahulu tugas kuliah yang harus dikumpulkan pagi ini. "Heiiii ... gimana? Aku telfonin semaleman nggak diangkat, deh. Emang pulang sampe malem apa?" Siksa segera memberondongnya dengan pertanyaan. Ia cemas karena temannya itu dihubungi sejak semalam tidak diangkat. "Eheheee ... aku ketiduran." Sambil nyengir, Niar mengakui. Siska memonyongkan bibirnya, "Huuuu .... sialan! Yang sini cemas mikirin sampai gak bisa merem, eh, situnya malah asyik-asyikan tidur." "Lha gimana coba! Orang ketiduran kan gak ada niat, Sis! Aku cuma rebahan ngelurusin punggung, eh, nggak tahunya pas buka mata udah subuh aja, wkwkwk," "Dasar!" "Eh, tapi makasih banget, loh, Sis. Kerjaan di Florist keren bener! Kerjanya aja di ruangan penuh bunga dengan aneka warna yang menyejukkan mata serta rupa-rupa wanginya yang memanjakan hidung, uuuuuh ... jadi berasa lagi piknik tahu, nggak, sih!" Dengan binar penuh semangat, Niar menceritakan keseruan kerjanya. "Waaah, bagus banget kalau kamu ngerasa cocok, Ni. Duh, aku ikut seneng, ya. Semoga kamu betah kerja di sana dan itu bisa bantu keuangan kamu," komentar Siska ikut berbahagia. Sudah lama rasanya ia tak melihat Niar seceria pagi ini. "Nanti gajian pertama aku traktir cilok, deh. Makan sepuas kamu pokoknya," ucap Niar memasang tampang kocak. "Iiiiih ..., pelit amat traktirnya cilok! Ganti KFC!" "Wkwkwk, traktiran mah suka-suka yang nraktir, dong! Ga ada milih2, enak aja!" "Ih, pelit tuh susah kayanya tahu!" "Biarin! Eh, tapi kamu beneran harus nyempetin ke Fairy Florist, deh. Sumpah enak banget suasananya di sana, tuh." "Iya, iya. Gampang lah kapan-kapan," "Borong bunga yang banyak, yahh!" "Boleh, tapi diskon, kan? Wkwkwk," "Heeeehhh, bisa langsung dipecat kalau belum-belum aku udah tebar diskonan," Mereka lanjut mengobrol penuh canda sambil berjalan menuju ke kelas untuk mata kuliah Ekonomi Mikro. Dosen galak yang mengajar mata kuliah tersebut membuat mereka selalu berangkat lebih pagi daripada hari-hari lain. Sesampai di kelas, benar saja. Hampir seisi kelas sudah hadir dan duduk rapi di tempatnya masing-masing. Tak ingin mengambil risiko telat dan mendapatkan tatapan garang nan mematikan dari sang dosen. Selama kuliah berlangsung, Niar memerhatikan dengan seksama segala materi yang diberikan. Catatannya di buku memanjang hingga beberapa halaman. Ia lebih suka mencatat di buku notes daripada di netbook atau laptop seperti para mahasiswa lainnya.  Menurutnya, menuliskan apa yang ia baca membuat otaknya lebih dapat menyimpan memori tersebut. Seperti orang bijak bilang, bila ingin mengabadikan sebuah ilmu, maka tuliskanlah. Kalaupun nanti ia butuh  softcopynya, itu maslaah gampang. Bisa diketik kembali di saat senggang sekalian mengulang. Itu justru membuatnya semakin hafal meskipun harus memakan waktu. Yah, waktunya kini harus dibagi dengan Fairy Florist. Mungkin lain kalo bila butub softcopy ia harus meminta salinan dari catatan Siska saja, batinnya. Begitu kelas usai, Niar dan Siska keluar menuju ke taman kampus yang banyak terdapat pohon rindang yang bersih dan nyaman dipakai sebagai tempat duduk-duduk selama menanti kelas selanjutnya dimulai. Niar kembali mengobrol seru bersama Siska mengenai banyak hal sambil memakan snack yang mereka beli di cafetaria dekat aula depan. "Nggak sampai gitu juga, lah. Ada kok aku untuk ongkos sampe akhir bulan. Cuma ya itu, kemaren mesti semnunyi dari ibu kos yang datang buat nagih uang bulanan. Duhh, agak nggak enak hati sebenernya, tapi mau gimana. Biarlah pas gajian nanti aku bayar dobel sekalian bulan depan," cerita Niar dengan ringan saat Siska menawarinya bantuan uang untuk dipakai selama sebelum gajian. "Ya kalau nggak mau aku kasih, aku pinjemin, deh. Ntar balikin pas kamu udah ada aja, gak apa, Ni." Siska kembali memaksa sahabatnya itu. Ia terenyuh melihat perjuangan Niar tetap bersikeras meneruskan kuliah meski kondisi keuangan keluarganya sedang sedikit susah. "Nggak perlu, Sis. Beneran, deh. Aku masih pegang. Selama ini uang jajan kan gak pernah aku pakai. Kamu terus yang jajanin aku. Sampai sungkan," "Ah, mana ada. Kamu ditraktir juga nggak pernah mau. Kalau nggak kepaksa ikut ngabisin makanan yg udah terlanjur kubeli dobel, kamu pasti lebih memilih gak makan apa pun. Lihat tuh badan! Sampai kurus kering gitu," "Apaan, ini langsing tahu. Kalau kurus kering mah penyakitan. Aku mana ada sakit. Ya emang udah potongan dari sananya segini-gini aja." "Grmukan dikit pasti lebih oke, tahu, Ni. Jadi padat berisi biar gak terkesan kurang makan, wkwkwk," "Ah, sialan, kamu. Udah yuk, habisin ini. Bentar lagi udah waktunya kelas Pak Jamal, kan." "Aku ke toilet dulu, Ni. Kebelet, nih. Kamu ke kelas duluan aja, ya!" Siska pamit mendahuluinya, berlari-lari kecil ke arah toilet terdekat dari situ. Niar pun mengemasi bungkus-bungkus snack yang tersisa, membuangnya ke tong sampah di dekat situ dan mengemasi kembali buku-bukunya yang barusan ia baca-baca sebagai persiapan masuk materi nanti. Ia harus selesai kuliah pada waktunya agar dapat menekan biaya kuliah sampai di level minimalis. Berudaha mendapatkan beasiswa tidak semudah yang ada dalam angan. Seleksi ketat dengan banyak sekali pesaing yang berat sungguh kendala yang amat dirasakan olehnya. Meski Niar termasuk mahasiswa rajin dan pandai, tetapi tetap saja ada beberapa faktor lain dalam penentuan hasil seleksi tes yaitu keberuntungan dan takdir Allah. Mungkin Allah ingin menempanya dalam berikhtiyar lebih. Allah ingin ia mengasah kemampuannya di dalam dunia kerja yang nyata meskipun masih dalam kelas part-time. Ah, yang paling penting masalah besarnya kini telah memiliki solusi. "Awww!" Kepalanya tiba-tiba terkena bola basket dari tengah aula saat mereka melewatinya. Seorang pria tinggi, tegap berambut ikal cepak dan hidungnya sangat mancung bergegas menghampirinya. "Eh, sory, sory! Nggak sengaja! Kamu nggak papa?" tanyanya dengan raut cemas setelah sampai tepat di hadapan Niar. "Sakit, tau! Hati-hati dong, mainnya. Ring di sono, masa' lemparnya ke sini, sih! Kepala orang, nih!" omel Niar sambil bersungut kesal. Diusap-usapnya kepala yang baru terkena lemparan bola basket yang gede dan keras itu sambil meringis kesakitan dan menunjuk ke arah ring. "Iya, soryyy! Itu tadi bukan lagi tanding, cuman lagi becanda ama temen lempar-lemparin sembarangan ...," jawab si cowok ganteng merasa bersalah. "Kurang kerjaan amat becanda lemparin kepala orang!" Niar masih mengomel sambil memijit-mijit kepalanya. "Ih. Kamu nyolot banget, sih, jadi cewek! Udah minta maaf juga!" Si cowok yang mulai kesal karena terus dipersalahkan padahal bukan dia yang melempar bola hingga mengenai kepala Niar itu pun terpancing emosi. "Oh, emangnya abis minta maaf kepalaku langsung baikan, gitu? Nggak loh, hallooooo ... ini masih sakit beneran, tahu!" Melihat tampang Niar yang memang seperti menahan sakit, si cowok pun tak tega dan berupaya mengajaknya ke klinik untuk diperiksa petugas kesehatan di sana. "Ya udah ayo, kuanterin ke klinik. Nggak usah ngomel tapinya," "Nggak perlu! Aku mau ke sana sendiri aja!" Niar pun beralih hendak pergi, tetapi rupanya ia salah mengambil arah ke klinik karena memang selama ini ia belum pernah ke sana. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD