The Irritating Aksa

1079 Words
"Woii! Kliniknya ke sana, Non!" tegur si cowok sambil menahan tawa. Ia cukup heran dengan tingkah gadis di hadapannya itu. Jutek, dan tukang ngomel, tapi wajahnya lumayan cantik dan entah kenapa ada ketertarikan dalam hatinya ingin terus memandangi wajah gadis itu. Ia merasa seolah pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi sampai lama diingat-ingatnya, tak jua muncul kenangan apa pun tentang gadis ini. "Ke mana?!" Sentakan Niar membuyarkan pikirannya. Ia segera menggamit lengan gadis itu dan dengan sedikit menyeret membimbingnya ke arah klinik. "Apa-apaan sih, kan aku bisa jalan sendiri!" protes Niar memcoba melepaskan lengannya dari genggaman si cowok. Namun, tenaga pria itu kuat sekali sampai ia tak bisa berkutik dan menurut saja  tampak olehnya ruang putih bertuliskan Klinik. "Nah, sampai. Ke dalam, gih. Aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa sama kepalanya, nanti aku anter berobat ke Rumah Sakit aja." Dengan melempar pandangan galaknya, Niar pun masuk ke ruangan putih berukuran sekitar 6x7 meter itu. Seorang tenaga kesehatan yang bertugas di sana menanyainya. Diceritakan lah kronologis kejadian sampai kepalanya kini benjol dan rasanya nyeri tak tertahankan. Ternyata setelah diperiksa, sang nakes berkata tidak ada masalah lain selain sedikit memar yang akan sembuh setelah beberapa waktu. Ia pun diberi obat anti nyeri dan dioleskan entah cream apa yang katanya dapat membantu mengurangi memar. Niar tentu saja tak akan pernah mau meminum obat anti nyeri. Ia lebih memilih meringis kesakitan saja daripada harus menenggak obat. Ia dan obat adalah dua hal yang kalau disatukan bisa terjadi sebuah pertengkaran sengit. Saat keluar dari klinik, tak disangka rupanya di cowok tadi masih menungguinya di bangku panjang yang terletak di koridor tersebut. Dengan tatapan mata intens ke arah Niar, dia mengedikkan alis yang tebal dan hitam itu ke atas seolah meminta laporan. "Cuma memar aja. Udah sana pergi!" tukasnya masih dengan gaya juteknya. "Oh, ya. Makasih udah nganterin sampai sini," ucap Nayla akhirnya setelah terselip sedikit rasa haru melihat kepedulian si cowok terhadapnya. "Syukurlah ...," kata si cowok. Kelegaan tampak nyata dari binar mata serta helaan napas panjangnya. Dicemaskan oleh cowok keren yang baru dikenalnya lumayan membuat bersemu pipi Niar. Ia mendadak malu dan sungkan berada di situ berduaan saja dengannya. "Oh, ya. Kenalin, aku Aksa!" ujarnya kemudian seraya mengulurkan tangan kanan mengajak bersalaman. Niar mendadak tak mau menyebut namanya dan malah langsung pergi meninggalkan cowok itu. Sebaiknya seorang cewek nggak boleh segampang itu diajak kenalan sama cowok, pikirnya dalam hati. Harus ada harga diri, batinnya. Sikapnya terhadap cowok memang terlalu mengutamakan gengsi dan selalu menjaga jarak. Oleh sebab itulah semenjak dulu, meskipun sudah banyak cowok yang menyatakan rasa suka kepadanya, Niar hanya bersikap dingin dan malah menjauh dari mereka. Tapi saat meninggalkan si cowok tadi sendirian di koridor setelah berbaik hati mengantarkan bahkan sampai menungguinya keluar dari klinik membuat perasaanya tak karuan. Seperti ada seruan tak rela dari dalam hatinya. Saat menolehkan kepala, ternyata si cowok malah berada tepat di belakangnya. "Astaga!" "Pffft ... hahaha! Kaget  ya!" "Ish! Kok bisa tiba-tiba di belakang aku, sih? Kayak hantu aja, nih, senyap!" "Wkwkwk, ketahuan tuh kalo emang ninggalin akunya sambil ragu-ragu dan mikir keras, makanya sampe gak nyadar aku di sini dari tadi, huuuu ... sok nggak mau kenalan, sih," cibir Aksa sambil terbahak. Merah padam muka Niar dibuatnya. Ia semakin malu dan hendak pergi pun akan justru lebih membuat malu lagi. Karena itu diputuskannya untuk mengimbangi keakraban yang diciptakan Aksa. "Sialan! Udah, aku duluan. Mau ada kelas." Tanpa menunggu respon Aksa, Niar gegas berlari ke arah kelas Pak Jamal. Gawat kalau sampai ketinggalan jam masuknya. Meskipun Pak Jamal tidak garang, tapi telat masuk kelas sangat dihindari oleh Niar. Rupanya Siska sudah lebih dulu sampai di kelas. Ia tengah bersiap membuka buku dan netbooknya sementara Niar baru masuk dan berlari-lari kecil ke tempat duduk mereka yang bersebelahan. "Kemana aja, kamu? Kebelet, juga?" tanya Siska terheran-heran mendapati Niar malah baru datang. "Nggak, itu tadi ada insiden kena lempar bola basket. Sialan tu cowok. Di aula main basket, mana nggak dikira-kira lagi, bakal kena kepala orang lewat apa nggak," "Hehh? Yang mana yang kena? Nggak apa-apa, tuh?" Siska bertanya sedikit panik. "Ya pusing, lah. Mana keras banget lagi lemparinnya, kayak sengaja, deh, dia!" "Duh, ayo kuanterin ke klinik bentar, Ni. Bahaya kalau sampai pusing juga, tuh!" "Udah dari klinik, kok. Dianterin itu cowok." "Terus, gak apa-apa kata nakesnya?" "Iya, cuma memar aja, dikasih cream oles dan obat anti nyeri." Niar sengaja tak menyertakan kejadian ia menolak obat anti nyeri yang diberikan di klinik tadi dalam ceritanya kepada Siska. Siska ini tipe drama queen yang gampang cemas bila mengenai penyakit. Bisa-bisa ia dipaksa ke rumah sakit segala, lagi. Beberapa saat kemudian, Pak Jamal--sang dosen untuk mata kuliah  Statistik Ekonomi--melenggang masuk ke dalam kelas. Dan seketika perhatian Niar terfokus kepada materi yang disampaikan. Mendengarkan Pak Jamal menerangkan materi mengenai konsep dasar statistik yang memberikan gambaran tentang perhitungan parameter statistik untuk ukuran pemusatan, ukuran lokasi dan ukuran variasi serta penggunaannya sebagai bahan untuk menganalisa suatu kegiatan ekonomi. Semua materi disimak oleh Niar dengan konsentrasi sambil sesekali menuliskan footnote di buku materinya. Ia memang menyukai ilmu ekonomi. Sejak SMU nilainya di mata pelajaran itu selalu lebih menonjol daripada yang lain. Itulah mengapa ia tertarik mengambil jurusan tersebut. Bakat dan minatnya memang di sana, pikirnya waktu itu. Memang kalau mengerjakan apa yang sudah menjadi minat, kesemuanya seakan menjadi kesenangan. Sesulit apa pun materinya, atau seberat apa pun tugasnya, pasti dikerjakan dengan bahagia dan penuh semangat. Itu lah yang dialami Niar. Di saat banyak mahasiswa mengeluh karena padatnya jadwal dan ruwetnya tugas, ia sama sekali tidak terbebani oleh itu. Baginya, kuliahnya menyenangkan meski banyak hambatan. Hambatan keuangan yang dialami keluarganya toh masih bisa ia selesaikan dengan mencari pekerjaan. Apalagi pekerjaannya ternyata seru dan menyenangkan. Seperti saat itu, beberapa kali Pak Jamal melempar pertanyaan kepada seisi kelas, dan Niar berhasl beberapa kali menjawabnya. Baginya, selalu menarik saat sesi tanya jawab, karena rasa-rasanya konsentrasimu saat materi berlangsung sedari tadi tengah diuji. Dan itu juga bisa membuatnya melekat erat dalam otak dan tak mudah terlupakan lagi. "Kamu tetep aja super. Padahal udah sambil kerja, loh. Heran!" Siska nyeletuk di sebelahnya, ketika untuk kesekian kalinya ia mengacungkan jari untuk mengajukan diri menjawab pertanyaan dari Pak Jamal. Niar hanya tertawa, "Ah, bilang aja iri. Makanya kamu jangan ngantuk aja, tuh. Begadang mulu, ya?" balas Niar mencibir. "Aku nggak ngantuk juga belum nyambung. Masih kucatat dan kuresapi. Tapi kamu malah udah jawab-jawab aja, ish!" Niar menahan tawa mendengar keluhan Siska. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sembari kembali mencatatkan beberapa poin tambahan di footnote materinya dari penjelasan Pak Jamal. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD